Selasa, 10 Agustus 2021

Putri Silagondo Versus Spanyol

Anjing Hachiko, Kompas.com


PUTRI SILAGONDO Versus SPANYOL
(Kisah Maindoka, Anjing Hachiko, hingga Wanita PSK)

De Prinsess Silagondo (Putri Silagondo). Demikian salah satu sub-judul tulisan dua penginjil Eropa, N.P.Wilken dan J.A.T. Schwarz dalam catatan mereka berjudul "Verhaal eener reis naar BolaƤng Mongondou" (Kisah Perjalanan ke Bolaang Mongondow), terangkum dalam sebuah dokumen berjudul "Mededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendeling Genootschap", sebuah laporan serikat misionaris negeri Belanda tentang bahasa, wilayah, dan etnologi di Nusantara (Hindia Belanda) terbit di Rotterdam-Belanda tahun 1867 oleh M. Wyt & Zonen.

Wilken dan Schwarz datang ke Bolaang Mongondow terlebih dahulu mampir bertemu raja dan Jogugu di istana Bolaang tempat raja berkedudukan. Dari sini mereka mendapat banyak informasi yang diperlukan, terutama yang disampaikan oleh Jogugu Damopolii. 

Di Mongondow, memang berjubel cerita,  hikayat, dan sejarah lisan yang ditradisikan sejak dulu kala hingga sampai pada era lampu petromax di totaboyan atau  yang dituturkan dari masing-masing tetua rumpun keluarga dari dalam rumah ketika listrik padam dan bohlam diganti nyala lilin, dan mulailah para pencerita bertutur.

Tapi saya tidak akan menceritakan kisah-kisah itu disini, dari apa yang dituturkan kakek, nenek, atau tetamu yang terpaksa menambah durasi kunjungan karena terperangkap hujan,  baik itu kisah tentang kerajaan, kiprah para Bogani, Loloda Mokoagow, anak-anak Mokodoludut, atau yang mulai nyerempet ke magis-horror ; 'biag' atau jin yang dipelihara dukun.

Saya menceritakan saja yang versi tertulis atau yang telah terdokumentasi dan terbit di Rotterdam Belanda sejak tahun 1867 silam, hasil penelusuran Wilken dan Schwarz atas yang apa yang masih diingat dan diceritakan orang Mongondow sebagai sebuah memori kolektif hingga pada saat kedatangan mereka ke Bolaang Mongondow kala itu. 

Salah satu yang hendak diceritakan adalah konflik yang pecah antara Spanyol dan Putri Silagondo, menantu dari Punu atau Raja Mokodoludut.

Ini bukan sembarang konflik karena melibatkan meriam kanon yang ditembakan secara bertubi-tubi dari kapal-kapal Spanyol di perairan Buntalo. Hingga saat ini, peristiwa konflik antara Putri Silagondo dan Spanyol masih berbekas tak sekadar menyisakan tradisi lisan, melainkan tanda yang masih bisa dilihat di bukit Silagondo atau bukit Buntalo. 

Dicatat oleh 2 penginjil Eropa, Wilken dan Schwarz, Putri Silagondo yang merupakan Istri dari anak Raja Mokodoludut bernama Yayubangkai, memiliki seekor anjing yang cerdik, cekatan, dan teramat pintar selain begitu setia terhadap tuannya. Jika Putri Silagondo menginginkan sesuatu semisal daging Anoa, Rusa, atau apapun yang diinginkan, maka Putri Silagondo tinggal mengatakannya pada anjing yang bernama Maindoka itu  dan secepat kilat Maindoka masuk hutan dan kembali sudah dengan hewan hasil buruan sebagaimana yang diminta tuannya.  Jika hewan buruan belum ditemukan, maka Maindoka belum akan kembali ke Putri Silagondo. Kecuali jika hewan buruan yang diminta sudah ada.

Kepintaran dan kepopuleran Maindoka akhirnya sampai ke telinga Spanyol yang merapat di perairan Buntalo untuk kepentingan dagang. Maka dimulailah perburuan itu. Spanyol mendekati sang tuan dan mengiming-imingi tawaran menggiurkan. Tapi sang pemilik anjing tak bergeming. Ia sama sekali tidak tertarik dengan bujuk rayu orang-orang Spanyol dengan berbagai modus.

Spanyol yang tak mau patah, terus saja menggoda. Hal mana membuat Putri Silagondo mulai merasa tak nyaman hingga membuatnya menghindari kontak dengan Spanyol. Tapi Spanyol tetap tak mau menyerah. Bahkan mulai mengancam dengan kekerasan.

Rasa ketidak-nyamanan karena terus didekati Spanyol, pada akhirnya melahirkan rasa khawatir Putri Silagondo jika nanti akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan apabila ia tak menuruti kemauan Spanyol untuk memiliki Maindoka. Terlebih Spanyol yang merasa tak berhasil meski sudah membujuk dengan berbagai kebaikan, mulai menunjukan perangai kasarnya. Akhirnya anjing itu dijual Putri Silagondo ke Spanyol.

Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, segera orang-orang Kastela ini menuju ke kapal sembari membawa Maindoka siap dibawa berlayar entah kemana.  Saat sauh diangkat, layar terkembang dan angin bertiup tanda kapal siap berangkat, Maindoka berjalan menuju geladak kapal dan mulai memperhatikan daratan Buntalo sebuah negeri yang kian menjauh dari matanya. Anjing itu lantas menangis, berputar-putar di geladak kapal, mungkin baru tahu ia sedang dibawa berlayar entah kemana dan itu pertanda akan berpisah dengan negeri dan tuannya. Saat kapal mulai jauh, Maindoka tiba-tiba melompat ke laut dan berenang kembali ke daratan menemui kembali majikannya, Putri Silagondo yang tentu senang anjing kesayanganya kembali ke pangkuan.

Di tahun berikutnya orang-orang Spanyol kembali datang di perairan Buntalo. Saat sauh dilempar segera mereka berjalan menuju ke darat. Mereka menginginkan anjing itu kembali. Putri Silagondo segera dikirimi pesan disertai ancaman supaya segera mengembalikan anjing itu. Jika menolak, maka perang akan meletus di Buntalo.

Putri Silagondo menolak. Ia tak bergeming dengan ancaman perang itu. Hal mana membuat Spanyol murka dan itu pertanda perang dimulai. 

Genderang perang yang sudah ditabuh, membuat Putri Silagondo memutar otak mencari cara bagaimana bisa lolos dari tanda bahaya ini.  Ia lantas menggelar kenduri besar di kediamannya. Orang-orang Spanyol diundang ke bukit Buntalo tempat diadakannya pesta itu. Sebuah undangan yang sebenarnya tak di tunggu apalagi dinantikan Spanyol sama sekali karena mereka memang sedang mencari Putri Silagondo ada di mana.

Bukit Silagondo (Buntalo) yang ditembak meriam Spanyol (Pemdes Buntalo)

Akhirnya Spanyol tiba di tempat Silagondo dimana kenduri besar telah menanti mereka. Melihat ada makanan enak tersaji di hadapan, orang-orang Spanyol yang kebetulan telah lapar, segera duduk dan melahap makanan dengan rakus. Tapi rupanya makanan itu telah diberi racun oleh Putri Silagondo. Segera kelompok Spanyol yang datang pertama bergelimpangan ke tanah, kesakitan, dan mati seketika. Sementara orang – orang Spanyol yang tiba berikutnya sibuk mengurusi taman-teman mereka yang terus jatuh bergelimpangan. Mereka turun melarikan diri dan segera naik ke kapal. Namun sebagian besar dari mereka mati, tak dapat menyelamatkan diri. Sedangkan yang berhasil selamat segera menarik sauh, membentangkan layar, memutar arah kapal dan mulai menembakan meriam dari atas kapal dengan membabi buta memusnahkan daratan hingga ke bukit Silagondo. Begitu membabi-butanya tembakan-tembakan itu hingga sampai hari ini masih meninggalkan bekas di bukit Silagondo. 

Sejak peristiwa itu Putri Silagondo, Yayubangkai, dan Maindoka, menghilang secara misterius. Begitupun Spanyol, tak pernah kembali dan kelihatan berlabuh di perairan Buntalo. Sedangkan penduduk negeri yang hancur, mereka yang selamat  mengungsi ke desa tetangga hingga ke Lombagin.

Selesai.

 * * *

Kisah di atas begitu membekas dalam ingatan orang Buntalo dan kampung-kampung sekitarnya hingga tersebar di jazirah Bolaang Mongondow hingga pedalaman.

Putri Silagondo, Yayubangkai, dan Maindoka, mereka menghilang secara misterius sejak penyerangan Spanyol. Namun nama mereka terus membekas di hati masyarakatnya sampai kemudian nanti. 

Dari peristiwa di atas, kisah Maindoka terus diceritakan. Menjadi lambang kesetiaan, keberanian, dan pengorbanan. Nama itu terus dikenang, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang hidup pada masa itu dengan menamakan kembali terhadap sesuatu yang mereka sayangi dan banggakan, nama anak yang baru lahir misalnya. Tentu di luar konotasi negatif yang muncul di kemudian hari (dan ini baru) dari orang-orang kurang kerjaan dan buta sejarah.

Jika di Jepang, dunia mengenal kisah anjing Hachiko pada tahun 1935 yang membuktikan kesetiaan anjing itu dengan menunggu tuannya kembali ke stasiun setiap hari selama 10 tahun (padahal tuannya sudah meninggal dan tak pernah kembali lagi ke stasiun dimana Hachiko menanti setiap harinya), maka di Bolaang Mongondow kita memiliki kisah Maindoka sejak ratusan tahun silam yang juga membuktikan bagaimana kesetiaan seekor anjing pada tuannya (Putri Silagondo) dan menjadi bagian dari sejarah bagaimana konflik pertama dengan Spanyol bermula.

Ada pepatah kerap kita dengar yang mengatakan; anjing adalah salah satu sahabat terbaik manusia.

Namun berbeda dengan di Jepang yang membuat tugu Hachiko, di Mongondow belum ada tugu Maindoka maupun Putri Silagondo dan Yayubangkai. Soal sejarah, Mongondow memang selalu menaruhnya di sampul belakang.

Kisah Hachiko di Jepang bercertita tentang seekor anjing yang setia milik seorang profesor di Universitas Tokyo. Saban hari Hachiko akan bertemu tuannya di Stasiun Shibuya.

Sampai pada suatu hari di tahun 1925, profesor tersebut ternyata sudah meninggal dan tak pernah kembali lagi ke stasiun, hal mana tak diketahui oleh Hachiko apa yang sebenarnya telah menimpa tuannya. Sehingga saban hari anjing ini tetap ke stasiun hendak menemui sang tuan sebagaimana biasanya. 

Patung Hachiko di Statiun Shibuya Jepang (Okezone)

Hari pertama tak ada, ia datang lagi keesokan harinya, esok, esok, dan esok, dengan setia anjing ini selalu datang ke stasiun menanti tuannya datang. Di stasiun ia duduk, bermain, duduk lagi menunggu kembalinya sang majikan dari hari ke hari, tahun ke tahun, saban hari, setiap hari hingga anijing ini mendapat perhatian warga dan menjadi bahan berita di media massa. Tak jarang orang-orang memberi makan anjing ini di stasiun yang tetap setia menanti tuannya kembali.

Setelah 10 tahun menanti, tepatnya 8 Maret 1935, Hachiko akhirnya menemui ajalnya di sebuah jalan di Shibuya. Istri sang professor pemilik anjing ini beserta staf di stasiun duduk mengelilingi jasad Hachiko. Orang-orang ini berduka kehilangan pendamping yang begitu setia.

Tahun demi tahun berjalan. Hachiko menjadi bahan kisah dan inspirasi banyak orang. Pada akhirnya sebuah patung Hachiko didirikan di dekat Stasiun Shibuya. Sekarang menjadi tempat paling populer. Orang-orang berfoto, berselfi ria. Patung Hachiko telah menjadi simbol loyalitas dan kesetiaan yang ditunjukan seekor binatang. Memberi siraman inspirasi betapa penting dan mulianya arti persahabatan.

Hachiko telah menginspirasi orang-orang di seluruh belahan dunia. Di Indonesia, seorang ulama besar yang kita kenal dengan Buya Hamka pernah menyentil soal ini.

Untuk kalangan muslim, bukankah ada kisah yang diceritakan langsung oleh Nabi Muhammad bagaimana seorang pelacur akan masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang tengah kehausan saat ditemuinya di jalan.

Dikisahkan, suatu ketika seorang wanita pezina karena dikenal berprofesi sebagai pekerja seks komersil berjalan di bawah terik matahari dan melihat ada seekor anjing tengah kehausan sembari menjulurkan lidahnya. Anjing ini sudah lama mengelilingi sebuah sumur berputar-putar berharap bisa mendapatkan air untuk diminum. Bahkan dikisahkan anjing ini sudah hampir mati kehausaan. Perempuan PSK ini merasa iba dengan anjing itu. Ia lantas melepas sepatunya. Kerudung di kepalanya ia ikatkan ke sepatu itu lalu ia membungkuk sembari menurunkan sepatu yang diikat dengan kerudungnya untuk menimba air.

Sesudah berhasil mendapatkannya, perempuan ini memberi minum sang anjing yang hampir mati kehausan tadi  hingga menjadi sehat bugar kembalilah anjing itu.

Kisah wanita dan anjing ini dikisahkan langsung oleh Rasulullah Muhammad SAW kepada sahabat-sahabatnya, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Bukhari;

Dari Abi Hurairah Radialohu'anhu dari Rasulullah SAW berabda, “Telah diampuni seorang wanita pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Dia berkata, “Anjing ini hampir mati kehausan”. Lalu dilepasnya sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya lalu diberinya minum. Maka diampuni wanita itu karena memberi minum. (HR Bukhari).