Minggu, 29 Maret 2015

Dialog Publik di Korot dan "Kesesatan" Topik Yang Nyaris Berbuntut Adu Jotos


 Dalam acara dialog, seminar, diskusi publik, entah dikemas formal nonformal, memang tidaklah mungkin semua peserta yang hadir dapat diberi kesempatan oleh moderator untuk berbicara. Kesadaran itulah yang membuat saya harus maklum, meski memang tidak bisa menyembunyikan kedongkolan yang membuncah saat berkali-kali (bahkan) memaksa  dengan cara berbisik langsung ke telinga moderator yang melintas di depan meja tempat saya berada, agar kiranya dapat memberi kesempatan, meski 30 detik saja agar saya dapat  diberi mic.

Dialog bertajuk “Saatnya Pemuda Bergerak” dengan sub-tema “Posisi Pemuda Dalam Pusaran Pilkada Gubernur Sulut” di Kopi Korot tadi malam, dipimpin Sehan Ambaru sebagai moderator sekaligus MC, dan meninggalkan banyak sesal yang percuma. Setidak-tidaknya dalam pendangan saya.

Sehan Ambaru adalah kawan reriungan di Kantin Pemkab Bolmong  2010 silam, Kampus UDK, dan biasa semeja di Korot. Dia juga tercatat sebagai PNS di Pemkot Kotambagu, dan Sabtu 20 Maret 2015 kemarin, baru dilantik menjadi Wakil Ketua I KNPI Bolaang Mongondow. Selebihnya tentang Sehan Ambaru, bagi orang Mongondow yang berlangganan koran sejak 5 tahun belakangan, pasti tak asing dengan namanya.

Apa yang perlu dikritisi terhadap Sehan selaku moderator dalam dialog publik tadi malam yang digelar KNPI Bolmong? Dan apa pula yang perlu dikritisi dengan dialog publik yang ikut melibatkan kehadiran elit politik di Mongondow diantaranya Aditya Didi Moha (Anggota DPR RI), Yasti Sopredjo (Anggota DPR RI), Tatong Bara (Walikota Kotamobagu) Ahmad Sabir (Ketua DPRD Kotambagu), Kamran Mochtar (Anggota DPRD Bolmong), Abdul Akdir Mangkat (Wakil Ketua DPRD Bolmong) Herry Coloay (Anggota DPRD Kotamobagu), plus kehadiran Jackson Kumaat selaku Ketua DPD KNPI? 

Pertama,
soal Sehan selaku moderator. Tadi malam adalah kali kedua saya terlibat sebagai peserta dialog publik di Korot yang dipimpinnya. Tulisan ini sekaligus kritikan kali kedua dari Leput kepada dia.

Jika pada dialog sebelumnya, kegagalan Sehan tertangkap lewat aksi sepihaknya yang mengklosing dialog saat baru memasuki sesi ke 2 (padahal dibagi 4 sessi), sehingga memunculkan banyak reaksi dari peserta, maka tadi malam kegagalan Sehan adalah membiarkan (sebenarnya mereka adalah peserta) mereka yang mendadak disebut nara sumber berbicara tidak berdasarkan tajuk atau tema diskusi.

Pembiaran itu adalah ketika Sehan memberi kesempatan kepada Yasti Soepredjo memberikan penyampainnya (yang panjang) terkait isu pembentukan Propinsi Bolaang Mongondow Raya (PBMR).
Apa dampak dari pembiaran itu? Arah diskusi keluar dari tema yang sudah ditetapkan; Saatnya Pemuda Begerak/Peran pemuda Dalam Pusaran Pilkada Gubernur Sulut.

Maka gayung bersambut, peserta yang diberi giliran pegang mic selanjutnya oleh Sehan, mengikuti apa yang dilontarkan sebelumnya oleh Yasti Soepredjo, tentang PBMR.

Kedua, soal fungsi dan peran dialog. Ajang diskusi yang sebenarnya hanya sebatas wadah pengemasan isu terkait posisi dan peran pemuda yang ditekankan untuk; bergerak dan menentukan sikap terkait pilkada gubernur, tak ayal terjungkir balik dari tujuan.

Kenapa? Sebab yang terjadi tadi malam, peran dan fungsi dialog tersebut sekonyong-konyong justru bergeser ke (semacam) momen penjaringan kandidat bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang sebenarnya adalah urusan parpol. 

Diantara kita yang hadir tadi malam pasti masih ingat pernyataan para peserta yang diberi kesempatan moderator memegang mic dan berbicara. Rata-rata pointnya (selain terjebak dengan topik PBMR) adalah; penjaringan dan penetapan nama bakal calon kandidat yang harus diusung untuk maju dalam pilkada gubernur.

Sialnya lagi nama-nama yang disebutkan (dijaring) justru jauh panggang dari PEMUDA. Helooooo... bukankah seharusnya kita membicarakan soal PERAN dan POSISI PEMUDA DALAM ARUS PUSARAN PILGUB sebagaimana topik dialog? Dan tengoklah tajuk yang ditetapkan panitia : SAATNYA PEMUDA BERGERAK. Lain soal jika tajuk tadi malam diganti; SAATNYA PEMUDA MENJADI TIM SUKSES dengan sub-tema; PERAN PEMUDA DALAM MENJADI TIM SUKSES DI PILKADA GUBERNUR SULUT.

Lalu apa yang semakin memperparah jalannya dialog? Adalah tidak adanya sikap “pertobatan” dari Sehan selaku moderator untuk kemudian membawa dialog kembali pada topik dan tema yang diusung, yakni SAATNYA PEMUDA BERGERAK dan POSISI PEMUDA DALAM PUSARAN PILKADA GUBERNUR SULUT.

Ketiadaan “pertobatan” sang moderator sehingga berbuntut pada “sesatnya” berderet pernyataan yang keluar dari para peserta secara berjamaah, alhasil hanya melahirkan ketiadaan gerak pemuda dalam mengidentifikasi peran dan posisinya dalam pusaran Pilgub Sulut, sebagaimana tujuan yang diharapkan.

Memang, diluar dari semua itu, secara obyektif, Sehan tampil prima, bersemangat dan begitu keasyikan dalam memimpin jalannya dialog. Kita patut mengakui itu sebab tak semua orang mampu melakukan apa yang dilakukan Sehan tadi malam. Sehan seperti merasa sedang di atas angin dan menikmati peran yang dimainkannya. Seperti ada tujuan yang terselip diantara 'atraksi' todong-menodong mic kepada peserta yang terpilih.

Tetapi performance prima, segar, dan cukup memberi pukau itu, justru tercela setelah sempat terjadi insiden antara peserta dengan moderator juga peserta dengan peserta di menit-menit terakhir hingga nyaris berakhir dengan adu jotos. Dan semua itu terjadi akibat pembiaran topik yang melenceng pun sikap buru-buru dari moderator seolah langit runtuh jika lama-lama berdialog.

Sudah kali kedua dalam kesempatan dialog publik, Sehan seperti moderator yang sejak awal begitu terburu-buru dengan waktu seolah-olah akan ada gempa menimpa Korot jika jam dinding sudah mendekati pukul 11 tengah malam, sementara dia masih memberikan kesempatan kepada satu-dua peserta untuk berbicara.

Ini nampak sekali. Seolah Sehan begitu ketakutan dengan waktu yang sudah mulai mendekati pukul 12 tengah malam. Kenapa?? Apa karena sudah mengantuk? Kecapean jadi moderator? Kelaparan? Bukankah ada 100 kopi korot tersaji plus makanan?

Maka apa yang terjadi selanjutnya akibat sikap dia yang buru-buru hendak mengklosing acara sebagaimana yang pernah dilakukan pada acara sebelum itu?  Denny Mokodompit (DeMo) salah seorang peserta yang merasa tak kebagian mic padahal jauh-jauh datang dari suatu urusan di seberang dan bela-belain datang ke Korot mengesampingkan anak-istri yang sudah rindu di rumah, sontak protes.

Terjadi perdebatan antara Sehan dan DeMo disaksikan secara agak menegangkan (juga lucu) oleh para peserta. Sehan yang bersikukuh tak ayal gelagapan tatkala mic dari tangannya dirampas paksa oleh DeMo. Dihadapan para peserta termasuk tamu dari pengurus DPD KNPI Sulut, Manado dan Tomohon, nampak sekali mereka (Sehan dan DeMo) seperti dua orang bocah yang saling berebutan lolipop.

Saling rampas mic itu seperti tontonan bonus terhadap para hadirin yang berakhir dengan kemenangan DeMo selaku peserta dan kekalahan Sehan selaku moderator. Sehan nampaknya harus belajar kata ikhlas sebagaimana penggalan “pidato” Aditya Didi Moha ketika diberi kesempatan bicara di awal. Dan keikhlasan itu tergambar setelah ia mengalah dari ‘superioritas’ DeMo yang sempat mengancam; “so lama kita ndak pukul orang jadi jang sampe kita pukul orang gara-gara ndak kase bicara di sini”

Buntut dari “kesesatan” topik yang terjadi sudah sejak awal dialog, membuat isi pernyataan DeMo cepat tertuduh “sesat” karena menggaungkan kembali topik PBMR. Sehan menyela dan DeMo balik menyela dengan alasan; sejak dari tadi moderator tidak menyela penyampaian Yasti Soepredjo (meski panjang-lebar) soal PBMR, termasuk kawan-kawan peserta lainnya. DeMo juga mengaku berhak bicara berhubung kapasitasnya selaku Panitia Pemekaran PMBR.

Saat kembali terjadi saling sela dengan kalimat yang saling menekan dan panas, seorang peserta lainnya sontak berang lalu bangkit dari kursi kemudian dengan nada lantang mengecam DeMo yang dianggap sudah “sesat” topik tapi tetap bersikukuh bicara apalagi dinilai menyinggung. 

Saling rampas mic kembali terjadi. Sehan yang dibantu beberapa peserta  akhirnya berhasil mengambil-alih mic dari tangan DeMo yang terus-terusan memohon agar bisa diberi kesempatan bicara. DeMo yang dipaksa berhenti berbicara karena mic sudah dikembalikan kepada moderator, sontak berjalan ke arah peserta yang menantangnya seolah hendak mengajak duel. Beberapa peserta lantas mencegatnya. Adu jotos akhirnya dapat dicegah.

Sebagai catatan, berikut nanti jika ada lagi dialog publik yang akan diselenggarakan, sebaiknya moderator ketika memimpin jalannya dialog harus fokus pada topik dan tak perlu sungkan mengingatkan nara sumber atau peserta yang keluar dari topik agar dialog dapat terhindar dari insiden yang sebenarnya tak perlu, seperti adu jotos misalnya dan saling merampas mic.

Jumat, 20 Maret 2015

Menguji Kepedulian Negara dengan Matematika



ANGGAPLAH engkau Chairil Anwar yang mengembara serupa Ahasveroz tatkala ditinggal kekasih, lalu merasa seolah-olah dikutuk-sumpahi Eros sembari merangkaki dinding buta yang tak satu jua pun pintu terbuka. Atau anggaplah engkau Romeo pacarnya Juliet dalam kisah yang ditulis William Shakespeare. Atau anggaplah pula kau Burhan pacarnya Maimunah dalam kisah di sekitar kita.

Tatkala Burhan bersedih dalam duka mendalam karena kalah bersaing dengan Polisi berpangkat Kapten yang menikahi Maimunah, di manakah negara berada ketika gundukan duka itu melempar Burhan ke jurang kepedihan? Lalu dimana pula negara sembunyi ketika Burhan sedang dalam kesusahan? Dan di mana batang hidung negara ketika perabotan rumah, laptop, dan sepeda motor yang diperoleh Burhan secara fidusia ditarik kolektor perusahaan rente karena menunggak 3 bulan, padahal jangka kredit dengan kontrak 2 tahun itu, tinggal 5 bulan lunas.

Lalu apa yang dilakukan negara ketika Burhan berniat melanjutkan studinya, namun tak punya cukup biaya. Kemudian apa yang dilakukan negara ketika Burhan sakit tapi tak ada obat, dokter, dan rumah sakit gratis. Apa tindakan negara ketika polisi lalu-lintas menilang Burhan karena pajak kendaraan yang baru lewat tanggal. Apa yang dilakukan negara ketika jalan di desa tempat Burhan tinggal sudah 20 tahun tak pernah diperbaiki. Apa yang dilakukan negara ketika Burhan terlambat bayar tagihan listrik sehingga sambungan demi kelangsungan hajat hidup itu disegel, disetop, dan dicabut petugas PLN. Apa yang dilakukan negara ketika Burhan tak bisa menunjukkan KTP dan Surat Nikah sehingga tergaruk razia di hotel kelas bunga melati. Apa yang dilakukan negara ketika Burhan melihat tetangganya anfal dari sakit tapi tak ada kendaraan untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Dan ketika pencuri menggasak harta benda milik Burhan, di mana negara ketika itu? Apakah saat itu juga negara mau mengejar pencuri lalu menangkapnya dan mengembalikan semua harta benda milik Burhan? Lalu apa pula yang dilakukan negara terhadap Burhan yang minum alkohol tuk sekedar mengusir ingatan terhadap Maimunah? Apa, di mana, apa, di mana, dan betapa banyak apa dan di mana, jujut-menjujut seolah tak ada hentinya??

Diantara kita mungkin ada yang pernah berpikir; negara tiba-tiba ada dan senantiasa hadir tatkala penghasilanmu harus dipotong pajak. Negara juga tiba-tiba cepat ada saat kau hendak mendirikan usaha (meski kecil-kecilan) sebab harus mengurus ijin usaha dan sudah tentu harus bayar pajak. Negara juga terasa benar-benar ada dan senantiasa hadir ketika ia datang sebagai polisi.

Itulah keseharian kita. Negara memperlihatkan wujudnya sebagai kepala dusun, kepala desa, lurah, petugas pajak, polisi, jaksa, atau hakim. Ketika kita hendak menikah, di situ negara hadir. Mengurus KTP di situ juga negara hadir. Mengurus ijin usaha, di situ juga negara cepat hadir. Ketika hendak keluar daerah di situ juga negara ada lewat surat jalan yang dibuat lurah atau kades. Ketika bayi lahir dari kandungan, di situ negara juga hadir sebagai akte kelahiran.

Sebagian dari kita mungkin ada yang menyederhanakan kesimpulannya dengan pendapat yang mengatakan; negara tak lebih dari sekedar hukum. Ketika engkau melanggar hukum, maka disitulah negara ada dan hadir seketika. (terutama ketika sedang apes dan kena tilang di jalan)

John F Kennedy, mantan Presiden Amerika Serikat berkata; “Jangan tanya apa yang sudah diberikan negara terhadapmu, tetapi tanyalah apa yang telah engkau berikan kepada negaramu”. Sedangkan Karl Marx mengatakan, Negara adalah alat kelas yang berkuasa untuk mengeksploitasi dan menindas kelas yang lain. Sedangkan Prof. Budiardjo bilang; Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah. Sementara itu J.J. Rousseau mengatakan, kewajiban negara adalah memelihara kemerdekaan individu dan menjaga ketertiban kehidupan manusia. Lalu jika kita melayang jauh ke jaman Yunani kuno maka, Aristoteles mengatakan, Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama. Sedangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa negara menjamin kehidupan berkebangsaan yang bebas merdeka berdasarkan 5 sila. Negara juga berkewajiban melindungi dan menjamin keselamatan setiap warga negaranya, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan rakyatnya.

Ah, sepertinya butuh ruang lebar dan luas lapang untuk sekadar membicarakan ini.  Tapi saya memang tak bermaksud mengurai-bentangkan sejarah negeri ini hingga negara berbentuk republik dengan nama Indonesia ini disusun dan dibentuk para founding father’s. Tulisan ini lahir semata-mata lantaran tiba-tiba mual menyimak berita di koran, internet, dan tipi. Betapa terusik oleh rentetan pernyataan yang keluar dari mulut para aparatur yang belakangan punya hobi dan pendapat seragam terkait perkara narkotika dan obat-obatan berbahaya disingkat narkoba. Persisnya lagi adalah kekompakan alasan soal kenapa mereka (negara dan aparaturnya) tega melakukan pembunuhan yang sangat berencana sekali terhadap para narapidana kasus narkoba dengan bersandar pada alasan; demi menyelamatkan kehidupan generasi muda; sebab masa depan bangsa ada di tangan generasi muda; mereka (generasi muda) adalah ujung tombak bangsa yang harus diselamatkan; jika generasi muda rusak, maka rusak pulalah bangsa dan negara.

Amboii… bukankah sekarang kita melihat lahirnya logika kepercayaan (dari negara) yang mengatakan, generasi muda adalah mutiara negara yang harus dilindungi. Dan mereka yang terlibat dalam dunia narkoba adalah penjahat yang pantas dibunuh (eksekusi mati). Karena mereka (para pengedar, kurir, dan sejenisnya) adalah mesin mematikan yang telah membunuh generasi muda dengan angka yang alangkah fantastisnya, yakni 51.000 nyawa per tahun. Apa ini betul?

Baik, kita sepakat dengan niat kepedulian pemerintah (negara) terhadap kehidupan generasi muda. Tapi benarkah demikian adanya? Mari kita uji kepedulian negara ini dengan matematika. 
 
Lha, kenapa harus dengan matematika? Karena kita percaya bahwa matematika adalah ilmu pasti. Tidak bisa diuber-uber sebagaimana ilmu politik dan cabang-cabangnya. Maka, sembari beriman kepada matematika, mari kita buka apakah kepedulian negara itu nyata adanya atau hanya ilusi di manis bibir saja.
***
Mulailah dari desa tempat kita tinggal. Coba cek, program pemerintah apa yang sedang dijalankan sebagai bentuk kepedulian terhadap generasi muda. Ada tidak? Jika ada, maka program apa itu? Bagaimana bentuknya? Kalau tidak ada, mengapa menaruh percaya bahwa negara benar-benar peduli pada kehidupan generasi muda sampe nekat membunuh kurir narkotika.

Jika benar program kepedulian terhadap generasi muda itu nyata adanya di kampung Anda tinggal, maka program apa itu? Apakah alokasi dana sebesar Rp 2,5 juta per tahun itu dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap kehidupan generasi muda?  yang umumnya berjumlah di atas 500 orang per desa? Buat apa dana Rp 2,5 juta per tahun itu? Jika Rp 2,5 juta itu dibagi rata untuk 500 pemuda, maka Rp 2.500.000 : 500 Pemuda = Rp. 5.000 per pemuda.

Jadi ada Rp. 5000 di kantong 500 pemuda yang diberikan negara sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang agar tidak merusak dirinya dengan cara membeli dan menjadi pecandu narkotika. Selanjutnya, uang yang tak cukup beli seporsi nasi ini pun harus dihemat dibelanjakan selama selama 1 tahun atau 12 bulan atau 365 hari.

Jika pemuda yang dapat dana kasih sayang dari negara sebesar Rp. 5.000 per tahun harus menghemat uang tersebut, maka berapa nominal perhari yang harus dibelanjakan agar uang kepedulian itu dapat bertahan selama 365 hari? Sila ambil kalkulator dan hitung; 5.000 : 365 = 13,698630137 alias 13 pera! (benar-benar angka sial men!)

Masya Allah,  apa yang dapat dibeli dengan Rp 13 itu?  Sungguh bukan sebuah lelucon. Bayangkan bro, bayangkan Burhan, pewaris dan penerus masa depan bangsa ini dikasih 13 rupiah per hari. Preek!

Bagaimana pula kalau jumlah pemuda di kampung lebih dari 500 orang? Segera lempar kalkulator ditanganmu itu Burhan sebelum minus 0,0XXXXXXXX muncul di layar dan membuatmu tak berselera untuk sekedar gosok gigi. Jangan sampai Rp 13 atau minus 0,00 itu akan membuat asam lambungmu naik hingga pemuda benar-benar punya niat bunuh diri, atau dengan terpaksa mencari pelarian atas tragedi yang baru kau sadari itu. Menjerumuskan diri ke lembah hitam, misalnya. Semacam jadi begal motor, kurir, arau pecandu castol.

Lalu, mengapa pemerintah dan deretan aktivis pendukung hukuman mati, betapa tak tahu malu mengumbar bacotnya di media secara berulang-ulang dan kompak (seperti dihafal) mengatakan begini; "Ini demi keselamatan generasi muda selaku pewaris masa depan bangsa".

Negara yang menganggap generasi muda sebagai penentu masa depan bangsa tetapi menelantarkannya, bukankah sama halnya dengan seorang suami pemabuk, menelantarkan anak istri, pelit pula, tetapi selalu minta dilayani? Dan sebagai pemberian tahu pada anak istri bahwa si suami benar-benar peduli dan melindungi masa depan anak-istri, suami tak segan-segan membunuh tetangga atau anggota keluarga sendiri gara-gara anak-istrinya 'dijerumuskan' dengan cara mencampur telur dadar dengan jamur tahi kuda, supaya mereka dapat makan dan tahan lapar sehingga kuat menjalani hari sekaligus melayani suami, sembari tetap mempertahankan indeks kebahagiaan atas pelarian dari bencana hidup yang dialami gara-gara terikat hukum pernikahan dengan sang suami pemabuk, pelit, menelantarkan anak-istri dan sebenarnya gagal dalam membina rumah tangga?

Hanya suami sakit, gagal, dan tak tahu malu yang nekat membacot di hadapan publik dengan omongan; “Jangan tanya apa yang telah suami berikan kepada kalian, tetapi tanyakanlah apa yang telah kalian berikan pada suami”.

Apalagi alasan dia membunuh anggota keluarga dan tetangga yang memberi (padahal diminta) telur dadar campur mushroom kepada anak-istrinya (yang sebenarnya ia terlantarkan, adalah karena ia begitu merasa peduli kehidupan dan kesehatan anak-istri, dan tak akan pernah memaafkan anggota keluarga maupun tetangga yang dianggapnya telah menjerumuskan anak-istrinya ke dalam bencana hidup. Helloooooo….??? Suami macam apa itu?

Bagi istri-istri yang berpikir, pasti akan menuntut CERAI, atau segera meninggalkan secara malintang deng manta-manta pa depe laki! :p

Tulisan terkait :

Matematika dan Kecurigaan Kita

Minggu, 15 Maret 2015

Matematika dan Kecurigaan Kita



SAYA tidak berani, apalagi tega, untuk semena-mena memastikan bahwa, anak-anak Mongondow seusia saya ketika itu, usai menamatkan SD dan melanjutkan ke jenjang berikutnya, punya kecemasan seperti yang saya alami terkait mata pelajaran Matematika. Namun yang jelas, di masa yang telah silam itu, saya menyadari, betapa payahnya diri ini untuk sekedar bersorak secara munafik di dalam kelas dan hanyut dalam euforia yang tak kalah munafiknya ketika seolah-olah berhasil mengerjakan soal Matematika ketika tercatat sebagai siswa di SMP Negeri 1 Kotamobagu.

Matematika yang sebelumnya saya mamah-biak secara enteng saat masih di bangku SD, tiba-tiba jadi momok yang bikin mumet tatkala deretan rumus dan sebutan yang membacot seperti; contingent, alfa, cosinus, beta (dan anak-pinaknya), menjadi seperti untaian bencana yang berkeluk-keluk dan malimbuku secara tengik di kepala hingga berefek pada naiknya asam lambung, dan yang terparah adalah diare.

Mulanya saya memang menganggap bahwa mata pelajaran Matematika hanyalah ledakan kesenangan yang dirasakan tatkala berhasil mengerjakan soal terkait pembagian, pengurangan, perkalian dan penambahan, sebagaimana yang pernah saya rasakan saat masih di bangku SD.

Tenyata saya keliru. Penjelasan soal diagonal sisi, diagonal bidang seluruhnya, persamaan kuadrat, bujur sangkar, segitiga siku-siku, logaritma, dan kemumetan-kemumetan lainnya, benar-benar telah merampas kenyamanan dan rasa ganteng di dalam kelas. Apalagi rata-rata guru Matematika di jaman itu adalah para ‘killer’ yang tak hanya bicara dengan mistar atau cubitan terpedih, tapi tak jarang bicara lewat tamparan menyakitkan (tentu pula memalukan) tanpa mereka para pendidik itu perlu khawatir kalau tindakan itu melanggar HAM. (terima kasih atas tumbangnya Orba).

Dan betapa memalukannya ketika engkau (yang payah Matematika) sengaja dipilih bapak/ibu guru (kuat dugaan sudah dengan niat busuk) untuk tampil di depan papan tulis lalu disuruh mengerjakan kerumitan soal. Padahal mereka tahu betul bahwa engkau adalah siswa yang tak hanya payah tapi memang tuna-rumus. Terkadang kita memang merasa sedih membayangkan peristiwa ini; kau buta rumus, payah Matematika, dan guru-gurunya adalah para 'killer'. Ah, betapa ada babak-babak dalam hidup kita di jaman kanak dulu yang kenyamanannya benar-benar terampas.

Maka, tak ada ruang belajar yang lebih berguna (benar-benar terbukti berguna), saat jam Matematika akan masuk, saya sudah duluan minggat dari kelas dan temukanlah saya di kolam renang Stadion Gelora Ambang. Siapa sih diantara kita pada masa itu (siswa-siswi) yang mau di-bully; ganteng-ganteng tolol atau cantik-cantik tapi goblok rumus pythagoras. (tepuk jidat).

Maka di situ (Kolam Gelora Ambang) saya merasa lebih berguna, berbobot, dan tentu tetap merasa ganteng, sehingga betapa merdekannya saya mempraktekkan gaya punggung, gaya bebas, gaya dada, gaya kupu-kupu, gaya selam, gaya salto bahkan loncat indah dari ketinggian 10 meter yang menuai aplause meriah kakak-kakak putih abu-abu yang ternyata sudah duluan ada di sana.

Tak jarang saya berhasil memengaruhi teman sekelas untuk keluar dari jam Matematika dan mencari manfaat lain (belajar berenang misalnya) tinimbang harus nampak bodoh dan munafik di bangku deretan belakang, atau jadi saksi dengan hati dibebani rasa iba dan campur-aduk yang gimana gitu, ketika harus menyaksikan bagaimana pedihnya mistar itu membabat betis dan pantat siswi (bunga kelas yang kau taksir), karena kepayahannya terhadap soal matematika dan lupa mengerjakan PR. Ini belum termasuk jadi korban bully ketika disuruh berdiri di atas bangku atau dilempar bantalan penghapus (dengan efek dramatis berupa debu putih yang mengepul) karena nampak seperti keledai yang cengar-cengir dengan keadaan bodoh karena kepayahan menyelesaikan contoh soal di papan tulis.

Tapi menggencarkan agitasi propaganda terhadap teman sekelas untuk mensubstitusi pelajaran Matematika (sekali-sekali maksudnya) dengan mata pelajaran Penjas (renang misalnya), bukan tak melahirkan perdebatan dan adu argumen. Oleh sebab itu urat leher saya harus selalu timbul demi meyakinkan teman bahwa, tak usah merasa langit seperti runtuh hanya karena bolos mata pelajaran Matematika sekali-sekali saja, sebab pelajaran Matematika hanya sekedar permainan kepintaran di ruang kelas belaka. Sedangkan di luar kelas, Matematika kehilangan eksistensi kecuali dalam kepentingan bertransaksi dan proyek infrastruktur seperti jembatan misalnya, atau bangunan. Ketidak-berdayaan Matematika terbukti ketika ia tidak bisa diandalkan sehingga gagal menjadi keahlian pribadi yang menyelamatkan. Artinya, Matematika hanya ada dan hidup dalam realitas kelas (sekolah) sedangan dalam realitas sosial (luar sekolah), Matematika tidak memberikan banyak manfaat. Begitu saya menyesatkan teman.

Kepada beberapa teman, saya lantas mencontohkan, misalnya ketika pulang sekolah lalu engkau dihadang sekelompok pemalak (anggap begal di jaman sekarang), tidak mungkin keahlian Matematika yang dimiliki akan menyelamatkanmu. Kecuali terapan ilmu yang ada di Penjas yakni; tendangan Karate atau Sprint 100 Meter.

Ambil contoh pula ketika kapal yang engkau tumpangi hendak karam, tidaklah mungkin engkau mengandalkan pengetahuan matematis dengan terlebih dulu mencari kertas buram lalu mencakar-cakar rumus di situ kemudian membagi-kurung dan mengalikan berapa kedalaman laut dikalikan dengan berapa derajat kemiringan kapal, kemudian dibahagi-kurang dengan jumlah penumpang, terlebih merapal rumus Arcimedis. Sebab dalam keadaan begitu, keahlian matematis sama sekali tidak diperlukan. Tetapi jika engkau jago renang, maka keselamatan diri dapat dijamin. Begitupun ketika ada orang tua berteriak-teriak histeris melihat putrinya yang cantik sedang diseret ombak, tak mungkin orang tua si tuan putri akan berteriak kepada khalayak di kapal; “siapa yang jago Matematika di sini? Tolong selamatkan anak saya dan sebagai hadiah, kalian akan saya nikahkan”.

Pendek kata, di jaman itu, bagi saya Matematika hanyalah permainan kepintaran yang hanya berlaku di dalam kelas saja dan sebagai penambah nilai rapor. Sedangkan di luar kelas, Matematika dengan rumus-rumusnya betapa payah menjadi peganggan atau keahlian diri yang menyelamatkan. Cukuplah sudah Matematika merampas dan meneror rasa nyaman dalam ruang kelas kita sejak di bangku SD hingga SMA. Dan biarlah Matematika hanya dikejar oleh mereka yang benar-benar tertarik dan serius dengan kubus, persamaan kuadrat, contingent, alfa, cosinus beta, segi-tiga sama kaki, dan pada aljabar.

Oleh sebab itu saya selalu bersyukur, tabiat mensubstitusi Matematika dengan Kolam Renang Gelora Ambang pada masa yang silam itu, benar-benar berguna di episode kehidupan saya selanjutnya. Tak usah dijejer record yang pernah dicapai. Begitupun kisah-kisah haru, romantis, menyenangkan, dan kepahlawanan (Ekheeem..) gara-gara skill jago renang yang dimiliki. Tapi betapa menyenangkan ketika saya diterima dan bekerja dengan orang luar Mongondow di Diving Center sebuah Resort yang letaknya di pulau jauh dengan terumbu karang dan pasir putih nan indah, dimana 98 persen tetamunya bermata bak kucing di rumah Ibu. Di situ juga saya (kok jadi enak) ikut memanggang kulit dibawah terik matahari bersama para pemilik mata kucing dan bokong coklat mengkilap mengagumkan selama 1,5 tahun.

Baiklah, itu hanya sepenggal kisah di suatu masa yang telah berlalu, dimana Matematika adalah bencana dari rasa nyaman dan keceriaan dalam kelas. Sekarang kita berada pada era dimana Matematika tiba-tiba berubah menjadi hal yang sungguh mencurigakan.

Saking mencurigakannya, kita perlu mendapatkan penjelasan dari mereka para jago Matematika yang di hadapan penduduk Indonesia mengatakan begini; setiap tahun ada 51.000 orang meninggal lantaran narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba).

Dan tak kalah menggetarkannya lagi sampai dada sesak dan nalar kita yang payah Matematika seperti tak henti-hentinya dibully adalah pengumuman yang sering diumbar dan dikutip-kutip seolah itu merupakan kebenaran yang turun dari langit dengan keimanan yang mengatakan bahwa; setiap hari ada 50 nyawa generasi muda melayang sia-sia gara-gara narkoba. Sehingga jangankan Kejagung dan Kepala BNN, Presiden Jokowi pun ikut-ikutan mengumbar sabda dari kengerian yang betapa mengundang curiga itu.

Lalu pernahkah kita mendapat penjelasan bagaimana angka itu didapat? Tidakkah pula kita menaruh curiga kalau angka-angka yang didapat itu diperoleh hanya dengan memetiknya di sembarang tempat? Seperti ketika kita begitu mudah memetik daun berulat di halaman sekolah jaman SD dulu lalu menakut-nakutinya kepada teman sebaya putri yang lari terbirit-birit sembari menjerit?

Semoga tidak demikian. Sejak di bangku SD, Guru Agama telah mengajarkan kepada kita agar tak boleh berprasangka buruk. Maka tanpa suudzon, kita anggap saja bahwa angka-angka yang diperoleh itu adalah hasil perbuatan para jago Matematika negeri ini yang mereka dapat tak hanya dengan mengkhayal. Soal rumus apa yang dipakai, merekalah yang paling tahu.

Tapi sepayah-payahnya kita dengan matematika—meski tidak demikian kalau dalam urusan bertransaksi—sepertinya harus nekat bertanya; apakah angka itu diperoleh dengan cara membagi jumlah penduduk republik ini dengan angka para pengguna narkoba? Dan hasil yang didapat dari pembagian itu adalah populasi yang membuat kita mudah mengidentifikasi setiap orang yang berpulang ke alam baka gara-gara narkoba? Coba cocokkan dengan populasi tempat kita masing-masing berada dan mulailah menghitung? Begitukah?

Tanpa berburuk sangka sembari tetap berjabat-tangan dengan kelompok anti-narkoba, kita juga punya pertanyaan begini; apakah ada pengklasifikasian jenis narkoba terkait kematian yang disebabkan barang berbahaya itu? Sebab bukankah absurd dan merupakan generalisasi yang semena-mena jika pengklasifikasian yang menyebabkan kemampusan itu tidak ada?

Ah, mulai rumit dan mencurigakan bukan?

Baiklah kalau begitu. Sebaiknya mungkin begini, kepada siapapun pembaca yang jago Matematika, boleh mengirimkan penjelasannya via email di uwinmokodongan@gmail.com

Tentu akan sangat menyenangkan jika kita dapat menikmatinya secara bersama-sama di Leput. Sehingga Matematika tak hanya sekadar permainan kepintaran di dalam kelas belaka, apalagi momok mengerikan yang telah merampas kenyamanan anak-anak sekolah (terutama bagi yang merasa ganteng dan yang merasa cantik), dan tidak dijadikannya Matematika sebagai alat untuk menakut-nakuti yang alangkah mencurigakannya. Sehingga sepayah-payahnya nalar kita menerima Matematika, tidak se-enteng itu untuk terus diteror apalagi digoblok-gobloki secara statistik.

Kamis, 12 Maret 2015

Dokter Wirno dan Hujan Malam Itu



Leput Institut mendapat kiriman Cerpen. Penulisnya adalah pembaca Leput. Sepertinya bisa kita nikmati.

Dokter Wirno dan Hujan Malam Itu

KOTA kecil itu sedang diguyur hujan. Terkadang diselingi angin kencang. Di ruang instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit di kota kecil itu, nampak Dokter Wirno ditemani tiga orang perawat. Mereka bertugas jaga malam. 

Dokter Wirno belum lama bertugas di rumah sakit milik pemerintah kota. Istrinya baru saja pulang sesudah mengantarkan 4 bungkus bubur ayam dan gorengan untuk makan malam suaminya dan 3 orang perawat yang ikut berjaga. Itu memang sering dilakukan istrinya setiap jadwal jaga malam suaminya tiba.

Saat itu belum ada pasien masuk. Jadi mereka lebih banyak duduk berbincang. Nanti pada pukul sepuluh malam, seorang pria dewasa masuk membawa pasien seumuran anak SMA. Erang kesakitan terdengar memecah ruangan.

Dokter Wirno dan tiga perawat lansung bertindak. Pasien diketahui bernama Budi, berumur 18 tahun. Ia mengalami luka sobek di kaki dan wajahnya. Pasien mengaku baru saja mengalami kecelakaan.

Luka itu sepertinya perlu dijahit. Tatkala dokter Wirno hendak melakukan penanganan medis, handphone di saku kemeja putihnya berdering. Mulanya ia tak mempedulikan. Tapi setelah berkali-kali berdering, ia permisi sebentar lalu berjalan ke sudut ruangan hendak menerima panggilan telefon itu. Tiga perawat meneruskan tugas sang dokter.

Sejurus kemudian masuk sekelompok orang yang mengaku keluarga si pasien. Saat mereka datang, Dokter Wirno masih terlibat percakapan di telefon. Wajahnya nampak tegang.

Keluarga pasien yang baru tiba ini membentak tiga orang perawat di situ. Dokter Wirno pun tak luput dari cercaan. Wajahnya kini nampak pucat. Keluarga pasien cepat naik pitam tatkala mendapati dokter Wirno sedang bercakap-cakap di telefon padahal ada pasien yang sedan mengerang kesakitan dan butuh penanganan.

Tangan Dokter Wirno lalu gemetar memasukkan kembali handphone ke saku seragam putih-putihnya. Ia lalu buru-buru mendekati pasien.

Merasa bersalah, ia kembali bertugas melakukan penanganan medis. Tak ayal, ketika sedang menjahit luka pasien, bentak dan caci terus menggema ke telinganya. Namun dengan sabar Dokter Wirno terus bekerja menjalankan tugasnya meski dibawah tekanan keluarga pasien. Dia baru tahu kalau pasien yang tengah mendapat pelayanan medis ini adalah keluarga pejabat yang sedang berkuasa di kota itu. Mereka terus mengumbar-umbar hal itu ke telinga Dokter Wirno dan perawat yang ada di situ, seolah rumah sakit itu adalah milik keluarga si pasien.

Dengan sabar, Dokter Wirno terus menjalankan tugasnya. Matanya nampak berkaca-kaca. Ia lantas tak bisa menahan air matanya yang tiba-tiba menetes. Tangannya gemetar. Perawat merasa heran sekaligus kasihan.

Sejurus kemudian, 3 orang petugas kepolisian masuk. Ketika itu Dokter Wirno sedang menjahit luka dibagian wajah pasien.

“Pasien dari mana ini?” Tanya seorang polisi. “Apakah pasien ini bernama Budi?” timpal petugas yang lainnya.

Terjadi ketegangan antara pihak kepolisian dengan keluarga pasien hingga berbuntut keributan. Perawat kebingungan sedangkan Dokter Wirno meminta agar keributan itu dihentikan supaya ia bisa menyelesaikan tugasnya dalam melakukan penanganan medis kepada si pasien.

Usai pasien dijahit, petugas kepolisian meminta agar si pasien dibawa ke kantor polisi karena akan menjalani pemeriksaan. Hal ini membuat keluarga pasien protes.

“Di mana nurani kalian? Tidakkah kalian lihat apa yang sedang dialami pasien ini?” kata keluarga pasien.

“Ada apa ini sebenarnya? Ada apa? Kenapa dia mau dibawa ke kantor polisi? Kasihan dia masih anak-anak” timpal anggota keluarga yang lain.

Polisi beralasan, luka si pasien tak sebegitu parah. Ia bisa dimintai keterangan di kantor polisi. Tapi keluarga pasien terus-terusan protes. Polisi lantas menjelaskan, kalau pasien adalah pelaku tabrak lari yang berbuntut tewasnya seorang perempuan. Dikatakan kalau pasien mengendarai mobilnya secara ugal-ugalan.

Saling bantah terus terjadi. Perawat bingung. Dokter Wirno melangkah ke sudut ruangan. Di tepi jendela tangisnya meledak. Perawat yang kebingungan mendekat. Tapi mereka cemas menanyakan ada apa gerangan.

Ruang instalasi gawat darurat semakin gaduh. Bunyi sirene sebuah kendaraan polisi terdengar memasuki halaman rumah sakit. Tangis Dokter Wirno kian meledak. Perawat masih kebingungan apa yang terjadi. Di kisi-kisi jendela instalasi gawat darurat rumah sakit itu, hujan terasa seperti jutaan jarum yang jatuh melukai tubuh Dokter Wirno.

“Dok, kenapa Dok,” perawat menghampiri dokter Wirno yang tak bisa meredam tangisnya di tepi jendela.

“Dok, kenapa Dok,” Tanya perawat lagi.

Tak ada jawaban. Isak tangis yang menggelepar di tepi jendela itu adalah kesunyian purba yang membenamkan seluruh kisah.

“Dok, ada apa Dok?”

Mereka baru tahu, yang menelefon Dokter Wirno ketika ia hendak melakukan penanganan medis pada pasien tadi, adalah tetangga barunya. Memberitahukan bahwa istrinya tertabrak seorang pemuda yang ugal-ugalan mengendarai mobil.

TAMAT



Senin, 09 Maret 2015

Wakil Rakyat, Netizen, dan Teori Konspirasi Dibalik Kedahsyatan Akto


Ardiansyah Imban, wakil rakyat asal Bolaang Mongondow Raya yang berhasil memperoleh kursi di DPRD Sulut karena banyaknya dukungan rakyat (sebagian mungkin dari keluarga Akper), urung menjaga mulutnya hingga tanpa malu mencaci-maki anak-anak Akper Totabuan (Akto) di akun fesbuk miliknya, dengan umpatan; menjijikan!!

Para aktivis dunia maya (netizen), baik yang moderat hingga yang radikal, boleh ikut memperkeruh suasana meski hanya bersandar pada miskinnya data. Begitupun para jamaah bebekiyah (pengguna BlackBerry Messenger/BBM), boleh bebas bikin Display Picture dari meme-meme sarkastik dan diparipurnakan dengan status-status pedas yang silih berganti di recent update.

Dan kita para penikmat segala keributan yang mulai mereda seiring dekatnya pelaksanaan eksekusi mati kelompok Bali Nine, sadarkah bahwa ada semacam teori konspirasi yang sebenarnya bermain dibalik semua itu?

Maka simaklah duga-duga yang betapa bebas dan merdeka dianggap sebagai kinta illumoai kon kanalpot gilingan payoi.

Sebelum lanjut membaca, sekedar saran, setel lebih dahulu tembang berjudul Kesepian Kita yang dibawakan Tere feat PAS BAND.

Baik, kita mulai lagi dari Ardiansyah Imban.

Kenapa harus Anggota DPR? Kita tahu bersama bahwa umumnya Anggota DPR sedapat mungkin menghindari konfrontasi tunggi personal versus tunggi publik. Apalagi bentuknya adalah memaki rakyat pemilihnya sendiri dalam konteks perkara yang belum jelas. (Tunggi = bibir. bhs.Mongondow).

Sungguh TERLALU ketika yang dicaci-maki adalah konstituen di daerah pemilihan tempat Imban meraup suara signifikan hingga bisa memperoleh kursi di DPRD Sulut dan menjadikannya sebagai Wakil Rakyat.

Mencaci-maki konstituen, adalah tindakan blunder—kalau tidak disebut bunuh diri politik. Inilah yang dilakukan Imban, hingga menimbulkan teori konspirasi; mengapa ia nekat—kalau tidak dikata tolol—melakukan bunuh diri politik? Apakah karena pemilu masih lama? Atau karena ia sekedar cari sensasi karena sudah kehilangan pamor? Atau dari ke 40 rombongan anak Akto yang nonton Dahsyat, salah seorang diantara mereka baru saja memutuskan cinta sang anggota dewan. Atau motif yang melatar-belakangi muncratnya makian itu karena; cinta ditolak, akun fesbuk bertindak. Sehingga hasilnya adalah kekerasan verbal dalam bentuk umpatan; menjijikan! sebagaimana yang ia tulis di akun fesbuk miliknya untuk anak-anak Akto. Lalu siapa juga mengira, Imban kalah bersaing dengan cowok-cowok andalan kampus Akto, sehingga tak heran terjadi generalisir masalah, dan mengumpat anak-anak Akto di fesbuk adalah tindakan yang dianggap wajar. Terlebih itu menyangkut harga diri Mongondow. (helloooooo…???).

Selanjutnya, apa hubungan Ardiansyah Imban dengan Akto dalam sudut kepemilikan lembaga? Sebab kita tahu bersama bahwa, konon pemilik Akto adalah orang yang satu partai dengan Imban? Maka, adakah permusuhan diantara keduanya? Eitss… tak perlu suudzon. Kita hanya bisa menduga-duga saja. Namun pertanyaan-pertanyaan itulah yang sepertinya melahirkan teori konspirasi terkait pembully-an terhadap anak-anak Akto.

Netizen

Kalangan netizen di sini dapat kita bagi dalam beberapa kelompok kategori diantaranya adalah; Pertama, kategori mamak-mamak megapiksel (istilah buatan remaja di Mongondow yang merujuk pada ibu-ibu berisik dan tukang gosip tak hanya di lingkungan tetangga melainkan di fesbuk).

Bagi yang jam terbang pergaulannya menyentuh hingga ke kisi-kisi paling karlota (tukang gosip,red) di lingkungan dedew-dedew (istilah di Mongondow yang merujuk pada remaja putri) dan mamak-mamak megapiksel, maka tak jarang kita menemukan pertengkaran—kadang berbuntut perkelahian—antara mamak-mamak megapiksel dan dedew-dedew gaul. Semua bermula dari (sebagaimana) kata pepatah; ‘mulutmu harimaumu’ hingga berujung pada baku cigi rambu (saling jambak) dan tak sedikit bermuara di meja hijau.

Maka tahulah kita, antara mamak-mamak megapiksel dan dedew-dedew gaul ini sudah tertanam dendam purba sehingga adalah keniscayaan ketika mamak-mamak megapiksel ini betapa berisiknya membully dedew-dedew Akto. Tentu tanpa perlu melihat pokok persoalan sebenarnya. Pendek kata, terbuka sedikit celah, maka hajar, bully!

Selanjutnya yang Kedua,adalah pemuda-pemuda jomblo. Kategori ini akan dengan sangat mudah—dan tentunya akan sangat jahat—membully dedew-dedew di Akto, karena ada sejarah pahit berupa cinta yang tertolak. (Ekhuhu..)

Maka jangan harap mereka akan bersikap netral sekalipun dedew-dedew di Akto tak bersalah ketika tampil dalam acara Dahsyat di RCTI. Sekedar mendapat info burung saja kalau dedew-dedew di Akto tengah mengalami persoalan pelik, para pemuda jomblo yang cintanya ditolak ini tentu akan dengan mudah mendesahkan kalimat; syukurlah kalau begitu. Atau dengan pilihan yang brutal ; Mati jo!

Maka, tak usah kaget ketika kelompok kategori ini akan sangat gesit dan sengit membully dedew-dedew di Akto yang pernah menolak–apalagi mentah-mentah—cinta mereka.

Jadi, beruntai hujatan di akun fesbuk, tak usah ditaruh heran jika memberondong seperti peluru yang keluar dari moncong Kalasnikov dari tangan para pejuang ISIS. Tak usah juga merugi waktu dan membuang-buang umur dengan memberi pencerahan pada mereka soal duduk perkara yang sebenarnya, sebab sama seperti mamak-mamak megapiksel, terbuka sedikit celah, pemuda-pemuda jomblo radikal yang menjadikan akun fesbuk sebagai Kalasnikov, tanpa tedeng aling-aling memberondongkan semua itu ke dedew-dedew di Akto, dengan cara memposting status-status kejam yang mengesampingkan perasaan iba.

Ketiga, adalah Mantan Pacar. Konsep jadul CBSA (Cinta Lama Bersemi Kembali) yang tertolak, membuat para mantan pacar yang mencoba balikkan—namun gagal—menjadikan kelompok kategori ini hampir sama brutal dengan kategori pemuda jomblo. Kelakuan mereka hanya beda-beda tipis; dapat celah, sikat! Mereka yang darah tinggi juga tak peduli pokok persoalannya seperti apa, sebab yang utama adalah rasa sakit hati terbalaskan dengan cara memaki para dedew-dedew Akto di fesbuk karena sadar betul para dedew ini kemungkinan besar telah mengunci pintu hati rapat-rapat untuk mereka yang melancarkan modus CBSA. Maka tak heran jika motto para mantan pacar ini adalah; fesbukku senjataku!

Yang keempat adalah Hiding Marketing. Nah, ini yang paling mutakhir dan sarat kepentingan bisnis. Siapa mengira, keberangkatan mahasiswa Akto di Jakarta—bahkan sempat-sempatnya tampil di acara tak bermutu macam Dahsyat—, merupakan grand design kelompok hiding marketing (pemasaran terselubung) yang tujuannya adalah, melambungkan nama Akademi Keperawatan Totabuan kepada khalayak ramai khususnya di Mongondow. Sekalipun itu dilakukan dengan cara tak lazim dan teknik-teknik marketing terselubung lainnya.

Jadi jangan pikir bahwa keberangkatan ke Jakarta itu hanya ajang jalan-jalan tak bermutu, sebab dibalik urusan itu tersimpan tujuan besar. Hal ini pulalah yang melahirkan teori konspirasi bahwa, hiding marketing berada dibalik keributan yang dimulai dalam tayangan Dahsyat.

Nah,apakah kita inilah kakap yang termakan umpan hiding marketing di belakang Akto?

Sebelum dan sesudahnya, mari kita sudahi segala omong-kosong tentang Akto ini, dan hiburlah diri dengan menyimak keributan antara Ahok dan Haji Lulung. Siapa tahu ini lebih bermutu. *roftl*

Tulisan sebelumnya :

1.  Dahsyatnya Nova Soputan: Dihujat Gara-Gara Hanya Menyebut dari Akper Totabuan (Tanpa Mongondow)

2. Sekali Lagi, Soal Nova Soputan dan Netizen Reaksioner Berisik

3. Sesat Pikir Netizen Reaksioner Berisik di Mongondow

Sesat Pikir Netizen Reaksioner Berisik di Mongondow


AWALNYA saya tidak pernah menduga, kalau jawaban seorang keke Minahasa bernama Nova Soputan kepada Raffi Ahmad dalam acara Dahsyat di RCTI (Minggu 08 Maret 2015), bakal dinalari kalangan netizen di Mongondow dengan logika bengkok namun kerdil. Lebih sontoloyo lagi ketika secara berjamaah dan tanpa ada rasa malu, mereka berusaha untuk tetap memaksakan diri dalam kebengkokan itu dengan cara menggeneralisir (tareangkum in kai Mongondow) terkait jawaban seorang keke Minahasa kepada Raffi Ahmad.

Maka di sini tujuan busuknya sudah kelihatan yakni, mempertersangkakan seluruh mahasiswa Akademi Keperawatan Totabuan (termasuk yang hanya menonton) untuk dijadikan korban bully di media sosial, karena menurut netizen di Mongondow, anak-anak Akper Totabuan (Akto) yang hadir di acara Dahsyat RCTI, memalsukan identitas ke-mongondow-an mereka. (Maaafkanlah para netizen reaksioner yang memfitnah secara buta itu).

Namun yang semakin naujubillah dari semua itu adalah, usaha keras-kerasan para netizen reaksioner berisik dalam mencari pembenaran yang kemungkinan mereka kais entah dari gudang mana.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tak ada pula yang berhak menjadi polisi tukang larang sederet status berisi hujatan dan komen yang kehilangan pijakan terserak sudah di media sosial. Hal itulah yang tiba-tiba membuat saya berpikir, masih mending kalau nasi sudah jadi bubur, tetapi bagaimana kalau tak pernah ada orang yang menanak nasi lalu tiba-tiba meributkan bubur? Sama seperti, Nova Soputan yang bicara dia dari Manado, tapi keseluruhan anak Akper Totabuan yang dihujat karena dituduh malu mengaku anak Mongondow. Keterlaluan ini hanya membawa kita menyimak berderet meme dan hastag Haji Lulung, ambil contoh; “Haji Lulung naik pesawat Lion Air, berangkatnya hari ini, tibanya kemaren,”.

Setelah keributan tentang Akper Totabuan kemarin, Senin hari ini saya masih senantiasa tertawa, entah bagaimana cara netizen  di Mongondow (memang tidak semua sih) menerjemahkan tayangan percakapan singkat antara Nova Soputan dan Raffi Ahmad di RCTI. Kekeliruan-kekeliruan dalam bentuk posting status dan komen-komen di medsos, hanya membuat saya penuh keyakinan berkesimpulan; betapa payahnya logika para netizen reaksioner berisik di Mongondow yang sepertinya mengalami kemiskinan info tapi banyak bacot. Saya bahkan berkeyakinan kalau mereka sebenarnya tidak pernah menonton tayangan Dahsyat edisi Minggu 08 Maret 2015, pagi kemarin. Kecuali mendapatinya lewat bisik-bisik yang jauh panggang dari betul, dan hanya mengantongi informasi yang jauh panggang dari fakta.

Betapa tidak, yang saya temui ketika menelusuri keributan itu di medsos, adalah sesat pikir yang betapa memalukannya sebab tak jelas mana kepala mana ekor, mana kumis mana rambut, mana pusar mana telinga. Semua serba cacat sehingga untuk urusan membully pun tak becus. Jadinya malah senjata makan tuan, membuat pipi para pembully memerah, ibarat ditempeleng dengan cara sambil tertawa dan rasa gemas yang mencolok.

Mengapa sampai setega itu? Karena mereka membully anak-anak Akper Totabuan, tetapi tidak sadar dengan penuh rasa malu bahwa mereka malah sudah menjadikan diri mereka sebagai objek bully yang paling menggemaskan untuk dibully se-bully-bully-nya bully.

Atau kita harus memberi sedikit pelajaran logika terhadap para netizen di Mongondow yang membully namun sebenarnya terbully secara otomatis.

Maka mari belajar logika dan perhatikan silogisme sebagai berikut ini :

Ayah Nova berasal dari suku Minahasa (premis mayor)
Nova adalah anak dari Ayahnya (premis minor)
Nova adalah turunan suku Minahasa (konklusi)

Kemudian,

Soputan adalah marga dari suku Minahasa
Nova bermarga Soputan
Nova adalah suku Minahasa.

Biar makin lengkap, simak lagi silogisme berikutnya;

Mokoginta bukan marga suku Minahasa
Uyo bermarga Mokoginta
Uyo bukan dari suku Minahasa

Selanjutnya, mari kita belajar dengan CONTOH kasus dibawah ini dengan mempergunakan logika secara lebih sehat dan pada tempatnya, agar tak sesat pikir lagi;

Alex Mawengkuraga adalah seorang anak suku Amungme asli di pedalaman Papua. Dia lantas datang ke Mongondow, tinggal di Kotobangon, dan kuliah di Akademi Keperawatan Totabuan. Suatu ketika Alex dan teman-teman Kampus Akper berjumlah 40 orang, sedang berada di Jakarta oleh suatu urusan. Mereka lalu menyempatkan diri nonton konser musik indoor di salah satu stasiun tv swasta di Jakarta. Alex lantas di daulat Raffi Ahmad selaku presenter acara tersebut supaya tampil berpartisipasi dalam segmen lomba makan mie instant 10 bungkus. Saat lomba baru akan dimulai, terjadi dialog singkat antara Alex dengan Raffi Ahmad, sebagai berikut;

Presenter : Dari mana?
Alex : Papua
Presenter : Kampusnya di mana?
Alex : Di Akper Totabuan

Lalu lomba makan mie dilaksanakan dan Alex mendapat peringkat ketiga dari tiga peserta. Sesudah itu tak ada lagi tanya - jawab. Alex kembali di barisan penonton tempat dimana teman-teman sekampusnya berjejer di situ.

Tiba-tiba apa yang terjadi di Mongondow?

Alex Mawengkuraga dicaci habis-habisan. Dan karena Alex Mawengkuraga adalah anak Akper Totabuan, maka teman-temannya sesama anak Akper Totabuan (yang hanya menonton Alex tampil), ikut dihujat, dicaci, dan dihinakan gara-gara tak mengaku orang Mongondow di hadapan Raffi.

Hellooo......??? RCTI itu milik siapa? Apakah anak-anak Akper yang hadir di acara yang sebenarnya tak bermutu itu harus turun dari tribun lalu berlari ke depan dan merengek-rengek dihadapan Raffi Ahmad supaya mau mewawancarai mereka yang konon berjumlah 40 orang itu? Sehingga mereka berkesempatan mempromosikan Mongondow dan dapat kesempatan ekslusif untuk membentangkan sejarah ke-mongondow-an di depan kamera dan disaksikan masyarakat dari Merauke hingga Sabang? Agar para netizen reaksioner berisik di Mongondow puas dan mudah tidur? Sehingga Ardiansyah Imban tidak perlu berteriak-teriak di status facebook-nya, yang nekat mengatai anak-anak Akper Totabuan; menjijikan???!! (Ya, ampun..adakah anak-anak Akper Totabuan ini memilih Ardiansyah Imban jaman Pileg lalu)

Alex dan anak-anak Akper Totabuan bahkan tak hanya dibully melainkan diancam agar tak usah kembali ke Mongondow tersebab kelakuan dia (bahkan digeneralisir dengan rombongannya) memalsukan identitas dirinya sebagai anak Mongondow asli.

Maka betapa kurang-ajarnya pula ada meme Bogani yang sedang menantikan Alex bersama teman-teman Akper Totabuan lainnya meruyak di medsos. Alex Mawengkuraga dan kawan-kawannya sesama Akper Totabuan terus dihujat karena dituduh tidak mengakui bahwa dia (Alex dan anak-anak Akper Totabuan) adalah anak Mongondow. Mereka gondok karena Alex saat ditanya Raffi Ahmad; asal mana? tidak mengaku sebagai anak Mongondow asli. (Lha, mengaku anak Mongondow asli bagaimana sedang dia asli suku Amungme?)

Pembaca, seperti itulah yang dialami Nova Soputan. Dia adalah keke Minahasa yang lahir di Ratahan Kabupaten Minahasa Selatan. Dia kuliah di Akper Totabuan Kotamobagu (Mongondow) dan Minggu 08 Maret 2015 kemarin berada di Jakarta bersama teman-teman Akper Totabuan yang lain dan berkesempatan nonton Dahsyat di RCTI lalu didaulat Rafi Ahmad ikut lomba makan mie.

Betapa kurang-ajarnya pula ada Meme Bogani yang sedang menantikan Nova bersama teman-teman Akper Totabuan lainnya meruyak di medsos. Nova Soputan dan kawan-kawannya sesama Akper Totabuan terus dihujat karena dituduh tidak mengakui bahwa dia (Nova dan anak-anak Akper Totabuan) adalah anak Mongondow. Mereka gondok karena Nova saat ditanya Raffi Ahmad; asal mana? tidak mengaku sebagai anak Mongondow asli. (Lha, mengaku anak Mongondow asli bagaimana sedang dia asli suku Minahasa?)

Maka kedunguan macam apa lagi yang hendak dipertontonkan para netizen pembully di Mongondow yang untuk urusan membully saja tak becus, bagaimana mau buat status yang benar.

Tulisan sebelumnya :

1. Dahsyatnya  Nova Soputan: Dihujat Gara-Gara Hanya Menyebut dari Akper Totabuan (Tanpa Mongondow)

Minggu, 08 Maret 2015

Sekali Lagi, Soal Nova Soputan dan Netizen Reaksioner Berisik


MEREKA tak hanya dihujat, tapi dituduh mengingkari sejarah dan identitas budayanya selaku anak Mongondow. Mereka tak hanya dibully, tapi dituduh sebagai remaja gengsian untuk sekedar mengaku anak Mongondow. Mereka tak hanya dijadikan bahan olok-olok, tetapi diancam akan ditempeleng satu-satu, kerena mengingkari ke-mongondow-annya. Mereka tak hanya dihina, tetapi diminta agar tak kembali lagi ke tanah Mongondow. Mereka dijadikan samsak tinju para netizen Mongondow, karena dituduh melakukan kamuflase dan mendustai keberadaan mereka selaku anak Mongondow. Mereka bahkan dituduh menyamar, karena malu untuk sekedar mengaku anak Mongondow asli. Mereka tercaci dan dihinakan.

Siapa mereka yang tercaci secara hina-dina itu?

Rupanya yang dimaksud sebagai MEREKA itu adalah Nova Soputan, perempuan bermarga suku Minahasa, lahir di Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara, yang sepertinya akan merasa lucu (dan terkadang di situ dia akan merasa sedih) karena dipaksa kaum reaksioner berisik di Mongondow agar harus mengaku sebagai anak Mongondow asli atau anak Kotamobagu tulen dihadapan Raffi Ahmad dalam acara Dahsyat di RCTI.
* * *
Adalah rombongan anak-anak Akademi Keperawatan Totabuan—selanjutnya disingkat Akto—yang tiba-tiba diributkan kalangan netizen di media sosial Facebook, Twitter, Path dan BlackBerry Messenger.

Apa yang terjadi sehingga para aktivis media sosial membully sedemikian sengit?

Sebenarnya, bukan soal apa yang telah dijawabkan Nova Soputan pada Rafi Ahmad mantan cowok Yuni Shara, tetapi soal apa yang telah digeneralisir secara sembarangan sekali kepada anak-anak Akto (Nova adalah mahasiswa Akto), dari orang-orang yang seolah-olah mendaulat kadar Mongondow-nya paling Ori bukan kawe-kawean.

Lalu kenapa anak-anak Akto dituduh melakukan hal-hal sebagaimana yang disampaikan pada awal tulisan ini? Amboiiii....rupanya hanya gara-gara soal percakapan singkat (basa-basi gak penting) yang berlangsung beberapa detik saja antara Raffi Ahmad dan Nova Soputan.

Diketahui bahwa anak-anak Akto sedang dalam urusan studi di Jakarta. Oleh adanya suatu kesempatan, mereka mampir ke studio RCTI menonton program Dahsyat dimana Raffi Ahmad adalah presenter dalam acara itu.

Saat segmen lomba makan Mie akan dilangsungkan, Raffi Ahmad memilih 3 penonton untuk dapat berpartisipasi mengikuti segmen tersebut. Nova Saputan adalah peserta terakhir yang terpilih secara acak tatkala dia berdiri di barisan penonton.

Saat lomba baru akan dimulai, Raffi berbasa-basi menanyakan siapa dan dari manakah para peserta yang ikut berpartisipasi dalam segmen tersebut (ingat, hanya basa-basi).

Nova Soputan adalah yang terakhir ditanya. Tak ayal, ketika Raffi bertanya, dari mana? Nova Soputan spontan menjawab; Manado (umumnya orang dari seluruh pelosok Sulawesi Utara jika berada di luar daerah memang biasa menjawab dari Manado ketika mereka ditanyai asal). Raffi bertanya lagi, dari kampus mana? (mungkin karena melihat Nova memakai almamater). Maka dengan tegas dan lugas, Nova menjawab, dari Akper Totabuan. Sampai di situ saja lalu lomba dimulai hingga acara usai.

Siang harinya (Minggu 08 Maret 2015), kemarin, ributlah penghujatan terhadap anak-anak Akto yang meruyak di media sosial. Tampilnya Nova Soputan sebagai penonton yang tidak mengaku anak Mongondow asli atau anak Kotamobagu tulen (karena dia memang bukan anak Mongondow) pada Raffi Ahmad, menjadi sandaran kaum netizen reaksioner berisik di Bolaang Mongondow untuk menjaringkan pukat kepada seluruh anak-anak Akto sebagai pemalsu identitas dan pengingkaran terhadap tanah leluhur. (Tanpa menyebut ulang secara keseluruhan tuduhan-tuduhan lain yang tak main-main di awal tulisan, termasuk yang diturunkan Leput Institut pada tulisan edisi Minggu 08 Mare 2015, kemarin).

Pembaca, di mana kewarasan kita selaku orang Mongondow yang merdeka dan tahu menggunakan akal sehat kita sehingga dapat menempatkan diri dalam tindak dan pikir yang bisa dicerna logika? Bagaimana mungkin kita mengaku orang Mongondow yang berakal sehingga seharusnya beradab, namun secara tiba-tiba menjerumuskan diri dengan cara mempersempit logika kemudian menjadi kaum netizen reaksioner berisik dan otoritarian yang seolah-olah memaksakan kehendak kepada Nova Soputan, gadis bermarga suku Minahasa dan lahir di Ratahan, supaya mengaku sebagai orang Mongondow tulen atau anak Kotamobagu asli di hadapan Raffi Ahmad di acara Dahsyat RCTI? (Semua bully kalian terampang nyata di medsos, dan percuma dihapus sebab sudah di screenshoot sehingga biarlah jadi pelajaran bagi para generasi netizen selanjutnya).

Lalu logika macam apa yang dipakai dan disimpulkan para netizen reaksioner berisik Mongondow sehingga nekat melemparkan jala ke seluruh anak Akto, yang dituduh memalsukan identitas Mongondow atau dituduh tak berbudaya karena malu mengaku anak Mongondow asli atau anak Kotamobagu tulen? 

Nova Soputan yang ditanyai Raffi; "Dari mana?" Kok kalian yang harus meradang bak kebakaran jenggot (kalaupun berjenggot) atau kebakaran kening Sinchan, gara-gara Nova Soputan yang bermarga suku Minahasa dan lahir di Ratahan Minahasa Tenggara itu menjawab bahwa dia dari Manado dan kuliah di Akper Totabuan? 

Nah, apa yang salah dengan jawaban itu? Adalah kemerdekaan dan hak dari Nova Soputan berdarah Minahasa untuk menjawab, dia dari mana dan kuliah di mana. Percakapan singkat bermakna basa-basi dan jawaban Nova Soputan yang menyebut dirinya dari Manado namun kuliah di Akper Totabuan itukah yang membuat kadar ke-mongondow-an kalian para penghujat yang miskin data bakal luntur? 

Lalu kalian kaum netizen reaksioner alay dan berisik di Mongondow, maunya kalian Nova Soputan harus menjawab apa supaya tidur kalian bisa pulas dan mendengkur tanpa pica pagi main Clash of Clan? Apakah harus dengan menjawab bahwa dia (Nova Soputan) adalah anak Mongondow asli atau Kotamobagu tulen? Begitu? Agar kalian orang-orang yang seharusnya merdeka tidak menjadi kaum reaksioner berisik dan fasis di Mongondow untuk sekedar tenang dalam dengkur? Helloooo.....Betapa sewenang-wenang dan kampretnya kehendak itu. Di mana pengetahuan budaya kalian dalam menghormati etika dan adab yang seharusnya merdeka dari picik?

Makin menggemaskan lagi ketika Anggota DPRD Sulut dari Bolaang Mongondow Raya, Ardiansyah Imban ikut-ikutan sesat pikir bersama kaum netizen reaksioner berisik, menghujat anak-anak Akto yang disangkanya tidak mengaku sebagai orang Mongondow di hadapan si ganteng Raffi Ahmad. Amboii....bapak dewan yang terhormat, apakah Anda tidak menonton kalau Nova Soputan ditanyai seorang diri oleh Raffi? Bukan keseluruhan anak-anak Akto yang saat itu cuma jadi penonton?

Wahai orang-orang yang tiba-tiba menjadi kaum reaksioner berisik dan fasis, bukankah menggeneralisir suatu persoalan hanya menunjukkan betapa logika kalian hanya setinggi tumit. Cinta akan Mongondow adalah tindakan layak jempol, tapi cinta terhadap akal sehat jangan anggap sepele. 


Tulisan Sebelumnya :

Dahsyatnya Nova Soputan, Dihujat Gara-Gara Hanya Menyebut dari Akper Totabuan (Tanpa Mongondow)

Dahsyatnya Nova Soputan: Dihujat Gara-Gara Hanya Menyebut dari Akper Totabuan (Tanpa Mongondow)


Sejak bergabung menjadi jamaah bebekiyah (pengguna aplikasi BlackBerry Messenger/BBM) , saya hampir tidak pernah protes ketika ada teman kontak BBM menyiarkan pesan broadcast, sekalipun itu hanya ajakan untuk invite PIN.

Jangankan itu, pesan beruntai yang menumpuk masuk kolom chat karena mutual friend yang jumlahnya puluhan, tidak pernah saya soal. Saya menganggap semua itu sebagai interaksi sesama jamaah bebekiyah. Sebab apalah guna menjadi sesama jamaah bebekiyah jika tidak saling bertegur sapa sekalipun hanya lewat pesan siaran.

Siang tadi—bahkan sekarang masih sedang menerima—pesan broadcast ramai beruntai di kolom chat kontak saya. Datangnya tentu dari kontak sesama jamaah bebekiyah. Keramaian pesan siaran ini bahkan belum termasuk yang datang dari mutual friend (kontak yang sama) yang jumlahnya mencapai puluhan. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana broadcast itu masuk bertumpuk-tumpuk.

Isinya apa? Rupanya mengutip tautan Kronik Mongondow yang menurunkan artikel berjudul Akper Totabuan dan Kehinaan Mongondow.

Gatal rasanya jika tidak membuka link dengan tajuk yang tak main-main itu. Ini menyangkut Mongondow. Apalagi datang dari seorang punggawa polemik dan kaliber dalam urusan tulis-menulis seperti Kakak Katamsi Ginano pemilik kerajaan Kronik.

Pembaca, banyak dari kita di Mongondow yang pasti tidak lagi menyangsikan ‘kejumawaan’ Kakak Katamsi yang amat self-proclaimed dengan ke-mongondowan-nya. Salut untuk itu. Kita bahkan akan sangat sepakat, generasi Mongondow jaman android dan Clash of Clan seperti sekarang ini, betapa pantas mencontohi kejumawaan itu.

Di Mongondow, memang bukan tak ada orang yang begitu self-proclaimed tentang jati diri, budaya, dan tanah leluhurnya. Bahkan radikal seperti kejadian di Singapura sebagaimana baru saya baca di Kronik. 

Tapi kita memang harus jujur bahwa jarang nian kita temukan seorang Mongondow yang radikal seperti Kakak Katamsi dalam memproklamirkan ke-mongondowan-nya di mata dunia. Sekali lagi, salut untuk itu.

***

Sekarang kita kembali ke soal Akper Totabuan (Akto) Kotamobagu yang hari ini sedang diributkan para jamaah bebekiyah dan netizen di Mongondow. Penyebabnya apa? Kronik menuturkan, ihwal perkara ternyata soal serombongan mahasiswa Akper Totabuan yang tampil di tayangan Dasyat RCTI, Minggu (8 Maret 2015) , yang kompak menyaru berasal dari Manado? Jelas mereka—termasuk dosen yang sesiapun yang menjadi pendamping—tidak melakukan kekhilafan. Mereka memalsukan identitas. Alasannya boleh jadi karena menyebut ‘’Kotamobagu’’ barangkali membuat gengsi jatuh atau mungkin karena seluruh rombongan itu memang berasal dari Manado dan sekadar ‘’pemain pinjaman’’ untuk Akper Totabuan. (kutipan asli dari Kronik)

Begitukah kejadiaanya? Sehingga secara berjamaah dan berbondong-bondong—seperti barisan yang dikomando—para jamaah bebekiyah dan kalangan netizen yang eksis di fesbukiyah dan twitterkiyah, tak sekadar menghujat dan mengolok-olok anak-anak Akto. Sebagian (banyak yang tertangkap di Recent Updates Bebekiyah) bahkan mengancam akan menyambut dengan lemparan telur, ada yang lebay membuat Meme yang tanpa sungkan melibatkan Bogani sedang dalam keadaan menanti anak-anak Akto untuk ditumbak, ada yang meminta agar mereka amak-anak Akto tak usah kembali ke Mongondow, ada yang membuat status sarkastik dan radikal yang meminta agar anak-anak Akto diusir dari tanah Mongondow; diberi tonjokan di kepala; sebagian malah rela hendak beli tiket pesawat untuk terbang ke Jakarta lalu menempeleng satu-satu para rombongan, dan bentuk-bentuk ancaman lainnya—dari yang serius hingga bombulou—seolah klaim sebagai anak Mongondow yang paling benar, fanatik, dan radikal, hanya mengalir dalam darah mereka—para penghujat itu—yang betapa sangsinya saya jika mereka benar-benar menonton Dahsyat yang tayang pagi tadi, dan membuat mereka berlagak seperti merekalah anak Mongondow paling benar dan telah mewujud dalam tindakkannya sehari-hari.

Maka mari kita buka faktanya!

Dalam acara Dahsyat yang tayang (Minggu 08 Maret 2015) pagi tadi, Raffi Ahmad presenter Dahsyat meminta beberapa penonton yang hadir dalam acara tersebut untuk dapat tampil berpartisipasi dalam segmen lomba makan Mie, yang disiapkan untuk 3 peserta.

Ada banyak penonton (laki-laki dan perempuan) yang mengacungkan tangan hendak di pilih Raffi untuk tampil ke panggung. Raffi lantas memilih 2 orang laki-laki dari sekian banyak yang mengangkat tangan itu. Dua orang (laki-laki) itu lantas tampil. Sehingga tinggal ada 1 tempat tersedia bagi peserta. Raffi lantas memilih kembali peserta diantara penonton yang berjubel. Nova (dari Akto) dan 1 orang kawan mahasiswa sesama Akto (laki-laki) masih mengacungkan tangan. Raffi lantas meminta untuk ke panggung. Karena tinggal tersedia 1 tempat, maka Raffi memutuskan peserta ketiga mewakili kaum perempuan. Maka oleh Raffi, dipilihlah Nova sebagai peserta terakhir, sehingga teman laki-laki sesama anak Akto kembali ke barisan penonton.

Seperti biasa, Raffi menanyakan asal para peserta dalam segmen lomba makan Mie tersebut. Nova adalah peserta ketiga yang ditanyai. Saat Raffi bertanya, dari mana? Terdengar suara yang entah datangnya dari presenter perempuan di samping Nova atau Nova sendiri yang menjawab; “Dari Manado”. Hanya sepersekian detik kemudian, Raffi meneruskan; “Oh, dari Manado? Kampusnya apa?” Nova dengan tegas menjawab : "Akper Totabuan”.

Pembaca, jika jawaban Novita Soputan kepada Raffi Ahmad itu yang dipersoalkan sebagai bentuk pemalsuan identitas, pembohongan, dan rasa malu dirinya yang tidak menjawab Raffi sebagai anak Mongondow asli, hingga seolah-olah langit di Mongondow runtuh menimpa kepala, maka alangkah dungunya kita.

Samsuri Rulli Dilapanga, seorang alumnus Akto, ketika saya tanyai soal 'keributan' di recent update bebekiyah, menjawab; "Kenapa kita harus memaksakan kehendak agar Nova Soputan mengaku anak Mongondow dan membentangkan sejarah Mongondow di depan Raffi Ahmad, dalam acara yang tak penting macam Dahsyat. Gak nyambung dan blum stow!" 

Pembaca, tampil di Dahsyat dan berkesempatan menyebut; "Dari kampus Akper Totabuan" (ada Totabuannya lho), adalah kebanggan yang patut disyukuri semua yang hidup di Totabuan. Kalau Nova Soputan mampu dan sudah melakukan itu (ditonton rakyat dari Merauke hingga Sabang), kalian bagaimana??

Baca juga :

1. Sekali Lagi, Soal Nova Soputan dan Netizen Reaksioner Berisik

2. Sesat Pikir Netizen Reaksioner Berisik di Mongondow

3. Wakil Rakyat, Netizen, dan Teori Konspirasi Dibalik Kedahsyatan Akto

Sabtu, 07 Maret 2015

Harlabali VS Harlabala

Lukisan Matthias Grunewald 'the Temptation of St.Anthony

DI MASA yang telah silam ada dua buah biji jatuh dari langit. Mungkin tercecer dari paruh burung saat melesat terbang melewati awan komolonimbus. Biji itu lalu mendarat ke tanah dan tak berapa lama kemudian tumbuh jadi pohon.

Pohon yang tumbuh ini setelah dewasa kawin dengan pohon yang ikut tumbuh disebelahnya. Perkawinan kedua pohon ini melahirkan anak kembar; satu diberi nama Kehidupan dan satunya lagi Kematian.

Sebagai anak kembar sifat mereka ternyata berbeda. Seperti dua kutub yang saling bertentangan satu sama lain. Namun demikian kedua orang tua mereka selalu mendukung apa yang sudah menjadi tugas dan pekerjaan anak-anaknya.

Saat beranjak dewasa, Kehidupan berganti nama menjadi Harlabali sedangkan Kematian berganti nama menjadi Harlabala.

Karunia terbesar yang dimilki Harlabali maupun Harlabala adalah masing-masing dari mereka bisa berubah wujud. Semua bergantung dari sikon dan keinginan mereka sendiri.

Dalam tugas keseharian, terkadang Harlabali iri terhadap hasil kerja yang dilakukan Harlabala. Bahkan pernah ada suatu masa dimana Harlabali selalu kebobolan dan tak berkutik sama sekali dengan apa yang dilakukan Harlabala. Hal ini membuatnya dongkol meski ia sungkan untuk melakukan protes.

Prestasi yang dilakukan Harlabala bukan berarti tak mendapat pujian orang tuanya. Termasuk publik saat itu yang senantiasa mendukung setiap usaha yang dilakukannya. Tapi ada juga suatu masa dimana daya dan upaya yang dilakukan Harlabali berhasil membuat publiknya memuji. Padahal pada masa itu, sukses yang dilakukan Harlabala sedang berada pada puncak kejayaan.

Keduanya lantas menjadi musuh. Untuk menghindari permusuhan semakin berkecamuk, apalagi masing-masing dari mereka sudah dewasa dan memiliki basis masa pengikut yang kian berjubel, mereka diusir dari wilayah yang kian sempit. Maka mengembaralah Harlabali dan Harlabala ke seluruh wilayah benua yang ada di muka bumi ini.

Namun dalam pengembaraan itu tak jarang mereka saling menelisik keberadaan masing-masing,. Jika dalam suatu benua Harlabala merasa Harlabali semakin sukses menanamkan pengaruhnya, maka Harlabala akan segera mengirimkan kaki-tangan terbaiknya untuk menyusup ke wilayah yang dikuasai Harlabali kemudian melakukan segala daya dan upaya yang tujuannya tak lain adalah untuk memberangus kerja-kerja yang dilakukan Harlabali.

Harlabali yang enggan kecolongan juga bertindak sama. Setiap mendapati berita di suatu benua dimana Harlabala semakin berkuasa dan merajalela, Harlabali mengutus kader-kader terbaiknya untuk mematahkan pengaruh Harlabala.

Kedua anak kembar ini saling berlomba satu sama lain. Hingga pernah pada suatu masa, kedua orang tua anak kembar ini akhirnya ikut campur tangan. Tetapi itu hanya berlangsung sekali-sekali saja. Hingga pada akhirnya kedua orang tua Harlabali dan Harlabala memutuskan untuk tak akan campur tangan lagi terkait urusan kedua anak kembar itu.

Pernah suatu ketika, di sebuah benua, Harlabali semakin tergeser dan tak dapat berbuat banyak saat pengaruh Harlabala telah begitu kuat membentuk sebuah tatanan yang bersandar pada Harlabalaisme. Ia bahkan frustasi setelah semakin menyadari bahwa di wilayah itu kedudukannya begitu lemah dan hanya akan menjadi mangsa Harlabala beserta pengikut-pengikutnya. Dalam keadaan yang demikian ia akhirnya memutuskan untuk pulang menemui kedua orang tuanya.

“Kenapa engkau pulang nak,?” tanya Ayahnya
“Aku ingin menyampaikan sesuatu” jawab Harlabali
“Apa itu?”

Harlabali lantas menceritakan apa yang terjadi. Termasuk ketika ia seringkali kalah dengan saudara kembarnya Harlabala yang pengikutnya banyak dan terus berkuasa.

“Tak usah risau nak. Memang demikianlah adanya. Yang terpenting adalah kau jangan putus asa dan bekerjalah sesuai dengan apa yang kau niatkan. Masak kau kalah dengan saudaramu itu,” kata Ayahnya.

 “Aku mau berhenti Ayah. Aku capek. Sebaiknya aku di sini saja bersama Ayah dan Ibu,” keluh Harlabali. Ibunya hanya diam melihat anaknya berkeluh kesah.

“Kau tidak harus putus asa nak. Ayah pikir kau hanya perlu berlatih dan harus lebih kuat lagi,”

“Sudah aku coba Ayah, tapi tetap saja percuma. Memang, aku pernah berhasil di suatu benua, tapi itu tak berlangsung lama. Aku lengah dan tak berpikir kalau Harlabala ternyata telah menempatkan orang-orang terbaiknya dan merusak apa yang telah berhasil aku bangun,”

Ibunya tiba-tiba menimpali.

“Kau bisa mencari benua yang baru. Atau mulailah dari wilayah terkecil. Daerah kepulauan mungkin cocok untukmu,”

 “Hm, aku sudah pernah coba. Di benua saja aku kalah, mana mungkin bisa di wilayah kecil. Jadi apa aku di situ?”

 “Apa kau sudah pernah ke suatu wilayah bernama Nusantara?” sambung Ayahnya. Harlabali tiba-tiba menatap tajam ke Ayahnya.

 “Bahkan aku kalah di situ Ayah”

 “Ah, tak mungkin”

 “Sudahlah Ayah. Aku di sini saja. Bersama Ayah dan Ibu,”

 “Tak baik berputus asa nak. Cobalah kembali ke sana. Siapa tahu masih ada harapan,”

 “Percuma. Aku sudah beberapa kali kalah di sana. Entah, aku juga tak habis pikir, bagaimana mungkin di wilayah itu saja Harlabala bisa selalu menang. Sepertinya ia menguasai semua wilayah,”

 “Itulah tantangan untukmu nak. Ayah dan Ibu hanya berpesan agar kau tak boleh putus asa. Kembalilah ke sana, jalankan tugas-tugasmu dan jadilah pemenang di sana nak”

Tanpa mengiayakan permintaan itu, Harlabali tiba-tiba beranjak meninggalkan perbincangan itu. Kedua orang tuanya hanya diam. 

Di sekitar wilayah yang telah lama ia tinggalkan, Harlabali duduk di atas sebuah batu. Ia menatap bentangan alam malam itu yang begitu tenang dan damai. Tiba-tiba ia merasa kalau tempat yang telah lama ia tinggalkan itu, nyaris tak ada tanda-tanda bahwa Harlabala yang suka berbuat kerusakan bisa berkuasa di tanah kelahiran mereka.

Seperti mendapatkan angin baru, ia berlari kembali ke Ayah dan Ibunya di rumah.

“Ayah, Ibu, semenjak kepergian aku dan Harlabala, apakah wilayah ini memang begini? Seperti yang saat ini berlaku?”

Ayah dan Ibunya heran, saling bertatap-tatapan.

“Kenapa?” kata kedua orang tuannya hamper bersamaan.

 “Bukankah Harlabala tidak dapat menguasai tempat ini?”

 “Sudah menjadi kesepakatan agar kalian tidak ada di sini. Mengapa kau bertanya?”

 “Ah, tidak. Aku hanya merasa kalau tempat ini cocok untukku. Maukah Ayah dan Ibu mengijinkan aku untuk kembali tinggal di sini?”

 “Nak, kau sudah besar. Telah mengembara ke hampir semua benua di muka bumi ini. Tapi tugasmu belum selesai. Kenapa engkau memilih kembali? Apakah kau tega membiarkan Harlabala terus jadi juara di luar sana? Saudara kembarmu itu menyukai kematian. Jadi untuk apa kau ada di sini? Buatlah juga prestasimu. Kau menyukai kehidupan, kenapa tak kau lakukan tugas-tugas itu?”

Harlabali memohon. Ia bahkan memaksa sembari merengek dihadapan orang tuanya. Saat itulah Ayahnya murka.

“Cukup! Tak sudi aku menerima anak yang lemah dan berputus asa. Tempat ini hanya untuk mereka yang telah selesai mengerjakan tugas-tuganya. Ini bukan tempat bagi orang-orang kalah dan yang berputus asa. Jika kau mau aku terima kembali di sini, maka selesaikan tugasmu di luar sana. Bukan datang lalu merengek-rengek dihadapanku. Sungguh aku malu punya anak macam kau!”

Harlabali tertegun. Tak pernah ia menyangka Ayahnya tega berbuat itu. Ibunya juga hanya diam tak membelanya. 

 Ayahnya lantas keluar meninggalkan Harlabali dan Ibunya. Ia Nampak begitu kecewa. Di saat itu Ibu Harlabali mendekat. Harlabali dipeluknya erat. Ia lalu membisikkan sesuatu.

“Ibu bukan tak ingin membelamu nak. Tapi Ayahmu benar. Selesaikan dulu tugas-tugasmu baru kau boleh pulang kemari. Ibu tahu bagaimana perasaanmu. Tapi, bukankah berjuang itu perlu. Tak boleh berputus asa nak. Buatlah Ibu dan Ayah bangga dengan perbuatanmu. Cobalah untuk pergi ke wilayah yang Ayahmu sebutkan tadi. Siapa tahu ada banyak kesempatan untuk merubah keadaan di sana,”

Keesokan harinya, Harlabali berangkat. Ia mengembara lagi dan sampailah ia ke wilayah Nusantara.

Hari pertama di Nusantara, bumi tak mampu menampung air matanya. Dengan kekuatan yang tersisa, ia bahkan telah beberapa kali berubah wujud sebagai kepentingan penyamaran agar Harlabala yang nampaknya sudah berkuasa di wilayah itu tak menyadari kehadirannya.

Tapi baru 2 bulan di Nusantara, muncul desas-desus tentang kehadirannya yang cepat jadi bahan gunjing. Harlabala lantas diberi tahu. Semula ia tak percaya, namun setelah sederet data dan informasi dibeber oleh para pengikut dan loyalisnya, Harlabala akhirnya mendapatkan keyakinan.

“Jadi dia ada di sini sekarang?”

 “Betul tuan”

 “Meski kalian juga sebenarnya belum tahu pasti di mana ia sembunyi dan kelompok-kelompok mana
yang kini ada dibelakangnya,”

 “Kita sedang menyusun rencana untuk itu tuan,”

 “Hm, gampang. Besok, kalian menyusup ke kantor-kantor kejaksaan dan pengadilan. Pengaruhi jaksa agar menuntut  mati terdakwa narkotika. Begitupun semua hakim, pengaruhi isi kepala dan hatinya agar tak sungkan-sungkan memvonis mati para terdakwa. Jangan lupa ya, bukan terdakwa yang korupsi, rampok, apalagi pelaku pemerkosaan dan pembunuhan berencana. Pilihlah terdakwa narkotika. Kita jadikan eksperimen untuk mengusir orang-orang Harlabali dari negeri ini. Semua Harlabalisme yang datang, kita bunuh. Wilayah ini unik. Peperangan di sini harus berbeda. Aku tak mau ambil resiko. Ingat, Harlabali itu sebenarnya memiliki kekuatan. Dibanding aku, ia bisa mengganti-ganti wujudnya tanpa batas. Jadi jangan pernah beri kesempatan. Bunuh sepuluh orang besok sebagai ucapan selamat datang Harlabala untuk Harlabali,”

Titah itu segera dijalankan. Para pengikut dan loyalis Harlabala sudah sepakat bahwa hanya Harbalaisme yang boleh berkuasa di wilayah itu. Tidak untuk Harlabali.

“Harlabala harus menang. Bunuh para Harlabali, bunuh para Harlabali! Harlabala harus menang!” teriak para Harbalais.

Jumat, 06 Maret 2015

Lara Shinta Prisilia, 1998


Tahun 2000...

Butiran – butiran embun yang bermesra dengan helai-helai daun, baru mulai terusik oleh sapa mentari. Jalanan masih lengang. Belum seberapa sibuk. Hanya ada beberapa orang nampak sedang lari pagi.

Seorang perempuan kira-kira berumur 25 tahun, melangkah gontai memasuki halaman sebuah rumah sakit. Matanya nanar mengitari sekitar. Ada tanda awas di situ. Seperti mata anak kucing mengawasi anjing brengsek.

Ia memberanikan diri untuk masuk. Di koridor dengan ubin yang sarat bau obat, ia menyapa seorang pegawai saat kebetulan berpapasan. Tapi pegawai itu tak menggubrisnya sama sekali. Padahal hari masih pagi, masih segar.

Ia meneruskan langkahnya menyusuri koridor. Di salah-satu bilik, matanya terpaku pada seorang suster berseragam putih-putih. Ia mencoba mendekat. Sepertinya hendak menyampaikan sesuatu.

Tapi ia ragu. Bibirnya terkunci. Tak tahu bagaimana ia harus memintarkan diri untuk bisa menyusun kata demi kata menjadi sederet kalimat dan perbincangan yang baik.

Belum lama di situ, perasaan murung sontak menyergapnya. Ia lalu diam. Seperti porselin di etalase yang tak bertuan.

Setelah menimbang dan sekonyong-konyong menemukan penggal demi penggal kata yang berusaha disambung seperti untaian sejarah yang terpotong-potong, ia hendak bicara. Tetapi usahanya nihil.

Suster yang hadir pagi itu bersikap acuh tak acuh. Tanpa mau risau dengan orang yang ada di dekatnya, suster cantik berseragam putih-putih ini, justru sibuk mengais buku piket di meja kerjannya. Nampak buru-buru menyibukkan diri mengisi laporan hasil jaga semalam.

Ia menyambung kata lagi. Tapi lagi-lagi nihil. Kata demi kata yang betapa susah payah dirangkainya hingga menjadi untaian pertanyaan, hanya dibalas sang suster dengan kerutan dahi dan bibir yang dibikin manyun.

Ia kecewa. Tapi apa hendak dikata, ia tak bisa memaksakan kehendak. Di-eja-nya bahasa badut yang disampaikan suster tadi sebagai : "Tidak tahu", atau mungkin; "Mana aku tahu", atau bisa pula "Tak tahulah", dan yang terparah adalah; "Aku tak peduli denganmu!"

Ia memutar badan lalu melangkah ke ruangan sebelah lagi. Di situ ia melongo ke dalam seolah menyelidik. Nampak olehnya; botol infus yang menggantung; seprei putih dan bercak- darah; kotak P3K; tabung oksigen; segala perkakas medis; erang kesakitan yang meronta; isak tangis yang tiba-tiba meraung; dan raga-raga lemas terkulai tak berdaya; sekarat dan mengerikan.

Semua yang dilihatnya itu seolah merupakan tayangan ulang suatu masa yang payah terekam oleh kepala dan bola matanya yang kian nanar.

Ia menghindari pemandangan itu. Raut mukanya sontak pucat dan nafasnya terpenggal-penggal seperti nafas petani tertindas di lahan sendiri.

Setelah berhasil mengumpulkan tenaga, ia memutuskan untuk keluar dari tempat itu. Saat di koridor, langkahnya liar tak seimbang. Ia pergi bersama bisik-bisik orang yang lewat.

***

Pada hari dimana pesawat televisi di sudut ruangan rumah sakit sedang menyiarkan berita pagi, ia datang lagi. Kali ini rambutnya nampak lebih acak. Sedangkan baju yang dikenakannya, masih sama seperti yang ia pakai waktu itu.

Ia masuk ke ruangan yang pernah didatanginya. Satu senyum manis tersungging menyambut kehadiran dirinya di meja registrasi Unit Gawat Darurat (UGD).

Ia merasa kalau hari itu sedang beruntung. Suster yang bertugas di ruangan kala itu, bukan suster yang bertugas tempo hari ketika ia datang. Suster kali ini memang kalah cantik dengan suster sebelumnya. Tapi jauh lebih ramah dan bersahabat.

“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu nona manis?”

Disapa begitu, dadanya seolah luruh runtuh oleh sekelumit perasaan yang ia sendiri sudah tidak mengerti; gelora apa yang sontak menjalari setiap persendiannya.

Ia diam. Seperti sedang meresapi kalimat dari sang suster yang cepat mengulang;

“Hello manis, ada yang bisa saya bantu?” katanya.
“Eh... mmmmm...”
Ia belum bisa membuka suara. Bibirnya terkunci.
“Kenapa nona manis? Ada yang bisa saya bantu,?”
“Emm...eh,... Mmmmm..”“Kamu....kenapa..??”
“Eh, terima kasih suster,”
“Terima kasih???” tanya suster,heran.
“Iya, terima kasih”
“Maksudmu?”
“Tidak apa-apa?”
“Lalu?”

Detik demi detik yang mengalir bak arus liar itu, membuat ia terus berupaya sedemikian pesat untuk bisa cepat merangkai kata. Dan sepertinya berhasil

“Mmm...aku mencari seseorang,”
“Nah, begitu dong nona manis,” suster tersenyum. “Siapa namanya,?” tanya dia.

Tiba-tiba bibirnya terkatup lagi. Mungkin ragu untuk sekedar berucap. Atau justru tidak tahu lagi harus menjelaskan dengan cara bagaimana.

Potongan-potongan kisah membayang lagi di kepala. Berjujutan dengan penggalan-penggalan peristiwa yang telah menjadi bencana. Semua seperti sedang mengunci tak hanya ingatan-ingatan segar, melainkan soal bagaimana mengatur kalimat yang semestinya. Ia sudah pernah gagal. Bahkan
berkali-kali. Ia dungu untuk sekedar memikirkan; bagaimana semestinya bahasa menjadi baik dan berarti.

“Siapa namanya nona manis?” ulang suster, bertanya.
“Emmm....??” belum sempurna kalimat yang hendak ia ucapkan, suster
memotong agar urusan itu cepat selesai.
“Apa dia saudara nona? Sahabat? Atau... oh ya..mungkin pacar?”
“Ya, begitu,". Kalimat sebagai jawaban yang tiba-tiba terlontar begitu, membuat ia tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri.
“Lho? maksud nona?”
“Mmm... tak tahulah”

Ia sedih. Suster dihadapanya bingung dan mulai tak nyaman. Meski demikian, perasaan sabar dan ingatan mengenai ragam teori yang pernah dilahap semasa di bangku kuliah dulu, membuat suster yang baru bertugas beberapa minggu di rumah sakit itu, mencoba bertahan.

“Yah,taruhlah begitu. Jadi siapa namanya nona?” katanya dengan nada sabar.

Ia merasa nafasnya tertekan diantara kerongkongan. Bibirnya mulai gemetar. Ada perasaan kosong yang meledak kemudian menjadi bongkah-bongkah sunyi di dada.

Sejurus kemudian, dibarengi perasaan was-was dan rasa kaku yang mendalam, sebuah nama terlontar seperti anak panah yang menancap dada seokor rusa betina.

“Lara Shinta Prisilia....!!”.

Suara itu terlontar kuat setelah begitu lama tertahan dari balik kerongkongan. Sebuah pelepasan yang kuat dan akurat. Membuat orang di sekitar terhenyak lalu pandangan mereka sontak terpaku ke-empunya suara.

“Oh, sungguh nama yang indah, nona,” puji sang suster sembari merasa yakin kalau dirinya berhasil menyembunyikan perasaan kaget secara sempurna.

Ia diam meski ada raut riang mewujud sebagai harapan yang memancar dari air mukannya. Suster lalu mengecek nama yang baru disebutkan itu di buku registrasi. Halaman demi halaman dibukannya usai membasahi telunjuk dan jari tengahnya memakai ludah.

Tapi nihil.

“Maaf nona, nama itu tidak tercatat di sini” kata suster.
"Betulkah?"
"Ya. Apa nona yakin dengan nama yang disebutkan tadi? Kapan ia masuk?”

Ia terdiam. Matanya kosong. Tapi mukanya tak ia pindahkan ke arah suster yang sibuk dengan daftar nama pasien dalam buku registrasi di UGD.

“Tak ada nama itu disini, nona”
“Tapi........???”
“Iya, tak ada nona, maaf”
“Jangan...”
“Jangan apa?”
“Tapi ada...”
“Ok, baiklah. Lalu kapan ia masuk? Apa pasien itu saudara nona, atau pacar?” tanya
suster jujut-menjujut sembari bersabar.

Kali ini ia benar-benar tidak tahu jawaban apa yang terbaik. Rentetan peristiwa, sepotong demi sepotong kembali membayang dalam ingatanya yang coba dikuatkan lagi; sebuah torehan yang sudah cukup menghadiahkan kecemasan, kebisuan, sakit, kosong, sunyi, dan hal-hal yang membuatnya tak tahu lagi di mana dan bagaimana harus mengawali sebuah pertanyaan dan jawaban, dari alur-alur yang tercecer.

Ia yang merasakan bagaimana sebuah tatanan melibas menghadiahkan kisah-kisah busuk, mencoba melawan. Ia berkoar. Menjerit. Menggelegar dan menggelepar di jalanan. Sia-sia tak berdaya. Selanjutnya hanyalah kesunyian dengan hitam yang berabad-abad.

Ia seperti hilang dalam ingatan dan dalam jaman yang lihai memainkan peran. Sepertinya ia lupa atau terlupakan akan sebuah kata tentang; siapa.

“Nona...?”
Ia tidak menjawab. Lamunannya terlampau hitam.
“Nona...”
Masih belum menjawab.
"Helloooo...,"
“Eh, yaa..suster”
“Kau baik-baik saja?”
“Ya, aku rasa”
“Kapan pasien itu masuk?”
“Maaf suster.......”
“Maaf, kenapa..??”

Ia tak bisa memaafkan dirinya dengan kalimat yang tiba-tiba keluar bodoh begitu. Apalagi itu terjadi telah kesekian kali. Kini ia cemas akibat ulahnya itu. Kalimat yang entah kenapa terlalu sulit untuk diperbaiki.

Rasa kehilangan mulai merayapi setiap jengkal tubuhnya. Ia khawatir jika suster yang ada dihadapannya pergi menghilang (sebagaimana yang lain), hingga membuat harapannya sirna kembali dibawa angin dan gelap yang menyeringai seperti hari-hari kemarin.

Ia terus cemas dan tak berhenti mengutuk diri. Perasaan akan kehilangan ini semakin kuat menggumpal dari kelopak matanya yang kian nanar.

Ia melihat gambaran yang ditunjukkan suster dihadapanya adalah sederet kalimat yang mengatakan; "kau banyak membuang-buang waktu percuma".

Persangkaannya benar. Suster dihadapannya mulai merasa seperti sedang dipermainkan, atau datang sebuah kesadaran yang mengatakan; "Ada yang tidak beres". Tapi dalam batin suster ini juga menimbang kata; "Mungkin terkadang begini. Ada pengunjung suka usil,".

Tapi ini hanya sementara sebab cepat berganti anggapan yang lebih berbentuk sebagai sebuah persangkaan yang menyatakan bahwa; "Ada sesuatu yang jahat sedang menimpanya".

“Eh, maaf nona. Boleh saya lihat kartu pengenal Anda?” nada suara suster mulai tegas.

Saat belum berhenti mengutuk dirinya sendiri, dengan cekatan ia merogoh isi tas kumal berwarna merah maron yang diselempangkan melewati bahu kirinya. Dan dengan gerakan tergesa-gesa penuh harap, ia kais isi tas lalu gembira mendapatkan apa yang diminta.

“Ini suster” Ia menyodorkan kartu identitas kepada suster. Hatinya girang seperti anak rusa yang tengah melompat-lompat di samping induknya.

Suster memeriksa kartu identitas yang disodorkan. Di situ tertera masa berlaku yang jatuh pada tahun 2000.

Alangkah terkejutnya suster ini. Sebuah keterkejutan yang membuat kesabarannya hilang lalu berubah menjadi kedongkolan yang padat, hingga menguatkan pendapat bahwa orang dihadapanya ini benar-benar sakit.

“Maaf, saya banyak kerjaan nona” suster mengembalikan kartu identitas itu lalu berlagak seperti hendak beranjak pergi.
“Suster..!!”
“Maaf”
“Tolong suster”

Suster tak bergeming. Dadanya kini berisi kedongkolan ketika menyadari ada seseorang yang datang mencari seseorang yang orang itu adalah dirinya sendiri.

***
Matanya yang nanar sontak liar ketika dilihatnya empat orang laki-laki berseragam putih-putih sedang terburu-buru menyusuri koridor hendak menghampirinya. Seperti yang pernah terjadi, ia tahu bahwa itu adalah panggilan pulang yang menyakitkan untuknya.

Ia adalah satu dari sekian banyak orang yang dulu pernah dirawat di rumah sakit itu.