Lima bulan lamanya blog ini terlantar. Ibarat kertas; usang berdebu.
Ibarat bini; lama di tinggal laki hingga meronta-ronta hasrat,
mengiseng minta dibelai karena jablay.
Ada beberapa teman bertanya: kenapa tidak menulis lagi? Jawaban yang seringkali saya beri (ini fakta) adalah:
"Perkakas
untuk mengetik sudah tak ada. Smartphone juga lenyap. Di kampung tak
ada jaringan internet. Coba kasih saya perkakas, tato yang melingkar di
tubuhmu itu pasti kutulis pula"
Lalu bagaimana hingga tulisan ini bisa ada?
Bersahabat
dengan para kuli tinta memang memungkinkan banyak hal menjadi lebih
enteng. Saya masih mempercayai ini. Salah satu bukti, tulisan terbaru
ini berhasil di posting.
Tapi sepertinya ada masalah. Setelah perkakas
(sebut saja begitu) untuk mengetik tersedia seperti hidangan makan
malam siap santap ada di hadapan, saya malah kehilangan ide, entah mau
menulis apa. Jadinya, saya ibarat seorang muslim kelaparan yang di meja
makan cuma tersaji babi panggang lezat siap santap.
Tapi
beruntung saya adalah "muslim KTP" yang tidak begitu mempersoalkan menu
makan apa saja yang boleh dan tidak boleh dibabat tersebab hukum halal
haram.
Maka, mari menulis!
Setelah
memutar otak beberapa saat sembari memagut filter rokok pemberian
sahabat, saya memutuskan untuk memulai tulisan ini dengan mengutip
penggalan semacam narasi dari pembukaan sebuah mimpi ketika tepar
sepulang dari perjamuan cap tikus beberapa malam lalu di kampung.
..........................
di laut ada cinta
tapi ada air mata
kuyup kering..
Demikian sayup suara itu terdengar, seperti sebuah narasi saat mimpi sedang bermula.
Adegan
selanjutnya menggambarkan suasana tepi pantai malam hari. Ada sebuah
sampan teronggok di atas pasir dan suara ombak menggemuruh lalu pecah
berbusa di bibir pantai.
Narasi kembali terdengar. Saya
berdiri dekat sampan. Suasana kala itu gelap. Sejurus berlalu, saya
menangkap bayang sesosok tubuh laki-laki yang mendekat ke sampan dimana
saya berdiri lalu mendorongnya masuk laut. Ia tidak berbicara. Jangankan
itu, peduli akan kehadiran saya-pun tidak.
Ombak pecah
dihaluan sampan yang terus di dorong laki-laki pongah ini ke laut. Ia
melompat naik kedalam sampan lalu mengayuhnya hingga jauh ke laut,
kemudian lenyaplah ia di telan hitam malam.
Adegan
berikutnya adalah ketika sekonyong-konyong saya melihat beberapa bocah
dan sekumpulan orang-orang berpakaian PNS (Pegawai Negeri Sipil)
menari-nari sambil menyanyikan lagu Balonku Ada Lima. Mereka menari serius. Suasana lantas makin riuh ketika terdengar suara Puka Puka Hensap..Puka Puka hensap..!!
Tak berapa lama kemudian, kumpulan bocah dan PNS ini melompat-lompat
tak menentu hingga satu diantara mereka mencair. Ya, mencair. Saya
melihat tubuh salah seorang PNS yang tengah ber-hensap-hensap itu tiba-tiba mencair lalu menelusuri bagian terendah sesuai hukum zat cair, kemudian entah.
Beberapa
saat kemudian, muncul sesosok bayang mansusia berkerudung menyuluh
malam gelap tepi pantai kala itu. Sosok itu datang dari arah timur.
Muncul dari balik pohon ketapang, beberapa meter dari hutan bakau
terakhir. Kerudung dibuka, tangan sebelah kiri mengangkat suluh lebih
tinggi. Malam jadi berpendar cahya. Kemudian aneh tatkala wajah Jacques
Derrida adalah wajah yang mucul dari balik kerudung tadi. Mulutnya
lantas komat-kamit mengeja bahasa yang entah bahasa apa. Saya tidak
pernah mengerti apa yang dibicarakan olehnya. Tapi karena saya sedang
berada dalam mimpi, entah bagaimana memori memerintahkan dan memberi
informasi bahwa sosok ini memang ada dan banyak orang mengenalnya,
kecuali saya. Ini adalah kesadaran "sepihak" yang hanya lahir dalam
mimpi saya ketika itu. Di dunia nyata, saya sama sekali tidak mengenal
dia.
Lalu wajah Derrida dengan mulut yang tengah
komat-kamit lambat laun berubah menjadi wajah seorang bekas menteri di
rezim Soeharto. Tapi berubah lagi menjadi wajah pahlawan nasional yang
kita kenal sebagai Sultan Hasanudin. Tak lama kemudian wajah ini
berganti menjadi wajah seorang penjual daging yang pernah saya temui di
Pasar Serasi Kotamobagu. Yang teraneh adalah ketika wajah ini berubah
menjadi wajah seorang tukang tifar saguer di Desa Poopo yang ketika ia turun dan menawarkan segelas saguer, berubah lagi menjadi wajah salah seorang tetangga di kampung bernama Rahman. Ya, Rahman. Rahman Mokodompit.
Kira-kira
10 menit yang tak berarti dan tak dimengerti serta penuh omong kosong
ini, adegan lantas secara cepat melompat ke suasana dimana saya (dengan
begitu saja) sudah berada di depan layar bioskop yang bukan memberi
gambar sebagaimana adegan-adegan di dalam film, melainkan tayangan Dunia Dalam Berita yang disiarkan stasiun TVRI. Aneh, bisik saya dalam mimpi yang sedang berlangsung, kok bisa-bisanya program berita andalan TVRI era jadul ini ditonton lewat bioskop.
Namun
bukan itu pula yang membuat saya kaget. Melainkan saat menyadari, orang
yang duduk di samping saya ketika menonton acara tersebut adalah
seorang tua berpakaian lengkap Pramuka yang mengaku sebagai salah
seorang Nabi.
"Perkenalkan, saya Nabi
Nuh," katanya sembari memberi cubitan mata ke arah saya. Tangan kananya
ia todongkan, tanda minta berkenalan. Kacu merah putih nampak tertambat
rapi di lehernya.
Amboiii... (tepok jidat) Nabi Nuh dengan seragam
Pramuka?? Saat itu saya saya baru saja menelonjorkan pantat di kursi bioskop.
Sembari
menonton Dunia Dalam Berita di layar bioskop, saya sesekali mencuri
pandang ke sosok yang mengaku nabi Nuh ini. Ia tak memelihara jenggot
rupanya. Potongan rambutnya rapi, tidak panjang seperti yang biasa
digambarkan di buku dan komik-komik di perpustakaan sekolah.
Masih agak kaget dengan
sosok yang mengaku Nabi Nuh, adegan lantas berganti ke suasana pematang
sawah dimana petani yang sedang membajak sawah tidak lagi menggunakan
bantuan kerbau, sapi, atau tracktor melainkan bison-bison Amerika yang alangkah anehnya sebab memakai sepatu merek Simbada.
Hanya
semenit menyaksikan itu, adegan selanjutnya membawa saya berada di
tengah-tengah orang yang tengah bernyanyi lagu Lady Gaga di
kolong-kolong jembatan. Saat melihat ke arah barat dimana matahari
hendak tenggelam, saya melihat sekonyong-konyong seluruh gedung
terbalik, jembatan juga terbalik, tetapi mobil-mobil yang lalu lalang
tidak jatuh. Kereta api yang tiba-tiba melaju entah datang dari arah
mana, sontak berubah jadi Anaconda yang mulutnya melahap kurungan Ayam Sabung.
Azan subuh terdengar menggelegar dari corong Toa yang
menggema tak peduli. Bersahut-sahutan dari kampung satu ke kampung
lainya. Saya tahu itu bukan lolongan serigala saat purnama tiba
sebagaimana yang sempat saya tonton dalam film-film Amerika. Rasa haus
seperti dehidrasi yang meronta ditenggorokan membuat saya terbangun dari
tidur. Sembari mencari tenaga untuk bangkit, saya meraba-raba sekitar
memastikan bahwa saya tidak akan menyenggol perabotan atau apapun yang
bisa menimbulkan bunyi termasuk barang-barang yang bisa jatuh lalu pecah
seperti porselin kesayangan Ibu yang pernah berantakan tempo hari.
Usai memberi penyaluran pada rasa haus yang meronta, saya
sadar baru terbangun dari mimpi. Layaknya sebuah mimpi, tak selamanya
memiliki jalan cerita. Mimpi memang acak, setting-nya juga tak jelas.
Meski memiliki kecepatan memori yang naujibillah.
Pah! Mimpi.....