Senin, 26 Januari 2015

Mengkritik Itu Tidak Kejam, Tetapi Menjonru Itu Lebih Kejam Dari...

Foto olahan : Bupati Boltimg  (Kiri), Jonru Ginting (Kanan)
Boltim adalah wilayah yang sebenarnya mengagumkan untuk dikunjungi. Betapa unik, lucu, menggemaskan, lain daripada yang lain, hingga tak jarang diantara kita yang pernah datang, lupa ganti baju dan gagal pulang sesuai jadwal.

Negeri di ujung timur Mongondow ini tak hanya memberi pelajaran hidup yang unik sehingga menjadi ilmu bagi siapa saja yang pernah merangkak di tanjakan Atoga, tergelincir di Inde Indeyaw, mengais bebatuan di Panang, kehabisan korek di Pulau Nanas, ketemu Aya' di Kotabunan, bersilahturasa di Rumah Kopi Jabrik, mendengarkan Mufidz berkisah tentang sepenggal hidupnya, main bola bersama bocah-bocah berbau matahari di pantai pasir besi desa Paret, duduk ngobrol sembari menengak bir bersama kawan PNS yang batal pulang Kotamobagu, menghabiskan malam di Mabes Parkir Timur BNI,  menyaksikan kebebasan Ambing dijalanan Togid, dan yang tak kalah mengagumkan adalah ketika sempat menikmati pementasan puisi di pesta pernikahan warga Tombolikat, dan pementasan teater Penyaliban Yesus Kristus di desa Guaan.

Kedengarannya subyektif. Ini memang merupakan pengalaman pribadi. Tapi bukankah setiap orang punya penilaian sendiri-sendiri tentang apa yang pernah membuatnya menemukan pelajaran penting soal bagaimana menikmati hidup lebih merdeka meski dengan cara berbeda dan tidak gampang.

Ketika wilayah ini akhirnya pisah dengan kabupaten induknya, Boltim ibarat bocah yang tidak kehilangan keceriaannya, termasuk soal kesenangan dalam bermain layangan dan kuda-kudaan yang terbuat dari pelepah pohon kelapa.

Bahkan ketika tragedi “Minamata” tinggal cerita purba yang terkubur dan memfosil di dasar teluk Buyat, Boltim move on meninggalkan kengerian itu sembari tetap menemukan keceriaan dan kebebasannya sendiri untuk tampil sebagai kabupaten baru yang harus maju.

Segala apa yang kini menggeliat, berkembang, mekar, dan gemerlap di Boltim, pada akhirnya mampu membentuk kesadaran rakyatnya yang tidak pernah lupa bahwa; betapa dahulu negeri ini jauh panggang dari pembangunan, dianggap sebelah mata, dan jauh merangkak di belakang tatkala masih berada dibawah naungan atap kabupaten induknya; Bolaang Mongondow.

Masa itu akhirnya datang juga. Suatu masa dimana Boltim ibarat bocah kurus yang merangsek bersama gergaji, palu dan paku di tangan, memasuki belantara bernama kesempatan dan dimensi pembangunan berbagai bidang.

Di masa yang penuh semangat itulah, Boltim bergerak dan tumbuh berkembang dibawah komando dua putranya dari Togid dan Modayag.

Mugkin kita belum dapat mengukur pengorbanan setiap rakyatnya yang terus berjuang menjadi orang Boltim yang punya isi kepala. Perjuangan demi cinta dan gumpalan-gumpalan kasih sayang demi tanah kelahirannya seindah Danau Bunong. Tentang berapa ekor sapi dan luas kintal yang telah terjual, berapa liter peluh yang menetes di setiap pori, soal nafas yang hampir putus di Pondot, atau tentang tangis yang terjungkal di Lanut.

Lalu kepada pemimpin yang telah diberi mandat oleh rakyatnya, pertanyaan apa yang perlu kita lontarkan buat mereka? Apakah soal telah berapa buah kuku yang tercabut dari ujung jari? Atau tentang danau Moo’at yang dibiarkan kesepian dan terlantar di setiap malam-malam yang tiba. 

Ataukah kita juga harus bertanya; kenapa tak kalian beri 1 perahu buat kami, untuk dipakai sekedar memancing di tengah danau, agar Moo;at kita riang, lalu orang-orang yang kedinginan mampir ke pondok-pondok yang kalian bangun dari uang pajak yang kami beri.

Tetapi ada suara menggema diantara bunyi lonceng Gereja di Dodap, dan azan subuh yang melengking dari sebuah surau di Nuangan.  Suara-suara yang mengiang hingga di pucuk-pucuk cengkih perbukitan Buyandi. Suara yang bukanlah janji seperti yang pernah teringkari, bukan pula ucapan yang tidak bisa didustai, melainkan suara dari semangat egaliter yang mampu memerdekakan orang dari kelas sosial paling atas bisa berada di dapur rumah kelas sosial paling bawah, dan orang di kelas sosial paling bawah, bisa ongkang-ongkang kaki di ruang tamu kelas sosial teratas.

Sebuah suara yang meniadakan sikap elitis demi kerakyatan dan kesetaraan; duduk sama rendah berdiri sama tinggi; senasib sepenanggungan; tak ada Bua’ tak ada Ki Abo, apalagi Ki Tuang. Yang ada adalah ; Kita tumpala intau, tongo rey, tongo tareangkum, tumpalla boga’. Pendek kata, semua sama dan sederajat.

Semangat egalitarianisme seperti inilah yang berhasil membawa Boltim tumbuh berkembang dari bocah kurus keremus, menjadi pemuda sehat kekar nan gagah tak dipandang sebelah mata. Bahkan jika diibaratkan sebagai seorang perempuan, Boltim dewasa ini bukanlah sekedar gadis berbaju merah seperti yang didendangkan Wali. Ia adalah gadis yang sudah menjadi incaran para pangeran di negeri seberang, dan menjadi rebutan pemuda-pemuda nan gagah dari berbagai pelosok negeri.

Namun semangat egalitarianisme yang ditiupkan sebagai roh pembangunan dan watak kepemimpinan yang tak hanya tersembur dari ludah seorang Sehan Lanjarmelainkan dipraktekkan lewat lagak laku dan sikapbukan serta merta disambut mulus dan puitik disetiap benak dan isi kepala rakyat Boltim yang telah mendapat peluang kedekatan pergaulan tanpa batas dengan pemimpinnya sendiri.

Olehnya kita menyaksikan bagaimana Bupati diamuk masa ketika iring-iringan mobil DB 1 N yang ditumpanginya mendapat penghadangan yang disertai pelemparan batu, sepulang dari upacara HUT Kemerdekaan RI di Kotabunan.

Pada tahun 2012, di desa Paret, jelang tengah malam, ratusan warga yang entah dikomando oleh siapa, merangsek menuju lokasi perusahaan pasir besi. Massa membawa angkara-murka ke lokasi perusahaan. Berbagai fasilitas dan utility perusahaan dibumi hanguskan hingga rata dengan tanah. Tak terkecuali mess karyawan yang tinggal puing-puing berserakan.

Sejenak kita bertanya, bagaimana mungkin seorang Bupati yang bisa bebas duduk berjam-jam dengan rakyatnya, lalu larut dalam bergelas-gelas kopi di segala tempat dengan topik cerita yang sebagian berisi dan sebagian lagi dibumbui topik yang mulai melantur kemana-mana, bisa dihadang rakyatnya sendiri lalu dilempari batu.

Bagaimana pula amuk massa yang ikut didukung mamak-mamak bisa begitu cepat tersulut oleh api kemarahan dan secepat itu pula membumi-hanguskan perusahaan pasir besi PT MPU hingga tinggal puing berserakan.

Kras memang hidop di Boltim! Demikian sahabat biasa berceloteh tatkala botol bir mulai kandas.

Tetapi keindahan danau Bunong pada suatu purnama yang pernah ada, betapa manis mempertemukan para pecinta yang dimabuk kepayang. Orang tak pernah mengira, di malam yang berbahagia itu, salah seorang dari mereka, beberapa detik lagi harus melesat melewati kabut untuk kembali ke pengasingan. Ke suatu sudut ruang yang tak ada satu setanpun pernah membayangkan perjalanan pulang itu.

Ah, di negeri yang dipimpin Bupati dengan gaya blusukan dan watak khas egalitarian, capres Jokowi pada Pilpres lalu justru keok di sini. Seolah-olah kemenangan Prabowo terhadap Jokowi di Boltim membuat kita (para pendukung Jokowi yang memilihnya karena khawatir Prabowo bakal membangkitkan rezim militerisme) agak sewenang-wenang   berpendapat  bahwa ada watak facisme dan feodalisme yang sebenarnya hidup dan masih tertancap kokoh dalam benak orang Boltim. Watak yang bakal menjadi ancaman terhadap kehidupan yang egaliter di wilayah ini.

Tetapi Bupati tidak pernah merubah gaya dan watak kepemimpinannya yang egaliter. Pada suatu kesempatan di sebuah warung kopi yang dimulai sejak pukul 9 malam hingga setengah 4 subuh, ia pernah berkata : "Air laut tetaplah air laut yang asin, meski hujan turun berkali-kali dan air sungai datang membawa segala kotoran beserta racun dari hilir".

Lalu apakah Bupati harus luput dari kritikan? Atau kita tak boleh mencibir dan mengolok-oloknya jika yang ia lakukanterkait kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyakadalah sebuah kekeliruan. 

Sungguh adalah sesuatu yang halal dan mulia mengkritik, memprotes, bahkan (bila perlu) mengolok-olok pemimpin yang hanya membuat rakyatnya malas gosok gigi dan membawa mereka menuju kesengsaraan.

Tetapi hal yang sesungguhnya kurang pantas dilakukan, apalagi hanya membuat kita lupa cuci muka setelah beberapa kali menguap, adalah menjonru-nya. Sebab seperti kata jamaah fesbukiyah; Menjonru lebih kejam dari pembunuhan.

Kamis, 22 Januari 2015

Hasrat Threesome dan Double Penetration di Mongondow


Adab di Mongondow mengajarkan pada kita, mengisi dua buah salak ke dalam mulut, menyedot dua batang es lilin, atau mengemut dua permen lollipop secara bersamaan di jaman ketika saya masih kanak dulu, bukanlah sebuah kelaziman, apalagi terpuji. Anak yang teledor melakukan itu lalu kedapatan, seketika itu pula langsung ditegur orang tua kemudian diberitahu bahwa tabiat seperti itu tidak baik.

Bagi yang bandel dan tak mengindahkan, selain mendapat julukan si rakus, akan dapat hadiah berupa cubitan pedih menyakitkan di hadapan teman-teman sebaya yang ikut menyoraki dengan olokan.

Jika diantara kami ada yang lolos dari pantauan--meski kami sudah tahu itu tak baik--maka sesampainya di rumah, kita yang melihat itu akan menjadi bahan aduan kepada masing-masing orang tua sebagai cerita jelang tidur, bahwa si Fulan tadi begini dan si Fulin tadi begitu.

Ketika memasuki masa puber yang ditandai tumbuhnya jembut halus dibalik selangkangan putih abu-abu, nyaris tak pernah saya melihat kawan sebaya atau siapapun di Mongondow, memasukkan dua jarinya secara bersamaan ke dalam lubang hidung untuk kepentingan mengupil. Tak pernah pula saya melihat ada orang memainkan satu jari di lubang telinga dan jari yang satunya lagi di lubang hidung. Tak terkecuali kepada seorang sahabat di sekolah yang seringkali mengupil. Saya bahkan pernah beberapa kali memperhatikan secara seksama dan dalam tempo yang lama, namun tetap saja kedua jari tangannya yang gemuk-gemuk itu tak dimasukkan secara bersamaan ke dalam lubang hidungnya yang kebetulan agak lowong. Tidak pula jari yang satunya ke lubang telinga dan satunya lagi ke dalam mulut.

Tapi di umur 17 tahun, di jaman ketika pita video Betamax dilengserkan Laser Disc, maka  untuk pertama kalinya saya—lebih tepatnya kami teman-teman sebaya—melihat di layar kaca soal apa yang kemudian disebut  Double Penetration (DP)  yang diperankan Jenna Jamesoon. Apalagi ketika giliran Laser Disc lengser oleh Compact Disc (CD), maka untuk pertama kalinya pula kami para fans Asia Carrera—dengan perasaan yang penuh iri dan dada agak hancur—menyaksikan sang idola beraksi untuk adegan DP pertama kalinya.

Setelah jaman DVD hadir di era digital bersama keleluasaan akses internet, maka tayangan xxx hardcore berikut tak hanya double penetration atau threesome, melainkan etc. Termasuk soal mengemut lollipop secara bersamaan atau menggirangkan diri dengan dua kesenangan secara bersamaan. Ibarat kata; sekali dayung dua sorga ternikmati.

Perkara apa yang kami lihat dalam tayangan yang menguras lendir itu, saya sama sekali tidak tertarik untuk menyeretnya ke atas timbangan baik - buruk. Tapi saat di depan layar kaca itu, ingatan justru sekonyong-konyong terlempar ke masa silam, ke jaman lollipop, jaman sahabat ngupil dan pada suatu masa yang membuat kami hafal betul kalimat Nenek dalam bahasa Mongondow: Aka ko tanga-tangal yo dika doman ko tama-tamad. Sehingga memori di kepala saya kembali segar mengingat cerita seekor anjing dengan mulut menggigit daging menyeberangi sungai tapi kemudian jatuh dan kehilangan dagingnya setelah ia menangkap ada bayangan anjing lain di sungai dengan mulut tersumpal daging. Sang anjing melompat hendak merampas daging itu (padahal itu bayangannya sendiri) hingga membuat ia basah kuyup dan kehilangan daging yang sudah tersumpal dimulutnya.

Baik! Kita tinggalkan busa-busa itu dan luangkan sedikit waktu bergosip ria terkait apa yang konon sedang menjadi buah bibir di Bolaang Mongondow Timur (Boltim) belakangan ini

***

Tersebutlah ada dua orang berstatus CPNS yang sebentar lagi akan mengikuti Prajab (Februari-April 2015). Mereka dinyatakan lulus setelah mengikuti seleksi penerimaan anggota Panwaslu Boltim. Kedua CPNS ini bernama Ramadan Mamange dan Ciendy. Mereka masuk dalam 6 besar.

Masih menurut gosip (konon sahih) dalam menetapkan pendaftar yang lulus di 6 besar menuju ke 3 besar, Banwaslu menyaratkan agar para pendaftar (lulus di 6 besar) yang berstatus PNS (atau CPNS yang telah dinyatakan lulus perekrutan PNS),  harus mendapat izin dari Pemkab Boltim.

Tapi apa yang terjadi? Konon masih kata gosip (yang sahih), Kepala BKD Pemkab Boltim, Darwis Lasabuda, tidak memberi izin. Alasannya adalah:  Pertama, mereka berstatus CPNS yang sebentar lagi (Februari – April) harus mengikuti Pra jabatan. Dan kedua, meminta Bawaslu untuk mempertimbangkan kembali keduanya dalam seleksi Panwaslu Boltim. Darwis juga berkirim surat kepada Bawaslu tertanggal 12 Januari 2015, yang pada pokoknya meminta Bawaslu untuk mempertimbangkan peserta yang lulus seleksi Panwaslu Boltim.

Namun apa yang terjadi selanjutnya setelah surat itu dikirimkan pihak BKD Boltim? Seperti tak mengindahkan surat tersebut, konon pada tanggal 14 Januari, salah seorang dari peserta yang berstatus CPNS itu tetap dinyatakan lulus seleksi Panwaslu Boltim bahkan di rengking teratas. Dialah Ramadan Mamange, seorang yang digambarkan sebagai bocah lugu yang punya isi kepala.

Masih menurut penuturan sahabat, apa yang beredar sebagai gosip terhangat saat ini di Boltim adalah, Ramadan yang digambarkan sebagai sosok lugu seolah tanpa cela dengan kapasitas isi kepala encer, disebut telah dijegal.  Apa yang diperolehnya dengan susah payah, murni, penuh kompetensi sehingga layak dihormati, dan konon jauh panggang dari praktek beking-membeking, telah dirampok dari genggamannya.

Kronik Mongondow bahkan dengan pedas mengandaikan “penjegalan” itu ibarat merampas dot dari mulut bayi. Dan tak tanggung-tanggung, pelaku penjegalan tersebut langsung ditelunjukkan ke Bupati Boltim.

Pembaca, benarkah itu? Betulkah Ramadan dijegal berdasarkan surat yang dikirim Kepala BKD Boltim ke Bawaslu yang konon bertanggal 12 Januari 2015?? Jika penjegalan itu benar dilakukan maka kenapa tanggal 14 Januari 2015, Ramadan tetap dinyatakan lolos seleksi bahkan menempati posisi teratas?

Maka di mana penjegalan terjadi? Di mana bentuk perampasan itu? Apa mungkin gosip dan “aduan” yang masuk ke nomor kontak saya tertanggal kemarin itu palsu atau kadaluarsa?? Atau apa yang kini mendera sebagai gosip di ujung timur Mongondow memang cuma bau kentut yang terlambat dihembuskan. Ataukah ada gelagat lain dengan maksud terselubung yang tak kalah busuknya?

Kita mungkin boleh bertanya kepada Ramadan, kenapa setelah baru saja berhasil meraih lalampa di tangan kanan, masih berhasrat pula mengenggam lollipop di tangan kiri? Mungkin betul, tak ada aturan yang melarang itu sehingga prinsip; sekali goyang dua sorga ternikmati, adalah hasrat pencapaian tujuan yang layak dihormati sehingga—mungkin Anda berpikir—tancap gas saja terus. Tapi bukankah Anda baru saja mengenggam dan mendapatkan apa yang selama ini begitu didambakan? Bisa jadi itu adalah manifestasi atas usuha, sujud, dan doa panjang tengah malam.

Di depan masih panjang jalan membentang menanti Anda. Dalam balapan tak selamanya Michael Schumacher menginjak pedal gas dan jangan terlalu pagi menekan tombol NOS.  Lompatan kuda di papan catur juga bukan berarti dapat memakan dua menteri dalam waktu yang bersamaan. Ingat, permainan catur, selain penuh godaan, setiap langkah yang sda juga mengundang jebakan.

Ketika seseorang memasukkan 2 berkas lamaran sekaligus dalam dua perusahaan berbeda (ambil contoh Honda dan Hyundai) kemudian diterima lalu si pelamar segera membungkuk membubuhkan tanda-tangan di atas kontrak tanda bersetuju, maka itu sama artinya bahwa seseorang tersebut siap di-double penetration atau siap di-threesome. Memang tak masalah jika seseorang itu penyuka DP atau di TS.

Tapi pada akhirnya hidup memang harus memilih. Para pendatang baru di dunia Vivid biasanya mengawali karir missionary terlebih dahulu dan lambat laun naik jenjang sampai ke level hardcore, fetish, bondage, bahkan sodomasochist.


“Kalo so klas kapala skolah, eselon I, II atau III, dorang so biasa rangkap memang. So dorang pe mainan bahkan hobi tu DP deng TS,”

Demikian untaian pesan sahabat dari Boltim ketika kami saling berkirim pesan kemarin. Begitu kocak penuh olok-olok sehingga memantik hasrat hingga tulisan ini hadir dihadapan pembaca.

Maka, kepada Ramadan yang lulus seleksi Panwaslu Boltim karena kapasitas isi kepalanya, dan yang sudah pula lulus seleksi CPNS (sebentar lagi mengikuti Prajab) karena kemampuan otaknya, pilihan ada di tanganmu. Mau di-'Missionary', di-'Double Penetration', atau di-'Threesome'.

Selamat bekerja Ramadan. Be a profesional guy... :)



Minggu, 18 Januari 2015

Gobin


Namanya Gobin. Jelas bukan nama yang lazim bagi orang Mongondow sebab umumnya orang tua di Mongondow pada jaman dulu sih  memberi nama pada anak-anak mereka sebagai; Harlan, Subaeda, Jainta, Obay, Uyo’, Nungko’, Santima, Sahar, atau Dolu’ong.

Tapi jaman memang mengalami peberubahan. Dan orang Mongondow jelas tak luput dari arus perubahan itu termasuk soal pemberian nama anak.  Maka tak perlu heran jika nama seperti Jemi, Siska, Cintia, Gerri, atau yang paling moderat sebagai Gunawan, kini melekat sebagai nama anak-anak Mongondow.

Mungkin kita memang sepakat bahwa saat ini Mongondow sudah berada di jaman modern, di era Millenium. Bukan lagi di jaman Paloko-Kinalang, Bogani atau di jaman ketika Lengkebong dan Lonua’ masih hidup. Siapa pula orang tua Mongondow yang kini hidup di jaman Samsung dan Apple mau memberi nama anaknya: Jainta, Santimah, Nungko’, Dolu’ong, atau tarulah sedikit lebih moderat macam Mahadi. 

Mungkin pernah kita berpikir, apakah ini suatu pertanda bahwa akar budaya Mongondow telah terkikis atau bahkan sudah tercerabut dari tanah leluhurnya? Apa yang menyebabkan itu? Akibat penetrasi budaya luarkah? Atau?? Mungkin ada beberapa yang enggan mengiyakan. Ada pula yang sepakat membenarkan. Sebagian acuh tak acuh. Dan sebagian lagi mungkin khawatir.

Soal penamaan ini, sebenarnya ada yang menarik dan terutama perlu disadari dan diketahui orang Mongondow yang keras kepala membantah bahwa, perkara penamaan, orang Mongondow tidak terpengaruh sama sekali dengan adat budaya luar. Apalagi menconteknya.

Nah, apa benar begitu? Mari kita buka:

Rupanya orang Mongondow selain sudah menghilangkan nama-nama berbau Mongondow untuk disematkan sebagai nama kepada anak keturunannya, ternyata lebih rela mencontek nama-nama yang lazim kita jumpai pada orang-orang di Timur Tengah. Contohnya ; Mustafa, Yusuf, Sulaiman, Abdulah bin Abdul Aziz,  dan yang paling banter adalah Muhamad.

Maka jadilah nama anak Mongondow sebagai Mustafa Gerri, Yusuf Nungko’, Muhamad Gunawan,  atau Sulaiman Sahar untuk anak laki-laki. Sedangkan untuk perempuan biasanya didahului dengan nama Siti, Zulaeha, atau Aisyah. Sehingga jadilah nama itu sebagai Siti Sintia, Zulaeha Siska, Aisyah Cintia, dan sebagainya.

Sampai disini ada yang membantah? Lalu, entah dimana letak pertautan adat budaya antara Mongondow dengan Timur Tengah? Sehingga pencampuran nama itu bisa terjadi meski tidak berlaku sebaliknya bagi orang di Timur Tengah.

Tak percaya? Mari kita cek apakah ada orang Kuwait atau Afganistan di gurun pasir sana menamakan anak mereka Nungko’, Uyo’, Lengkebong, Lonua’, Santima? Dolu’ong, Harlan, atau Sahar? Atau coba cek keturunan Kuwait dan Afganistan yang tali pusarnya sudah di tanam di sini kemudian kawin beranak-pinak dengan orang Mongondow, adakah mereka memberi nama keturunannya seperti deretan nama-nama berbau Mongondow yang barusan disebut itu?

Haha, sebelum lebih jauh dan akan banyak kuping panas kemudian menuduh kisah ini rasis,  mari kita  tinggalkan perkara penamaan ini sembari mengingat sebuah pepatah yang mengatakan; Apalah arti sebuah nama.

Maka mari kita kembali pada Gobin. Ya, Gobin. Anak Mongondow yang kedua orang tua sebelah-menyebelahnya adalah asli suku Mongondow. Kakek-Neneknya juga begitu. Pendek kata Gobin yang adalah 100 persen Mongondow alias Madirutu Mongondow. Asli tanpa campuran.

Lalu ada apa sebenarnya dengan Gobin sehingga ia seolah-olah penting dikisahkan disini?

Sebenarnya semua bermula dari ketelodoran kami selaku anak Mongondow yang lalai dan sembrono menjaga bahasa Ibu.

Mari kita mulai kisah ini..

Ketika itu kami 4 orang anak Mongondow yang bertolak dari Bandara Sam Ratulangi Manado tiba di Jakarta pada bulan dan tahun yang tidak perlu diceritakan disini. Kami tiba di pintu kedatangan nomor sekian di Bandara Soekarno Hatta. Sebuah mobil sudah lama terparkir di luar menunggu kami tiba lalu cepat melesat hingga sampailah kami di sebuah hunian di Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat.

Sebagai orang yang baru tiba dengan pakaian yang masih bau AC pesawat bercampur parfum mobil yang membawa kami kesini, tentulah ritual yang dilakukan tak jauh panggang dari kamar mandi, beres-beres barang, dan berselonjor di kasur, sofa, atau di karpet setelah mencomot bantal empuk terlebih dahulu. Soal makan tak perlu ditanya.

Babak selanjutnya—setelah beberapa babak yang tak perlu diumbar disini—kami sudah berada di sebuah tempat hiburan malam di Jalan Hayam Wuruk.

Kami kini berenam di sebuah ruangan yang privasinya terjaga. Beberapa jam kemudian 4 orang perempuan dan 1 lelaki masuk. Mereka sengaja dipanggil kemari oleh 2 orang kawan kami di Jakarta selaku tuan rumah yang menerima tamu dari Manado. (sebetulnya kami rekan bisnis hehe).

Malam berjalan dengan suasana yang begitu cabul dan mabuk. Kegembiraan yang kelewat batas inilah yang membuat kami lalai dan sembrono. Selaku anak Mongondow yang memiliki bahasa sendiri, merasa kami malam itu seperti 4 orang manusia planet jaman purbakala yang terlempar di tengah-tengah dosa modernitas yang hedonis di Ibukota.

Apa yang terjadi selanjutnya, adalah keributan berbalut ketegangan dan babak-babak yang sekali lagi tak perlu diumbar disini, dimana kami harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Maka diboyonglah kami malam itu ke sebuah kantor polisi berlevel sektor. Soal di wilayah mana polsek itu berada, tak perlu diceritakan disini.

Tapi ada kebingungan yang betapa membuat kami seperti orang-orang tolol dan bukan ahli dibidangnya. Kami juga merasa rendah terhadap 2 anak Jakarta selaku rekanan kami yang ketika itu ikut meringkuk di ruang SPK dan terus diinterogasi hingga yang ada di dalam batok kepala kami hanyalah jeruji. Dan itu terjadi sekonyong-konyong diakibatkan oleh kedunguan kami sebagai rekanan yang ternyata amatir.

“Tak usah saling menyalahkan. Yang jelas kalian adalah orang-orang tolol”

Demikian dua rekanan kami anak Jakarta berkali-kali menamparkan itu setiap ada jeda interogasi. Selaku rekan bisnis dan anak Mongondow yang hendak menunjukkan profesionalitas dalam bidang yang sebenarnya sudah kami geluti beberapa tahun belakangan, kami benar-benar dibuat malu dan nampak dungu. Terlebih lagi kami yang memutar keras isi kepala dan menganalisa apa sebenarnya yang menjadi penyebab sampai bisa berada di tempat setengik ini, belum pula menemukan jawaban.

“Bukankah semua terkendali? Tak ada yang menyolok. Semua aman-aman saja. Tapi kenapa bisa terendus?” Aku melempar itu kepada kawan sesama anak Mongondow dan berharap 2 rekan kami anak Jakarta mendengar meski sebenarnya mereka sudah menutup telinga dan kelewat dongkol.

Aku akhirnya bertanya pada rekanan kami soal siapa sebenarnya laki-laki di ruang VIP tadi yang dipanggil Gobs? Begitupun soal 4 orang perempuan yang ikut bergabung. Tapi mereka tak bergeming. Yang terucap hanya makian dan sederet luapan kedongkolan yang alangkah memalukannya jika diungkap disini. Tetapi aku terus mendesak soal siapa laki-laki yang disapa Gobs?

“Tidakkah kau lihat dari tampang dan gayanya siapa dan apa dia? Lalu kalian pikir siapa 4 perempuan yang dibawanya? Bukankah kalian perlu bersenang-senang? Apa aku harus berteriak disini bahwa Gobs itu mucikari?”

“Aku tahu itu tapi darimana asalnya? Apa dia sentimen terhadapmu? Apa kalian tidak berpikir bahwa semua ini berawal dari dia? Atau dari empat perempuan itu??” kataku.

“Kami sudah berteman lama dengannya. Kami punya hubungan baik bahkan dia tidak pernah tahu meski secuilpun soal urusan kita, bisnis kita. Kami mengenalnya dengan baik dan mana mungkin semua berawal darinya sedang kita tidak pernah bicara setitikpun soal apa yang kita urus. Dia buta soal urusan kita dan aku pikir kita tadi hanya bersenang-senang. Bukan membuka aib urusan kita.”

“Tapi dari mana asalnya?” kejarku

“Kenapa sekarang kau menanyakan asalnya dari mana? Apa itu penting? Kau tahu, dari mana saja orang tinggal di Jakarta? Bisa jadi dia dari Aceh, mungkin pula Lombok. Siapa juga yang tahu dari Kupang, Sambas, Medan, Lampung, Pontianak, mungkin Ambon, Papua, atau Madura? Jakarta dihuni tak hanya orang Betawi bos, tapi dari Sabang hingga Merauke ada disini, Jakarta”

“Maka mungkin pula ia dari Mongondow” balasku.

Tiga kawanku sesama anak Mongondow sontak menatapku tajam. Begitupun kedua rekan kami anak Jakarta. Tatapan mereka seperti memaknai sesuatu dan sudah barang tentu kami jugalah anak Mongondow yang akan jadi santapan.

“Kalian ngomong apa aja tadi saat di ruangan? Kudengar kalian berbicara bahasa alien? Ayo, apa sebenarnya yang kalian bicarakan?” Tanya rekan dari Jakarta, tiba-tiba penuh selidik.

Maka sadarlah kami atas apa yang dilakukan saat di ruang VIP. Sadarlah kami telah mengolok-olok orang yang disapa Gobs. Mengolok-oloknya dalam bahasa Mongondow yang betapa terkutuk, jahanam, dan menjijikan yang telah kami bicarakan tentang orang itu jika disalin ke bahasa Indonesia.

Mereka terbelalak. Rata-rata penuh selidik dengan lagak yang tiba-tiba seperti sedang digagahi segala terka.

Sejurus dengan itu seorang komandan mendekati kami. Rupanya salah satu ponsel milik kami yang disita berbunyi. Ada SMS masuk.

“Siapa pemilik ponsel ini?” kata komandan.

Aku mengangkat tangan. Sang komandan mendekat dengan mata menyala seperti singa mau menelan mangsa hidup-hidup.

“Jangan main-main dengan bahasa dan jangan berpikir bahwa polisi itu bodoh” kata sang komandan penuh geram lalu mengeluarkan pistol. Meski aku tahu itu gertakan tapi dalam posisi terjepit tidak mungkin diantara kami tak ada yang menuruti apa yang jadi kehendaknya.

“Sekarang terjemahkan ke bahasa Indonesia apa maksud isi SMS ini” kata sang komandan. Matanya terus menyala.

Layar ponsel diperlihatkan dan isi SMS dengan bahasa Mongondow tertayang disitu seperti untaian pasal pidana yang bakal mengurung kami. Jujur, ketika itu aku nyaris saja pingsan.

Lalu apa isinya?

Memang tak seberapa jahanam, terkutuk, dan menjijikan sebagaimana yang telah kami olok-olokkan terhadapnya saat di ruang VIP. Jika disalin ke bahasa Indonesia maka secara garis besarnya SMS berbahasa Mongondow itu berbunyi : Jaga mulut dan bahasamu!

Di akhir tulisan itu tertulis kata Gobin. Seperti sebuah pernyataan bahwa Gobin juga anak Mongondow dalam rantau yang bisa nekat dan tega berbuat apa saja jika diri apalagi yang menyangkut kehormatan orang tuanya diusik, apalagi dijadikan olok-olok.

Tangis di Pantai

Foto Dani Alex
INI ADALAH kali kedua dimana ia harus membagi dukanya dalam diam diantara gundukan batu reklamasi, gemuruh laut, kelepak camar, sampah plastik, pada seonggok kayu yang terombang-ambing dipukul ombak, berbisik pada perahu nelayan yang diam, dan kepada matahari jingga yang cepat menjadi gelap.

Di laut yang telah kehilangan bibir pantai, pada sebuah kota dimana kapitalisme leluasa bersolek, ia duduk di beton panjang ditemani sekotak teh dingin dan sebungkus rokok mentol yang sebenarnya kurang ia sukai.

Ia menghadap ke arah barat dimana langit melukis warna jingga yang pekat. Memandang jauh kesana entah untuk mendapatkan apa. Sesekali ia sedot minuman kotak yang ia letakkan di atas beton, lalu cepat menyadari bahwa ada yang telah terengut dari singgasana hatinya.

Ia memang tak sendiri. Di sekitar ada beberapa orang duduk berkelompok. Sebagian berpasang-pasangan. Mereka berada tak jauh dari tempat ia meringkuh. Ada pula yang duduk di pucuk-pucuk batu sebagai penghalang ombak. Sebagian lagi asik memotret warna senja.

Ia tak mau menatap orang-orang itu. Dadanya yang bak pualam cuma makin pedih melihat itu. Dan betapa batinnya seperti sedang dicekik mendengar suara-suara disekitarnya.

Ia membatin.

“Laki-laki memang keparat. Bagaimana mungkin apa yang telah diperjuangkan tak hanya dengan darah begitu mudah terhempas dan dikotori”.

Puihh! Ia meludah.

Sebenarnya ia bisa memaafkan kekasihnya itu. Tapi bagaimana mungkin sosok yang biasa menghujamkan cinta ke dadanya, tiba-tiba menjadi begitu bangsat. Bagaimana pula ia memaafkan kekasihnya yang saban hari saban malam bibir manis yang ia cumbu itu, berpaling dan harus mendarat ke bokong perempuan lain?

“Aahh..laki-laki memang biadab dan tak tahu diuntung”

Puihh! Ia meludah lagi. Lalu menimbang bertanya-tanya dalam hati.

“Tapi bukankah ia mencintaiku? Berjanji untuk senantiasa bersama sehidup semati menjadi pendampingku? Hah, Sekarang apa? Apa? Kau biarkan aku merana. Dan sekarang tengoklah. Tengoklah sekarang wahai bangsat, apa yang kau lihat disini? Hah? Apa? Aku sebatang kara disini. Aku sebatang kara! Langit jingga kini sedang membakarku tinggal tulang. Sekarang kau dimana bangsat! Kau dimana?”

Ia memaki. Matanya mulai berkaca. Bibirnya gemetar.

“Kau dimana? Kau dimana? Kau dimana sekarang? Dengan perempuan sundal pilihan Ibumu itu? Owh, aku tahu. Aku tahu kau dimana saat ini. Bukankah kau sekarang sedang berada di ketek Ibumu? Dibawa rongrongan keluargamu?”

"Apa? Kau tak punya pilihan? Selaku anak kau harus berbakti kepada orang tua? Agar tak masuk neraka? Hellooow...Tidakkah kau menyadari bahwa kau telah menciptakan sebenar-benarnya neraka untukku? Untuk orang yang katamu kau cinta dan gilai? Lalu sorga macam apa yang telah kau persembahkan padanya? Pada mereka keluargamu? Katakan sorga macam apa? Katakan!! Apakah dengan membenamkan wajah di payudara perempuan pilihan orang tuamu itu lalu menikahinya dan saban hari menghujamkan seonggok dagingmu, itu yang kau anggap sorga? Sorga yang demikian itukah yang ingin kau persembahkan? Lalu katakan padaku, apa yang telah kau ciptakan untukku? Neraka macam apa ini? bangsat!”

Senja tenggelam. Orang-orang pulang berganti dengan orang-orang yang baru datang. Pelan-pelan ia mulai merasakan lututnya basah. Ia mengangkat muka lalu menemukan bintang di atasnya. Ia mengeluh.

“Kenapa dia tega meninggalkanku hanya karena keluarganya jauh lebih menyukai perempuan yang mereka pilih sendiri. Seorang perempuan yang sebenarnya tak jauh lebih baik dariku. Apakah kau tega mencampakkanku karena perempuan pilihan orang tuamu itu masih perawan? Cuuiihh.. kau tahu darimana dia perawan? Perempuan dengan tingkah macam sundal itukah yang kau kira perawan? Bukankah kau dulu yang selalu berkata ikhlas menerimaku apa adanya?”

Ia merengek. Memprotes. Lalu merasa dirinya seperti percuma.

“Kau bilang kau mencintaiku? Lalu dimana anjing-anjing kecil yang akan kita lihat berkejaran di pematang? Mana pulau jauh tempat kita mabuk kepayang? Mana taman dan beranda tempat kita akan menghabiskan waktu setiap akhir pekan? Mana muka memelas yang kau umbar tiap kali aku pura-pura menolak saat kau digagahi hasrat berulang-ulang hingga matahari cemburu di kamar kos kita yang menunggak sebulan? Babi....!!”

Bibirnya gemetar bersamaan dengan suara tangis yang pecah di debur ombak. Air laut telah pasang. Lampu-lampu mulai menyala beraneka warna. Dan mobil-mobil kian sibuk masuk satu persatu di loket parkir sebuah kawasan reklamasi yang terus bersolek.

Ia merogoh ponsel dari dalam tasnya berwarna coklat. Setelah menekan tombol panggil berwarna hijau, yang ia dengar beberapa detik kemudian adalah suara di udara yang mengatakan bahwa nomor tujuan sedang dalam keadaan tidak aktif.

"Babi!" makinya.

Ia mencoba nomor yang lain. Tapi hal yang sama berlaku. Nomor tidak aktif. Sama seperti hari-hari kemarin tatkala bulan pecah dan runtuh berkeping ke bumi. Bumi yang kini bak neraka baginya.
Saat membuka kembali pesan-pesan lama dalam ponselnya untuk sekedar menghibur diri, tangisnya membuncah. Ia menangis, memaki, menangis, memaki, menangis, dan kembali memaki. Tak peduli apakah ada orang melihatnya. Sebab ia duduk di pinggir laut yang telah kehilangan pantai, di beton panjang, di gundukan-gundukan batu di sebuah kota.  

Ia masih terus menangis. Tangisnya tangis purba yang justru melahirkan kerinduan. Tapi pada siapa? Kepada orang yang tiba-tiba berlagak masa bodoh lalu mengkhianatinya?? Ia merasa betapa mencekamnya rindu yang tersisa dalam rongga dadanya. Rindu yang telah tercabik dan membuat harapannya kabur.

Tapi ia tiba-tiba tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika tangisnya terhenti. Ia lalu mencoba untuk menangis kembali sehingga jadilah tangis itu sebagai tangis terhadap tangisnya yang sempat berhenti.
Seseorang lantas mendekat lalu duduk di dekatnya. Seorang laki-laki.

Menyadari ada orang datang, ia bergeser beberapa jarak.  Laki-laki yang datang ini tak peduli. Setelah memasang rokok, terdengar suara bersamaan dengan kepulann asap di udara:

"Menangislah" kata orang ini lalu melepas asap rokoknya seperti corong cerek yang melepas uap didih.
"Di dalam setiap kepedihan, pasti akan ada tangis sekalipun itu terpendam" tambahnya. "Yang kita tangisi sebenarnya bukan sesuatu. Bukan pula sebagaimana yang kau pikirkan. Tapi yang kita tangisi adalah diri kita sendiri,"

Lelaki yang tiba-tiba datang ini terus saja bicara. Seolah tak peduli apakah perempuan di seberangnya ambil peduli atau tidak.

"Setiap orang tahu dan sebenarnya memiliki cara sendiri bagaimana mereka menangisi tangisan masing-masing. Dengan demikian akan lahir kemuliaan yang membuat diri kita tahu siapa dan seperti apa kita,"
"Percayalah bahwa sebenarnya tangis diciptakan bukan semata-mata untuk kepedihan, melainkan untuk kemuliaan-kemuliaan yang diberikan semesta lewat air mata kepada kita selaku manusia yang memang rapuh. Tapi tangis berbeda dengan darah dan apa saja yang muncrat atau mengalir di dunia ini. Tangis yang dibuncahkan melalui air mata merupakan sebuah proses untuk perbaikan-perbaikan yang menakjubkan, atas prahara yang terjadi dalam hidup kita. Ia melahirkan perbaikan dan kemuliaan. Maka merdekakanlah tangismu malam ini juga atas tragedi-tragedi yang menimpamu,"

Perempuan yang bersimpuh di kedua lututnya mengangkat muka. Ia merasa seperti sedang diceramahi. Telinganya panas.  Ia lalu menengok ke seberang di mana laki-laki itu berada seolah hendak mengukur jarak agar bisa meludahinya.

"Siapa kamu?" tanyanya, dengan mata yang menyorot tajam.
Yang ditanya tak menjawab, tak pula menengok. Hanya bicara:
"Aku adalah perkara yang hadir malam ini dan bukan bagian dari tangismu. Aku adalah kemuliaan malam persembahan semesta,"
"Sok penyair babi kau!" katanya memaki laki-laki itu. Tapi sebenarnya ia menyesal melepaskan itu ketika sekonyong-konyong ia merasa seperti mengenali wajah orang di seberangnya meski ia sendiri ragu sehingga cepat menyimpulkan dalam batin bahwa keadaan hatinya saat itu memang bisa memungkinkan segala sesuatu seperti dejavu. 
"Penyair sudah duluan mati sebelum kata-kata berdansa lalu tertikam di lembaran kertas dan palung-palung hati,"
"Hah, tak peduli!"
Lelaki itu berdiri, lalu pergi begitu saja membelakangi perempuan yang makin remuk di tepi laut tak berpantai, di beton panjang, di gundukan-gundukan batu sebuah kota yang malam itu mulai dingin.
Tiba-tiba:
"Eh, tunggu..tunggu. Jangan pergi.. " ia memohon.

Lelaki itu tak bergeming. Ia terus berjalan di bawah lampu melewati jejeran mobil yang terparkir hingga bayangannya hilang, seperti tersedot ke dalam sebuah gedung raksasa yang berisi tak hanya Café dan Bioskop.
Malam terus mewujud. Perempuan yang sepertinya mulai menyesal atas apa yang baru ia lakukan, ikut bangkit dari beton panjang tempat ia duduk.

"Bukankah aku perlu teman untuk bicara?" bisik batinya.

Tapi ia cepat memendam keinginan itu. Sebab suasana batinnya ketika itu begitu rapuh. Ia tak ingin segala kemungkinan akan terjadi dan tak memberi peluang yang hanya membuatnya malah merugi akibat kemungkinan-kemungkinan yang justru menghadiahkan kejahatan.

Ada guratan sesal tiba-tiba meliuk di wajahnya. Ia lalu mencoba mengingat wajah orang tadi. Sepertinya ia mengenal sosok itu. Ingatannya terus diputar. Menerka. Dari situ, lahirlah gambaran yang  sekonyong-konyong tak asing baginya.

Ia beranjak lalu menyusuri trotoar. Beberapa orang memperhatikannya. Ia memang seperti pualam yang berjalan di bawah sinar lampu berwarna kuning. Jejeran mobil yang di parkir lantas membunyikan klakson genit untuknya. Ia tak bergeming. Darahnya malah mendidih dibikin begitu.

Tak jauh dari gedung tempat laki-laki tadi tersedot, ia menemu sebuah taman dengan pencahayaan temaram. Ia duduk disitu. Tapi cuma sebentar sebab merasakan firasat tak baik ketika sendiri disitu.
Sekarang ia masuk menapaki lantai gedung yang didalamnya tak hanya berisi café dan bioskop. Langkahnya gontai. Diam-diam ia memelihara harapan untuk dapat bertemu lelaki di beton panjang tadi. Nampaknya ia begitu yakin.

Tapi di dalam ia hanya menangkap kekosongan. Sebuah kesunyian yang datar. Langkahnya mulai sempoyongan. Ia lupa sudah tidak makan selama 3 hari. Tidurpun tidak. Paling banter 5 menit. Itupun saat matanya sudah bengkak. Ia senantiasa terjaga sepanjang malam, sepanjang hari, berhari-hari, bermalam-malam.

Di tengah ruangan di lantai dasar, pandangannya mulai buram dan sekonyong-konyong tubuhnya ambruk. Ia terjatuh.

***

Sayup-sayup ia mulai menangkap suara disekitarnya. Jemarinya bergerak, meraba kian kemari seperti hendak menggapai sesuatu.

Ia terhenyak dan menemukan seonggok tubuh tidur disampingnya; seorang laki-laki yang ditemuinya ketika menangis di tepi laut yang tak memiliki pantai lagi.

"Siapa kamu?" suara itu agak melengking. Membuat orang di sampingnya tersentak panik. 
"Hey, ini aku. Kamu kenapa?" Laki-laki yang tak lain adalah kekasihnya itu sontak kaget sembari mengucak mata.
"Owh, kau disini rupanya sayangku" Ia melompat girang lalu naik di atas tubuh laki-laki itu seperti anak monyet kepada induknya.
"Kenapa kamu? Mimpi buruk lagi ya?"
Ia tidak menjawab. Hanya memeluk tubuh kekasihnya. Begitu kuat, begitu erat.
"Please jangan pergi sayang" pintanya dengan mata berkaca-kaca. Dari atas dada, matanya mengitari isi kamar kos, seperti hendak meyakinkan diri.
"Siapa yang pergi?" kekasihnya tersenyum. "Aku disini sayang. Tuh, kan mimpi buruk lagi kan?"
"Sayangku.."
"Yaa... Kenapa?"
"Boleh aku minta sesuatu?" ia tatap wajah kekasihnya itu seperti ia anak kecil kepada bapaknya.
Kekasihnya tersenyum lalu bicara, "Pintalah.."
"Maukah kau menikahiku?"
 Laki-laki itu menaruh kedua telapak tangannya ke pipi kekasihnya.
"Kapan saja kau mau sayangku?" suaranya lembut parau.
"Sekarang sayang. Sekarang"
"Oke, ayo kita berangkat” setelah mencium kepala kekasihnya, Laki-laki itu turun dari kasur lalu meraih kemeja yang digantung di tepi jendela. “Oh,ya jangan lupa, kita masih menunggak uang kos sebulan dan sepertinya kita akan menunggak lagi untuk bulan depan,"
"Aku tak peduli sayangku. Sekalipun kita diusir dari tempat ini, aku tak peduli. Aku tak ingin menangis di pantai, aku tak ingin menangis di pantai. Semua cukup bagiku. Aku tak ingin kehilangan kamu. Aku tak ingin,"
 
Laki-laki itu melongo. Tapi ia senang mendengar setiap kalimat yang keluar dari perempuan itu. Kalimat yang sudah lama ia nanti-nantikan dari bibir kekasihnya. Ia lalu memutar tubuhnya menghadap ke pintu sembari merapikan kancing kemejanya. Sengaja membelakangi sorot mata perempuan itu, karena ia tak ingin kekasihnya itu melihat matanya sedang berkaca-kaca. "Ya, tak ada lagi tangis di pantai kekasihku," bisiknya dalam hati. (TAMAT)

Rabu, 14 Januari 2015

Palu Arit di Pegunungan Ambang

foto irsan - arthedeologi
kisah ini terjadi beberapa tahun lalu yang telah lampau...

PEGUNUNGAN AMBANG adalah hamparan hutan tropis di tanah Mongondow. Dari sisi selatan, kawasan ini membentang berupa perbukitan di wilayah Modayag hingga Bongkudai Baru setelah melewati wilayah bekas Onderneming di Poerworejo, Danau Tondok, Danau Mooat dan berakhir di daerah perbatasan antara Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Kabupaten Minahasa Selatan Propinsi Sulawesi Utara.

Dari sisi sebelah barat, wilayah kaya ini membentang dari perbukitan Sia', desa Pangian, Poopo dan Manembo. Di sebelah utara kawasan yang berada pada tipe ekosistem dataran rendah hingga hutan pegunungan ini, memutar mengitari wilayah desa Sinsingon dan Insil lalu menukik kembali di titik perbatasan Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel).

Sebagian besar wilayah ini sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Sisanya adalah areal pertanian penduduk sejak turun temurun bahkan sebelum wilayah ini ditetapkan pemerintah sebagai kawasan cagar alam pada tahun 1978 dengan luas sebesar 8.638 hektar area kemudian dilakukan rekonstruksi dan pemancangan tata batas kembali menjadi 18.765,4 hektar area berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 1999.

Dahulu pegunungan Ambang secara utuh masuk wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow. Namun setelah kabupaten ini dimekarkan menjadi 5 wilayah daerah otonomi baru, pada tahun 2008 sepenggal kawasan yang dikenal pula dengan sebutan CAGA (Cagar Alam Gunung Ambang) ini masuk wilayah kabupaten baru bernama Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan sepenggalnya lagi tetap berada di wilayah kabupaten induknya yakni Bolaang Mongondow.

Di bagian paling timur pegunungan ini, kami memiliki areal pertanian yang tak sekedar memberi banyak penghidupan. Ada sederet potongan kisah dan peristiwa-peristiwa penting yang menggeliat di wilayah subur ini, hingga membuat kami senantiasa menyadari bahwa disinilah roh dan nafas hidup kembali dimulai.

Sebuah rumah tua berdinding kayu yang kokoh, berdiri di punggungan bukit. Posisinya sengaja dihadapkan ke arah timur dimana matahari akan menyembul. Di rumah inilah kami tinggal agak terasing dari kebanyakan rumah penduduk, seolah menyingkir dari peradaban desa yang merayap di bawah kaki Gunung Ambang.

Dari atas sini kami bisa melihat atap rumah penduduk yang berkilauan tatkala matahari mulai tinggi. Nampak pula goresan jalan aspal membentang dari wilayah Boltim hingga ke wilayah Minsel melintasi Modoinding dan Wulurmaatus.

Udara disini bersih. Cuaca sejuk berselimut dingin ditambah keindahan Danau Moo’at dan pemandangan alam yang membentang dari segala penjuru, membuat wilayah ini semakin romantis.

Jika angin di wilayah punggungan ini diam, lalu angin di wilayah perkampungan naik, maka dibawanya deru mobil meraung dari jalan raya. Terkadang bertautan dengan lolongan anjing yang menyalak gerombolan pendaki pemula ketika keliru memasuki lorong kampung menuju jalur pendakian, usai melewati kompleks pekuburan umum lalu menanjak panjang ke wilayah kami.

Semenjak kepergian Ayah, di rumah pertanian ini praktisnya kami tinggal berempat; Aku, adikku Lusi, Ibu, dan Om Dedi adik laki-laki dari Ibu. Tapi tak jarang memang saudara dari sebelah Ibu maupun sebelah Ayah datang menemani. Begitupun Oma dan Opa. Banyak yang berkumpul disini apalagi di masa-masa penantian nan penuh cemas tatkala tak ada lagi kabar dari Ayah semenjak peristiwa 1965 meletus di Ibukota Republik.

Pada masa itu, ada satu dua anggota keluarga dari Ayah maupun Ibu menetap beberapa hari sesuka hati disini. Kadang saling bergantian. Namun seiring waktu yang berjalan, mereka harus beranjak untuk kehidupan lain yang sempat mereka tinggalkan.

Nanti setelah kami selaku anak-anak Ibu mulai tumbuh besar bersamaan dengan putaran roda jaman yang menggilas bongkah-bongkah harapan akan sebuah penantian terkikis, barulah kami lebih sering tinggal bertiga saja sebab pada giliran hidup selanjutnya, Om Dedi harus turun gunung sebelum hari menjadi gelap di pegunungan karena ada keluarga baru menantikan dirinya selaku suami dari seorang istri, dan Ayah dari anaknya.

Kecuali itu, ketika waktu yang membentang memberi langkah lebar bagi Om Dedi, maka ia akan berada lagi disini bahkan ketika fajar baru menyingsing di ufuk timur, terutama pada musim tanam apatah lebih saat waktu panen tiba.

Oma dan Opa sebelah Ibu sebenarnya sudah beberapa kali meminta agar Ibu turun gunung dan tinggal bersama di rumah mereka di kampung. Bukan sekali dua Oma meminta agar Ibu mau melepas rumah tua sekaligus tanah ladang peninggalan Ayah ini dan menjualnya ke pak Kepala Desa sebagaimana yang bersangkutan pernah menawari. Tapi Ibu tidak pernah mau melepas tanah ladang ini sekalipun Oma dan Opa pernah memaksa. Ia tetap pada pendiriannya. Belakangan aku tahu bahwa keengganan Ibu adalah karena ia tidak mau kehilangan gambaran dan penggalan-penggalan kisah yang pernah direguknya di wilayah ini.

Ayah sudah lama tidak bersama kami sejak beliau menuntut ilmu di Pulau Jawa. Kami mengenal sosoknya hanya berdasarkan cerita yang dituturkan Ibu. Tak jarang satu dua orang tua di kampung yang dekat dengan Ayah, ikut pula memberi cerita tentang dia.

Ibu beberapa kali berkisah soal Ayah yang dikabarkan hilang saat peristiwa 1965 meletus. Melalui ceritannya, dikisahkan bahwa Ayah dan Ibu menikah pada usia muda. Pernikahan terjadi ketika mereka baru lulus SMA. Hampir setahun sesudah pernikahan, saya lahir dan diberi nama Revo. Oleh karena tuntutan studi, pada tahun 1965—ketika saya baru berumur 9 bulan—Ayah mendapat sokongan dana dari sebuah Yayasan dan berkesempatan meneruskan pendidikan tinggi di salah satu universitas ternama di Pulau Jawa. Ibu yang senantiasa mendukung Ayah, apatah lebih dalam urusan menuntut ilmu, dengan mantap memberi izin. Bagi mereka ilmu adalah terang dunia dan jalan menuju hidup menjadi lebih baik.

Dikisahkan bahwa kondisi politik di era 1965 membuat keadaan negeri dalam keadaan genting. Ragam kabar yang datang lewat berbagai versi terhembus hingga ke pegunungan Ambang. Lewat penuturan Ibu, kabar yang datang semua serba buram dan penuh tanda tanya seperti gelap yang tak berujung. Kabar yang serba samar inipun hanya melahirkan kecemasan yang betapa gelisahnya. Ibu juga menceritakan isi surat yang ternyata menjadi surat terakhir kalinya dari Ayah. Ibu bahkan masih menyimpan surat itu hingga saat ini.

Salam hangat dan rindu untukmu wahai cintaku
Keadaan disini serba genting
Aku belum dapat menjelaskan secara panjang lebar kenapa tiba-tiba banyak tentara berseliweran.

Terjadi banyak penangkapan terhadap sujumlah warga termasuk mahasiswa 
Banyak pertikaian meletup disini
Padahal aku baru punya rencana untuk pulang dan menemuimu bersama buah cinta kita Revo
Oh,ya Bagaimana juga keadaan kandunganmu?
Jika anak kedua kita itu lahir sebelum aku pulang, dan ia perempuan maka kau beri dia nama Lusi

Entah kenapa aku datang kesini di saat situasi politik negeri sedang tegang

Ah, betapa aku ingin berada disitu bersama dirimu wahai cintaku 
Bangun pagi dan menghirup udara segar di luar
Memandangi apa yang membuat kita selalu bahagia
Tapi, keadaan disini tiba-tiba jadi serba sulit dan penuh bahaya
Aku pikir masih untung dan merupakan keajaiban jika surat ini sampai ke tanganmu
Nanti aku kabari lagi
Saat ini sepertinya bersiaga adalah jalan bagiku untuk bisa memelukmu kembali
Nanti aku kabari lagi

Salam cintaku

***

Hampir setahun lamanya surat itu erat dalam genggaman Ibu sampai ketika ia melahirkan anak kedua dan diberi nama Lusi sebagaimana pesan Ayah.

Ibu senantiasa membaca dan menaruh surat itu dibawah bantal hampir saban hari terutama saat menjelang tidur. Namun kabar terbaru dari Ayah yang sangat ia harapkan belum juga datang. Kecuali berita menggelisahkan lewat surat yang dikirim oleh seseorang yang entah siapa. Namanya bahkan disamarkan. Isi surat yang tiba-tiba datang itu pada intinya menceritakan bahwa; ada sekompi tentara memasuki kampus dimana Ayah menempuh pendidikan. Terjadi penangkapan terhadap sejumlah mahasiswa. Mereka dibawa entah kemana. Ayah termasuk salah satu yang ditangkap.

Informasi lain, sebagaimana yang pernah pula dituturkan Ibu, menyebutkan; ketika itu Ayah sedang bersama beberapa kawan seniman. Mereka berkumpul di sebuah sanggar beberapa jam saat sebuah huru-hara terjadi tak jauh dari tempat mereka berkumpul. Beberapa orang lantas masuk dengan beringas. Ada juga yang berseragam. Persitiwa itu membuat banyak orang kena peluru sedangkan yang lainnya luka dan sekarat oleh amukan masa yang entah datang dari mana.

***

Lima belas tahun berlalu dimana informasi berbagai versi itu bersemayam seperti kuburan purbakala tak bernama dalam lubuk hati Ibu, tapi belum datang juga kabar langsung dari Ayah. Malah dalam hitungan ke 16 tahun penantian Ibu, kabar lain yang tak kalah pedih menggelisahkan datang kembali melalui sepucuk surat dengan pengirim yang disamarkan dan tak pernah membuka identitasnya. Dalam surat kaleng itu dijabarkan secara singkat bahwa Ayah dibuang ke Pulau Buru bersama ribuan warga yang dituduh simpatisan serta anggota Partai Komunis Indonesia termasuk mereka yang dituduh sebagai pengikut setia Bung Karno. Yang menggetarkan sebagai penutup surat itu, Ayah dinyatakan telah meninggal dunia.

Konon itu terjadi setelah keluar kebijakan dari rezim Orde Baru pimpinan Soeharto dikarenakan desakan dunia internasional agar pemerintah Indonesia meniadakan Kamp Konsentrasi dan membebaskan semua tahanan politik di Pulau Buru. Di masa pembebasan itu, dikatakan bahwa Ayah gagal pulang karena keburu sakit dan meninggal dunia.

Rentang dan bentang kabar selanjutnya hanyalah untaian kesumiran berita dan kegelapan yang belum berujung. Tak pasti kabar mana yang harus dipercaya oleh Ibu.  Tapi penantian tetaplah sebuah penantian meski cercah harap kian kabur dan digugur oleh jaman. Dalam kenyataan itu, hidup harus terus dijalani hingga pada suatu ketika kehidupan baru dimulai kembali.

***

Suatu waktu di awal bulan Mei beberapa tahun selanjutnya…

Matahari mulai membenam ke barat seperti hendak memberitakan kepada gelap disana agar segera bertandang ke wilayah kami. Segerombol gagak berarak-arak pulang ke dahan-dahan pohon yang sebentar lagi kelam lalu diganti hiruk pikuk margasatwa nokturna yang mulai riuh bersahutan. Terkadang mengeluarkan suara aneh.

Aku duduk di beranda bambu depan rumah menantikan adikku Lusi yang tengah bersiap dari dalam kamar. Beberapa meter dari tempat aku duduk, Ibu mencomot gundukan kayu kering dan rerantingan yang telah dikumpulnya sejak sore hari. Ia membakarnya. Api yang bergejolak panas dari kayu dan rerantingan itu membuat permukaan kulit wajah dan leher jenjangnya mengkilap. Ibu kelihatan nampak lebih cantik dan eksotik dengan itu.

Orang di kampung memang banyak yang menaruh perhatian padanya. Masih kencang dan montok. Demikian pernah kudengar para lelaki di kampung bergunjing. Pernah pula suatu ketika secara tidak sengaja, saat turun gunung dan lewat di rumah salah seorang perangkat desa, dari balik jendela kupingku menangkap obrolan-obrolan agak cabul yang diriaki cekekikan. Mereka membicarakan Ibu. Menyoal bagaimana mungkin kecantikannya bertahan dan tak ada gumpalan-gumpalan lemak tinggal di tubuhnya.

"Kalau istriku setuju, atau suatu ketika ia meninggal, aku pasti akan menikahi Mamanya Revo itu. Aku pikir Mamanya itu sudah kembali jadi perawan" demikian omongan-omongan itu kudengar termasuk yang lebih cabul lagi.

Sekarang aku memperhatikan dari beranda bambu dan menemukan kebenaran soal apa yang difantasikan para lelaki di kampung. Aku pikir demikian itu terjadi pada Ibu sebab ia adalah seorang perempuan petani yang ulet, telaten, dan giat bekerja di ladang sehingga nyaris tak ada tumpukan lemak melekat di setiap jengkal tubuhnya. Segala semangat, kerja, dan daya upaya di atas tanah ladang kami itulah yang aku pikir membuat Ibu masih menjadi idaman banyak lelaki. Tubuhnya liat, menyala, dan tanpa lemak.

"Bukankah malam ini purnama akan muncul?" kataku bicara sembari memperhatikannya sibuk membakar kayu dan reranting.

"Iya, betul" jawab Ibu.

"Kenapa membakar ranting?"

"Ini api unggun?"

"Ya, api unggun. Kenapa membuat itu?"

Ia menatapku. Agak tajam. Segores senyum lalu terhias di permukaan wajahnya yang menyala.

"Kau tak pernah ikut pramuka?"

"Haha.. Apa di jaman Ibu dulu pramuka memang sudah ada?"

Ia ikut tertawa. Sesudah itu bicara.

"Aku dan Ayahmu bertemu saat kegiatan kepanduan"

Ada rasa haru berbalut sedih yang tiba-tiba menjalar disekujur tubuhku tatkala mendengar ungkapan Ibu pada kesempatan malam itu. Aku terdiam. Rasanya seperti sedang diseret ke suatu masa yang telah lampau dimana suara-suara disekitar kami adalah kegelapan.

"Turunlah ke kampung. Nikmati purnama malam ini dari tepi danau bersama pacar kalian" kata Ibu melanjutkan bicaranya. Mungkin paham atau menyesal ketika tahu tidak selalu tepat waktu dimana cerita-ceritanya melambung jauh kembali ke masa yang telah silam dimana kami selaku anak-anaknya tidak harus senantiasa menjadi pendengar yang baik meski bukan berarti kami tidak suka sama sekali dengan potongan-potongan ceritanya itu.

"Ibu tidak ikutan turun? Sudah dua pekan Ibu tak ke rumah Oma" kataku

Ia menggeleng lalu bernyanyi kecil. Mungkin lagu dijamannya dulu. Lusi lalu menyambung saat keluar dari dalam rumah.

"Bukankah Ibu mau ke rumah tante Yuli?"

"Tak jadi. Mungkin besok. Malam ini Ibu merasa enak saja disini sendiri. Oh,ya. Bulan akan muncul dari balik bukit di depan sana tak lama lagi" Ibu bicara sambil menunjuk kearah bukit di sebuah wilayah bernama Kakenturan.

"Cahyanya akan mendahului langkah kalian sebelum tiba di wilayah Om Hengky" tambahnya.

"Yakin Ibu tidak ikutan turun?" Serentak aku dan Lusi.

"Iya. Ibu merasa enak saja disini malam ini. Sebentar juga paling-paling banyak pendaki naik. Bukankah ini purnama? Minggu lalu anak-anak dari Kota, Roki dan Sinta sempat bilang kalau malam ini mereka akan naik dan akan buka tenda disini. Nanti pada pagi harinya mereka lanjut naik. Sinta bilang ia mau belajar resep masakan dulu sama Ibu. Kalian turunlah"

***

Malam itu aku dan Lusi akhirnya turun meski tanpa Ibu. Bagi orang lain hal ini mungkin bukan biasa. Tapi tidak bagi kami. Orang di kampung malah sudah lama mengenal sosok Ibu sebagai perempuan pemberani. Bagi Ibu, ditinggalkan kedua anaknya turun ke kampung berjam-jam bukanlah suatu masalah. Sejak kecil kami juga sudah diajarkan agar tidak pernah takut dengan hal-hal yang tak masuk akal seperti kisah-kisah hantu dan semacamnya. Apalagi wilayah kami berdekatan dengan jalur pendakian dimana tak jarang halaman rumah ramai dengan para pendaki yang menggelar tenda.

Aku dan Lusi menuruni punggung bukit sembari tetap menerangi jalan setapak memakai senter. Ada perasaan sedih ketika lagi-lagi menyadari kalau Ibu kesepian. Ah, seandainya ia mau menikah lagi tentu perasaan sepi tak akan hinggap menganggu malam-malamnya di pegunungan. Tapi entahlah, mungkin belum ada seorangpun lelaki yang mampu menggantikan posisi Ayah. Kataku membatin ketika itu.

Hampir separuh perjalanan dan Ibu benar. Pelan-pelan bulan mendahului langkah kami ketika berada di pinggir lembah di perbatasan kebun kentang Om Hengky. Cahaya yang masih berwarna kuning kepekatan jingga itu menyembul dari balik bukit di atas wilayah Kakenturan. Cepat lagi bulan itu timbul seolah mau bergegas menghilangkan warna jingga yang kental diganti dengan warna kuning yang pucat. Pepohonon dan wajah bukit yang sebelumnya melukiskan kekelaman jadi kemilau.

Hampir di kaki bukit, sesosok bayang merangsek diantara batang demi batang pohon singkong lalu dengan gesit memotong jalan setapak yang bersilangan. Bayang itu lalu berhenti. Tubuhnya terhalang di balik pohon jati. Tapi sepertinya sengaja menyembunyikan diri. Aku bersuara pada bayang itu.

"Eh, ada orang?"

Tak ada respon. Tapi ada sedikit gerakan yang ditunjukkan. Terdengar bunyi ranting patah terinjak kaki di tanah.

"Hey, aku melihatmu. Siapa disitu?" Kataku mengulang dan memberi sedikit sorot cahaya senter ke arah pohon.

"Siapa?" Bayangan itu membalas.

"Aku Revo. Siapa disitu?" kataku

Bayangan itu melongo sebentar lalu membungkuk seperti sedang memungut sesuatu sembari bicara:

"Oh, kau rupanya Revo. Ini aku, Anton"

Ia lalu keluar menampakkan wujudnya meski nampak ragu.

"Oh, Anton rupanya. Aku pikir siapa. Eh, dari mana? Kenapa disini?"

"Aku lihat ada cahaya di atas. Aku pikir rumahmu terbakar" Katanya agak panik lalu kembali membungkuk memungut barang bawaannya yang jatuh berserakan; beberapa buah buku, lembaran kertas, diktat,dan alat tulis.

"Oh, terima kasih mencemaskan kami. Itu api unggun. Ibu yang membuatnya" Aku lalu memberi sorotan cahaya senter dimana barang bawaannya itu jatuh berhamburan lalu membantu memungutnya.

"Eh, terima kasih Revo," katanya. Kami lalu sama-sama berdiri lagi.

"Aku kira rumahmu yang terbakar" Anton menepuk jidat. "Tadi aku baru dari rumah tante Nonce, lalu kulihat ada cahaya di atas".

"Hahaha, tidak" Aku dan Lusi tertawa kecil, tapi penuh menaruh hormat atas kekhawatirannya.

"Syukurlah kalau begitu. Eh, kalian mau kemana ini?"

"Kami mau ke danau. Ada teman-teman menunggu disana"

"Hm, baiklah kalau begitu" Anton nampak lega.

"Mau ikut?"

"Ah, tidak. Sebenarnya aku mau ketemu Om Hengky. Tapi, entahlah. Apa dia di sana waktu kalian lewat?"

Lusi lalu menyela, "Om Hengky jarang menetap di atas. Biasanya ia turun ke kampung"  katanya.

"Oh, baiklah kalau begitu" jawab Anton.

"Tadi aku mengira kalau Kak Anton pendaki gunung yang salah jalur. Tak bawa senter pula?" kataku.

"Haha..Bukankah bulan terang?"

"Haha, iya. Bulan terang"

"Baiklah, aku mau ketemu Om Hengky dulu. Kalian baik-baiklah di danau ya"

"Iya, terima kasih Anton"

Anton adalah aktivis sebuah LSM lingkungan yang bermarkas di Manado. Sejak lulus kuliah hukum di sebuah universitas ternama di Sulut, ia memilih tinggal di Manado dan hanya pulang tiap kali lebaran atau jika ada urusan lain yang mendesak di tanah kelahirannya nun jauh di Sumatera. Ia bukan anak Mongondow tetapi pengetahuan dan kepeduliannya tentang Tanah Mongondow sudah menjadi bahan olok-olok dan sindiran terhadap orang yang justru asli Mongondow.

Lembaga tempat ia bekerja sudah 3 bulan lamanya menggelar program kampanye konservasi berbasis budaya lokal pada masyarakat di sekitar CAGA.

***

Kami sudah duduk lama di danau. Kepalaku sudah mulai pusing dan terpatuk-patuk di keheningan. Tapi gelas masih saja diputar penuh gegas sedangkan Cap Tikus belum juga kandas. Aku tiba-tiba jadi ingat Ibu. Aku tahu ia kesepian di bukit. Apalagi sepanjang perjalanan saat turun kampung, Aku dan Lusi juga tidak bertemu para pendaki yang biasanya naik tiap Sabtu malam.

Agak sempoyongan aku berdiri hendak mengajak Lusi untuk pulang. Tapi rasanya enggan ketika nampak ia masih ingin berlama-lama di danau bersama pacarnya dan beberapa sahabat di kampung. Akhirnya aku putuskan untuk pulang sendiri setelah menitip pesan ke Lusi agar menginap saja di rumah Oma.

Angin malam mengelus punggung bukit dengan lembut. Hawa dingin kurang kuasa menyusup kedalam tubuhku yang berasa seperti mau terbakar. Di langit bulan masih bundar dan di jalan setapak yang sedikit menanjak berkelok, langkahku gemetar. Tenggorokan berasa pula kering dan kepala tak enak.

Aku berhenti di mata air yang tak seberapa jauh dari rumah bermaksud menyegarkan wajah dan kepala. Setelah merasa agak mendingan aku lanjut berjalan.

Di halaman rumah aku tak menemukan tenda para pendaki terpasang. Terkadang mereka memang memilih membuka tenda disini sebelum naik. Begitupun ketika mereka turun. Tapi kali ini tidak. Mungkin mereka sudah berkemas naik.

Tapi di dekat beranda bambu, masih ada sisa-sisa bara api unggun yang sepertinya masih kuasa memanggang apa yang perlu dipanggang. Aku lantas bergerak menuju belakang rumah mengecek keadaan kandang ayam dan memastikan kalau sekitaran rumah baik-baik saja. Aku lalu menuju ke belakang rumah hendak lewat pintu belakang. Aku bukadengan pelan sebab cemas kalau saja aku menganggu tidur Ibu.

Saat berada di ruang tengah, di sebuah meja kayu yang lebar, aku terkejut mendapati benda-benda yang aku yakin bukan kepunyaan siapa-siapa di rumah ini. Ada beberapa buah buku, lembaran kertas, alat tulis dan ring bag berwarna hijau tergeletak begitu saja. Sontak aku merasa seperti seekor pipit kehilangan induknya.

Aku tahan nafas kemudian menapaki satu demi satu anak tangga dengan pelan dan mengontrol berat tubuh agar tidak menciptakan bunyi derit ketika menapaki ubin. Aku mulai masuk ke ruang utama yang senyap, menjelajahi isinya dengan pelan hingga akhirnya menggapai pintu kamar yang menyisakan celah agar lebar. Rupanya tak dikunci. Aku lantas melongo kedalam dengan amat hati-hati.

Sekujur tubuh Ibu dan wajah cantiknya tak bisa kulihat utuh sebab sesosok tubuh yang berbaring dalam posisi miring dan membelakangi arah pandangku menghalanginya. Tapi bisa kulihat dengan jelas bagaimana jemari lentik Ibu menelusup dari celah ketiak seorang laki-laki disampingya lalu mengelus dengan lembut sebuah gambar yang sepertinya sudah mendarah daging di punggung laki-laki yang berhadapan dengannya. Pada saat elusan itu mengalir secara terus menerus kemudian meliar mencengkram dan ubin mulai berderit diikuti buru nafas yang khas, cepat aku membalikkan tubuh dan melesat keluar seperti hantu.

Aku tiba-tiba saja sudah menemukan diriku dalam keadaan berkeringat dingin dan agak jauh terasing dari rumah kayu peninggalan Ayah. Sepertinya menanjak ke atas punggungan di dekat jalur pendakian. Aku terduduk di sisa akar sebuah pohon yang sudah lama ditumbangkan orang lalu dibawa turun kampung, jauh sebelum musim tanam datang yang ketiga kalinya. Dari sini, seperti seekor pungguk yang kedinginan, aku melongo ke bawah memperhatikan rumah kayu kami yang malam itu sekelumit cahya remang bermain di kisi-kisi jendela sebuah kamar.

Cepat ingatanku melompat ke suatu masa silam dimana jemari Ibu mengelus rambutku hingga terlelap, menyiapkan sarapan, mengambil bara tempurung dan menaruhnya ke dalam setrika cap ayam jago lalu menyetrika seragam putih merahku, terkadang pula aku merasakan bagaimana jemari itu mencubit pedih dagingku hingga memerah ketika aku nakal, terbayang pula betapa telatennya tangan itu memilih benih untuk ditanam, dan kini di suatu malam yang telah berlalu itu, aku saksikan kembali dengan mata kepala dan batinku, bagaimna uletnya jemari pekerja itu hinggap di punggung seorang laki-laki melalui ketiak lalu mengelus tato bergambar Palu Arit.

Setelah angin bertiup semilir dan punggungku sontak segar seperti sayap Tyto Rosenbergi yang baru mendapatkan kekuatannya kembali untuk menjaga belantara pegunungan Ambang, yang aku rasakan malam itu adalah suatu masa dimana dunia gemintang dan hidup kembali dimulai.

TAMAT

NB: Cerpen ini masih dalam tahap perbaikan. Telah mengalami beberapa kali perombakan dan pertama kali ditulis pada tahun 2000

Sabtu, 10 Januari 2015

HUKUM RIMBA


Seorang polisi terbunuh. Konon sedang menjalankan tugasnya selaku Kanit Lantas Polsek Kaidipang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut).

Awal cerita bermula ketika ia melarang seorang bocah ingusan bernama Zay Djiko alias Zay alias Inal (14) karena mengendarai sepeda motor secara ugal-ugalan dan terlibat balapan liar di jalan raya. Konon ketika ditegur, pemuda bau kencur ini melawan hingga berujung ke penamparan.

Merasa marah dan tak terima ditampar, Zay pulang ke rumah. Tapi ia kembali bersama kakaknya bernama Rival Djiko alias Ipal (24). Mereka menemui sang polisi. Perang mulut terjadi. Media mengabarkan, pertengkaran itu berujung pada mendaratnya pisau badik yang dihunus Ipal ke dada tengah sang penegak hukum.

Peristiwa itu terjadi pada Sabtu (03/01/2015) malam hari sekitar pukul 23:30 WITA sebagaimana yang geger. Polisi yang menjadi korban adalah Aiptu Joko Suswanto (45), warga Desa Sonuo Kacamatan Bolang-itang Barat Kabupaten Bolmut.

Minggu (04/01/2015) pagi sekitar pukul 06:30 WITA, mayat korban pertama kali ditemukan oleh dua orang bocah saat hendak menyapu halaman belakang Rumah Makan Tepi Laut Desa Kuala Utara Kecamatan Kaidipang.

Peristiwa ini mengegerkan khalayak. Sederet simpati dan empati beruntai dari berbagai kalangan menyayangkan peristiwa ini hingga menembus ruang media jejaring sosial.

Tak butuh waktu lama polisi berhasil membekuk kedua pelaku pada hari itu juga beberapa jam usai korban ditemukan Minggu 04/01/2015. Mereka adalah kakak beradik yang teridentifikasi sebagai warga Desa Talaga Kecamatan Bolang-Itang Barat.

Kedua pelaku lantas segera dibawa ke Polsek Kaidipang untuk diperiksa. Tapi tak lama berselang, mereka diboyong keluar kantor Polsek dan meninggalkan wilayah kabupaten tempat perkara terjadi. Aparat membawa mereka ke wilayah lain melintasi kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) menuju Kota Kotamobagu tempat dimana Markas Kepolisian Resor Bolaang Mongondow (Polres Bolmong) berada. Sekedar diketahui, waktu tempuh dari Polsek Kaidipang ke Polres Bolmong memerlukan sekitaran 4 jam mengendarai mobil.

Babak selanjutnya adalah sekuel kegemparan nan tragis setelah kegegeran dan isak tangis yang pecah pasca merebaknya peristiwa terbunuhnya Aiptu Joko Suswanto belum reda.

Apa itu? Adalah Ipal salah seorang tersangka pelaku penikaman yang dijebloskan ke sel tahanan Polres Bolmong, tewas dalam keadaan tak kalah mengenaskan sebagaimana jasad Aiptu Joko ditemukan.

Entah bagaimana pula awal ceritanya, foto kedua tersangka kakak-beradik yang nampak terkulai lemas di atas ubin sel dengan keadaan babak belur bermandikan darah, tersebar menembus dinding media jejaring sosial dikonsumsi para jamaah Facebook, Twitter, dan yang paling tengik dipajang sebagai Display Picture para jamaah Bebekiyah (BlackBerry Messenger/BBM).

Ragam media terbitan Sulut baik cetak maupun elektronik yang haus akan berita bombastis, secara berentetan mengupas kehebohan itu lengkap dengan berbagai versi penyajian kisah secara beruntai. Publik yang juga haus akan informasi geger mulai memamah-biak apa yang disajikan itu sembari terus memutar otak menyimpulkan apa sebenarnya yang terjadi: Seperti itukah? Apa memang begitu? Benarkah ada penegak hukum yang berani main hakim sendiri? Dimana hukum bertengger ketika seharusnya penghuni sel—seberapa jahanampun dia—tetap memiliki hak-hak selaku tersangka dimana keselamatan jiwa dan raganya ikut dijamin oleh hukum.

Bagi kita yang merdeka dan senantiasa menjaga kewarasan akal sehat selaku manusia yang seharusnya memanusiakan manusia, tentu bergeming soal seberapa tengiknya peristiwa itu. Apa benar demikian?? Jika tidak, maka; the punishment, siluman atau hantu gentayang darimana yang membuat kedua tersangka babak belur, bengkak-bengkak, luka, berlumuran darah, hingga salah satu diantara mereka tewas? Apakah ada mahluk asing setengik alien menyusup ke dalam sel tahanan dan melampiaskan hasrat angkara murkanya nan durja? Bagi yang akalnya masih sehat dan waras, tentu akan menolak percaya.

Kita sepakat, pelaku pembunuhan terhadap Aiptu Joko Suswanto harus dihukum sesuai undang-undang yang berlaku. Selama ini kita juga setuju dan mengetahui bahwa segala bentuk tindak pidana, pelanggaran dan peristiwa kriminal di negeri ini akan diseret oleh hukum dengan syarat tetap tidak bisa dijalankan secara serampangan, brutal, apalagi meludahi nurani dan kewarasan kita selaku manusia yang selayaknya memanusiakan manusia. Semua harus melewati serangkaian tahapan prosedural yang dijamin dan diatur oleh undang-undang dan hukum itu sendiri.

Oleh alasan mulia itulah negeri ini memiliki pilar-pilar penegakan hukum hingga lahirlah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Rutan dan Lembaga Pemasyarakatan.

Kenapa semua itu ada? Alasan paling waras dan cukup sederhana adalah : Karena kita telah sepakat hidup bernegara. Negara yang memiliki hukum dan perangkatnya. Lain hal jika sistem hukum yang berlaku di negeri indah dan merdeka ini adalah Hukum Rimba!