Jumat, 31 Agustus 2012

Meydi Minta "Cere"; Ada Apa Ini Eyang??

"Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi.”

Tulisan diatas adalah nukilan yang saya ambil dari majalah Tempo edisi 1 April 1978. Adalah isi surat yang disampaikan Wakil Presiden RI Mohamad Hatta kepada Ketua DPR RI yang kala itu dijabat Sartono SH. Surat pengunduran diri yang disampaikan Bung Hatta ke DPR itu bertanggal 20 Juli 1956.
***

Rabu 29 Agustus 2012, kabar pengunduran diri Meydi Lensun, Wakil Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim) menjadi trendding status sejumlah kerabat media di situs jejaring sosial dan BBM. Saya mengejar keabsahan berita tersebut dan rata-rata dari mereka memberikan keterangan kalau kabar itu bukan gosip. Ternyata benar, Kamis 30 Agustus 2012 kemarin di media cetak terbitan Sulut, kabar itu terkonfirmasi lengkap dengan pernyataan Meydi kepada wartawan usai dirinya bertemu dengan Wakil Gubernur Sulut Djouhari Kansil di Kantor Pemprop Sulut.

Ada hal (bagi saya pribadi) yang cukup disayangkan tatkala membaca pernyataan Meydi kepada wartawan terkait alasan pengunduran dirinya. Meydi memang berbeda dengan Bung Hatta. Jika Bung Hatta mempersoalkan sistem pemerintahan yang akan dianut negara ini apakah menganut sistem parlementer atau kabinet presidentil, termasuk soal demokrasi terpimpin yang digencarkan Bung Karno, maka Meydi mempersoalkan konsistensi dan komitmen pasanganya, Bupati Sehan Landjar. Perkara konsistensi dan komitmen apa yang dimaksudkan Meydi memang bias. Namun tersirat sederet guliran statement dari Meydi ke-orang media cukup keras dan bertendensi pribadi. Begitu terbuka, emosional, dan leluasa sebagaimana yang disampaikanya ke Harian KOMENTAR (Jumat 31 Agustus 2012), saya kutip; "Tidak perlu. Siapa sih dia" kata Meydi tatkala wartawan menanyai alasan pengunduran dirinya yang tak diberitahukan ke Bupati Sehan Lanjar. Kutipan lainya adalah : "Alasan utama saya mundur, karena selama ini komitmen yang sudah kami bangun sejak awal pencalonan yang tertuang dalam MoU yang disaksikan oleh partai-partai pendukung sudah banyak yang dilanggar".
Yah, menjadi kebebasan dan hak Meydi memuntahkan apa yang menurutnya perlu dimuntahkan. Entah barang apapun itu, kita aminkan saja dan cukup tahu bahwa ada sesuatu yang besar dan complicated (meminjam istilah Meydi) terjadi antara dirinya dengan Eyang (Sehan Lanjar). Ungkapan Meydi yang meluap hingga di dunia gadget mencerminkan gejolak jiwa mudanya.
***

Secuil Cerita Dengan Bersemi

Saya tidak ikut berdarah-darah dalam memenangkan pasangan Bersemi di moment Pemilukada Boltim 2010 silam. Namun saya ingat, ketika itu dibutuhkan 5 orang pengelola sekretariat pemenangan. Sahabat saya Yusra Alhabsy yang adalah Ketua Tim Kampanye pasangan Bersemi (Bersama Sehan-Meydi) datang ke kampung saya di Passi bersama Rio Manoppo (keduanya sama-sama Anggota DPRD Bolmong). Maksud kedatangan mereka adalah minta tenaga bantuan 2 orang yang serius dan siap kerja di Media Center Bersemi dalam rangka pemenangan. Ikut menjadi bagian tim sukses maksudnya.

Kami ngobrol di rumah Delianto Bengga. Bagi saya, tawaran itu sangat menarik. Apalagi datangnya dari Uchan (Yusra Alhabsy yang saya kenal sejak dirinya memimpin PMII Cabang Manado) dan Rio teman setongkrongan yang berhasil menjadi Anggota DPRD Bolmong pada Pemilu 2009 silam.
Saya yang ketika itu baru saja mendapatkan pekerjaan di Manado dan hanya pulang libur sebentar menyampaikan ke dua orang sahabat ini bahwa saya tidak bisa aktif ikut berjuang bersama mereka di Boltim.
Akhirnya Rio dan Uchan memboyong Delianto Bengga dan Endri Tanjung (teman asal Jakarta yang sudah jadi orang Mongondow setelah kawin di Biga) untuk direkrut menjadi bagian dari Tim Pemenangan Bersemi. Saya cukup mengikuti kerja dan sepak terjang mereka dari Manado.

Jauh sebelum itu, Rio Manoppo (mantan Anggota DPRD Boltim) datang menemui saya dimana dirinya bermaksud melamar Partai Republikan supaya menjadi salah satu partai pengusung pasangan Sehan Lanjar-Meydi Lensun dalam Pemilukada Boltim. Rio menemui saya sebab tahu kalau sayalah yang merintis pembentukan Partai Republikan tingkat Kabupaten (DPC) hingga Kecamatan (DPAC) di Boltim dengan modal pas-pasan yang hampir koit di pertigaan Jikoblanga (saat mengkonsolidasikan partai ini di Boltim, kendaraan saya hampir masuk jurang di pertigaan Jikoblanga dan nyawa se-isi mobil nyaris terengut), tahu sendiri bagaimana kondisi jalan waktu itu.

Saya lantas menyampaikan ke Rio kalau saya akan membicarakan dulu dengan Saptono Paputungan dan Titin Mamonto serta beberapa teman pengurus partai di Boltim sebab orang-orang inilah yang sama-sama bekerja dengan saya tatkala partai yang di-anggap remeh ini (namun mampu membawa Saptono ke kursi DPRD Boltim bersaing dengan caleg lain dari partai besar) dibentuk di Boltim. Saptono yang memang harus dijujuri tergolong orang baru dan masih malu-malu dalam dunia partai, mempercayakan semua urusan tetek-bengeknya kepada saya. Namun demikian dirinya tetap memberi dukungan.
Kepemimpinan partai di Boltim lantas saya serahkan pada Saptono Paputungan. Hal ini diperkuat dengan SK dari DPD Republikan Sulut yang saya urus. Pertemuan di Restoran Nyiur Hijau bersama calon kandidat papan dua yakni Meydi Lensun lantas dilangsungkan. Zainuddin Mokodongan (mantan politisi dari Partai Golkar) yang kala itu sudah memegang tampuk kepemimpinan sebagai Ketua DPC Republikan Bolmong diminta turut hadir sebagai "sesepuh" Republikan dan melakukan pembicaraan dengan Meydi Lensun terkait pengusungan. Kesepakatan didapat, memang ada sederet MoU yang sempat dibicarakan disitu, tapi biarlah tak perlu diungkit-ungkit lagi sebab waktu sudah berjalan lama. Yang pasti saya sudah cukup berbangga (sumpah kebanggaan saya tidak mampu dibeli dengan apapun termasuk mengungkit-ungkit soal komitmen), partai yang dengan begitu susah payahnya dibentuk di Boltim bisa ikut menjadi partai pengusung bersama PKB, PDS, PBR dan Pelopor dalam memenangkan pasangan Bersemi (Bersama Sehan-Meydi). Ditambah lagi dengan kesuksesan mencetak seorang Saptono Paputungan menjadi Anggota DPRD Boltim dari partai yang sama; Republikan.
***

Kenangan Itu Tak Lama Bersemi

Tampilnya pasangan Bersemi sebagai pemenang di perhelatan Pemilukada Boltim menggegerkan banyak kalangan. Semua tahu kalau nama Sehan Lanjar dan Meydi Lensun tidak se-populer lawan-lawan mereka di Pemilukada. Terlebih lagi cuma didukung partai gurem dengan dana yang sangat-sangat terbatas. Bagaimanapun juga kerja teman-teman tim pemenangan Bersemi layak diacungi jempol.
***

Jika Bung Hatta bisa bertahan sedamping dengan Bung Karno selama 11 tahun, maka 2 tahun sudah cukup bagi Meydi Lensun untuk tak sedamping lagi dengan Eyang. Padahal banyak harapan dititipkan rakyat dipundak  pasangan yang mewakili ragam unsur ini. Apalagi kepemimpinan mereka dihari-hari sebelumnya dikenal mesra, hangat dan merakyat. Eyang dan Meydi juga merupakan simbol peleburan dua generasi. Meydi yang dikenal begitu muda dan penuh semangat nan berapi-api, didampingi Eyang yang hampir mirip sebagai sosok orang tua yang cerdas, arif dan humoris. Sayang sekali kebersamaan pasangan ini tak lama bersemi.

Tahun ini benar-benar tahun yang berat bagi Eyang. Belum sebulan kita dikagetkan dengan insiden pelemparan batu oleh masyarakat Tutuyan terhadap Eyang, kabar duka sudah datang; Ibu mertua Eyang meninggal dunia. Masih dalam lingkup suasana duka, Eyang harus menerima kabar; "adik" sedampingnya memutuskan untuk berpisah.

Ada apa sebenarnya Eyang?

Rabu, 29 Agustus 2012

Pion Pion Tumbal TPAPD Bolmong; Jangan Tanya Pada Rumput Yang Bergoyang


Anggaplah ini "sekuel" dari tulisan sebelumnya; Kisruh TPAPD Bolmong dan Sumpah TRIAD

 Harian METRO
Dihadapan penyidik, Mursyid Potabuga ternyata tak memberikan keterangan abal-abal terkait aliran dana TPAPD (Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa) Triwulan II Tahun 2010 saat dirinya pertama kali di periksa. Terlebih ketika audit BPKP memvonis; penyaluran dana tersebut tak sesuai peruntukan dan merugikan keuangan negara sebesar Rp 3,8 Milyar.

Mantan Kabag Pemdes era Bupati Marlina Moha Siahaan (MMS) ini bahkan nekat membeber bahwa dirinya hanya melakukan apa yang menjadi perintah atasanya waktu itu (Bupati MMS) yang meminta agar dipinjamkan dana sebesar Rp 1 Milyar  dimana uang tersebut diambil dari kas TPAPD Bolmong.

Namun bantahan mantan Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan saat dimintai keterangan oleh penyidik terkait kasus tersebut, membuat posisi Mursyid  terjepit hingga bulatlah keyakinan penyidik dan segera menetapkan Mursyid sebagai tersangka. Sedangkan MMS hanya dijadikan sebagai saksi.Terlebih ketika mantan penguasa Bolmong 2 periode itu ketika menjawab apa yang ditanyai penyidik saat pemeriksaan di Polres Bolmong (sebagaimana yang dituturkan Mursyid dan Cimmy), hanya selalu mengatakan; tidak tahu, tidak ingat, tidak pernah memberi perintah, dan lupa. Hingga miriplah pemeriksaan  itu tak jauh beda dengan pemeriksaan terhadap Nunun Nurbaeti (tersangka kasus suap travel cheq Deputi Gubernur BI yang kini mendekam di Rutan KPK).

Tak kalah merdu dengan Mursyid, Cimmy turut menyanyi. Meski ketika bertemu dua pekan kemarin, alumni STPDN ini masih kesulitan menutupi sikap loyal dan rasa sungkanya terhadap mantan Bupati MMS selaku bekas atasanya. Hal ini begitu nampak terutama dari tutur kata dan bahasanya. Cimmy juga masih belum terbiasa melepas kata Bunda atau Mama Didi yang biasa dipakai untuk menyebut Bupati Marlina Moha Siahaan.

Namun demikian, dihadapan penyidik ketika diperiksa untuk pertama kalinya, Cimmy tak cukup kuasa menyembunyikan keterlibatan Bupati MMS sesuai versi yang ia ketahui. Saat berbincang-bincang, Cimmy bahkan tak sungkan-sungkan menceritakan kepada saya apa yang mungkin (menurut saya) tak diceritakanya ke penyidik atau ke orang banyak.

Dalam pemeriksaan, dihadapan penyidik Cimmy menceritakan bagaimana Edy Gimon datang meminta uang sebesar Rp 105 juta kepada dirinya, begitu juga yang dilakukan Ikram Lasinggaru sebesar Rp 250 Juta. Kedua orang ini (Ikram dan Edy Gimon) mengaku kepada Cimmy bahwa mereka diperintah Bupati MMS. Pun demikian dengan Iswan Gonibala yang menemui Cimmy meminta 'pinjaman' Rp 200 juta yang konon (ini gosip yang perlu diverifikasi kebenaranya) digunakan untuk membayar hutang diluar yang tak terkait dengan Iswan sebab hanya menjalankan perintah. Semua uang yang diberikan Cimmy ke mereka itu adalah uang dari kas TPAPD.

Fitnah Lebih Kejam Dari Pembunuhan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi fitnah adalah; perkataan bohong tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang, semacam menodai nama baik dan merugikan kehormatan orang.

Atau  secara umum, dalam pengertian Bahasa Indonesia yang kita ketahui dan pahami, fitnah adalah perkataan tanpa dasar yang bertujuan untuk menjatuhkan seseorang. Merendahkan atau menurunkan martabat seseorang. Sebuah upaya agar seseorang itu menanggung akibat dari apa yang sebenarnya tidak ia kerjakan. Didalam Al Quran Surat Al Baqarah 2 : 191, juga disebutkan; “Fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan".

Soal TPAPD Bolmong, semua keterangan yang diberikan ke penyidik, ibarat telunjuk, semua menuding ke hidung mantan Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan. Jika itu ternyata cuma bohong belaka maka Mursyid dkk telah melakukan fitnah kejam terhadap Bupati MMS. Maka berhubung itu fitnah, alangkah betul jika Marlina Moha Siahaan (yang jelas gusar dengan fitnah itu)  melaporkan kelima orang pengumbar fitnah itu ke Polisi dan menyeret mereka ke pengadilan atas tuduhan pencemaran nama baik. Betapa tidak, MMS yang mantan Bupati Bolmong yang masih dihormati banyak kalangan, yang pernah menyandang gelar adat Ki Boki Inta Nolintak Kon Totabuan (gelar ini pernah dipolemikan Katamsi Ginano) tentu tak akan terima dirinya di fitnah melakukan korupsi dana TPAPD.

Namun sejauh ini, Mursyid CS sedikitnya masih terhindar dari sebagaimana kata pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula.Sebab hingga kini (Mungkin karena alam hati lagi baik, atau merasa punya hutang budi terhadap para mantan anak-buahnya) MMS masih berbelas kasih dengan tidak melaporkan fitnah kejam yang dialamatkan kepadanya. Malah pada hari ke-3 saat Mursyid dan Cimmy meringkuk di balik terali besi Rutan Malendeng, mereka dapat besukan mantan atasan mereka; Bupati Marlina Moha Siahaan.

Bukan Fitnah

"Seburuk-buruk penilaian orang terhadap diri saya, satu hal yang perlu diketahui; saya pantang memfitnah orang" demikian kata Mursyid ketika sempat bertemu pada kesempatan dua pekan kemarin. Bagi dia apa yang telah diungkapkanya dihadapan penyidik saat pemeriksaan di Polres Bolmong waktu lalu adalah kebenaran apa adanya yang memang harus ia sampaikan. Dirinyapun mengaku siap menghadapi laporan mantan Bupati Marlina jika itu memang akan dilakukan.

Sedangkan Cimmy--nampak lebih selow--mengatakan kalau apa yang di-alaminya saat ini semata karena kesalahanya sebagai manusia biasa yang ikut terseret lantaran pasrah mengikuti arus "kebijakan" pimpinan. Meski demikian Cimmy pun membeber bahwa apa yang disampaikanya ke penyidik adalah kejujuran yang apa adanya dan bukan fitnah.
"Saya tidak memfitnah mantan Bupati. Apa yang saya sampaikan itulah fakta yang sebenarnya. Tapi biarlah proses hukum yang akan mengungkap kebenaran hakiki, siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah"

Akan halnya dengan Iswan Gonibala dan Suhardjo Makalalag, telah berulang-ulang kedua orang ini mengatakan di media bahwa mereka tidak bersalah dan tidak pernah tahu menahu terkait aliran dana TPAPD tersebut. jangankan mencicipi, melihat dana itu saja tidak pernah.

Penyidik dan Jaksa Bukang Daong Lemong

Se-awam-awamnya kita soal hukum, minimal kita mengetahui bahwa dari segi hirarki birokrasi, Mursyid Potabuga dan Cimmy Wua, berada dibawah Sekda. Jika Sekda mengetahui (sebagaimana keterangan Mursyid dan Cimmy) bahwa aliran dana TPAPD dipinjamkan ke Bupati maka otomatis Sekda ikut bersalah karena Sekda adalah penguasa anggaran. Artinya lalu lintas uang keluar diketahui Sekda.

Dalam pemeriksaan di Polres Bolmong, dihadapan penyidik Mursyid dan Cimmy ternyata memberikan keterangan dan mengakui keterlibatan Bupati MMS yang ikut  ‘’bermain’’ dalam penggerusan dana TPAPD. Keduanya juga mengakui kalau Sekda (saat itu masih dijabat Ferry Sugeha) mengetahui modus pinjam meminjam dana oleh Bupati MMMS. Penyidik semestinya tidak bodoh sehingga segera menindak-lanjuti pengakuan para tersangka saat di periksa dan dibuatkan B.A.P.  Supaya orang Mongondow tidak akan menyematkan olok-olok; daong lemong kepada penyidik.

Penyidik macam apa kwalitasnya kalau tidak cermat dan malah membiarkan pengakuan tersangka yang sedang diperiksa. Ibarat kata; maso talinga kanan, kaluar talinga kiri. Yang mampu melakukan ini cuma penyidik berkwalitas daong lemong.

Begitupun Jaksa Penuntut Umum, Lukman Effendi SH yang menangani kasus ini, setahu saya Lukman adalah Jaksa yang selain cerdas dan berdedikasi, juga dikenal tahu betul bagaimana menghadapi orang-orang licin. Namun toh di Bolmong untuk kasus beginian Lukman terkesan 'angkat bendera putih'. Padahal Lukman (kebetulan saya kenal sejak jaman kuliah dulu di Unsrat dan aktiv di Mapala/ Mahasiswa Pecinta Alam) jika di-ibaratkan kata; dia (Lukman) adalah lautan, jadi percuma menggaraminya. Sedang kata lain yang bisa menggambarkan Lukman (pendapat saya pribadi); jika lawanya ikan Tuna maka Lukman adalah  Hiu. Jika lawanya mafia maka ia adalah bos mafia. Lukman  juga terkenal keras dan tak kenal kompromi. Ia tahu betul menilai belang orang dan mengendus bau-nya. Terkait kasus TPAPD yang sedang ditanganinya saat ini (sudah bersidang di Pengadilan Tipikor Manado) semoga ia bisa terhindar dari julukan Jaksa daong lemong.

Tuntut Balik

Cimmy dan Mursyid adalah bawahan Bupati. Patuh atas perintah yang benar dari atasan adalah kewajiban. Tapi bagaimana jika perintah itu justru menjerumuskan keduanya hingga meringkuk di balik jeruji besi?
Atasan yang baik pantas disanjung, dijaga dan dihormati. Jika sebaliknya, maka cuma orang tolol yang mau menaruh hormat.

Jika Cimmy dan Mursyid merasa dizholimi atas kasus yang kini menimpa keduanya, maka sebenarnya mereka berhak menggugat mantan atasan yang telah menjerumuskan mereka hingga masuk bui.

Sementara itu, mantan Bupati MMS yang ketika itu adalah atasan Mursyid CS, sudah semestinya melindungi bawahanya agar tidak terjerumus.  Mantan Bupati MMS semestinya tahu bahwa dengan meminjam dana TPAPD untuk kepentingan apapun dan penggunaanya tak sesuai peruntukan itu adalah tindak pidana yang bisa dijerat dengan pasal pencucian uang. Apalagi usul meminjam dana itu datang dari Bupati Marlina sendiri.
Sayangnya ada orang yang sudah duluan tahu, sehingga di pasanglah Suhardjo Makalalag sebagai atas nama peminjam meski Suharjo hingga kini masih bersih keras mengaku bahwa dirinya tidak pernah merasakan sepeser-pun dana yang dipinjam. Jangankan meminjam, membaui saja tidak. Ibarat main catur maka jadilah Suharjo (yang bergelar master dari Amerika dan sedang pula merampungkan desertase untuk gelar doktor di Australia) cuma pion belaka yang dijadikan tumbal.

Mursyid dan Cimmy Terjepit

Sidang yang kembali dilalui Mursyid dan Cimmy pada Senin 27 Agustus 2012 di Pengadilan Tipikor Manado membuatnya terjepit tatkala mantan Sekda Bolmong Drs Ferry Sugeha ME dan mantan Asisten II Drs Farid Asimin MAP menjadi saksi  dan memberikan keterangan (dibawah sumpah Al-Quran) ke hadapan Majelis Hakim yang di-ketuai Armindo Pardede SH MAP.

Ferry yang adalah mantan Sekda mengatakan bahwa dirinya tak tahu menahu soal dana 1 Miliar yang diambil dari TPAPD Bolmong Tahun 2010. Sedangkan Drs Farid Asimin MAP (Sekarang Sekda Bolmong era Salihi-Yanni) mengatakan bahwa dirinya (Farid) mengetahui bahwa uang pinjaman 1 Miliar itu diambil dari dana TPAPD Triwulan III, akan tetapi uang yang dipinjam mantan Bupati Marlina itu telah dikembalikan lagi kepada Mursyid (terdakwa).

Dalam sidang tersebut, ketika giliran Mursyid menjadi saksi pada sidang Cimmy, mantan Kabag Pemdes itu memberi keterangan bahwa pada 9 Juni 2010 dirinya memberikan uang tunai 1 Miliar ke Bupati Bolmong yang ketika itu dijabat Marlina Moha Siahaan. Pencairan dana itupun menurut Mursyid sangat cepat dan Drs Ferry Sugeha selaku Sekda Bolmong ketika itu sudah mengetahui adanya proses pencairan uang tersebut bahkan sebelum pencairan sehari sebelumnya Mursyid mengaku sudah duluan di panggil Bupati ke Rumah Dinas Ilongkow membicarakan hal tersebut. (Harian Metro, Harian Manado Post).

Untuk kasus TPAPD ini sebaiknya tokoh yang merasa terlibat supaya rajin-rajinlah memanjatkan doa dan sembahyang tahajud tanpa merasa perlu ke paranormal. Dalam doa disisip permohonan agar aparat berwenang tetap mau 86. Supaya kasus yang bisa membuat segalanya seperti mimpi buruk bisa dititip didalam mesin pendingin hingga dugaan keterlibatan cuma jadi barang beku yang tak perlu di-olah. Dibiarkan dingin atau membusuk dengan sendirinya.

Terjerumusnya para birokrat Pemkab Bolmong, entah itu adalah pelaku utama atau cuma sekedar pion tumbal dalam kasus TPAPD, cukuplah menambah hati orang Mongondow tersakiti. Perasaan bangga orang Mongondow yang memiliki sosok seperti Suhardjo Makalalag; alumni USA dan yang sedang berjuang untuk memperoleh gelar doktor dari Universitas Viktoria Australia, terlampau ternodai.
Amatlah disayangkan memang jika cita-cita orang se-pintar Ajo (Suharjo Makalalag) yang sudah susah-payah bersekolah tinggi-tinggi di negeri nun jauh disana, akhirnya cuma kandas dibalik bui jadi pion yang ditumbalkan.

Maka kepada siapa kita pantas marah? Jangan tanyakan pada rumput yang bergoyang...

Sabtu, 18 Agustus 2012

Nasionalisme Pluru Pongo

Sumber Foto :  BBM
Penghadangan sekelompok warga Tutuyan terhadap rombongan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Landjar,  sepulangnya Eyang (Sebutan akrab Bupati) dari Lapangan Bogani Kotabunan dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI Ke 67, yang jatuh hari Jumat 17 Agustus 2012 kemarin--diluar dari apapun musabab yang melatar-belakangi kejadian tersebut--sungguh adalah kejadian yang memiriskan.

Bayangkan, seorang kepala daerah pilihan rakyat Boltim sendiri, dihadang amuk massa dan secara brutal mobil dinas yang ditumpangi Bupati ber-nopol  DB 1 N itu dilempari batu hingga kaca bagian depan mobil pecah. Nursiwin Dunggio Istri tercinta Bupati pun tak luput jadi korban. Ia terkena pecahan kaca dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit terdekat.

Harian kriminal terbitan sulut yang saya baca pada Sabtu pagi (18/08/2012), bahkan menurunkan judul yang tak main-main; Boltim Rusuh, Bupati Nyaris Tewas di Amuk Massa!! (Posko 18 Agustus 2012).

Kabar yang datang dari satu-dua orang sahabat yang ikut dalam rombongan itu (satu diantaranya hampir kena serangan jantung) ikut menambah informasi yang saya dapat via media. Saya terus mencari pasti soal; apa yang sebenarnya telah dilakukan sang Bupati sehingga warga sedemikian naik pitam begitu?

Setelah mengaisnya kemana-mana, semakin pasti bahwa penyebab penghadangan itu cuma gara-gara upacara 17 Agustus yang tak jadi digelar Bupati di Lapangan Pondabo Tutuyan.

Saya tiba-tiba merasa iri terhadap masyarakat Tutuyan. Di Passi, kampung tempat saya tinggal, jangankan ikut upacara, disuruh memasang bendera merah putih di depan rumah pun warga ogah-ogahan. Kalau tak di bujuk atau di tegur langsung oleh Sangadi--adalah biasa jika diwarnai ancaman akan dipersulit jika nanti melakukan pengurusan terkait administrasi di desa--maka masih ada saja yang kumabal.

Tapi di Tutuyan? warga justru marah dan puncaknya mengamuk sebab berkeinginan sekali ikut upacara peringatan 17 Agustus di lapangan desa mereka.

Ouww...Ternyata Cuma Nasionalisme Pluru Pongo

Secara sederhana sekali, nasionalisme dapat kita artikan sebagai perasaan cinta tanah air. Bangga dan terpanggil untuk  membela cita-cita bangsa dan negara. Bagi warga Boltim yang masih percaya terhadap negara dan mengaku sebagai warga negara indonesia (yang tak hanya diperlihatkan dengan menunjukan KTP), adalah baik dan mulai memang menjaga nilai luhur nasionalisme. Tak ada persoalan dengan itu. Bahkan sekedar berpeluh keringat ikut kerja bakti mempersiapkan lokasi tempat digelarnya upacara bendera peringatan kemerdekaan 17 Agustus,  dapat pula dimaknai sebagai wujud nasionalisme dalam arti sekecil-kecilnya. Bahkan ikut upacara bendera pun menurut saya itu sudah merupakan perwujudan nasionalisme dalam arti yang sekerdil dan serendah-rendahnya.

Tapi di Tutuyan, ternyata yang diportontonkan adalah nasionalisme pluru pongo. Tentu sangat disayangkan sebab kenekatan itu tak ada kaitan sama sekali dengan wujud nasionalisme sebagaimana yang sudah bisa kita pahami sejak di bangku SD. Ini adalah nasionalisme yang bicara dengan batu. Terlontar dari tangan-tangan orang yang bikin keruh keadaan dengan alasan; upacara tak jadi di gelar.

Semula para pengamuk ini berdalih bahwa mereka kecewa dan tersinggung karena dipindahkanya lokasi peringatan HUT RI dari Lapangan Pondabo Tutuyan ke Lapangan Bogani Kotabunan. Namun setelah ditelusur kembali, ternyata yang menjadi inti persoalan adalah gosip murahan yang menyebutkan bahwa; Ibukota Kabupaten yang sebelumnya bertempat di Tutuyan, akan dipindahkan ke Kotabunan.

Jadi bukan gelaran upacaranya yang di soal terutama ketersinggungan ketika tiang bendera yang telah dipersiapkan dicopot  lalu dipindahkan ke Lapangan Bogani di Kotabunan. Lain soal kalau bukan isu pemindahan lokasi upacara yang dipermasalahkan.

Jika warga menganggap Bupati adalah pengkhianat bangsa dan melakukan suatu tindakan yang tak hanya menodai tetapi  malah melukai prinsip-prinsip nasionalisme, maka jangankan pluru pongo, tetapi M16, AK-47, Shootgun, Granat, atau bahkan peluncur roket  pun tak jadi soal digunakan. Sedang yang paling kepepet-pun seperti senjata ketapel, masih layak dilontarkan  para pembela nasionalisme ini tepat ke wajah sang Bupati.

Eyang saat di hadang (sambil menahan emosi karena lagi puasa) segera turun dari mobil dan cepat membela diri atas tuduhan yang menurutnya keliru.  Di hadapan warga ia memberi klarifikasi bahwa dirinya sama-sekali tak memiliki maksud untuk memindahkan Ibukota Kabupaten dari Tutuyan ke Kotabunan. Kecuali itu, dirinya bermaksud akan menggelar setiap upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI di seluruh wilayah Kecamatan  yang ada di Boltim secara bergilir setiap tahunya.

Namun nasi sudah menjadi bubur. Genderang perang sudah di tabuh. Batu telah meluncur dan pecah di kaca depan mobil sang Bupati. Simbol kewibawaan pemerintah tercoreng sudah. Ibu Bupati terkena serpihan kaca dan batru. Memiriskan lagi sebab ini merupakan sejarah kali pertama di Sulawesi Utara;  mobil seorang Bupati dilempari warga dengan batu. Ironi sebab terjadi di Tutuyan dimana Eyang mendulang suara signifikan saat pemilukada Boltim 2 tahun silam. Lebih ironi lagi sebab terjadi di moment bulan puasa dan 2 hari menjelang Hari raya Idul Fitri.

Ada Apa Eyang?

Persitiwa di atas tentu memaksa batok kepala kita berpikir dan bertanya-tanya; Ada kiapa sebenanrya ini Eyang? Apa benar cuma gara-gara isu pemindahan lokasi peringatan upacara HUT Kemerdekaan? atau ada hal gawat lain sehingga memicu amuk massa yang nekat brutal seolah tak kenal lagi terhadap tokoh pilihan mereka sendiri?

Melompatnya salah seorang massa ke deksel mobil tepat dihadapan hidung Bupati lalu berjingkrak-jingkrak sambil meneriakan bara kesumat dengan nada lantang membakar seolah dia adalah satu diantara prajurit pemberontak yang menghadang rombongan  Moamar Khadafi, tentu bukan tontonan kacang-kacang. Ini sungguh serius Eyang? Lebih serius dari rencana pembentukan Propinsi Totabuan. Rakyat sedang marah. Bahkan rela tak puasa (atau sengaja batal puasa) demi menghadang rombongan Eyang.

Ada gosip yang sempat beredar yang konon sudah menjadi rahasia umum. Gosip itu mengatakan, warga Tutuyan nekat berbuat demikian karena sudah muak dengan Eyang. Pelemparan batu itu cuma wujud akumulasi kekecewaan yang sudah tak tertahankan. Pengalihan lokasi upacara peringatan HUT Kemerdekaan tinggal jadi pemicu yang hampir bisa dikata sudah di tunggu-tunggu.

Saat rekruitmen CPNS Pemkab Boltim silam, banyak warga Tutuyan mengaku tersinggung dengan statement  Bupati yang ikut menyalahkan warga Tutuyan karena tidak mampu menjaga keamanan sehingga terjadi pembobolan Kantor BKKD Boltim, padahal warga Tutuyan sudah merasa dirugikan dengan banyaknya honorer dan CPNS asal tutuyan yang gugur. Begitupun soal aliran dana proyek yang lebih banyak bermuara ke kerabat-kerabat dekat Eyang.

Hmm, Pak Bupati! Lebaran kali ini benar-benar menjadi momentum  introspeksi buat Pak Bupati. Maka berbenahlah sebelum "bernasib seperti"  Moamar Khadafi yang dihadang para pemberontak dengan AK-47, M16 dan Revolfer.

Tentu ini bukan lebay. Saatnya bersalam-salaman kembali. Ajak warga berdiskusi dan cari jalan keluar.

Selamat Idul Fitri.

Rabu, 15 Agustus 2012

Kirsuh TPAPD dan sumpah TRIAD

(Di muat di Radar Totabuan Edisi Kamis 9 Agustus dan Sabtu 11 Agustus 2012)

Penggerusan dana TPAPD Tahun 2010 di kas Pemkab Bolmong bukan cuma membuat hati orang Mongondow, terluka. Kejadian itu malah seperti bentuk pandang enteng (kalau enggan disebut penempelengan) terhadap 1.353 Pamong Desa yang terdiri dari para Sangadi hingga Porobis se-Bolmong.

Memiriskan lagi sebab oknum yang diduga kuat penyebab utama bermulanya kasus itu, ternyata kebal hukum. Kapolres AKBP Enggar Brotoseno SIK beserta jajaran penyidiknya di Mapolres Bolmong sepertinya segan dan kehilangan taji dalam menyidik perkara "pinjam meminjam" dana TPAPD yang oleh audit BPKP divonis merugikan negara sebesar Rp 3,8 Milyar. Pun Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lukman Effendy SH yang dikenal tak hanya cerdas melainkan juga tegas, keras, dan tak kenal kompromi, ternyata tak punya daya apa-apa dan terkesan lembek dalam menghampar jerat hukumnya ke sasaran sehingga yang kena jaring, kalau bukan ikan timah, ya nilem dan mujair kurus yang ngos-ngosan kekurangan oksigen.

Maka mitos untouchable yang melekat pada the play maker yang diduga kuat pelaku dalam penggerusan uang milik negara tersebut, kian kuat seolah membenarkan kalau predikat itu bukan isapan jempol belaka. Maka jangan heran jika ada kalimat; "Sakti memang eh!" yang keluar dari lima-sepuluh sopir bentor yang biasa singgah melalap halaman muka (tersegel) semua koran terbitan Sulut yang berjejer di trotoar Jalan Adampe Dolot depan Hotel Tentram Mogolaing, terlebih saat kasus ini terkuak di media.

Maka benar pulalah bisik-bisik orang di warung, pasar, dan di terminal; "Ada ba pake stow kang?" hingga persangkaan adanya susuk atau benda-benda keramat yang disematkan di badan, yang konon mampu meluluhkan hati banyak orang, sepertinya benar adanya.

Kasus inipun konon minta tumbal orang-orang yang tak ikut bersalah dan tak pernah menikmati aliran dana yang digerus meski se-perak. (http://kontraonline.com/6579/iswan-dan-suharjo-mengaku-siap-masuk-bui/)

Lantas dimuarakan kemana aliran dana miliaran itu?

Saat dicari tahu dengan beragam cara termasuk keterangan disejumlah media, dan di kroscek langsung ke dua orang yang telah lebih dulu jadi tersangka (Mursyid Potabuga dan Cimmy Wua), diketahui bahwa kasus ini bermula pada 2010 silam dimana Pemkab Bolmong yang waktu itu di nahkodai Bupati Marlina Moha Siahaan mengalokasikan dana sebesar Rp 12.337.400.000 dalam APBD Tahun Anggaran 2010 untuk pembayaran TPAPD.

Pada saat dana TPAPD Triwulan II hendak disalurkan, secara mengejutkan, pada tanggal 8 Juni 2010, Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan (MMS) menghubungi Mursid Potabuga selaku Kabag Pemdes masa itu supaya bisa merapat ke Rudis Bupati di Bukit Ilongkow, sebagaimana pengakuan Cimmy dan Mursid.

Bupati ternyata meminta ke Mursyid supaya sebelum dana TPAPD Triwulan II dicairkan, dirinya bermaksud meminjam Rp 1 Miliar dari dana tersebut dan akan mengembalikanya dalam jangka waktu dua minggu. Anehnya, dikatakan kalau dana pinjaman yang akan ditukar itu akan diambil dari dana yang ada di Bappeda. Sehingga alangkah ka'ug-nya memang, kata istilah Mongondow.

Namun, Mursyid yang bukan cuma orang Kotobangon yang tahu, bagaimana kadar loyalitasnya terhadap Bupati Marlina, menuruti perintah itu meski tahu apa yang akan ia lakukan dengan Bupati itu adalah sebuah kesepakatan jahat dan akan berdampak hukum. Terlebih jika di antara mereka ada yang berkhianat.

Maka didorong unjuk loyal dan jargon 3 huruf; ABS (Asal Bunda Senang), Mursyid tancap gas bermodal kepercayaan terhadap Bupati Marlina yang sudah dianggapnya sebagai Kakak sendiri. Lagi pula dirinya tahu, yang meminjam toh Bupati, bukang orang laeng. Sehingga tanpa banyak cingcong, kata sepakat berjabat dan saling sambut.

Sialnya, Suhardjo Makalalag yang ketika itu berada di Jakarta, dihubungi Bupati via ponsel. Calon doktor Universitas Victoria Australia yang ketika itu menjabat selaku Kepala Bappeda, lantas diminta supaya mau menjadi atas nama peminjam, sebab akan dibuatkan surat terkait peminjaman dana oleh Bupati. (Hm, mirip koperasi simpan pinjam aja ya pembaca).

Tanpa pikir panjang, Suhardjo yang juga alumni negeri Paman Sam--namun ternyata mudah ditololi--menyetujui skenario tersebut. Surat peminjaman lantas dibuat dan sekembalinya Suhardjo dari Jakarta, segera membubuhi tanda tangan selaku orang yang meminjam meski ia tidak pernah melihat, membaui, atau merasakan se-sen pun dari uang itu, sebagaimana yang sering ia sampaikan dengan sumpah bahkan niat berjihad demi kebenaran.

Selanjutnya bak sebuah komplotan, Sekda Ferry Sugeha, Asisten III Farid Asimin dan Kabag Pemdes Mursyid Potabuga, ikut membubuhkan tanda tangan sebagai saksi peminjaman, lalu cairlah dana yang dipinjam itu ke kantong Bupati MMS, sebagaimana yang disampaikan para tersangka, termasuk Mursyid ketika daam persidangan. (sungguh ini seperti sebuah komedi birokrasi administrasi yang naujubilah).

Dua bulan kemudian, yakni tanggal 18 Agustus 2010 terjadi pergantian Kabag Pemerintahan Desa, dari pejabat lama Mursid Potabuga S.Sos kepada pejabat baru Cimmy Wua STP.

Baru seminggu menjabat, Cimmy lantas mengetahui bahwa dana TPAPD Triwulan III yang akan dibayarkan ke pamong desa, ternyata disimpan oleh Mursid Potabuga di rekening pribadi. Tak mau bermasalah, pelak Cimmy menghubungi Mursyid dan meminta supaya dana tersebut dikembalikan. Mursyid mengiyakan, namun yang diberikan tinggal Rp 1,9 Milyar dari yang seharusnya Rp 2,9 Milyar.

Lantas kemana yang 1 Miliar? Rupanya sudah dikurangi Mursyid untuk menalangi TPAPD Triwulan II karena dana TPAPD Triwulan II tekor 1 Miliar sebab masih dipinjam Bupati Marlina Moha Siahaan (MMS).

Seolah tak sisa berbuat apa, dana TPAPD Triwulan III yang tinggal Rp 1,9 Milyar itu akhirnya diterima Cimmy sembari menelan ludah pahit. Ia masih membutuhkan Rp 1 Milyar lagi agar TPAPD Triwulan III bisa dibayarkan ke para Sangadi, Porobis dan Kepala-Kepala Dusun, dimana ia hendak memberi kesan baik utamanya kepada media yang beberapa kali memukulnya terkait keterlambatan pencairan dana tersebut.

Namun apa daya Cimmy? Kemana dan kepada siapa ia bisa mencari dana pengganti Rp 1 milyar. Parahnya lagi entah sosok jin berkelamin apa dan dari alam gaib mana yang menggoda Cimmy sehingga dia yang sudah tahu kalau dana TPAPD Triwulan III sudah tergerus, pada 9 September 2010 justru meminjamkan dana tersebut ke Mursyid sebesar Rp 112 juta.

Selanjutnya atas perintah Bupati MMS sebagaimana pengakuan Cimmy, alumni STPDN ini memberi uang (masih dari dana yg sudah tekor itu) ke Ikram Lasinggaru sebesar Rp 250 Juta lalu pada hari itu juga Ikram segera memberinya ke Bupati MMS entah untuk apa. Penggerusan ternyata tak berhenti sampai disitu, sebab pada bulan September 2010, Edi Gimon datang menemui Cimmy di kantornya. Edy mengaku disuruh Bupati MMS untuk cari pinjam uang ke Sekda Ferry Sugeha yang lantas menyuruh Edy supaya menemui Cimmy. Kepada Cimmy, Edy mengatakan kalau Bupati MMS mau pinjam uang untuk pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) PNS jajaran Pemkab Bolmong dimana dana itu akan dipakai untuk beli Coca Cola, Sprite dan Fanta sehingga dana TPAPD Triwulan III tergerus lagi sebesar Rp 105 Juta yang lantas diberikan Cimmy ke Edy.

Peribahasa; "titip kata bisa jadi lebih, titip uang bisa jadi kurang" rupanya tidak mengajari Cimmy. Dan itulah yang terjadi dalam drama pengerusan dana TPAPD II dan III Tahun 2010. Entah kemana lagi dana-dana itu sehingga pembayaran TPAPD selanjutnya terjadi secara gali lobang tutup lobang alias cek undur kata orang Gogagoman. Tak dinyana untuk membayar utang-utang kantor yang entah bagaimana ceritanya, Cimmy juga mengambil dari TPAPD II termasuk ketika ia berlagak seperti kepala koperasi simpan pinjam yang memberi pinjaman ke para nasabah dari ambilan yang bernilai Rp 10 Juta hingga Rp 100 Juta.

TPAPD dan sumpah TRIAD

Bagi anda yang terbiasa nonton film bertema Mafia, mungkin tahu apa itu TRIAD? Ya, Ini adalah organisasi mafia--semacam Yakuza kalau di Jepang--yang mula-mula lahir di China kemudian besar dan berpusat di Hong Kong. Organisasi kriminal ini terus berkembang mengelola sejumlah bisnis ilegal dan meraup banyak untung. Dalam dunia kejahatan mereka juga terkenal kejam dan memiliki "cabang" diberbagai negara mulai dari Macau, Thailand, Singapura, Kanada, belahan bumi Eropa hingga Amerika Serikat. (siapa sangka di Bolmong juga ada).

Lantas apa hubunganya TRIAD dengan TPAPD Bolmong?

Setelah kita tahu bahwa penyidik di Polres Bolmong dan Jaksa Penuntut Umum Lukman Effendy SH tidak memiliki kemampuan apa-apa untuk menggali lebih dalam dan membongkar kasus ini sampai ke akar-akarnya, mari kita bawa renung sejenak pikiran ke syarat-syarat menjadi anggota TRIAD yang penulis kutip dari wikipedia.com

Untuk menjadi anggota TRIAD, harus menjalankan upacara dengan mengucapkan 36 butir sumpah. Kita ambil 3 butir di antaranya yang paling terkenal:

1. Setelah memasuki gerbang Hung I, saya harus memperlakukan orangtua dan kerabat dari saudara sesumpah saya sebagai keluarga saya sendiri. Jika saya melanggar saya bersedia mati disambar lima petir.

2. Saya tidak akan berkonspirasi dengan orang lain untuk mencurangi saudara sesumpah saya dalam berjudi. Jika terjadi saya akan mati oleh pedang anggota-anggota saya sendiri.

3. Jika saya mengetahui bahwa Pemerintah mencari saudara sesumpah saya, maka saya akan segera memberitahu saudara sesumpah saya tersebut agar ia dapat melarikan diri dengan segera. Jika melanggar saya akan mati disambar lima petir.

Tiga sumpah yang di ikrarkan melalui prosesi semacam be'at ini harus dipegang teguh para anggota TRIAD. Tak heran jika di film kita menyaksikan bagaimana mereka yang tertangkap polisi atau musuh geng tetap diam seribu bahasa dan pantang "bernyanyi merdu" meski biji mata mau copot dan terancam kehilangan jari kuku lewat proses interogasi dan penyidikan yang bukan cuma brutal tapi tak berperikemanusian. Ibarat kata dalam bahasa Mongondow; ingkompongan pun mereka tetap setia dalam diam demi melindungi saudara sesumpah. Jangankan ke penjara,matipun mereka rela.

Sekarang,apakah dana TPAPD yang dipinjam Bupati MMS benar sudah dikembalikan yang bersangkutan ke Mursid? Kemudian Mursid memberikan lagi ke Cimmy? Lantas mengembara kemana lagi dana itu hingga BPKP mem-vonis terjadi kerugian negara sebesar Rp 3,8 miliar lebih?
Nah,kemana dana itu? Ke kantong Cimmy seorangkah yang saat ini masih dikejar-kejar rentenir sampai ke penjara karena masih ada utang diluar yang belum dibayar?

Ampun... Cimmy Wua, Mursyid Potabuga, Iswan Gonibala, Suhardjo Makalalag, Ikram Lasinggaru, apakah kalian anggota TRIAD yang sudah terlanjur mengikrarkan 3 sumpah menyeramkan diatas? Atau kalian memang disumpah untuk "patah kalo patah" dan merana dalam dinginya penjara? Apakah kalian memang sudah tahu dibikin senasib bak ikan-ikan teri yang dijadikan umpan di ujung kail? Atau memang "gulapung bi' dega' moikow".

Kita tunggu minggu depan sebagaimana janji Cimmy dan Mursyid.

Selasa, 14 Agustus 2012

Cuma Bupati Stow Yang Tahu; Dega’?

(Dimuat di Radar Totabuan 31 July 2012)

“Keep your friends close but keep your enemies closer”. Demikian penggalan kalimat Michael Corleone, anak Don Vito Andolini Corleone, seorang pemimpin organisasi mafia asal Itali yang menetap di New York dalam film The Godfather.

Bagi para pembaca yang sempat menonton film yang penuh intrik karya Mario Puzo ini, tentu ada banyak hal yang bisa dilihat terkait kepemimpinan, kebijakan, loyalitas, akal bulus, kesetian, pengorbanan, kekejaman, tragedi, kasih sayang dan cinta.

Baik, kita tinggalkan sejenak film legendaris yang entah kalau pernah tayang di empat Bioskop yang dulu pernah ada di tanah Mongondow, lalu mari palingkan sejenak ingatan ke soal kebijakan Bupati Salihi terkait Rolling Pejabat Eselon III-IV Pemkab Bolmong yang konon membuat banyak kalangan–utamanya di Bolmong–ternganga-nganga mulutnya. Bahkan salah seorang teman dari teman yang bapaknya adalah PNS senior di Pemkab Bolmong dan berpeluang mengisi posisi Kepala Dinas karena deret kepangkatan dan sumberdaya yang dimilikinya lebih dari sekedar layak, dengan dialeg Mongondow berkomentar: “memang totok bi’ ka’ug” usai dirinya mengetahui hasil rolling tersebut.

Terkait hasil rolling itu pula, DPRD Bolmong bahkan bereaksi dengan mengusung hak interpelasi meski gaungnya kini tak kedengaran lagi baik di surat kabar maupun dari mulut seorang Yusuf Mooduto atau Jemmy Tjia dimana keduanya dikenal sebagai legislator senior pemegang sabuk ban itang di Gedung Paloko Kinalang. Entah karena sudah mendapat "gertakan” dari Yasti Soepredjo, sebagaimana statement srikandi ini (Harian Komentar 12 Juli 2012),  DPRD Bolmong yang sebelumnya tajam tak main-main–konon bukan tajam peda sanger–kini tumpul.

Lantas apa inti pokok dibalik kebijakan rolling tersebut, hingga menimbulkan sederet kehebohan, cemohan plus tawa bermuatan tonte’ek yang kini sudah jadi rahasia berjamaah di jazirah Mongondow?
Jika saya tuliskan lagi disini, maka cuma akan mengulang apa yang sudah ada dan masih seliweran di benak orang Mongondow.

Saya sendiri tidak bermaksud menambah daftar plus-minus akibat rolling tersebut. Bagi saya Bupati punya hak prerogatif dalam menentukan siapa yang layak duduk di kabinetnya. Lagian sudah ada Baperjakat yang bukankah memang berfungsi? Sebab kalau tidak berfungsi maka tepatlah ungkapan “ka’ug” tadi.

Akan tetapi yang menarik dan cukup membuat saya merasa campur aduk adalah; kemunculan nama dari orang-orang yang konon sudah menjadi rahasia berjamaah bahwa mereka inilah para “tersangka” dan musuh Bupati Salihi pada moment Pemilukada 2010 silam. Para oknum tersangka ini pulalah yang konon kreator istilah-istilah memalukan sebagai bahan mengolok-olok Salihi yang ketika itu masih berstatus sebagai calon Bupati.

Sekarang, satu dua orang tersangka ini selain mendapat posisi nyaman,dapat bonus makin dekat dan makin disayang Bupati. Tak perlu dibeber disini siapa mereka. Sebab selain ini bulan puasa (meski ada sabda nabi: katakan benar sekalipun itu pahit), tukang jual deho di pasar pun tahu siapa para tersangka ini. Apalagi yang tempo hari pernah tereak-tereak di Mahkamah Konstitusi bersaksi dibawah sumpah terkait tuduhan ijazah palsu sang Cabub yang akhirnya jadi Bupati Bolmong terpilih.

Perlu diketahui juga bahwa satu dua orang tersangka ini, ada mulutnya yang sepertinya lincah terlatih menyemburkan kalimat; “Kiapa ngoni mangiri so? Talang bom joh”.

Adidi au’ah, pembaca mungkin cepat menebak atau berburuk sangka kalau omongan tersebut datangnya bisa saja dari Dra Ulfa Paputungan yang setelah dilengser dari jabatanya selaku Kepala Dinas Pendidikan Bolmong dan turun peringkat menjadi staf khusus bidang pendidikan pada Februari silam, kini ditunjuk Bupati Salihi supaya mau menduduki jabatan selaku Asisten III Pemkab Bolmong. Atau pembaca lain mungkin yakin menebak, kalimat sinis macam diatas tadi bisa muncrat dari mulut seorang Linda Lahamesang yang para penjual Tude’ di Pasar Serasi dan sopir-sopir pick-up bermuatan Malalugis dan Tandipang tahu siapa Linda saat Marlina Moha Siahaan berkuasa selama 2 periode dan dimana dia saat moment Pemilukada silam.

Orang mungkin berpikir, Bupati Salihi adalah contoh orang bijak yang tidak mau menganggap musuh sebagai lawan? Atau mereka yang pernah menonton The Godfather mungkin berpikir; Bupati sedang memainkan peran sebagaimana yang dilakukan Michael Corleone; Menjaga musuh agar lebih dekat daripada sahabat untuk kemudian dibasmi. Atau adakah kalimat yang santer pula kita dengar dari beberapa kader partai di Bolmong yang jika ada hajatan politik akbar digelar  (semacam penentuan calon atau semacamnya), lalu ada kesempatan coffee break seusai “perkelahian” di forum,  ada kader menyeletuk sinis ditengah kongkow-kongkow: “Bos besar bilang, biar jo dia. Sebab politisi yang kuat dan handal adalah yang mampu membunuh lawan dalam pelukan”.

Mungkin ini cuma bualan alam berpikir saya. Apa Anda percaya kalau iklim dan budaya politik di Bolmong memang setaraf kata-kata itu? Apa Anda percaya Bupati Salihi punya rencana “indah se indah” rencana Corleone terhadap musuh-musuhnya?

Pada sebuah kesempatan lalu, Bupati Salihi sambil berdiri di atas panggung pernah mengatakan bahwa usai Pemilukada 2010, ia tak lagi memiliki musuh kecuali kawan. Bahkan dendam pun tidak,meski ungkapan itu dihiasi kalimat manis bernada diplomatis tatkala sang Bupati terpilih mengatakan bahwa dirinyapun bukan seorang pelupa.

Tapi, belakangan ada satu dua teman sedamping Bupati Salihi yang mengaku telah lelah bercucur keringat saat moment Pemilukada, kini mulai dilupakan. Tragisnya lagi orang yang nyata-nyata mereka sebut sebagai musuh, justru di rangkul Pak Bupati.

Jadi apa yang terjadi dengan anda Pak Bupati sehingga rolling eselon bisa begitu kontroversial? Dan orang-orang yang katanya disekeliling Anda kini terabaikan.

Cuma Bupati stow yang tahu. Dega’?