Sabtu, 30 November 2013

Pah!! Mimpi..

Lima bulan lamanya blog ini terlantar. Ibarat kertas; usang berdebu. Ibarat bini;  lama di tinggal laki hingga meronta-ronta hasrat, mengiseng minta dibelai karena jablay.

Ada beberapa teman  bertanya:  kenapa tidak menulis lagi? Jawaban yang seringkali saya beri (ini fakta) adalah:  

"Perkakas untuk mengetik sudah tak ada. Smartphone juga lenyap. Di kampung tak ada jaringan internet. Coba kasih saya perkakas, tato yang melingkar di tubuhmu itu pasti kutulis pula"

Lalu bagaimana hingga tulisan ini bisa ada?

Bersahabat dengan para kuli tinta memang memungkinkan banyak hal menjadi lebih enteng. Saya masih mempercayai ini. Salah satu bukti,  tulisan terbaru ini berhasil di posting.

Tapi sepertinya ada masalah. Setelah  perkakas (sebut saja begitu) untuk mengetik tersedia seperti hidangan makan malam siap santap ada di hadapan, saya malah kehilangan ide, entah mau menulis apa. Jadinya, saya ibarat seorang muslim kelaparan yang di meja makan cuma tersaji babi panggang lezat siap santap.

Tapi beruntung saya adalah "muslim KTP" yang tidak begitu mempersoalkan menu makan apa saja yang boleh dan tidak boleh dibabat tersebab hukum halal haram.

Maka, mari menulis!

Setelah memutar otak beberapa saat sembari memagut filter rokok pemberian sahabat, saya memutuskan untuk memulai tulisan ini dengan mengutip penggalan semacam narasi dari pembukaan sebuah mimpi ketika tepar sepulang dari perjamuan cap tikus beberapa malam lalu di kampung.

..........................
di laut ada cinta
tapi ada air mata
kuyup kering..

Demikian sayup suara itu terdengar, seperti sebuah narasi saat mimpi sedang bermula.

Adegan selanjutnya menggambarkan suasana tepi pantai malam hari. Ada sebuah sampan teronggok di atas pasir dan suara ombak menggemuruh lalu pecah berbusa di bibir pantai.

Narasi kembali terdengar. Saya berdiri dekat sampan. Suasana kala itu gelap. Sejurus berlalu, saya menangkap bayang sesosok tubuh laki-laki yang mendekat ke sampan dimana saya berdiri lalu mendorongnya masuk laut. Ia tidak berbicara. Jangankan itu, peduli akan kehadiran saya-pun tidak.

Ombak pecah dihaluan sampan yang terus di dorong laki-laki pongah ini ke laut. Ia melompat naik kedalam sampan lalu mengayuhnya hingga jauh ke laut, kemudian lenyaplah ia di telan hitam malam.

Adegan berikutnya  adalah ketika sekonyong-konyong saya melihat beberapa bocah dan sekumpulan orang-orang berpakaian PNS (Pegawai Negeri Sipil) menari-nari sambil menyanyikan lagu Balonku Ada Lima. Mereka menari serius. Suasana lantas makin riuh ketika terdengar suara Puka Puka Hensap..Puka Puka hensap..!!  Tak berapa lama kemudian, kumpulan bocah dan PNS ini melompat-lompat tak menentu hingga satu diantara mereka mencair. Ya, mencair. Saya melihat tubuh salah seorang PNS yang tengah ber-hensap-hensap itu tiba-tiba mencair lalu menelusuri bagian terendah sesuai hukum zat cair, kemudian entah.

Beberapa saat kemudian, muncul sesosok bayang mansusia berkerudung menyuluh malam gelap tepi pantai kala itu. Sosok itu datang dari arah timur. Muncul dari balik pohon ketapang, beberapa meter dari hutan bakau terakhir. Kerudung dibuka, tangan sebelah kiri mengangkat suluh lebih tinggi. Malam jadi berpendar cahya. Kemudian aneh tatkala wajah Jacques Derrida adalah wajah yang mucul dari balik  kerudung tadi. Mulutnya lantas komat-kamit mengeja bahasa yang entah bahasa apa. Saya tidak pernah mengerti apa yang dibicarakan olehnya. Tapi karena saya sedang berada dalam mimpi, entah bagaimana memori memerintahkan dan memberi informasi bahwa sosok ini memang ada dan banyak orang mengenalnya, kecuali saya. Ini adalah kesadaran "sepihak" yang hanya lahir dalam mimpi saya ketika itu. Di dunia nyata, saya sama sekali tidak mengenal dia.

Lalu  wajah Derrida dengan mulut yang tengah komat-kamit lambat laun  berubah menjadi wajah seorang bekas menteri di rezim Soeharto. Tapi berubah lagi menjadi wajah pahlawan nasional yang kita kenal sebagai Sultan Hasanudin. Tak lama kemudian wajah ini berganti menjadi wajah seorang penjual daging yang pernah saya temui di Pasar Serasi Kotamobagu. Yang teraneh adalah ketika wajah ini berubah menjadi wajah seorang tukang tifar saguer di Desa Poopo yang ketika ia turun dan menawarkan segelas saguer, berubah lagi menjadi wajah salah seorang tetangga di kampung bernama Rahman. Ya, Rahman. Rahman Mokodompit.

Kira-kira 10 menit yang tak berarti dan tak dimengerti serta penuh omong kosong ini, adegan lantas secara cepat melompat ke suasana dimana saya (dengan begitu saja) sudah berada di depan layar bioskop yang bukan memberi gambar sebagaimana adegan-adegan di dalam film, melainkan tayangan Dunia Dalam Berita yang disiarkan stasiun TVRI. Aneh, bisik saya dalam mimpi yang sedang berlangsung, kok bisa-bisanya program berita andalan TVRI era jadul ini ditonton lewat bioskop.

Namun bukan itu pula yang membuat saya kaget. Melainkan saat menyadari, orang yang duduk di samping saya ketika menonton acara tersebut adalah  seorang tua berpakaian lengkap Pramuka yang mengaku sebagai salah seorang Nabi.  

"Perkenalkan, saya Nabi Nuh," katanya sembari memberi cubitan mata ke arah saya. Tangan kananya ia todongkan, tanda minta berkenalan. Kacu merah putih nampak tertambat rapi di lehernya.

Amboiii... (tepok jidat)  Nabi Nuh dengan seragam Pramuka??  Saat itu saya  saya baru saja menelonjorkan pantat di kursi bioskop.

Sembari menonton Dunia Dalam Berita di layar bioskop, saya sesekali mencuri pandang ke sosok yang mengaku nabi Nuh  ini. Ia tak memelihara jenggot rupanya. Potongan rambutnya rapi, tidak panjang seperti yang biasa digambarkan di buku dan komik-komik di perpustakaan sekolah.

Masih agak kaget dengan sosok yang mengaku Nabi Nuh, adegan lantas berganti ke suasana pematang sawah dimana petani yang sedang membajak sawah tidak lagi menggunakan bantuan kerbau, sapi, atau tracktor melainkan bison-bison Amerika yang alangkah anehnya sebab memakai sepatu merek Simbada.

Hanya semenit menyaksikan itu, adegan selanjutnya membawa saya berada di tengah-tengah orang yang tengah bernyanyi lagu Lady Gaga di kolong-kolong jembatan. Saat melihat ke arah barat dimana matahari hendak tenggelam, saya melihat sekonyong-konyong seluruh gedung terbalik, jembatan juga terbalik, tetapi mobil-mobil yang lalu lalang tidak jatuh. Kereta api yang tiba-tiba melaju entah datang dari arah mana, sontak berubah jadi Anaconda yang mulutnya melahap kurungan Ayam Sabung.

Azan subuh terdengar menggelegar dari corong Toa yang menggema tak peduli. Bersahut-sahutan dari kampung satu ke kampung lainya. Saya tahu itu bukan lolongan serigala saat purnama tiba sebagaimana yang sempat saya tonton dalam film-film Amerika. Rasa haus seperti dehidrasi yang meronta ditenggorokan membuat saya terbangun dari tidur. Sembari mencari tenaga untuk bangkit, saya meraba-raba sekitar memastikan bahwa saya tidak akan menyenggol perabotan atau apapun yang bisa menimbulkan bunyi termasuk barang-barang yang bisa jatuh lalu pecah seperti porselin kesayangan Ibu yang pernah berantakan tempo hari.

Usai memberi penyaluran pada rasa haus yang meronta, saya sadar baru terbangun dari mimpi. Layaknya sebuah mimpi, tak selamanya memiliki jalan cerita. Mimpi memang acak, setting-nya juga tak jelas. Meski memiliki kecepatan memori yang naujibillah.  

Pah! Mimpi.....