Sabtu, 21 Februari 2015

Seragam yang Tergunting dan Penyakit SFS


Diantara kita, siapa yang berani sinting dan tak punya rasa malu jadi bahan tertawaan penduduk, sehingga nekat mengatakan bahwa seragam sekolah adalah tolok ukur keenceran otak siswa, dan menjadi faktor penentu moral.

Lebih sinting lagi ketika kita berani membuang akal sehat kita ke tong sampah, lalu menganggap (sekalian mengimani) bahwa, model (celana) seragam sekolah (cutbray, skinny, fit regular, atau celana pensil/kaki botol maupun kaki kuda), mempengaruhi tingkat kecerdasan dan kedunguan siswa. Terlebih lagi model seragam sekolah (SMA) itu dipercaya dapat mempengaruhi tingkat kewarasan siswa. Dan yang terkutuk adalah meyakini bahwa itu dapat mendatangkan kemudaratan.

Pembaca, belum pernah ada penelitian baik di planet bumi maupun di Mars, yang menyebutkan bahwa, di setiap celana seragam anak-anak SMA di Mongondow, terdapat sel otak pemicu kedunguan dan rasa lesuh penyebab ketidak-mampuan motorik dan daya nalar yang menurun sehingga membuat para siswa enggan mengerjakan setiap soal yang diberikan, atau memicu terjadinya mual-mual dan penyebab asam urat pada guru.

Seragam ya seragam. Berbahan kain segala merek, produksi pabrik tekstil yang dijual secara bebas di pasaran (toko maupun kaki lima). Jika harga cocok, dibeli lalu diboyong ke tukang jahit. Setelah jadi,
dibawah pulang ke rumah, lalu esoknya dipakai ke sekolah. Bagi yang tak mau repot pinggang, paha, dan betisnya diukur oleh si tukang jahit, boleh memilih seragam jadi yang banyak dijual di toko. Tinggal sesuaikan, kalau ada yang longgar atau kebesaran, tentu butuh jasa tukang jahit.

Pendek kata, soal seragam tak ada masalah. Tak penting apakah itu produk tukang jahit, atau barang jadi di toko. Asal saja memperhatikan ketentuan paling standar sebagai berikut:

1. Bagi pelajar SMA, bukan berwarna hijau, biru, kuning, apalagi merah jambu. Sebab sistim pendidikan di negeri ini menetapkan bahwa, warna seragam (celana maupun rok) untuk siswa di SMA negeri adalah abu-abu. Ketentuan ini bahkan sudah ada jauh sebelum Obbie Mesakh 'malu pada semut merah' dan Sally Marcelina berdandan di ACI.

2. Karena sudah bukan siswa SMP lagi maka, bagi siswa SMA yang laki - laki, sudah tidak diperbolehkan bernostalgia dengan celana pendek. Ketentuan ini tidak boleh dilanggar. Bukan pula hal terpuji jika memaksakan diri untuk tidak memakai celana panjang. Gak lucu kan siswa SMA memakai celana pendek warna abu-abu. Cobak bayangkan kalau bukan dituduh sableng.

3. Dilarang keras memakai celana panjang yang bagian lutut, paha, dan bokongnya sengaja dibikin bolong atau sobek-sobek. Terlebih dibagian selangkangan. Tentu ini tak bisa ditolerir. Bagi yang nekat melakukan kesintingan ini, hanya drop out ganjaran yang setimpal. Atau lebih cocok jika diboyong ke Rumah Sakit Jiwa.

Pendek kata, untuk soal seragam, selagi itu bersih dan rapi, tentu tak ada soal dikenakan. Soal longgar di paha atau ketat di pinggang,kenyamanan sipemakailah yang menentukan. Asal jangan jadi penghalang di area pernafasan. Itu sama saja dengan bunuh diri secara perlahan-lahan.

Tapi pembaca, ada hal yang sungguh membuat kewarasan kita di Mongondow seperti diuji terkait persoalan seragam sekolah.

Seorang teman jamaah bebekiyah (pengguna BlackBerry Messenger/BBM) di list pertemanan, tadi malam membuat Display Picture (DP) dengan tayangan yang tak hanya mengguncang logika, tetapi ikut membuat diri kita waspada ketika terpingkal-pingkal di tepi telaga.

Kebodohan (kalau tidak mengatakan dungu), biasanya mengundang rasa iba diantara kita terhadap penderitanya. Tapi siapa mengira, di Mongondow, ketika 'tragedi' itu dibalut tingkah yang OAOC (over acting over confidence), hasilnya tak hanya meludahi kesehatan logika masyarakat kita, melainkan pemberian asupan tawa paling purba dengan daya bahak yang naujubillah.

Betapa tidak, di DP yang jadi trending topic teman-teman sesama jamaah bebekiyah tadi malam (terulang lagi hingga pagi tadi), seorang yang konon diduga adalah Kepala Satpol PP Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), dengan mengenakan seragam loreng yang entah dicomot dari satuan mana (bukan uniform resmi Satpol PP), nampak penuh percaya diri menggunting celana (seragam) siswa SMA bagian betis sampai tumit. Sehingga jadilah para pelajar itu macam mengenakan 'calana jojon'.

Lebih menggelikan lagi karena aksi kesewenang-wenangan itu konon dilakukan tanpa ada rasa malu di dada dan tanpa ada rasa bersalah di hati, karena diduga kuat si pelaku (Kepala Satpol PP) kalau tidak mau dibilang penderita gangguan model celana hingga akan melahirkan kekerasan secara kelembagaan atau dalam istilah Leput disebut 'Syndrome facist spanfashion (SFS)', maka kemungkinan pelaku alergi dan tidak terima melihat model celana siswa yang nampak agak ketat dibagian bawah.

Kocaknya lagi, para siswa jaman Android yang seharusnya punya isi kepala, justru diam dalam keadaan pasrah dan menyedihkan, tatkala seragam kesayangan yang (diantaranya) dibeli Mamak dari hasil menjual tahu, dibiarkan menjadi bahan amuk hasrat fasisme yang bersarang dalam pola pikir dan pola tindak sang Kepala Satpol PP berseragam aneh.

Lalu sejak kapan sekolah - sekolah di Mongondow menjadi ladang pelampiasan hasrat fasis yang seharusnya menyinggung perasaan para kepala sekolah yang teritorinya diinjak-injak? Setelah ditelisik kepada para sumber pemasang DP, kejadian yang sebenarnya memalukan pelakunya itu, terjadi pada sekitaran Agustus - September 2014 silam. Sang Kepala Satpol PP Bolmong menginspeksi SMA-SMA di Lolak, lalu menyasar setiap siswa yang seragamnya tidak longgar di bagian betis atau tumit kaki. Setiap yang seragam abu-abunya agak (hanya agak) mengetat di betis, pasti akan digunting. Entah kenapa. Mungkin dia memang sungguh - sungguh pengidap Syndrome facist spanfashion.

Tidakkah kita orang Mongondow yang masih senantiasa menjaga tingkat kewarasan bertanya; apa hubungannya seragam yang agak mengetat di betis dengan keenceran otak pelajar? Adakah korelasi antara seragam yang agak mengetat di bagian tumit dan betis itu dengan kemalasan siswa dalam mengerjakan PR? Atau seberapa seringkah siswa dengan seragam yang agak mengetat di betis itu meludah di lantai kelas saat proses belajar mengajar sedang berlangsung? Adakah kaitan antara seragam yang mengetat di bagian betis dan tumit itu dengan kebrutalan para siswa? Ataukah karena memakai seragam yang agak mengetat itu, para siswa jadi malas gosok gigi dan sering terkentut-kentut di kelas sehingga menganggu proses belajar mengajar?

Ternyata semua jawabannya adalah tidak sama sekali.

Lalu kita bertanya kembali; bagaimana dengan Kepala Satpol PP si pembuat ulah akibat penyakit Syndrome facist spanfashion yang kemungkinan dideritanya? Terutama menyangkut seragam yang dikenakannya penuh bangga dan rasa percaya diri. Tidakkah Badan Kepegawaian Daerah, Inspektorat, Bagian Hukum, atau pak Bupati melakukan pengguntingan?? Jelas uniform yang dipakai dan nampak dalam foto itu adalah uniform gadungan yang entah dibeli di pabrik konveksi mana? Memakai seragam yang lain daripada yang lain itu, selain melanggar aturan, sungguh telah mempermalukan diri sendiri. Sama halnya jika ada siswa SMA yang nekat dan tak punya rasa malu memakai setelan seragam putih - merah jambu (bukan putih abu - abu). Dan pembiaran Bupati terhadap seragam Kepala Satpol PP, sama halnya dengan pembiaran Kepala Sekolah pada siswa yang mengenakan seragam putih merah jambu.

Pembaca, jika benar yang di foto ini adalah Kepala Satpol PP Bolmong yang saat ini dijabat saudari yang terhormat Kakak Linda Lahamesang, (atau kita sapa saja Kak Linda) maka, kekocakkan ini hanya mengingatkan kita kembali pada kekocakkan di jaman Bupati MMS dulu, tatkala Kak Linda nekat tidak mau sholat Idul Fitri dan memilih memakai safari hitam kemudian memayungi sang Bupati di 'singgasana saf'.

Track record Kak Linda di jaman sebelum Salihi memang sudah bukan sekedar rahasia berjamaah lagi. Banyak kejengkelan yang mengundang tawa bertenaga bahak. Sebaliknya pula banyak kekocakkan yang mengundang kejengkelan.

Tapi kita mungkin bisa mengusulkan agar Kak Linda bisa tampil di Kick Andy atau Mata Najwa agar Indonesia tahu bahwa Kak Linda adalah satu-satunya PNS yang tidak kaku dengan aturan pemakaian seragam (PDH maupun PDL) sebagaimana yang sudah ditetapkan pemerintah (kecuali soal seragam siswa SMA). Kak Linda memang kreatif dalam mengenakan seragam yang menurut Kak Linda keren dan bergaya sehingga layak dibanggakan.

Ini tentu menjadi tamparan sekaligus penyemangat dalam dunia fashion Indonesia. Tak menutup kemungkinan, di tahun mendatang, setiap kepala SKPD diberikan kebebasan dalam memilih seragam mana dan apa saja yang dirasa trendy. Dan setelan celana jojon atau 3/4 untuk seragam siswa SMA, siapa yang tahu bakal ngetop di tahun-tahun mendatang.

Maka, dari era Bupati MMS hingga era Salihi kini, ragam lagak dan laku yang dilalui Kak Linda (sampai ke peristiwa uniform dan gunting-menggunting seragam SMA jadi model jojon), membuat kita semakin sadar bahwa Mongondow memang luar biasa lucu dan menggemaskan.