Senin, 24 September 2012

Jagoan Neon dan Kasus TPAPD Bolmong


http://twicsy.com/i/SubJgd

Kelakuan Anggota DPRD Bolmong tak jarang memang bikin malu dan geli.  Barusan saya membaca laporan Edy Sukesah, wartawan Tribun Manado, soal adanya keinginan dari DPRD Bolmong untuk membentuk Pansus TPAPD.

Usai membaca laporan itu,  saya jadi ingat lagu berjudul Jagoan Neon dari Bunga Hitam. Berikut nukilannya:

Terang mata ini menantang semua tampak berantakan/jelas hatikupun menentang semua pecundang arogan/berawal dari otaknya yang kosong/berakhir dengan kemiskinan jiwa/kini telah datang seorang pecundang/yang menyerang menantang tanpa tujuan/mari kita rayakan keangkuhanya/kita namakan dia jagoan neon..


Ya! Jagoan Neon, kalau tidak disebut pahlawan kesiangan. Demikian olok-olok yang cocok buat para Anggota DPRD Bolmong (dengan kemuliaan hati untuk tidak mengatakan semua anggota) yang telat bangun pagi dan alangkah terlambatnya tatkala menyerukan pembentukan Pansus TPAPD, yang kasusnya kini tengah berjalan dan sudah bersidang di Pengadilan Tipikor Manado.

Apa Angggota DPRD kita di Bolmong tidak tahu kalau Senin 24 September 2012 kemarin, mantan Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan, hadir sebagai Saksi pada Sidang kasus TPAPD Bolmong dengan salah satu terdakwa Cimmy Wua STP. (Sidang akan kembali dilanjutkan hari ini dengan terdakwa Mursyid Potabuga)

Jadi,  selaku rakyat Mongondow , mari kita bertanya kepada Bapak-Ibu yang terhormat di Gedung Paloko Kinalang:

Pertama: Saat proses pencairan dana TPAPD Bolmong yang sering macet bahkan sempat dikeluhkan para Sangadi dan Porobis Se-Bolmong beberapa waktu silam, apa reaksi kalian?

Kedua: Saat kasus ini pelan-pelan mulai terendus media jauh sebelum terkuak secara gamblang di permukaan, apa juga reaksi kalian?

Ketiga: Semua anggota DPRD Bolmong berlangganan semua Surat Kabar terbitan Sulut dan terbitan Bolmong Raya. Apa tindakan yang pernah dilakukan tatkala berita soal penyelewengan dana TPAPD ini mulai geger di media?

Ke-empat: Amboii!! DPRD Bolmong, apakah semua anggota memang malas baca koran hingga tak tahu kalau kasus ini sudah sedang bersidang di Pengadilan Tipikor Manado?

Kelima: Apalagi yang mau diusut? Tersangkanya sudah ketambahan bahkan hampir selusin. Tak hanya top eksekutif yang naik status dari Saksi menjadi Tersangka, tapi mantan top eksekutif se-untouchable MMS pun sudah dijadikan tersangka. Kasus ini sudah dari tangan Polisi ke Kejaksaan. Sudah ada tersangkanya, sudah bersidang, kalian malah baru mau bentuk Pansus TPAPD.  Ah,moko oya' ule ah!

Untungnya Faisal Ani salah satu Anggota DPRD Bolmong,masih punya malu sehingga enggan ikut-ikutan ide teman sesama Anggota untuk jadi Jagoan Neon. Faisal (sebagaimana yang dilaporkan Edy Sukesah, di www.tribunmanado.co.id), mengatakan kalau DPRD seharusnya memberi dukungan kepada penyidik kepolisian dan bukanya membentuk Pansus lagi.

Meski memang hal itu mendapat bantahan dari Ketua DPRD Bolmong Abdul Kadir Mangkat yang tanpa sungkan dan malu mengatakan, Pansus yang akan dibentuk nanti bertugas untuk membantu pihak Kepolisian dan bukanya mengintervensi proses hukum yang sedang dilakukan Polres Bolmong.

Nah, pembaca. Mulai kelihatan kentara siapa saja Jagoan Neon di DPRD Bolmong terkait kasus TPAPD yang sudah memenjara 4 orang dalam bui. Siapa menyusul?

Kamis, 13 September 2012

Jalan Panjang 3 Serangkai

Mengetahui informasi lewat pemberitaan hampir semua media cetak di Sulut termasuk yang versi online: (http://www.tribunmanado.co.id  dan http://www.kontraonline.com), soal ditetapkanya mantan Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan (MMS) beserta dua konco yang diduga kuat Ferry Sugeha  (mantan Sekda Bolmong) dan Farid Asimin (Sekda Bolmong saat ini), sebagai tersangka dalam kasus Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Bolmong, bukanlah sebuah kegembiraan bagi saya apalagi dimaknai sebagai suatu kesenangan. Bahkan lebay yang imoral jika petaka yang kini menyeret tiga serangkai itu, dirayakan dengan bersulang bir dingin sambil berkelakar; cheers oi!

Tapi bagi para aparatur desa mulai dari Sangadi, Porobis, dan Kepala Dusun se-Bolmong (ini pendapat pribadi) kala mengetahui kabar tersebut, kemungkinan mengumpat (meminjam istilah yang dipopulerkan Denny Mokodompit di grup jejaring Facebook, Pinotaba) ; pongengngeng!

Saya menyimpulkan demikian sebab selama ini tahu, nada-nada minnor apa yang biasa mereka umpatkan tiap kali tahu pencairan macet, apalagi ketika belakangan justru menguap entah ke mana.

Bukan sekali-dua  saya jadi saksi yang mendengar langsung keluh-kesah mereka terkait hal ini. Saking kelewat pedas dan brutalnya, ada baiknya  tak usah diumbar disini sebagai konsumsi publik, sebab ada keinginan dari saya pribadi agar sumpah serapah, odi-odi dan segala jampi dan kutuk mengerikan ala Mongondow, sejauh mungkin bisa dihindarkan dari ruang kecil ini.

Saya yang pernah menulis keras di media cetak, online, juga di Blog terkait kasus TPAPD, tak juga harus menanggapinya sinis. Reaksi saya tatkala mengetahui berita ini pertama kali, cuma bergumam dalam hati: jalan masih panjang, penetapan status sebagai tersangka oleh pihak kepolisian masih akan melalui pintu demi pintu penuh lika-liku agar status tersebut bisa berubah dari Tersangka menjadi Terdakwa kemudian dari Terdakwa ke Terpidana. Berkas yang sudah P 21 dan telah diterbitkan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) oleh pihak berwenang, dalam hal ini Polres Bolmong, pun masih bisa di utak-atik Jaksa di Kejari. Apabila dirasa masih kurang atau belum lengkap, masih bisa dikembalikan pihak kejaksaan. Terlebih lagi jika tak cukup bukti atau perlu dukungan bukti lain supaya kasus tersebut tidak mentah dan dapat disidangkan di meja pengadilan.

Atau taruhlah semua tahapan itu terpenuhi. Tetap saja status tersangka yang ditetapkan oleh penyidik kepolisian masih harus dibuktikan lewat tahapan persidangan tatkala tersangka didudukkan sebagai terdakwa. Masih akan ada eksepsi yang bisa diajukan pihak terdakwa kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU), dimana dalam upaya itu, tidak menutup kemungkinan dakwaan tersebut  (jika ditangani JPU abal-abal) bisa batal demi hukum.

Belum lagi jika dalam sidang pemeriksaan saksi-saksi, alat bukti dan fakta persidangan kurang menguatkan untuk menjerat Terdakwa menjadi Terpidana. Selain itu Terdakwa juga akan didampingi Penasehat Hukum atau Pengacara (pasti bukan pengacara abal-abal) yang memang harus menguasai pokok soal perkara.

Selanjutnya masih akan ada agenda sidang Pleidoi terhadap terdakwa. Bahkan sekalipun di vonis bersalah, masih ada upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Kalah di Pengadilan Tinggi, masih ada upaya Kasasi ke Mahkamah Agung.

Pendek kata masih ada proses persidangan yang akan memutuskan apakah Tersangka atau Terdakwa benar bersalah? Atau harus dibebaskan demi hukum karena tak cukup bukti adanya tindak pidana yang dilakukan.

Jadi kita (terutama para Sangadi hingga Kapala Dusun) tidak perlu langsung melantak-hujamkan segala jenis jampi, odi-odi, maupun kutuk sebagai wujud pelampiasan segala kedongkolan dan angongngong tatkala status tersangka telah disematkan Penyidik Polres Bolmong kepada MMS, FS maupun FA. Biarlah semuanya berproses sekalipun akan melalui jalan panjang. Kata para ABG alay di dunia facebook ; semua akan indah pada waktunya.

Masih segar juga dalam ingatan saya beberapa waktu silam ketika bukan cuma sekali mencoba bertanya, menelisik, bahkan mewanti terkait persoalan ini di ruang kerja Cimmy Wua sebelum kasus ini terkuak. Bahkan ketika harus 'malu' karena selalu topik itu-itu saja yang ditanyai termasuk canda-gurau saat kongkow-kongkow: "Bukang ada cek undur to ni pembayaran TPAPD Pak Cimmy?"

Ternyata Bukang Daong Lemong

Entah siapa yang memulai, istilah daong lemong yang belakangan populer dihampir semua kota di Sulut. Pengistilahan yang bermakna olok-olok mengartikan abal-abal, imitasi, kacang-kacang, KW, dan sejenisnya, lazim kita dengar pula di Mongondow.

Melalui tulisan sebelumnya saya memang sempat mengkritik agak pedas kinerja penyidik Polres Bolmong yang terkesan cuma berlevel daong lemong dan ragu-ragu menangani kasus ini, ibarat kata pepatah:  tajam ke bawah tumpul ke atas. Begitu pula keraguan terhadap Jaksa Lukman Effendy SH yang akhirnya timbul, meski secara pribadi saya mengenal Lukman semasa kuliah dulu sebagai sosok perpaduan antara cerdas dan keras yang integritasnya bisa diandalkan.

Kapolres Bolmong AKBP Enggar Brotoseno SIK yang secara gamblang menyampaikan di media soal penetapan kasus tersangka MMS, FS dan FA (meski untuk FS dan FA disampaikan secara implisit) adalah suatu kemajuan yang melunturkan predikat daong lemong kepada penyidik. Olehnya (terutama) para Sangadi dan Porobis layak memberi jempol kepada para penyidik di Unit IV Reskrimsus Tipikor Polres Bolmong.

Lampu Hijau Pada Salihi-Yanni

Nama Farid Asimin yang ikut ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana secara implisit disampaikan AKBP Enggar Brotoseno SIK kepada media tentu merupakan tamparan bagi Salihi-Yanni (Bupati dan Wakil Bupati Bolmong).

Di era Bupati MMS, Farid Asimin dipercayakan menjabat selaku Asisten III. Dia bisa disebut pula orang dekat Butet, Bunda atau Mama Didi (Bupati MMS). Selepas kepemimpinan MMS, karir birokrat Asimin melejit setelah dipercaya Bupati Salihi memegang jabatan Sekda Bolmong.  Jabatan yang tentunya bukan main-main.

Mundur sejenak kebelakang, terkait mencuatnya nama Farid Asimin sebagai kandidat Sekda Bolmong era Salihi-Yanni, hingga akhirnya terpilih mengalahkan kandidat lain, kita tahu betul kalau nyaris tak ada kontroversi. Begitu adem-ayemnya pemberitaan di media yang tak memperguncingkan track record Farid Asimin, terutama yang berdenting minnor.  Kecuali rumor yang beredar di kalangan terbatas bahwa nama Farid Asimin bakal kandas sebab yang bersangkutan adalah orang dekat Butet (Bupati MMS). Namun toh, Asimin berhasil melenggang mulus mengalahkan sederet nama yang ikut dirokemendasikan sebagai 'finalis'.

Nah, sekarang, apa mau di kata. Asimin yang pada sidang kasus TPAPD lalu hanya berstatus sebagai saksi (sempat kena semprot Ketua Majelis Hakim Armindo Pardede SH) kini statusnya dinaikan menjadi tersangka.

Di media kita juga belum menemukan tanggapan Bupati Salihi terkait hal ini. Seandainyapun ada, pasti statement yang disampaikan bernuansa normatif yang tak jauh-jauh diseputar rangkaian kalimat yang bisa kita contohkan seperti ini:  sebagai warga negara yang baik, menghormati proses hukum yang berlaku tentu juga dengan mengedepankan praduga tak bersalah.  (Amboiii...kampretlah untuk itu semua).

Pembaca, kasus TPAPD yang terus menggelinding dan mulai memakan korban patut dijadikan contoh aparat pemerintahan saat ini. Pengalaman selalu memberi pelajaran penting, suara-suara sumbang yang diumpatkan (sepahit apapun itu), penting untuk didengar. Loyalitas kebablasan para pamong dan abdi negara yang berujung penyelewengan dan kongkalingkong mengatas-namakan demi ini, demi itu, demi anu dan segala demi-demi lainya, sudah saatnya dihentikan.

Jika terbukti benar dan secara resmi Farid Asimin telah ditetapkan sebagai salah satu Tersangka dalam kasus penyelewengan dana TPAPD Bolmong 2010 berbanderol Rp 3,8 Milyar, maka inilah tamparan yeng ditempelengkan secara terlambat kepada Bupati Salihi yang kecolongan menyeleksi calon Sekda, yang seharusnya jauh dari limbah KKN.

Pengalaman era Bupati MMS yang dirasakan para PNS (bukan rahasia lagi), terkait kerisauan dan kegelisahan yang menghantui pejabat karena takut di non-job, tak dapat jabatan, atau di sepak ke pelosok rimba Apado' dan entah di limbuyun mana lagi apabila tak 'loyal' terhadap atasan, sudah saatnya dihilangkan. Pengalaman adalah guru terbaik. Jika tidak juga maka tak menutup kemungkinan, saya, Anda atau siapa saja, bisa tersangkut kasus macam yang dialami Tiga Serangkai ini.

PNS memang dituntut tunduk, patuh, dan loyal terhadap atasan. Namun lebih penting untuk bisa mengatakan tidak! Tatkala yang dimintakan untuk tunduk, patuh, loyal atau dengar-dengaran adalah dalam rangka  pemufakatan yang menghadiahkan jurang ternganga lebar dihadapan, atau bui lembab nan dingin yang sungguh berbeda berlipat ganda level purba dibanding suasana rumah meski cuma dari pitate.

Kecuali kita adalah anggota TRIAD atau Mafia yang tak gentar penjara dan menganggap bui sebagai persinggahan sementara yang tak berarti apa-apa.

Senin, 10 September 2012

Dumoga: Negeri Kaya, Negeri Ngeri, Negeri Para Bogani dan Pemberani


Senin 10 September 2012
Dumoga: Negeri Kaya, Negeri Ngeri, Negeri Bogani dan Para Pemberani


Dumoga yang kini terbagi menjadi 4 wilayah Kecamatan (Timur, Barat, Selatan, Utara), adalah wilayah kaya sekaligus "panas" yang terletak di tengah-tengah Kabupaten Bolaang Mongondow saat daerah ini belum dimekarkan menjadi 4 wilayah Kabupaten dan 1 Kota (Bolmong, Boltim, Bolsel, Bolmut dan Kotamobagu). Bolaang Mongondow (Bolmong) bahkan dikenal dengan julukan lumbung beras karena keberadaan wilayah gemah ripah loh jinawi ini.
 
Di level internasional, Dumoga bahkan diklaim sebagai kawasan paru - paru dunia yang turut berperan dalam menjaga keseimbangan ekologi dan iklim dunia karena keberadaan kawasan konservasi; Taman Nasional Dumoga Bone, atau yang kini berganti nama menjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNWB).

Di Mongondow, Dumoga selalu penting pun menarik dibicarakan bukan semata karena ada Taman Nasional disini, bukan pula soal kandungan emas di Teluk atau di Superbusa yang sejak era 90-an menjadi pusat mimpi tak hanya bagi orang Mongondow yang datang berbondong-bondong ke wilayah ini bermodalkan nyali, samurai, cakram, tombak dan aneka benda tajam lainnya termasuk yang kata konon; ilmu kebal, melainkan karena ada mimpi kesejahteraan dijanjikan tempat ini. Bongkah-bongkah mimpi yang akan merubah nasib dari kere menjadi royal, dari melarat menjadi berada, seperti Cebol (nama julukan), Juma’, atau Aske Giroth (3 di antara orang Dumoga suku Minahasa yang berhasil dalam usaha tambang tradisonal. Satu diantaranya bahkan pernah duduk sebagai Anggota DPRD Bolmong dari Partai Golkar). Tapi sebut juga nama Ajan Bonde, penambang asal Dumoga dari suku Mongondow yang pernah juga duduk di kursi DPRD Bolmong.

Saat ini Dumoga semakin menarik sebab sederet stakeholder di wilayah lumbung beras ini tengah bersemangat dalam euphoria pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Tengah (Bolteng), mengikuti jejak 4 saudara kembarnya; Boltim, Bolsel, Bolmut, dan Kota Kotamobagu.

Pembentukan Bolteng ini malah disebut-sebut sebagai prasyarat untuk melengkapi terbentuknya cita-cita yang lebih besar yakni Propinsi Bolaang Mongondow Raya (PBMR) sebagaimana yang tengah digaungkan saat ini oleh para pemukanya termasuk mantan Wakil Gubernur Sulawesi Utara asal Bolmong; Abdullah Mokoginta.

Dumoga Dimata Pemerintah Pusat

Betapa pentingnya Dumoga di mata pemerintah Indonesia sehingga dengan mengatasnamakan rakyat Indonesia, berhutang ke rentenir kelas wahid; World Bank sebesar 60 juta dollar AS untuk pembangunan Proyek Irigasi Dumoga yang menghasilkan Bendungan Touraut dan Kosinggolan. (lihat G.J. Aditjondro, "Nasib penduduk asli Mongondow di Sulawesi Utara", Suara Pembaruan, 4 Desember 1992).

Tak hanya itu, di penghujung 80-an, BJ. Habibie yang ketika itu menjabat sebagai Menteri, melaksanakan pembangunan SMTP (Sekolah Menengah Teknologi Pertanian) Mokintob, yang nasibnya kini tinggal cerita tergambar dari sisa-sisa puing bangunan gedung yang murung bak pusara yang telah bertahun-tahun diterlantarkan.

Dumoga Jaman Mokodoludut

Dalam mitologi Mongondow, dikisahkan kelahiran seorang bayi laki-laki dengan keadaan tak lazim dari seorang perempuan yang belum bersuami. Kelak kemudian bayi ini diangkat sebagai seorang Punu', yakni pimpinan tertinggi, datu, atau raja, diberi nama Mokodoludut. Mitos ini mengisahkan soal bagaimana sepasang suami istri bernama Kueno dan Obayow (dalam penceritaan lain bernama Inali dan Amali) suatu ketika si sebuah sungai menemukan sebutir telur yang dierami seekor burung. Mereka membawa pulang telur ini di kediaman mereka di Tudu In Bumbungon (Puncak Bukit Bumbungon) dan peristiwa mengagetkan terjadi; tujuh hari kemudian telur ini pecah dan keluar seorang bayi laki-laki.

Tak seberapa lama kemudian  terdengar bunyi guntur dan kilat bersahut-sahutan di langit. Beriringan dengan itu turun hujan lebat dan terdengar bunyi hentakan langkah kaki para pendatang yang bergerak secara berbondong-bondong menuju tempat dimana bayi itu lahir. Saking banyaknya langkah kaki para pendatang itu, maka bumi Dumoga terasa bergoncang. Itu pulalah yang dalam bahasa Mongondow disebut nooludut. Para pendatang ini rupanya adalah para Bogani, manusia yang digambarkan kuat dan keramat pemimpin masing-masing komunitas yang tersebar di seluruh Bolaang Mongondow.

Para Bogani ini berbondong-bondong menuju Tudu In Bumbungon karena mengetahui ada kelahiran tak biasa disana yakni seorang bayi laki - laki yang diyakini bakal menjadi pemimpin nanti. Oleh sebab itulah bayi ini mereka namakan Mokodoludut, yakni sesuatu yang menimbulkan kegoncangan atau kegemparan.

Para Bogani lantas bermusyawarah dan hasilnya mereka sepakat mengangkat bayi laki-laki ini sebagai Punu' atau pimpinan tertinggi di Bolaang Mongondow. Dari padanya akan lahir raja-raja yang secara bergantian akan memimpin Bolaang Mongondow.  
 
Maka dimulailah kepemimpinan itu secara turun-temurun dimana pusat pemerintahan kerajaan dimuali di Dumoga yakni di Tudu In Bumbungon.

Terkait peristiwa kelahiran Mokodoludut ini, ada juga cerita lain yang mengisahkan bahwa Ayah dan Ibu dari Mokodoludut adalah Manggopa Kilat dan Salamatiti yang tak lain adalah pasangan Bogani lelaki dan Bogani perempuan yang tinggal di dataran Dumoga. 

Dumoga dan Taman Nasional

Di tahun 1940 hingga 1950-an, dataran Dumoga yang membentang luas didatangi orang Mongondow dari berbagai penjuru untuk membuka area penghidupan baru, termasuk yang dilakukan penduduk Passi yang akhirnya membentuk Desa Ibolian.

Tak hanya penduduk lokal yang tertarik mencari penghidupan baru di dataran Dumoga, sebab tersebutlah kelompok yang datang dari Tondano (Minahasa) yakni di kampung Jaton (Jawa Tondano) dipimpin Slamet Nurhamidin dan Tarekat Banteng sekitar tahun 1948.

Kedatangan kelompok Slamet Nurhamidin dan Tarekat Banteng inilah yang menjadi cikal-bakal Desa Ikhwan. Selanjutnya adalah orang-orang yang datang dari suku Minahasa lewat program BRN (Biro Rekuonstruksi Nasional).

Pada Tahun 1967 datang transmigran asal Jawa dan Bali yang dimukimkan di Tumokang atau daerah di sekitar Kosinggolan. Setelah satu dekade selanjutnya, para transmigran ini dipindahkan lagi ke wilayah yang sekarang bernama Desa Mopugat, Wherdi Agung, Kembang Merta dan Mopuya. Pemindahan ini konon dikarenakan pertimbangan ekosistem dan hidrologi yang ada di kawasan Kosinggolan yang merupakan daerah tangkapan air. Terbukti pada Tahun 1979 kawasan hutan Dumoga ditunjuk sebagai kawasan Suaka Margasatwa Dumoga (SMD) berdasarkan SK. Menteri Pertanian Nomor 476/Kpts-Um/8/79 tanggal 2 Agustus 1979, dengan luas 93.500 Ha. Awalnya, kawasan bekas lokasi transmigrasi Tumokang termasuk dalam wilayah lindung ini. 

Namun di era 80-an, masyarakat Doloduo yang merupakan masyarakat asli suku Mongondow, melakukan pembukaan kembali kawasan bekas pemukiman transmigrasi tersebut. Mereka menganggap wilayah tersebut adalah wilayah adat dan tanah ulayat mereka, meski pemerinta pusat telah menetapkan sebagai kawasan tersebut sebagai Suaka Margasatwa  Dumoga (SMD).

Dalam catatan Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, perambahan yang dilakukan masyarakat Doloduo dan beberapa yang datang dari sejumlah desa di Mongondow, meluas hingga di kawasan Sindak, Tabang Mororok, Binuanga, Patue, Bolungkuga, Baturapa, dan Tumpa.

Penetapan Taman Nasional Dumoga Bone (TNDB) terjadi pada tahun 1991 lewat Surat Keputusan  Menteri Kehutanan nomor 731/Kpts-II/91 tanggal 15 Oktober 1991, yang merubah fungsi Suaka Margasatwa Dumoga (SMD) menjadi Taman Nasional Dumoga Bone (TNDB). Selanjutnya nama ini berubah lagi menjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW)  dengan luas 287.115 Ha.

Masa Eko-Facism

Mengutip catatan George Aditjondro yang dimuat surat kabar harian nasional, Suara Pembaruan edisi 4 Desember 1992di tahun 1982 hingga 1983 dan di era 90-an, terjadi eko-facism yang dilakukan Pemerintah Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow, Kodim 1303 Kotamobagu, Polres Bolaang Mongondow, dan Kejaksaan Negeri Kotamobagu, tatkala menggelar Operasi Wibawa I dan berhasil mengeluarkan orang-orang Mongondow disana yang dituduh sebagai perambah kawasan TNDB.

Operasi ini berlanjut ke Operasi Wibawa II pada tahun 1993-1994  dan berhasil mengusir sejumlah penduduk yang menggantungkan hidupnya di Kawasan TNDB, termasuk kelompok penambang tradisional.

Peristiwa Operasi Wibawa I dan II yang dilakukan oleh lembaga dan alat-alat negara dalam pengusiran  penduduk ini, masih membekas dibenak hati orang Mongondow yang menjadi korban pengusiran itu. Penulis sendiri di tahun 1998 pernah mendengar langsung apa yang dikisahkan kembali oleh salah seorang penyintas yang diungkapkan dalam bahasa Mongondow; yo operasi tatua deman bi' ta' noguser sin yanu' bi' no nurub kon pinomula nami (operasi tersebut tak hanya mengusir kami dari situ tapi sekalian membakar apa yang sudah kami tanam).

Pemerintah beralasan, Operasi Wibawa dilakukan sebab praktek pembukaan hutan oleh petani dan kelompok penambang, mengancam ekosistem kawasan lindung. Berdasarkan penuturan salah seorang petani asal Mongondow yang turut menjadi korban pengusiran dalam operasi itu, mengisahkan bahwa sejumlah bibit cengkeh dan tanaman tahunan yang sudah mereka tanam, habis dibakar aparat.

Namun eko-facism yang dilakukan pemerintah terhadap warga Mongondow di dataran Dumoga, tak membuat warga kapok. Pada tahun 1987 warga memasuki kawasan itu lagi hingga dipermulaan tahun 90-an. Kekayaan yang di kandung Dumoga dan gempar di tahun-tahun itu, bahkan menarik beberapa pemuda Mongondow yang tengah menempuh pendidikan di Manado dan Tondano, pulang kampung dan memilih masuk rimba ketika menyadari, mimpi kesejahteraan sebenarnya berada di wilayah ini; Dumoga.

Puncak kegusaran pemerintah ketika melihat Dumoga menjadi lahan rebutan, membuat terjadinya Operasi Santiago yang menggunakan agresi militer di kawasan tersebut dari tahun 1993 hingga 1994.  Lubang galian emas rakyat ditutup pihak militer menggunakan semen padat. Operasi bersenjata ini cukup efektif menggulung ratusan petani dan ribuan penambang tradisional yang terpaksa  meninggalkan lulung atau daseng  yang mereka dirikan disana dalam keadaan murung, dingin, dan mencekam.

Dalam catatan Geogre Aditjondro (Penulis buku Gurita Cikeas) menyebutkan bahwa di era 80 hingga 90-an ratusan keluarga petani suku Mongondow dan imigran Minahasa serta Sangihe di lembah Dumoga, dipaksa keluar tidak cuma dari hutan Taman Nasional Dumoga-Bone, melainkan dari dataran Dumoga di Kabupaten Bolaang Mongondow. Lagi, pengusiran itu dilakukan demi melindungi kelestarian daerah tangkapan air proyek irigasi Dumoga, serta bendungan Toraut yang merupakan bagian dari proyek yang dibiayai lewat pinjaman rakyat Indonesia sebesar 60 juta dollar AS dari Bank Dunia. (lihat G.J. Aditjondro, "Nasib penduduk asli Mongondow di Sulawesi Utara", Suara Pembaruan, 4 Desember 1992).

Dumoga; Pusat Mimpi Para "Ninja" dan "Samurai"

Wilayah Dumoga tak lepas dari cerita macam di film silat Saur Sepuh, koboi-koboi mabuk, Ninja, dan Samurai.  Orang Sulut pasti pernah mendengar beragam kisah yang dituturkan dari mulu ke mulut lewat berbagai versi soal kesohoran kelompok penambang yang dikenal dengan nama Group 88. Sesuai namanya, grup ini dibentuk tahun 1988, adalah kumpulan orang-orang yang memiliki ilmu kanuragan.

Tersebutlah pula sosok bernama Soni Putong yang konon mantan atlet Anggar Sulut. Ia putar haluan dari atlit anggar menjadi penambang karena mimpi kesejahteraan di Dumoga lebih menjanjikan tinimbang mengharapkan perhatian KONI. maka banting setrilah dia dan datang mengadu nasib di lembah Dumoga bermodal kelihaiannya bermain pedang. Grup-grup penambang (rambangan/kongsi) disebut-sebut kerap memperebutkan Soni Putong bergabung di grup mereka karena keahliannya memainkan pedang. Di Dumoga, keahlian yang satu ini memang paling dibutuhkan selain nyali.

Tersebut pulalah cerita heroik seorang lelaki Mongondow asal Desa Doloduo yang dijuluki Andol (Andalan Doloduo). Namanya begitu tersohor tak hanya di kalangan penambang. Soal memainkan pedang maupun badik, dia juga ahlinya. 

Selain Andol, dikenal pula nama kelompok pemuda bengal nan brutal dari suku Mongondow dengan julukan Poppeye. Sama seperti ANdol, sebagian besar anggota kelompoknya adalah penduduk asli Doloduo. 

Dumoga memang mengoleksi banyak nama, grup, dan julukan, yang saling berebut pemgaruh disana. Maka dikenal pulalah sosok perempuan penambang yang namanya tak kalah populer memperlengkap nuansa di rimba raya Dumoga tak ubahnya seperti adegan film Xena The Warrior of Princess tatkala seorang perempuan berada ditengah-tengah kelompok lelaki sambil menenteng pedang, samurai dan pisau badik terselip di kiri-kanan pinggangnya. Dialah yang dikenal dengan nama Titin.

Sejak lokasi galian yang dinamai Teluk gempar oleh berita ditemukannya lubang galian dengan kadar emas tinggi, (para penambang mengistilahkannya lubang kancang), maka sejak itu pula Dumoga kian menjadi pusat mimpi orang-orang yang ingin mengubah nasib. Mereka berbondong-bondong ke Dumoga dengan membentuk grup (biasa disebut kongsi) berlatar keterikatan pertemanan, wilayah, kampung, pun yang sifatnya random.

Karena tahu bahwa sudah ada kelompok lain yang mula-mula merintis dan menguasai lubang galian, ditambah lagi informasi bahwa mereka itu bukan penambang kelas daong lemong (bukan kelas ecek-ecek), maka dipersenjatailah diri dengan beragam benda tajam penantang maut yang dibalik itu tersimpan maksud gelap; ingin menguasai lubang rebutan itu dengan cara apapun termasuk baku potong apabila upaya baku ator tidak berjalan. Istilah yang mereka pakai adalah bongkar jalur.

Sebagai contoh, jika ada lubang dengan kadar emas tinggi (lubang kancang), maka lubang itu akan jadi rebutan. Kelompok pertama yang menguasai lubang ini akan menjaga lubang tersebut dari gangguan kelompok lain. Menjaganya tak hanya dengan raga melainkan nyawa. Lubang akan dijaga oleh para "pendekar samurai" yang tangannya akan ringan menyembelih leher siapapun yang nekat datang dan sok jagoan menguasai. Kecuali jika mereka tunduk dibawah peraturan kelompok pertama. Sekadar contoh; kelompok pertama yang menguasai lubang, jika mood lagi bagus, maka sosok-sosok keras dan sangar ini, bisa berbaik hati dengan memberi kesempatan kelompok berikut yang datang untuk masuk lubang mengambil rep (material). Sebuah kesempatan yang sekonyong-konyong diberikan atas dasar senasib-sepenangungan antar penambang agar bisa saling hidup-menghidupi. Ini jika mood kelompok penguasa pertama lagi bagus. Namun jika tidak, maka yang sudah bosan hidup sila bongkar jalur jika punya sembilan nyawa.

Saat perang rebutan minyak antara Irak melawan Kuwait yang dibantu Amerika Serikat bergolak di Kawasan Teluk (Timur Tengah), ketika itu pula konflik kepentingan terkait pertambangan tradisional di Dumoga sedang bergejolak. Tak heran salah satu kawasan lubang galian yang menjadi rebutan sekaligus sumber sengketa dan petaka, dinamai para penambang sebagai Teluk. Di kawasan Teluk, nyawa orang seolah tak direken.

Emas memang panas dan memicu pertikaian. Sama halnya dengan perang rebutan minyak di kawasan Teluk, Timur Tengah. Konflik di kawasan Teluk Dumoga, biasanya pecah karena adanya keengganan dari kelompok lain untuk menuruti aturan kelompok yang mula-mula menguasai lubang. Ini yang menjadi pemicu konflik antar penambang yang berhasrat menguasai. Seperti koboi-koboi tak berkuda, mata merah mulut bau alkohol, kelompok berideologi hukum rimba ini—yang mendengar ada mimpi kesejahteraan dapat diraih meski hanya semalam—memasuki belantara dengan nyali yang tertanam kuat. Mereka tinggalkan anak istri, pacar, sanak keluarga, untuk satu tujuan; kesejahteraan. Di pinggang para “koboi” ini bukan revolfer, melainkan badik mengkilap yang terselip penuh siaga. Tangan mereka memegang 'samurai' yang siap memenggal leher siapa saja yang berani menghalangi tujuan mereka; Emas!!Gold Glory Gold!

Kelompok yang menggunakan metode bongkar jalur dijuluki Ninja sebab dianggap penyusup. Apalagi saat beroperasi, sebagian besar dari kelompok ini menutupi wajah mereka. Biasanya mereka datang dengan kekuatan yang lebih besar dan tak kalah brutal. Tujuan para Ninja yang dilengkapi benda maut seperti pedang panjang terbuat dari rem cakram—biasa mereka istilahkan samurai—adalah untuk menyerobot antrian. Jika sudah begitu maka adegan seperti dalam film Saur Sepuh, The Last Samurai, atau Xena The Warrior Princess, akan meletus hingga menyisakan korban yang bisa berujung pada kematian di kedua-belah pihak setelah saling tebas alias baku blah.

Semua itu adalah hal biasa di Dumoga yang liar dan keras. Hukum yang dipakai adalah hukum rimba. Tak ada pihak korban yang keberatan dan melapor ke Polisi. Semua akan diselesaikan lewat "hukum adat ala rimba" di belantara Dumoga. Mereka bertarung di arena tambang. Meski akhirnya, seiring waktu berjalan, konflik di lokasi tambang dibawa turun ke kampung maka kejadian-kejadian tarkam di Dumoga nyaris bosan kita dengar. Kesepakatan "adat" yang menyebutkan tak boleh membawa-bawa masalah yang pecah di lokasi tambang turun ke kampung, urung terjaga.

Namun demikian bukan berarti di semua lubang galian terjadi perkelahian tatkala semua kelompok tunduk pada aturan antri. Tidak semua lubang galian juga berkadar emas tinggi. Di galian yang kadar emasnya rendah, suasana adem-adem saja. Bahkan konon ada kawasan yang disebut Panta Putih. Ini semacam kawasan agak lapang yang difungsikan kepada para penambang yang masih jomblo, sayang anak-istri, terutama lagi sayang nyawa. Artinya, ketika terjadi sengketa atau konflik antar grup penambang, bagi para penambang yang netral dan tak mau terlibat baku potong dan kubu-kubuan, segera mengambil posisi ke kawasan Panta Putih agar nyawa tak melayang. Panta adalah bahasa setempat yang jika disalin ke Bahasa Indonesia artinya pantat atau bokong. Istilah Panta Putih dikonotasikan pula kepada mereka yang dianggap penakut atau yang tak punya nyali untuk berkelahi.

Masa kejayaan para penambang di Dumoga meledak di era 90-an. Banyak orang tak kenal tua-muda, dari yang sudah beristri maupun bujang, dari status ekonomi tak berpunya menjadi berpunya; motor keluaran terbaru; kemeja; celana blue jeans merek Levis dan Lea lengkap dengan sepatu keren model terbaru; jaket kulit; parabola; laser disc; home teater; segala pernak-pernik enterteint untuk hiburan di rumah yang baru pula direhab, pun yang baru di bangun permanen. Pendek kata, rimba Dumoga telah memberi mereka kesejahteraan hidup, sikap royal, hura-hura, bahkan filantropi. Meski pada akhirnya masa kejayaan itu terengut dan tergilas roda jaman dan waktu yang berputar bengis kencang, meruntuhkan apa yang pernah dimiliki dan melahapnya hingga tinggal sobekan kisah tua yang manis terselip di balik blue jeans kumal dan tersenyum menyapu bekas jahitan luka dihampir sekujur tubuh para Ninja dan veteran Teluk.

Penulis masih ingat karena pernah mengalami langsung bagaimana para Ninja dan penambang di Dumoga turun ke Kota (Kotamobagu) dan pica kongsi (bagi hasil penjualan emas). Mereka memborong isi Toko dan menyuruh siapa saja yang lewat di depan mata mereka saat berbelanja untuk mengambil sesuka hati barang dagangan yang dijual. Mereka seolah menyatakan diri : "Inilah kami para ninja dari Dumoga. Silahkan pilih, kami yang bayar, kami punya banyak uang!!". 

Pernah suatu ketika di penghujung tahun 1994, mereka tiba di pusat kota dimana penulis dan beberapa teman yang masih mengenakan seragam putih abu-abu berada di emperan toko, bersebelahan dengan rumah makan. Saat para penambang ini masuk, terdengar oleh kami dari luar keras suara serak dari salah seorang diantara mereka : "Ator akang makanan harga 3 juta!".   

Amboy, hanya 6 orang dan mereka minta dihidangkan menu seharga 3 juta? Kurs dollar waktu itu Rp 1.500 per dollar. Sebuah kesombongankah, olok-olok, sifat royal, atau pernyataan diri bahwa; kami bukan pengangguran, bukan sampah masyarakat yang tak punya kupang!Jika selama ini kalian memandang kami sebelah mata, sekarang saatnya layani kami, semua menu yang ada di rumah makan ini angkat dan taruh di atas meja, kami bayar!

Nampak pelayan rumah makan sibuk tak tahu bagaimana harus menghidangkan menu yang dipatok 3 juta untuk 6 orang Ninja. Pemilik rumah makan dengan wajah tegang yang senang nampak sibuk dengan kalkulator di tangannya yang sebenarnya tak berguna sama-sekali sebab tengoklah, segala menu sudah dihidangkan; bir juga sudah dijejer di meja, tapi belum juga menyentuh angka 3 juta. Paling banter 500 ribu, itupun sudah max.

Salah seorang dari mereka keluar. Matanya merah liar, mulut beraroma alkohol memakai jaket jeans, ada bekas luka di lengannya dengan sepatu merek Finoti dan satunya Dr.Martin.

Saya dan teman-teman di emperan toko, diseret satu persatu masuk ke dalam rumah makan Minang. Tapi karena harga patokan harus genap Rp 3 juta, sekitar 20-an anak SMA di emperan Toko yang tentu sedang kelaparan, ikut di boyong ke dalam; "Maso kong kase abis tu apa da pesan!" kata salah seorang dari mereka.

Setelah perut kami membuncit, kami digampar rokok tiap orang dua bungkus, lalu dikasih beberapa lembar uang yang cukup membuat masing-masing dari kami bisa mentraktir teman-teman di kantin sekolah selama seminggu berturut-turut dan tak pusing lagi pagi-pagi minta uang jajan ke ortu. 

Bayangkan, jika mengikuti kurs dollar saat ini di kisaran 13.500 per dollar, maka 6 orang Ninja yang turun kota kala itu di restoran Minang, memesan menu makanan dan minuman seharga Rp 40.500.000. Empat puluh juta guys...!
 
Masih kuat pula dalam ingatan membayangkan adegan para Ninja menghambur-hamburkan uang di jalan, di depan kos-kosan, membagikan kepada orang-orang. Sebuah pemandangan tak ubahnya seperti film Robin Hood.


Dumoga Menuju Bolteng

Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Dumoga memberi simpulan catatan tersendiri bagi rakyatnya. Seperti merupakan suatu keharusan, pihak-pihak berkepentingan di Dumoga mulai menggelorakan isu pemekaran demi terselenggaranya upaya penataan dan pengelolaan Dumoga dengan lebih baik. Upaya yang sempat diwarnai gelombang demonstrasi oleh rakyat Dumoga bersatu di Kantor DPRD Bolmong beberapa waktu lalu, telah berhasil dengan dimekarkannya Kecamatan Dumoga menjadi 4 Kecamatan.  

Tak cukup dengan itu, pada tahun 2010 Dumoga kembali "bergolak". Seolah mengikuti jejak 5 saudara kembarnya (Bolmong, Boltim, Bolsel, Bolmut, Kota Kotamobagu). Negeri lumbung beras ini menuntut diadakanya pemekaran dalam rangka pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Tengah (Bolteng). Presidium Pemekaran terbentuk. Tim Verifikasi sudah turun. Apa selanjutnya?? Saya kebetulan waktu itu diundang Presidium Bolteng ke Dumoga, ke Doloduo, ngobrol di rumah makan, memesan makan minum, meski bukan seharga 40 juta, seperti yang pernah dilakukan para Ninja dahulu kala.

Sambil menunggu babak berikut, ada berderet harapan dan keinginan yang hendak kita buncahkan ke negeri Mokodoludut, negeri Manggopa Kilat, Salamatiti, Kueno Obayou, Inali Amali, negeri para Punu' dan Datu; semoga Dumoga senantiasa berdaulat di atas tanahnya. Negeri yang kini dihuni lintas suku dan agama, yang hingga kini ini masih tetap setia mempertahankan kedamaian dan ketenangan dalam konteks persaudaraan dan hidup berdampingan. Meskipun iklim sosial dan stabilitas di Dumoga bisa tiba-tiba cepat "panas" dan "meledak", percayalah bahwa pedang tidak berarti selalu ditebaskan meski memang tetap dibutuhkan.

Kita hilangkan imej yang tersemat di Dumoga sebagai negeri brutal, negeri para geng, koboi-koboi mabuk, dan tukang bakalae. Kita jauhkan dari imej negeri yang mengutamakan hukum rimba sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan perkara. Kita jaga imej lumbung beras nan damai tentram tetap terjaga sebagai jalan menuju Bolaang Mongondow Tengah (Bolteng) seperti yang di-idam-idamkan rakyat Dumoga saat ini. 

Dumoga adalah negeri para Bogani. Negeri para pemberani yang di negeri indah nan kaya inilah pertama kali berdiri kerajaan Bolaang Mongondow dibawa tampuk kepemimpinan Punu Mokodoludut. Tak perlu terus-terusan mejadikan Dumoga sebagai negeri ngeri tapi buatlah setiap orang untuk tahu diri. Dengan begitu orang banyak akan mengerti; mengapa para Bogani mengangkat Punu dan mendirikan kerajaan disini.

Kamis, 06 September 2012

Pembatalan Yang Menyedihkan

Saya menulis artikel ini sambil merokok Gudang Garam Merah ditemani segelas kopi Kotamobagu Cap Keluarga dan dua buah Surat Kabar berbeda terbitan Sulut.

Soal merek rokok dan kopi yang saya cantumkan disini, tak usah dianggap sebagai iklan terselubung. Blog ini tak dikunjungi jutaan orang dan membuat saya berasusmsi; para pembaca (yang perokok) pasti sudah punya pilihan merek masing-masing. Sedangkan soal kopi, saya juga percaya, hampir semua pembaca adalah penikmat kopi Kotamobagu tanpa perlu terpengaruh iklan.

* * *

Teka-teki apa isi komitmen yang dipersoalkan Meydi Lensun hingga mengambil keputusan untuk mundur dari jabatanya selaku Wakil Bupati Boltim (belakangan urung dilakukan), sebagaimana pada tulisan saya sebelumnya: "Meydi, Jangan Sampai Menepuk Air di Ladang...." sepertinya terjawab sudah lewat pernyataan langsung dari Bupati Boltim Sehan Lanjar disejumlah media cetak yang terbit 5 September 2012, termasuk pemberitaan lewat situs media online diantaranya http://www.tribunmanado.co.id dan http://www.kontraonline.com

Dalam tulisan saya sebelumnya, jujur ada perasaan "ngeri" menjalar tatkala membayangkan; bagaimana pada giliranya nanti Bupati Boltim Sehan Lanjar akan menyeruakkan ke publik, apa sebenarnya isi komitmen yang dipersoalkan Meydi terhadap dirinya. Hal yang saya "takuti" ini sebagaimana yang saya rangkumkan dalam kutipan peribahasa lama; menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Atau peribahasa lain dengan pemaknaan yang hampir mirip; Ibarat meludah ke atas,toh jatuh kena pipi juga. Atau jika belum cukup lagi, maka kita kutip Nietzche lewat Zarathustra; Hati-hatilah, jangan meludah melawan angin.

Betapa tidak, apa yang membuat Meydi uring-uringan hingga berkoar mundur, ternyata lebih didasari oleh adanya komitmen antara dirinya dengan Bupati. Ini terbongkar setelah Eyang membeber ke-media bahwa  komitmen itu berisi jatah-jatahan proyek dan distribusi jabatan.

Saya kutip omongan Eyang; "Pengunduran diri dengan alasan komitmen harus bagi proyek itu adalah konyol, karena komitmen Bupati dan wakilnya itu kepada rakyat. Kalau kita harus memaksakan kesepakatan yang ada di kertas, maka itu adalah kesepakatan sesat dan melanggar undang-undang," (http://kontraonline.com/8594/eyang-mau-mundur-kemudian-batal-jawaban-saya-ha-ha-ha/)

Tak cukup sampai disitu Eyang menambahkan lagi; "Jadi kami sebagai pemimpin daerah, tidak untuk menjadi tukang bagi proyek kemudian bagi-bagi job kepada keluarga dan kerabat untuk menjadi kepala dinas,"

Sedangkan yang tak kalah menohok lagi; "Menurut saya, kalau ingin mengundurkan diri langsung saja ke DPR, suratnya bisa dikirim lewat bentor (becak motor-red) atau ojek juga kan bisa. Saya kalau rencana mau mundur, tidak perlu bilang-bilang. Bahkan istri saya pun tidak akan tahu kalau saya mau mundur dari jabatan. Jangan bikin sensasi yang membuat akhirnya bukan politik tapi politis. Kita ini pemimpin, tidak bisa main-main,"

Kemudian ditutup dengan makna yang sedikit mengolok-olok; "Ini kalimat saya yang terakhir dan tolong disiarkan. Bahwa pernyataan mengundurkan diri, dan dia (Medy-red) mencak-mencak di media massa, konfrensi pers di mana-mana, serta lewat jaringan sosial, kemudian tiba-tiba sekarang ini dia mengatur massa seratusan orang, yang notabenenya sebagian orang itu bukan dari Boltim. Itu tidak apa-apa, itu adalah upaya dia, wajar-wajar menurut dia. Pernyataan mengundurkan diri kemudian membatalkan, saya jawab dengan, ha ha ha ha"

Ada kesedihan yang tiba-tiba menjalar hingga ke dalam batin tatkala menyadari perseteruan antara Eyang dan Meydi semakin frontal. Boltim dengan umurnya yang masih balita sehingga perlu dijaga masa pertumbuhanya, harus mengalami goncangan yang justru menganggu pertumbuhan itu sendiri. Kemesraan yang dulunya terjalin hangat berubah jadi murka yang dibumbui  olok-olok di media.

Mari kita bayangkan sejenak sebuah pasangan keluarga harmonis yang baru dikaruniai seorang anak berumur 4 tahun yang masih sangat butuh perhatian dan kasih sayang kedua orang-tuanya; menjaga sang anak agar terhindar dari sakit, memberinya asupan gizi yang cukup, memberinya tempat ternyaman untuk bisa tidur, mengajarinya berjalan, berhitung atau mengeja kata demi kata. Pendek kata segala perkara dalam mengurusinya haruslah everything is all about the baby.

Kemudian bayangkan jika dalam masa itu, orang tua dari sang anak, oleh karena suatu sebab, terlibat cek-cok yang efeknya bisa membuat si anak terlantar. Rumah yang sebelumnya tenang penuh cinta dan kasih seketika berubah gaduh; pecahan piring, bunyi pintu yang dibanting, bentak dan teriakan yang dalam level tertentu bisa diwarnai dengan aksi mogok mengurusi anak. Tak sedikit para ahli berpendapat bahwa semua itu akan sangat berdampak dan mempengaruhi pertumbuhan si kecil baik fisik maupun mental.

Namun demikian, pengalaman memang memberikan kepada kita kisah, bagaimana sebuiah rumah tangga broken home bisa bersatu dan harmonis kembali demi pertumbuhan si buah hati.

* * *
Sampai dengan hari ini kita tahu kalau Meydi mengurungkan niatnya untuk mundur dari jabatanya selaku Wabup Boltim dengan alasan menghormati  masa pengunjuk-rasa yang tak lain adalah pendukungnya. Ia juga menyampaikan pertimbangan soal instabilitas di Boltim apabila ia memaksakan egonya untuk mundur.

Tak dinyana urungnya Meydi mundur dari jabatanya dengan alasan diatas, tak hanya melahirkan kontroversi, hujatan, caci maki dan olok-olok baru terhadap dirinya. Hal ini bisa kita lihat terutama di group jejaring sosial Facebook atau bahkan dalam tajuk sebuah pemberitaan di media yang menuliskan kalau pengunduran Meydi adalah gertak sambal belaka dan wujud sikap politisi yang ke-kanak-kanak-an. Ejekan yang agak brutal juga mengutip peribahasa yang bukan lagi meludah ke atas melainkan menelan ludahnya kembali.

Dari semua peristiwa dan "keributan massal" yang belakangan terjadi di Boltim, lagi-lagi pelajaran dan pengalaman penting-lah yang dapat kita ambil sebagai hikmah.

Kalimat yang ingin saya jadikan sebagai penutup tulisan kali ini adalah; kepada rakyat yang masih suka mempercayakan nasibnya ke pundak pemimpin dan yang masih ingin memilih pemimpin, sebaiknya jangan pilih pemimpin ber-kelas daong lemong!

Senin, 03 September 2012

Dari Dwitunggal Hingga Eyang-Meydi


Sepenggal tulisan dari E.S Ito dalam Mengenang 107 Tahun Bung Hatta akan dengan sangat sengaja saya kutip dan taruh sebagai pembuka tulisan saya kali ini;

Bah, mengundurkan diri demi prinsip? Itu sama sekali tidak ada dalam kamus manusia Indonesia modern. Sekarang eranya kompetisi, plutokrasi yang indah bagi kami yang berduit. Kau tidak harus mundur karena prinsip, sebab pada prinsipnya, ya, tidak ada prinsip.

Bung Hatta, bagi kami hidupmu adalah rentetan mimpi buruk yang sekuat tenaga akan kami hindari. Bagimu prinsip adalah harga mati sedangkan bagi kami, prinsip itu tergantung pada kompromi. Hanya karena prinsip yang kami tidak peduli, kau mundur sebagai wakil presiden. Begini Inilah kami, Bung!

* * *

Dwitunggal tidak akan pernah lepas dari sejarah lahirnya Indonesia sebagai sebuah Negara. Adalah sebutan kepada Bung Karno dan Bung Hatta, selaku Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia mula-mula.

Pasangan ini mendapat dukungan rakyat Indonesia dengan penuh sikap heroik dan progressif-revolusioner. Mereka dinilai sebagai pasangan ideal. Bung Karno dikenal sebagai Singa Podium dengan aksi orasinya yang meledak berapi-api dan tanpa tedeng aling-aling, sedangkan Bung Hatta memiliki pembawaan yang kalem, bersahaja, penuh kesederhanaan, sangat teliti dan hati-hati dalam bersikap, serta senantiasa tunduk tak hanya pada aturan formal melainkan juga pada kaidah agama yang dipeluknya. Pendek kata, mereka saling mengisi satu sama lain.

Seiring perjalanan waktu Dwitunggal ini bercerai. Pecah kongsi lantaran perbedaan prinsip dan pendapat yang terus meruncing dalam melihat persoalan ke-pemerintahan dan ke-tata-negaraan. Bung Karno tetap bertahan pada prinsip dan pendirianya, begitu pula dengan Bung Hatta.

Puncak perpisahan diantara keduanya semakin meruncing dan tak terelakkan tatkala perdebatan soal sistem pemerintahan yang akan dijalankan yakni apakah menganut sistem parlementarial atau kabinet presidential. Belum lagi soal konsep Demokrasi Terpimpin yang terus digalakkan Bung Karno, adalah satu hal yang kurang disukai Bung Hatta sebab dinilai hanya akan mencederai demokrasi di Indonesia yang baru mulai dibangun.

Pada akhirnya perbedaan prinsip diantara keduanya tak terdamaikan lagi hingga berbuntut mundurnya Bung Hatta dari jabatan Wakil Presiden RI setelah 11 tahun lamanya sedamping, dan membiarkan kawan seperjuanganya Bung Karno berjalan sendiri tanpa Wakil selama 17 tahun sampai akhirnya Singa Podium ini terjungkal lewat drama kudeta yang hingga kini masih sering diperdebatkan; apakah semata karena isu Dewan Jenderal yang cepat membuat PKI bereaksi atau semata karena legitimasi Supersemar yang dijalankan Soeharto.

* * *
Setengah abad lebih berlalu sampai ke era Soeharto dan sederet wakilnya. Berlanjut ke Gusdur-Mega, SBY-Kalla dan SBY-Boediono. Perjalanan yang menunjukan contoh ketidak-akuran antara Pemimpin dan Wakilnya memang menghadirkan Soeharto cukup jauh dari panggang. Namun tidak bagi Gusdur-Mega, atau SBY-Kalla.

Di tingkat pemerintahan daerah, kita menemui sejumlah kasus terkait ketidak-cocokan antara pimpinan dan wakilnya yakni Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dengan Wakil Walikota.
Kita bisa lihat contoh kasus yang memperlihatkan ketidak-cocokan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (Foke-Prijanto) dimana Prijanto selaku Wakil Gubernur memutuskan untuk mundur dari jabatannya karena merasa sudah tak cocok lagi sedammping dengan pasanganya, Foke.

Di Kabupaten Garut kita juga mengetahui bagaimana Dicky Chandra (mantan artis lawak dan sinetron) mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Bupati Garut karena merasa tidak sejalan lagi dengan Aceng Fikri. Sikap pengunduran diri Dicky Chandra dari jabatan Wabup mendapat dukungan publik. Terbukti, saat Dicky Chandra menyampaikan pengunduran dirinya, Bupati Garut mendapat banjir demo terutama dari pendukung Dicky Chandra.

Di Sulut, kita juga pernah mendengar isu keretakan antara Sinyo Hari Sarundajang selaku Gubernur dan Freddy Sualang selaku Wakil Gubernur. Riak-riak kecil dari kubu Sualang bahkan sempat menghembuskan noda dan plek-plek hitam Sarundajang termasuk sindiran peribahasa; kacang yang lupa akan kulitnya, sebab ketika mencalon pasangan ini diusung PDIP yang di-ketuai Sualang.

Di ‘negri’ tetangga kita, Minahasa Selatan (Minsel) melalui pemberitaan media http://www.manadotoday.com/ kita juga mengetahui berita ketidak-cocokan Bupati Tetty Paruntu dan Wakil Bupati Drs Sonny Tandayu. Sedikit agak memalukan sebab tunjangan Wakil Bupati diduga kuat kena pangkas gara-gara ketidak-akuran ini. Lebih menggelikan lagi tatkala Bupati perempuan berparas cantik ini malah mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) bernomor 28 tahun 2011 yang begitu menyinggung perasaan Wabup Tandayu karena mengatur tentang pelaksanaan tugas Wakil Bupati Minsel dalam menyelengarakan pemerintahan daerah.

Perbup yang terbit Agustus 2011 silam ini, isinya selain menggelikan juga menyinggung Tandayu sebab memberi penegasan kepada Wakil Bupati kalau menghadiri suatu acara atau melakukan pengawasan di lapangan harus dapat izin dari Bupati secara tertulis dan bukan lisan. Hal mana cuma menimbulkan cerca yang mengolok-olok bahwa; tak menutup kemungkinan cara berpakaian atau model rambut Wabup dalam menghadiri pesta juga akan diatur-atur Bupati lewat perbub. Tandayu yang amat-amat tersinggung dengan "kegelian" itu menyatakan penolakan dan ketidak-setujuanya atas Perbub tersebut sebab dinilai melanggar aturan dan tidak dibenarkan oleh undang-undang yang dikeluarkan Mendagri. Terlebih lagi fungsi dan tugas dari Wakil Bupati sudah tertera dengan sangat jelas pada Pasal 26 undang-undang nomor 12 tahun 2008.

Di Kota Kotamobagu perseteruan dan ketidak-harmonisan antara Djelantik Mokodompit dan Tatong Bara selaku Walikota dan Wakil Walikota juga sudah menjadi rahasia publik yang bukan cuma sekedar o’uman belaka melainkan sudah terjerumus ke level tonte’ek yang alangkah lucu dan bikin gemas, tatkala kejengkelan sudah tak memiliki tempat lagi.

Mengarah ke Bolmut, melalui media kita mendapati informasi seputar keretakan hubungan antara Bupati Hamdan Datunsolang dan Wabup Depri Pontoh meski keduanya berusaha memberi bantahan tetapi tak mampu menutupi fakta dilapangan meski hal itu hanya diperuncing oleh kepentingan Pemilukada yang akan digelar tahun depan.

Di Bolmong, isu keretakan pasangan fenomenal Bupati Salihi dan Wabup Yanni pun pernah mencuat ke permukaan cuma gara-gara rolling eselon yang dilakukan Bupati Salihi tempo hari  dinilai merugikan kubu Yanni.

Sekarang, di Boltim, perpecahan antara Bupati Sehan Lanjar dan Meydi Lensun yang sebelumnya begitu hangat mesra, akhirnya muncul meletus dan berbuntut pada semacam terjadinya “keributan massal” di Boltim.

* * *

Apa perbedaan mendasar hingga menyulut perpecahan antara pimpinan pemerintahan dan wakilnya sejak era Bung Karno – Bung Hatta, hingga Eyang – Meydi? Jika kita mau jujur mengakui maka kita akan sepakat mengatakan bahwa dalam kasus perpecahan Dwitunggal yakni antara Bung Karno dan Bung Hatta, yang terjadi adalah murni soal pertarungan prinsip, pendapat atau ideologi politik. Namun semenjak era Gus Dur - Mega atau SBY-Kala lalu turun ke Foke-Prijanto, Aceng-Dicky, Sarundajang-Sualang, Djelantik-Tatong, Hamdan-Depri, Salihi-Yanni, dan yang paling heboh saat ini Eyang-Meydi, yang menjadi pemicu adalah soal komitmen (yang pengertian dan konteksnya bisa bias), soal "keributan" lantaran pembagian dan perebutan peran didalam mengelola pemerintahan, dimana Wakil merasa seperti ban reserep atau ibarat dalam permainan bola kaki, si Wakil merasa hanya selalu didudukan di bangku cadangan saja dan tak dapat berbuat banyak di lapangan.

Hm, pembaca. Ada baiknya memang mereka yang berstatus sebagai Wakil baik itu Wakil Presiden, Wakil Gubernur, Wakil Walikota atau Wakil Bupati, kita sarankan supaya mau membuka lagi se-perangkat peraturan dan perundang-undangan yang membahas seputar fungsi dan tugas pokok mereka sebagai Wakil (Wakil Gubernur, Wakil Walikota, Wakil Bupati) sembari terlebih dahulu mau untuk membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dan mencari entry kata Wakil didalamnya (semoga saja seperangkat peraturan dan Kamus itu ada di meja kerja mereka).

Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan kembali mengutip E.S Ito:

Kita menghirup nafas kemerdekaan tetapi jiwa kita terpenjara. Kita enggan menengok sejarah sebab itu hanya akan menghambat rutinitas kita. Kita satu bangsa, tetapi sudah berbeda lingua franca; yang berkuasa menumpahkan darah demi seceret air. Bila pada hari ini, jalan hidup yang telah ditempuh oleh Hatta tidak masuk akal bagi kita maka selamanya kita akan menjadi kuli dari kuli bangsa lain.