Selasa, 10 Agustus 2021

Putri Silagondo Versus Spanyol

Anjing Hachiko, Kompas.com


PUTRI SILAGONDO Versus SPANYOL
(Kisah Maindoka, Anjing Hachiko, hingga Wanita PSK)

De Prinsess Silagondo (Putri Silagondo). Demikian salah satu sub-judul tulisan dua penginjil Eropa, N.P.Wilken dan J.A.T. Schwarz dalam catatan mereka berjudul "Verhaal eener reis naar BolaƤng Mongondou" (Kisah Perjalanan ke Bolaang Mongondow), terangkum dalam sebuah dokumen berjudul "Mededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendeling Genootschap", sebuah laporan serikat misionaris negeri Belanda tentang bahasa, wilayah, dan etnologi di Nusantara (Hindia Belanda) terbit di Rotterdam-Belanda tahun 1867 oleh M. Wyt & Zonen.

Wilken dan Schwarz datang ke Bolaang Mongondow terlebih dahulu mampir bertemu raja dan Jogugu di istana Bolaang tempat raja berkedudukan. Dari sini mereka mendapat banyak informasi yang diperlukan, terutama yang disampaikan oleh Jogugu Damopolii. 

Di Mongondow, memang berjubel cerita,  hikayat, dan sejarah lisan yang ditradisikan sejak dulu kala hingga sampai pada era lampu petromax di totaboyan atau  yang dituturkan dari masing-masing tetua rumpun keluarga dari dalam rumah ketika listrik padam dan bohlam diganti nyala lilin, dan mulailah para pencerita bertutur.

Tapi saya tidak akan menceritakan kisah-kisah itu disini, dari apa yang dituturkan kakek, nenek, atau tetamu yang terpaksa menambah durasi kunjungan karena terperangkap hujan,  baik itu kisah tentang kerajaan, kiprah para Bogani, Loloda Mokoagow, anak-anak Mokodoludut, atau yang mulai nyerempet ke magis-horror ; 'biag' atau jin yang dipelihara dukun.

Saya menceritakan saja yang versi tertulis atau yang telah terdokumentasi dan terbit di Rotterdam Belanda sejak tahun 1867 silam, hasil penelusuran Wilken dan Schwarz atas yang apa yang masih diingat dan diceritakan orang Mongondow sebagai sebuah memori kolektif hingga pada saat kedatangan mereka ke Bolaang Mongondow kala itu. 

Salah satu yang hendak diceritakan adalah konflik yang pecah antara Spanyol dan Putri Silagondo, menantu dari Punu atau Raja Mokodoludut.

Ini bukan sembarang konflik karena melibatkan meriam kanon yang ditembakan secara bertubi-tubi dari kapal-kapal Spanyol di perairan Buntalo. Hingga saat ini, peristiwa konflik antara Putri Silagondo dan Spanyol masih berbekas tak sekadar menyisakan tradisi lisan, melainkan tanda yang masih bisa dilihat di bukit Silagondo atau bukit Buntalo. 

Dicatat oleh 2 penginjil Eropa, Wilken dan Schwarz, Putri Silagondo yang merupakan Istri dari anak Raja Mokodoludut bernama Yayubangkai, memiliki seekor anjing yang cerdik, cekatan, dan teramat pintar selain begitu setia terhadap tuannya. Jika Putri Silagondo menginginkan sesuatu semisal daging Anoa, Rusa, atau apapun yang diinginkan, maka Putri Silagondo tinggal mengatakannya pada anjing yang bernama Maindoka itu  dan secepat kilat Maindoka masuk hutan dan kembali sudah dengan hewan hasil buruan sebagaimana yang diminta tuannya.  Jika hewan buruan belum ditemukan, maka Maindoka belum akan kembali ke Putri Silagondo. Kecuali jika hewan buruan yang diminta sudah ada.

Kepintaran dan kepopuleran Maindoka akhirnya sampai ke telinga Spanyol yang merapat di perairan Buntalo untuk kepentingan dagang. Maka dimulailah perburuan itu. Spanyol mendekati sang tuan dan mengiming-imingi tawaran menggiurkan. Tapi sang pemilik anjing tak bergeming. Ia sama sekali tidak tertarik dengan bujuk rayu orang-orang Spanyol dengan berbagai modus.

Spanyol yang tak mau patah, terus saja menggoda. Hal mana membuat Putri Silagondo mulai merasa tak nyaman hingga membuatnya menghindari kontak dengan Spanyol. Tapi Spanyol tetap tak mau menyerah. Bahkan mulai mengancam dengan kekerasan.

Rasa ketidak-nyamanan karena terus didekati Spanyol, pada akhirnya melahirkan rasa khawatir Putri Silagondo jika nanti akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan apabila ia tak menuruti kemauan Spanyol untuk memiliki Maindoka. Terlebih Spanyol yang merasa tak berhasil meski sudah membujuk dengan berbagai kebaikan, mulai menunjukan perangai kasarnya. Akhirnya anjing itu dijual Putri Silagondo ke Spanyol.

Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, segera orang-orang Kastela ini menuju ke kapal sembari membawa Maindoka siap dibawa berlayar entah kemana.  Saat sauh diangkat, layar terkembang dan angin bertiup tanda kapal siap berangkat, Maindoka berjalan menuju geladak kapal dan mulai memperhatikan daratan Buntalo sebuah negeri yang kian menjauh dari matanya. Anjing itu lantas menangis, berputar-putar di geladak kapal, mungkin baru tahu ia sedang dibawa berlayar entah kemana dan itu pertanda akan berpisah dengan negeri dan tuannya. Saat kapal mulai jauh, Maindoka tiba-tiba melompat ke laut dan berenang kembali ke daratan menemui kembali majikannya, Putri Silagondo yang tentu senang anjing kesayanganya kembali ke pangkuan.

Di tahun berikutnya orang-orang Spanyol kembali datang di perairan Buntalo. Saat sauh dilempar segera mereka berjalan menuju ke darat. Mereka menginginkan anjing itu kembali. Putri Silagondo segera dikirimi pesan disertai ancaman supaya segera mengembalikan anjing itu. Jika menolak, maka perang akan meletus di Buntalo.

Putri Silagondo menolak. Ia tak bergeming dengan ancaman perang itu. Hal mana membuat Spanyol murka dan itu pertanda perang dimulai. 

Genderang perang yang sudah ditabuh, membuat Putri Silagondo memutar otak mencari cara bagaimana bisa lolos dari tanda bahaya ini.  Ia lantas menggelar kenduri besar di kediamannya. Orang-orang Spanyol diundang ke bukit Buntalo tempat diadakannya pesta itu. Sebuah undangan yang sebenarnya tak di tunggu apalagi dinantikan Spanyol sama sekali karena mereka memang sedang mencari Putri Silagondo ada di mana.

Bukit Silagondo (Buntalo) yang ditembak meriam Spanyol (Pemdes Buntalo)

Akhirnya Spanyol tiba di tempat Silagondo dimana kenduri besar telah menanti mereka. Melihat ada makanan enak tersaji di hadapan, orang-orang Spanyol yang kebetulan telah lapar, segera duduk dan melahap makanan dengan rakus. Tapi rupanya makanan itu telah diberi racun oleh Putri Silagondo. Segera kelompok Spanyol yang datang pertama bergelimpangan ke tanah, kesakitan, dan mati seketika. Sementara orang – orang Spanyol yang tiba berikutnya sibuk mengurusi taman-teman mereka yang terus jatuh bergelimpangan. Mereka turun melarikan diri dan segera naik ke kapal. Namun sebagian besar dari mereka mati, tak dapat menyelamatkan diri. Sedangkan yang berhasil selamat segera menarik sauh, membentangkan layar, memutar arah kapal dan mulai menembakan meriam dari atas kapal dengan membabi buta memusnahkan daratan hingga ke bukit Silagondo. Begitu membabi-butanya tembakan-tembakan itu hingga sampai hari ini masih meninggalkan bekas di bukit Silagondo. 

Sejak peristiwa itu Putri Silagondo, Yayubangkai, dan Maindoka, menghilang secara misterius. Begitupun Spanyol, tak pernah kembali dan kelihatan berlabuh di perairan Buntalo. Sedangkan penduduk negeri yang hancur, mereka yang selamat  mengungsi ke desa tetangga hingga ke Lombagin.

Selesai.

 * * *

Kisah di atas begitu membekas dalam ingatan orang Buntalo dan kampung-kampung sekitarnya hingga tersebar di jazirah Bolaang Mongondow hingga pedalaman.

Putri Silagondo, Yayubangkai, dan Maindoka, mereka menghilang secara misterius sejak penyerangan Spanyol. Namun nama mereka terus membekas di hati masyarakatnya sampai kemudian nanti. 

Dari peristiwa di atas, kisah Maindoka terus diceritakan. Menjadi lambang kesetiaan, keberanian, dan pengorbanan. Nama itu terus dikenang, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang hidup pada masa itu dengan menamakan kembali terhadap sesuatu yang mereka sayangi dan banggakan, nama anak yang baru lahir misalnya. Tentu di luar konotasi negatif yang muncul di kemudian hari (dan ini baru) dari orang-orang kurang kerjaan dan buta sejarah.

Jika di Jepang, dunia mengenal kisah anjing Hachiko pada tahun 1935 yang membuktikan kesetiaan anjing itu dengan menunggu tuannya kembali ke stasiun setiap hari selama 10 tahun (padahal tuannya sudah meninggal dan tak pernah kembali lagi ke stasiun dimana Hachiko menanti setiap harinya), maka di Bolaang Mongondow kita memiliki kisah Maindoka sejak ratusan tahun silam yang juga membuktikan bagaimana kesetiaan seekor anjing pada tuannya (Putri Silagondo) dan menjadi bagian dari sejarah bagaimana konflik pertama dengan Spanyol bermula.

Ada pepatah kerap kita dengar yang mengatakan; anjing adalah salah satu sahabat terbaik manusia.

Namun berbeda dengan di Jepang yang membuat tugu Hachiko, di Mongondow belum ada tugu Maindoka maupun Putri Silagondo dan Yayubangkai. Soal sejarah, Mongondow memang selalu menaruhnya di sampul belakang.

Kisah Hachiko di Jepang bercertita tentang seekor anjing yang setia milik seorang profesor di Universitas Tokyo. Saban hari Hachiko akan bertemu tuannya di Stasiun Shibuya.

Sampai pada suatu hari di tahun 1925, profesor tersebut ternyata sudah meninggal dan tak pernah kembali lagi ke stasiun, hal mana tak diketahui oleh Hachiko apa yang sebenarnya telah menimpa tuannya. Sehingga saban hari anjing ini tetap ke stasiun hendak menemui sang tuan sebagaimana biasanya. 

Patung Hachiko di Statiun Shibuya Jepang (Okezone)

Hari pertama tak ada, ia datang lagi keesokan harinya, esok, esok, dan esok, dengan setia anjing ini selalu datang ke stasiun menanti tuannya datang. Di stasiun ia duduk, bermain, duduk lagi menunggu kembalinya sang majikan dari hari ke hari, tahun ke tahun, saban hari, setiap hari hingga anijing ini mendapat perhatian warga dan menjadi bahan berita di media massa. Tak jarang orang-orang memberi makan anjing ini di stasiun yang tetap setia menanti tuannya kembali.

Setelah 10 tahun menanti, tepatnya 8 Maret 1935, Hachiko akhirnya menemui ajalnya di sebuah jalan di Shibuya. Istri sang professor pemilik anjing ini beserta staf di stasiun duduk mengelilingi jasad Hachiko. Orang-orang ini berduka kehilangan pendamping yang begitu setia.

Tahun demi tahun berjalan. Hachiko menjadi bahan kisah dan inspirasi banyak orang. Pada akhirnya sebuah patung Hachiko didirikan di dekat Stasiun Shibuya. Sekarang menjadi tempat paling populer. Orang-orang berfoto, berselfi ria. Patung Hachiko telah menjadi simbol loyalitas dan kesetiaan yang ditunjukan seekor binatang. Memberi siraman inspirasi betapa penting dan mulianya arti persahabatan.

Hachiko telah menginspirasi orang-orang di seluruh belahan dunia. Di Indonesia, seorang ulama besar yang kita kenal dengan Buya Hamka pernah menyentil soal ini.

Untuk kalangan muslim, bukankah ada kisah yang diceritakan langsung oleh Nabi Muhammad bagaimana seorang pelacur akan masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang tengah kehausan saat ditemuinya di jalan.

Dikisahkan, suatu ketika seorang wanita pezina karena dikenal berprofesi sebagai pekerja seks komersil berjalan di bawah terik matahari dan melihat ada seekor anjing tengah kehausan sembari menjulurkan lidahnya. Anjing ini sudah lama mengelilingi sebuah sumur berputar-putar berharap bisa mendapatkan air untuk diminum. Bahkan dikisahkan anjing ini sudah hampir mati kehausaan. Perempuan PSK ini merasa iba dengan anjing itu. Ia lantas melepas sepatunya. Kerudung di kepalanya ia ikatkan ke sepatu itu lalu ia membungkuk sembari menurunkan sepatu yang diikat dengan kerudungnya untuk menimba air.

Sesudah berhasil mendapatkannya, perempuan ini memberi minum sang anjing yang hampir mati kehausan tadi  hingga menjadi sehat bugar kembalilah anjing itu.

Kisah wanita dan anjing ini dikisahkan langsung oleh Rasulullah Muhammad SAW kepada sahabat-sahabatnya, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Bukhari;

Dari Abi Hurairah Radialohu'anhu dari Rasulullah SAW berabda, “Telah diampuni seorang wanita pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Dia berkata, “Anjing ini hampir mati kehausan”. Lalu dilepasnya sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya lalu diberinya minum. Maka diampuni wanita itu karena memberi minum. (HR Bukhari).

Kamis, 23 April 2015

Untuk Sigidad : Tanggapan atas Tanggapan (II)

"Sayang sekali, bukan debat yang saya baca, tapi lurus-meluruskan hal yang tak penting"

ITU pesan via SMS. Disampaikan seorang teman yang mengaku "kecewa" atas silang-tanggap antara Saya dan Sigidad; saya menulis; tanggapan datang dari Sigidad; saya tanggapi balik; Sigidad kembali memberi tanggap; sekarang yang ini hadir dan semoga yang terakhir.

Saya tidak akan membahas lagi (terlebih harus mengulang-ulang perkara yang kurang ditangkap-pahami) terkait apa yang sudah ada sebelum ini.

Para pembaca yang akhirnya berdatangan karena undangan via pesan siaran blekberi mesenjer yang disebar Sigidad, saya yakini saja kelelahan.  Tapi bukan karena tak mengerti, apalagi dituduh berotak tumpul yang suka bermain samurai. Namun lebih dikarenakan (mungkin) ketidak-fokusan semenjak Clash of Clan tak hanya sekadar jadi fardu kifayah yang wajib dijalankan para jamaahnya.

Maka apa pentingnya Ibu Kita Kartini dibanding Archer Queen, Valkyrie, Witch, Golem, Healer, Barbarian, atau Pekka? Terlebih, brodkes yang disebar Sigidad sebagai undangan, masuk ke Android tatkala Gobin sedang bergerak cepat memberikan sumbangsih kerusakan pada bangunan-bangunan sumberdaya. Sehingga fokus mana yang lebih berat timbanganya; War atau ketidak-pentingan Kartini?

Jadi begini, saya heran dan merasa sangat menyayangkan ketika melihat Sigidad senantiasa tergelincir ketika memaknai kata Barat di penutup artikel saya sebelumnya. Tapi saya tahu, Minion lah yang membuat semua itu. Oleh sebab itu saya tak perlu kesal apalagi harus memberitahukannya pada Lava Hound.

Dengan senantiasa mengulang-ulang kalimat yang memberi penegasan berkali-kali pada saya bahwa, Barat tak selamanya buruk, menandakan bahwa logika dan pemahaman Sigidad terhadap kalimat itu (tanpa memandang konteks)  diyakininya sebagai; saya adalah anggota ormas FPI yang mengatakan, Barat atau Eropa itu jahat bin kafir. (Utat, konteks au' utat ah, konteks. Pahami konteks).

Segala sesuatu yang dibicarakan pasti memiliki konteks. Ada bingkai atau frame di situ. Tukang blante di pasar juga demikian. Jangan heran jika mereka memilih menjauhi calo' yang berbusa-busa tanpa memahami konteks, apalagi tanpa frame yang membatasi.

Apa konteks yang ada dalam artikel terkait Kartini yang engkau tanggapi Sigidad? Dalam konteks Kartini, ada suatu kondisi yang terjadi; patriarki, kolonialisme dan imperialisme. Memahami konteks adalah memahami suatu rujukan pada sebuah dimensi waktu berupa rentetan-rentetan peristiwa yang terjadi, dirasakan, dan dialami sebelum kita berkomunikasi lewat tanggap-menanggapi di Blog. Apa kondisi yang ada/dialami Ibu Kita Kartini yang saya bicarakan melalui artikel yang engkau tanggapi? Adalah patriarkal, kolonialisme, imperialisme. Itu yang sedang berlangsung. Kartini ada dan hidup di pusaran itu.

Maka betapa engkau hanyut dalam COC dan nekat bahkan tanpa ada rasa iba pada diri sendiri (saja) ketika terlanjur berani menduga-duga bahwa saya anti Barat. Seolah-olah engkau yakin bahwa Barat bagi saya adalah tumpukan-tumpukan keburukan yang alangkah busuknya sehingga harus dimusuhi.

Hahahahaha, saya yang engkau tahu sendiri; sepanjang hari, selama hampir 2 tahun, berjemur dibawah matahari di atas pasir putih bersama para pemilik mata kucing, rambut blonde, dengan pantat-pantat naujubillah, kok tiba-tiba merasa seperti sedang dipaksa mengenakan sorban di kepala, memegang pentungan, dan menjadi anggota ormas anti Barat. Seolah (tanpa isi kepala) saya nekat dan tanpa ada rasa malu menuduh bahwa Barat, yang saya senang sebab tak hanya bekerja dengan mereka selama hampir 2 tahun, adalah wilayah tempat bercokolnya kebusukan. Tidak Sigidad, bukan itu Barat yang ada dalam kepala saya sebagaimana yang (aneh) engkau pahami secara tiba-tiba dalam tulisanmuOh, my god, wtf  Sigidad? What the hell was going on you 83? 

Lalu apa lagi setelah ini Sigidad? Ah, COC telah banyak merubahmu nak. Mungkin saraf-sarafmu terlampau lelah saja; tugas kantor menumpuk dan COC adalah fardu kifayah.

Rabu, 22 April 2015

Untuk Sigidad: Tanggapan atas Tanggapan


KESALAHAN pertama Kristianto Galuwo alias Sigidad, dalam menanggapi artikel berjudul Dengan Segala Hormat, Ibu Kartini, yang saya unggah di www.arusutara.com, adalah, dia nekat menuduh (bahkan diawal paragraf) bahwa, saya (penulis artikel itu) membentangkan soal ketidakpantasan Kartini menjadi tokoh emansipasi. (tulisan miring adalah kutipan asli di blog Sigidad)

Jawaban saya adalah; coba Sigidad cari lagi, dimana penegasan saya yang mengatakan bahwa, Kartini tidak pantas menjadi tokoh emansipasi?

Kedua, Sigidad yang lupa pernah membaca link (yang diyakininya sama) soal keraguan akan ketokohan (mungkin maksudnya kepahlawanan) Kartini, sekonyong-konyong kembali nekat “menuduh” yang kedua-kalinya bahwa, saya mengutip link yang dibagikan kawannya (entah siapa kawannya itu) di masa silam itu terkait Kartini yang disandingkan dengan pahlawan perempuan asal Aceh, Cut Nyak Dien yang berdarah-darah di medan tempur.

Ketiga, Aceh memang berbeda kultur dengan Jawa. Tapi soal kalimat yang disampaikan Sigidad mengenai kultur islami, saya merasa malas mendebat itu.

Keempat, Saya tertarik dengan kalimat Sigidad yang menyatakan (saya kutip) : Kaum perempuan begitu dihormati di kalangan Islam. Singkatnya, Cut Nyak Dien berjuang dan mendapat tempat. Tak begitu dengan Jawa. Tak begitu pula dengan Kartini.

Jawaban saya, sekali lagi malas rasanya mendebat apa yang sudah disandarkan Sigdad pada tiang agama yakni Islam lewat kalimat; Kaum perempuan begitu dihormati di kalangan Islam. Meski awalnya saya sempat berhasrat untuk mengatakan bahwa, adat dan adab di Mongondow, memberi banyak contoh pelajaran dan praktek bagaimana memperlakukan dan menghormati wanita, bahkan jauh sebelum para leluhur di sini (Mongondow) dikatai sebagai Kaper! Oleh para pendatang.

Kelima, Soal Cut Nyak Dien dan Kartini yang sama-sama beragama Islam, sebagaimana yang Sigidad ketahui, kenapa beda pandangan (secara islami)? Dipengaruhi latar belakang adat budayakah? Atau diantara dua wilayah berbeda ini, satu diantaranya hanya menjadikan Islam sebagai topeng. Lebih kuat adat mana? Atjeh atau Djawa? Masih ingat salah satu factor yang menjadi pemicu meledaknya Perang Padri di tanah Atjeh? Atau perlu bergegas ke perpustakaan mini Yudien Mirzha Salam di Gorontalo? Ah, Om Gogel sedekat urat nadi.

Keenam, Apa Sigidad yakin, di masa kolonialisme menggerogoti nusantara, penjajahan dilakukan dengan memandang suku adat dan budaya wilayah jajahan? Atau setali-tiga uang, penjajahan tetaplah penjajahan.

Ketujuh, Kartini dilahirkan dari darah priyayi. Tanggapan saya: Lalu Cut Nyak Dien atau Martha Christina Tiahahu, lahir dari darah apa? darah O, AB, atau darah yang secara kasta lebih tinggi dari priyayi?

Kartini dibebat dengan adat yang begitu lekat.  Lalu Cut Nyak Dien dan Martha Christina Tiahahu, dibebat dengan adat apa? adat alay-kah?

Kartini besar dengan sempurna. Sebab kenapa? Di usianya yang begitu muda, Kartini yang gadis sudah membaui begitu banyak buku. Iya, membaca kerap diidentikan dengan anak rumahan, bukan?

Jika Kartini besar dengan sempurna karena Di usianya yang begitu muda, Kartini yang gadis sudah membaui begitu banyak buku. Lalu, Cut Nyak Dien (tanpa perlu menyebut tokoh perempuan lainnya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan) besar dengan apa? gejetkah, fesbukkah, atau Clash of Clan?

Apakah berjuang melawan ketertindasan perempuan dijaman kolonial dan dominasi patriarki yang betapa tengiknya, sudah cukup dengan membaca majalah atau cerpen sembari minum teh dan dada seringkali berguncang karena penasaran (mungkin pula takut) akan dipoligamikan dikawinkan dengan siapa?

Kedelapan, Kartini agamais dan plural?. Ah, mungkin betul. Mengkritik agama bisa lebih agamais dari yang agamais. Begitupun ketika mengkritik Al-Quran yang “konon” tak diterjemahkan. Bisa lebih mulia dari yang sekedar membacanya, tanpa mempraktekkan kemuliaan-kemuliaan yang terkandung di dalam teks-teks suci. Lalu Kartini, apakah mempraktekkan ide dan teks-teks feminisme (berbahasa Belanda) yang konon dibaca dan ada terjemahannya?

Apa yang bisa dipahami bahkan dari ayat-ayat api, jika kita tak tahu maknanya?

Maka apa pula yang bisa dipercaya dari teks-teks feminism yang dibaca Kartini tanpa makna tanpa praktek? Dan tiba-tiba dapat tempat; pejuang emansipasi wanita endonesya. Emansipasi Politik Etis?

Bahkan baginya poligami pun tak masalah meski terpaksa. Nabi juga begitu kepada perempuan, katanya. Lalu Kartini menulis. Itu saja.

Apakah ide dan teks-teks feminisme Eropa yang dibaca Kartini adalah termasuk melanggengkan poligami? Ajaran dan gerakan feminism Eropa macam apa yang menyetujui poligami sebagaimana yang dipasrahi Kartika Kartini?

Kesembilan, Kartini memberontak lewat tulisan? Mana tulisan rebel itu? Bolehkah kita tanyai Balai Pustaka? Hasta Mitra, atau Om Gogel?

Kartini yang terkungkung seorang pahlawan. Pahlawan tak harus berdarah-darah dan terkaing-kaing di medan perang. Bahkan dari balik tembok keraton atau jeruji, sastra bisa berperang. Itu saja.

Sigidad,  yang berdarah-darah dan terkaing-kaing di medan perang, biasannya mati di situ, di arena. Tanpa pernah mendengar lagi namanya disebut, dianggap, atau dijadikan sebagai pahlawan.

Ah, terkadang pahlawan memang lahir tanpa segorespun luka, tanpa setetespun darah.

Kesepuluh, pada jaman itu, di masa ketika Kartini sedang belajar menulis “surat”, kehidupan di nusantara tengah dirundung kegelapan; penjajahan, penghisapan, kerja paksa, feodalisme, dan patriarki. Cahaya nan terang benderang hanya ada di Barat, tempat dimana para imperialisme bertolak kemari. Tujuan mereka datang amat jelas; hendak membawa terang di kegelapan yang betapa gulita dan lamanya terjadi di nusantara. Kolonialisme adalah cahaya yang mereka bawa itu. Cahaya untuk menerangi kegelapan yang telah menua.

Door Duisternis Toot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang. Politik etis, politik balas budi, politik cahaya atas kegelapan yang telah begitu purba berlangsung di nusantara. Kegelapan yang diperbuat kaum imperialis.

Minggu, 29 Maret 2015

Dialog Publik di Korot dan "Kesesatan" Topik Yang Nyaris Berbuntut Adu Jotos


 Dalam acara dialog, seminar, diskusi publik, entah dikemas formal nonformal, memang tidaklah mungkin semua peserta yang hadir dapat diberi kesempatan oleh moderator untuk berbicara. Kesadaran itulah yang membuat saya harus maklum, meski memang tidak bisa menyembunyikan kedongkolan yang membuncah saat berkali-kali (bahkan) memaksa  dengan cara berbisik langsung ke telinga moderator yang melintas di depan meja tempat saya berada, agar kiranya dapat memberi kesempatan, meski 30 detik saja agar saya dapat  diberi mic.

Dialog bertajuk “Saatnya Pemuda Bergerak” dengan sub-tema “Posisi Pemuda Dalam Pusaran Pilkada Gubernur Sulut” di Kopi Korot tadi malam, dipimpin Sehan Ambaru sebagai moderator sekaligus MC, dan meninggalkan banyak sesal yang percuma. Setidak-tidaknya dalam pendangan saya.

Sehan Ambaru adalah kawan reriungan di Kantin Pemkab Bolmong  2010 silam, Kampus UDK, dan biasa semeja di Korot. Dia juga tercatat sebagai PNS di Pemkot Kotambagu, dan Sabtu 20 Maret 2015 kemarin, baru dilantik menjadi Wakil Ketua I KNPI Bolaang Mongondow. Selebihnya tentang Sehan Ambaru, bagi orang Mongondow yang berlangganan koran sejak 5 tahun belakangan, pasti tak asing dengan namanya.

Apa yang perlu dikritisi terhadap Sehan selaku moderator dalam dialog publik tadi malam yang digelar KNPI Bolmong? Dan apa pula yang perlu dikritisi dengan dialog publik yang ikut melibatkan kehadiran elit politik di Mongondow diantaranya Aditya Didi Moha (Anggota DPR RI), Yasti Sopredjo (Anggota DPR RI), Tatong Bara (Walikota Kotamobagu) Ahmad Sabir (Ketua DPRD Kotambagu), Kamran Mochtar (Anggota DPRD Bolmong), Abdul Akdir Mangkat (Wakil Ketua DPRD Bolmong) Herry Coloay (Anggota DPRD Kotamobagu), plus kehadiran Jackson Kumaat selaku Ketua DPD KNPI? 

Pertama,
soal Sehan selaku moderator. Tadi malam adalah kali kedua saya terlibat sebagai peserta dialog publik di Korot yang dipimpinnya. Tulisan ini sekaligus kritikan kali kedua dari Leput kepada dia.

Jika pada dialog sebelumnya, kegagalan Sehan tertangkap lewat aksi sepihaknya yang mengklosing dialog saat baru memasuki sesi ke 2 (padahal dibagi 4 sessi), sehingga memunculkan banyak reaksi dari peserta, maka tadi malam kegagalan Sehan adalah membiarkan (sebenarnya mereka adalah peserta) mereka yang mendadak disebut nara sumber berbicara tidak berdasarkan tajuk atau tema diskusi.

Pembiaran itu adalah ketika Sehan memberi kesempatan kepada Yasti Soepredjo memberikan penyampainnya (yang panjang) terkait isu pembentukan Propinsi Bolaang Mongondow Raya (PBMR).
Apa dampak dari pembiaran itu? Arah diskusi keluar dari tema yang sudah ditetapkan; Saatnya Pemuda Begerak/Peran pemuda Dalam Pusaran Pilkada Gubernur Sulut.

Maka gayung bersambut, peserta yang diberi giliran pegang mic selanjutnya oleh Sehan, mengikuti apa yang dilontarkan sebelumnya oleh Yasti Soepredjo, tentang PBMR.

Kedua, soal fungsi dan peran dialog. Ajang diskusi yang sebenarnya hanya sebatas wadah pengemasan isu terkait posisi dan peran pemuda yang ditekankan untuk; bergerak dan menentukan sikap terkait pilkada gubernur, tak ayal terjungkir balik dari tujuan.

Kenapa? Sebab yang terjadi tadi malam, peran dan fungsi dialog tersebut sekonyong-konyong justru bergeser ke (semacam) momen penjaringan kandidat bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang sebenarnya adalah urusan parpol. 

Diantara kita yang hadir tadi malam pasti masih ingat pernyataan para peserta yang diberi kesempatan moderator memegang mic dan berbicara. Rata-rata pointnya (selain terjebak dengan topik PBMR) adalah; penjaringan dan penetapan nama bakal calon kandidat yang harus diusung untuk maju dalam pilkada gubernur.

Sialnya lagi nama-nama yang disebutkan (dijaring) justru jauh panggang dari PEMUDA. Helooooo... bukankah seharusnya kita membicarakan soal PERAN dan POSISI PEMUDA DALAM ARUS PUSARAN PILGUB sebagaimana topik dialog? Dan tengoklah tajuk yang ditetapkan panitia : SAATNYA PEMUDA BERGERAK. Lain soal jika tajuk tadi malam diganti; SAATNYA PEMUDA MENJADI TIM SUKSES dengan sub-tema; PERAN PEMUDA DALAM MENJADI TIM SUKSES DI PILKADA GUBERNUR SULUT.

Lalu apa yang semakin memperparah jalannya dialog? Adalah tidak adanya sikap “pertobatan” dari Sehan selaku moderator untuk kemudian membawa dialog kembali pada topik dan tema yang diusung, yakni SAATNYA PEMUDA BERGERAK dan POSISI PEMUDA DALAM PUSARAN PILKADA GUBERNUR SULUT.

Ketiadaan “pertobatan” sang moderator sehingga berbuntut pada “sesatnya” berderet pernyataan yang keluar dari para peserta secara berjamaah, alhasil hanya melahirkan ketiadaan gerak pemuda dalam mengidentifikasi peran dan posisinya dalam pusaran Pilgub Sulut, sebagaimana tujuan yang diharapkan.

Memang, diluar dari semua itu, secara obyektif, Sehan tampil prima, bersemangat dan begitu keasyikan dalam memimpin jalannya dialog. Kita patut mengakui itu sebab tak semua orang mampu melakukan apa yang dilakukan Sehan tadi malam. Sehan seperti merasa sedang di atas angin dan menikmati peran yang dimainkannya. Seperti ada tujuan yang terselip diantara 'atraksi' todong-menodong mic kepada peserta yang terpilih.

Tetapi performance prima, segar, dan cukup memberi pukau itu, justru tercela setelah sempat terjadi insiden antara peserta dengan moderator juga peserta dengan peserta di menit-menit terakhir hingga nyaris berakhir dengan adu jotos. Dan semua itu terjadi akibat pembiaran topik yang melenceng pun sikap buru-buru dari moderator seolah langit runtuh jika lama-lama berdialog.

Sudah kali kedua dalam kesempatan dialog publik, Sehan seperti moderator yang sejak awal begitu terburu-buru dengan waktu seolah-olah akan ada gempa menimpa Korot jika jam dinding sudah mendekati pukul 11 tengah malam, sementara dia masih memberikan kesempatan kepada satu-dua peserta untuk berbicara.

Ini nampak sekali. Seolah Sehan begitu ketakutan dengan waktu yang sudah mulai mendekati pukul 12 tengah malam. Kenapa?? Apa karena sudah mengantuk? Kecapean jadi moderator? Kelaparan? Bukankah ada 100 kopi korot tersaji plus makanan?

Maka apa yang terjadi selanjutnya akibat sikap dia yang buru-buru hendak mengklosing acara sebagaimana yang pernah dilakukan pada acara sebelum itu?  Denny Mokodompit (DeMo) salah seorang peserta yang merasa tak kebagian mic padahal jauh-jauh datang dari suatu urusan di seberang dan bela-belain datang ke Korot mengesampingkan anak-istri yang sudah rindu di rumah, sontak protes.

Terjadi perdebatan antara Sehan dan DeMo disaksikan secara agak menegangkan (juga lucu) oleh para peserta. Sehan yang bersikukuh tak ayal gelagapan tatkala mic dari tangannya dirampas paksa oleh DeMo. Dihadapan para peserta termasuk tamu dari pengurus DPD KNPI Sulut, Manado dan Tomohon, nampak sekali mereka (Sehan dan DeMo) seperti dua orang bocah yang saling berebutan lolipop.

Saling rampas mic itu seperti tontonan bonus terhadap para hadirin yang berakhir dengan kemenangan DeMo selaku peserta dan kekalahan Sehan selaku moderator. Sehan nampaknya harus belajar kata ikhlas sebagaimana penggalan “pidato” Aditya Didi Moha ketika diberi kesempatan bicara di awal. Dan keikhlasan itu tergambar setelah ia mengalah dari ‘superioritas’ DeMo yang sempat mengancam; “so lama kita ndak pukul orang jadi jang sampe kita pukul orang gara-gara ndak kase bicara di sini”

Buntut dari “kesesatan” topik yang terjadi sudah sejak awal dialog, membuat isi pernyataan DeMo cepat tertuduh “sesat” karena menggaungkan kembali topik PBMR. Sehan menyela dan DeMo balik menyela dengan alasan; sejak dari tadi moderator tidak menyela penyampaian Yasti Soepredjo (meski panjang-lebar) soal PBMR, termasuk kawan-kawan peserta lainnya. DeMo juga mengaku berhak bicara berhubung kapasitasnya selaku Panitia Pemekaran PMBR.

Saat kembali terjadi saling sela dengan kalimat yang saling menekan dan panas, seorang peserta lainnya sontak berang lalu bangkit dari kursi kemudian dengan nada lantang mengecam DeMo yang dianggap sudah “sesat” topik tapi tetap bersikukuh bicara apalagi dinilai menyinggung. 

Saling rampas mic kembali terjadi. Sehan yang dibantu beberapa peserta  akhirnya berhasil mengambil-alih mic dari tangan DeMo yang terus-terusan memohon agar bisa diberi kesempatan bicara. DeMo yang dipaksa berhenti berbicara karena mic sudah dikembalikan kepada moderator, sontak berjalan ke arah peserta yang menantangnya seolah hendak mengajak duel. Beberapa peserta lantas mencegatnya. Adu jotos akhirnya dapat dicegah.

Sebagai catatan, berikut nanti jika ada lagi dialog publik yang akan diselenggarakan, sebaiknya moderator ketika memimpin jalannya dialog harus fokus pada topik dan tak perlu sungkan mengingatkan nara sumber atau peserta yang keluar dari topik agar dialog dapat terhindar dari insiden yang sebenarnya tak perlu, seperti adu jotos misalnya dan saling merampas mic.

Jumat, 20 Maret 2015

Menguji Kepedulian Negara dengan Matematika



ANGGAPLAH engkau Chairil Anwar yang mengembara serupa Ahasveroz tatkala ditinggal kekasih, lalu merasa seolah-olah dikutuk-sumpahi Eros sembari merangkaki dinding buta yang tak satu jua pun pintu terbuka. Atau anggaplah engkau Romeo pacarnya Juliet dalam kisah yang ditulis William Shakespeare. Atau anggaplah pula kau Burhan pacarnya Maimunah dalam kisah di sekitar kita.

Tatkala Burhan bersedih dalam duka mendalam karena kalah bersaing dengan Polisi berpangkat Kapten yang menikahi Maimunah, di manakah negara berada ketika gundukan duka itu melempar Burhan ke jurang kepedihan? Lalu dimana pula negara sembunyi ketika Burhan sedang dalam kesusahan? Dan di mana batang hidung negara ketika perabotan rumah, laptop, dan sepeda motor yang diperoleh Burhan secara fidusia ditarik kolektor perusahaan rente karena menunggak 3 bulan, padahal jangka kredit dengan kontrak 2 tahun itu, tinggal 5 bulan lunas.

Lalu apa yang dilakukan negara ketika Burhan berniat melanjutkan studinya, namun tak punya cukup biaya. Kemudian apa yang dilakukan negara ketika Burhan sakit tapi tak ada obat, dokter, dan rumah sakit gratis. Apa tindakan negara ketika polisi lalu-lintas menilang Burhan karena pajak kendaraan yang baru lewat tanggal. Apa yang dilakukan negara ketika jalan di desa tempat Burhan tinggal sudah 20 tahun tak pernah diperbaiki. Apa yang dilakukan negara ketika Burhan terlambat bayar tagihan listrik sehingga sambungan demi kelangsungan hajat hidup itu disegel, disetop, dan dicabut petugas PLN. Apa yang dilakukan negara ketika Burhan tak bisa menunjukkan KTP dan Surat Nikah sehingga tergaruk razia di hotel kelas bunga melati. Apa yang dilakukan negara ketika Burhan melihat tetangganya anfal dari sakit tapi tak ada kendaraan untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Dan ketika pencuri menggasak harta benda milik Burhan, di mana negara ketika itu? Apakah saat itu juga negara mau mengejar pencuri lalu menangkapnya dan mengembalikan semua harta benda milik Burhan? Lalu apa pula yang dilakukan negara terhadap Burhan yang minum alkohol tuk sekedar mengusir ingatan terhadap Maimunah? Apa, di mana, apa, di mana, dan betapa banyak apa dan di mana, jujut-menjujut seolah tak ada hentinya??

Diantara kita mungkin ada yang pernah berpikir; negara tiba-tiba ada dan senantiasa hadir tatkala penghasilanmu harus dipotong pajak. Negara juga tiba-tiba cepat ada saat kau hendak mendirikan usaha (meski kecil-kecilan) sebab harus mengurus ijin usaha dan sudah tentu harus bayar pajak. Negara juga terasa benar-benar ada dan senantiasa hadir ketika ia datang sebagai polisi.

Itulah keseharian kita. Negara memperlihatkan wujudnya sebagai kepala dusun, kepala desa, lurah, petugas pajak, polisi, jaksa, atau hakim. Ketika kita hendak menikah, di situ negara hadir. Mengurus KTP di situ juga negara hadir. Mengurus ijin usaha, di situ juga negara cepat hadir. Ketika hendak keluar daerah di situ juga negara ada lewat surat jalan yang dibuat lurah atau kades. Ketika bayi lahir dari kandungan, di situ negara juga hadir sebagai akte kelahiran.

Sebagian dari kita mungkin ada yang menyederhanakan kesimpulannya dengan pendapat yang mengatakan; negara tak lebih dari sekedar hukum. Ketika engkau melanggar hukum, maka disitulah negara ada dan hadir seketika. (terutama ketika sedang apes dan kena tilang di jalan)

John F Kennedy, mantan Presiden Amerika Serikat berkata; “Jangan tanya apa yang sudah diberikan negara terhadapmu, tetapi tanyalah apa yang telah engkau berikan kepada negaramu”. Sedangkan Karl Marx mengatakan, Negara adalah alat kelas yang berkuasa untuk mengeksploitasi dan menindas kelas yang lain. Sedangkan Prof. Budiardjo bilang; Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah. Sementara itu J.J. Rousseau mengatakan, kewajiban negara adalah memelihara kemerdekaan individu dan menjaga ketertiban kehidupan manusia. Lalu jika kita melayang jauh ke jaman Yunani kuno maka, Aristoteles mengatakan, Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama. Sedangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa negara menjamin kehidupan berkebangsaan yang bebas merdeka berdasarkan 5 sila. Negara juga berkewajiban melindungi dan menjamin keselamatan setiap warga negaranya, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan rakyatnya.

Ah, sepertinya butuh ruang lebar dan luas lapang untuk sekadar membicarakan ini.  Tapi saya memang tak bermaksud mengurai-bentangkan sejarah negeri ini hingga negara berbentuk republik dengan nama Indonesia ini disusun dan dibentuk para founding father’s. Tulisan ini lahir semata-mata lantaran tiba-tiba mual menyimak berita di koran, internet, dan tipi. Betapa terusik oleh rentetan pernyataan yang keluar dari mulut para aparatur yang belakangan punya hobi dan pendapat seragam terkait perkara narkotika dan obat-obatan berbahaya disingkat narkoba. Persisnya lagi adalah kekompakan alasan soal kenapa mereka (negara dan aparaturnya) tega melakukan pembunuhan yang sangat berencana sekali terhadap para narapidana kasus narkoba dengan bersandar pada alasan; demi menyelamatkan kehidupan generasi muda; sebab masa depan bangsa ada di tangan generasi muda; mereka (generasi muda) adalah ujung tombak bangsa yang harus diselamatkan; jika generasi muda rusak, maka rusak pulalah bangsa dan negara.

Amboii… bukankah sekarang kita melihat lahirnya logika kepercayaan (dari negara) yang mengatakan, generasi muda adalah mutiara negara yang harus dilindungi. Dan mereka yang terlibat dalam dunia narkoba adalah penjahat yang pantas dibunuh (eksekusi mati). Karena mereka (para pengedar, kurir, dan sejenisnya) adalah mesin mematikan yang telah membunuh generasi muda dengan angka yang alangkah fantastisnya, yakni 51.000 nyawa per tahun. Apa ini betul?

Baik, kita sepakat dengan niat kepedulian pemerintah (negara) terhadap kehidupan generasi muda. Tapi benarkah demikian adanya? Mari kita uji kepedulian negara ini dengan matematika. 
 
Lha, kenapa harus dengan matematika? Karena kita percaya bahwa matematika adalah ilmu pasti. Tidak bisa diuber-uber sebagaimana ilmu politik dan cabang-cabangnya. Maka, sembari beriman kepada matematika, mari kita buka apakah kepedulian negara itu nyata adanya atau hanya ilusi di manis bibir saja.
***
Mulailah dari desa tempat kita tinggal. Coba cek, program pemerintah apa yang sedang dijalankan sebagai bentuk kepedulian terhadap generasi muda. Ada tidak? Jika ada, maka program apa itu? Bagaimana bentuknya? Kalau tidak ada, mengapa menaruh percaya bahwa negara benar-benar peduli pada kehidupan generasi muda sampe nekat membunuh kurir narkotika.

Jika benar program kepedulian terhadap generasi muda itu nyata adanya di kampung Anda tinggal, maka program apa itu? Apakah alokasi dana sebesar Rp 2,5 juta per tahun itu dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap kehidupan generasi muda?  yang umumnya berjumlah di atas 500 orang per desa? Buat apa dana Rp 2,5 juta per tahun itu? Jika Rp 2,5 juta itu dibagi rata untuk 500 pemuda, maka Rp 2.500.000 : 500 Pemuda = Rp. 5.000 per pemuda.

Jadi ada Rp. 5000 di kantong 500 pemuda yang diberikan negara sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang agar tidak merusak dirinya dengan cara membeli dan menjadi pecandu narkotika. Selanjutnya, uang yang tak cukup beli seporsi nasi ini pun harus dihemat dibelanjakan selama selama 1 tahun atau 12 bulan atau 365 hari.

Jika pemuda yang dapat dana kasih sayang dari negara sebesar Rp. 5.000 per tahun harus menghemat uang tersebut, maka berapa nominal perhari yang harus dibelanjakan agar uang kepedulian itu dapat bertahan selama 365 hari? Sila ambil kalkulator dan hitung; 5.000 : 365 = 13,698630137 alias 13 pera! (benar-benar angka sial men!)

Masya Allah,  apa yang dapat dibeli dengan Rp 13 itu?  Sungguh bukan sebuah lelucon. Bayangkan bro, bayangkan Burhan, pewaris dan penerus masa depan bangsa ini dikasih 13 rupiah per hari. Preek!

Bagaimana pula kalau jumlah pemuda di kampung lebih dari 500 orang? Segera lempar kalkulator ditanganmu itu Burhan sebelum minus 0,0XXXXXXXX muncul di layar dan membuatmu tak berselera untuk sekedar gosok gigi. Jangan sampai Rp 13 atau minus 0,00 itu akan membuat asam lambungmu naik hingga pemuda benar-benar punya niat bunuh diri, atau dengan terpaksa mencari pelarian atas tragedi yang baru kau sadari itu. Menjerumuskan diri ke lembah hitam, misalnya. Semacam jadi begal motor, kurir, arau pecandu castol.

Lalu, mengapa pemerintah dan deretan aktivis pendukung hukuman mati, betapa tak tahu malu mengumbar bacotnya di media secara berulang-ulang dan kompak (seperti dihafal) mengatakan begini; "Ini demi keselamatan generasi muda selaku pewaris masa depan bangsa".

Negara yang menganggap generasi muda sebagai penentu masa depan bangsa tetapi menelantarkannya, bukankah sama halnya dengan seorang suami pemabuk, menelantarkan anak istri, pelit pula, tetapi selalu minta dilayani? Dan sebagai pemberian tahu pada anak istri bahwa si suami benar-benar peduli dan melindungi masa depan anak-istri, suami tak segan-segan membunuh tetangga atau anggota keluarga sendiri gara-gara anak-istrinya 'dijerumuskan' dengan cara mencampur telur dadar dengan jamur tahi kuda, supaya mereka dapat makan dan tahan lapar sehingga kuat menjalani hari sekaligus melayani suami, sembari tetap mempertahankan indeks kebahagiaan atas pelarian dari bencana hidup yang dialami gara-gara terikat hukum pernikahan dengan sang suami pemabuk, pelit, menelantarkan anak-istri dan sebenarnya gagal dalam membina rumah tangga?

Hanya suami sakit, gagal, dan tak tahu malu yang nekat membacot di hadapan publik dengan omongan; “Jangan tanya apa yang telah suami berikan kepada kalian, tetapi tanyakanlah apa yang telah kalian berikan pada suami”.

Apalagi alasan dia membunuh anggota keluarga dan tetangga yang memberi (padahal diminta) telur dadar campur mushroom kepada anak-istrinya (yang sebenarnya ia terlantarkan, adalah karena ia begitu merasa peduli kehidupan dan kesehatan anak-istri, dan tak akan pernah memaafkan anggota keluarga maupun tetangga yang dianggapnya telah menjerumuskan anak-istrinya ke dalam bencana hidup. Helloooooo….??? Suami macam apa itu?

Bagi istri-istri yang berpikir, pasti akan menuntut CERAI, atau segera meninggalkan secara malintang deng manta-manta pa depe laki! :p

Tulisan terkait :

Matematika dan Kecurigaan Kita

Minggu, 15 Maret 2015

Matematika dan Kecurigaan Kita



SAYA tidak berani, apalagi tega, untuk semena-mena memastikan bahwa, anak-anak Mongondow seusia saya ketika itu, usai menamatkan SD dan melanjutkan ke jenjang berikutnya, punya kecemasan seperti yang saya alami terkait mata pelajaran Matematika. Namun yang jelas, di masa yang telah silam itu, saya menyadari, betapa payahnya diri ini untuk sekedar bersorak secara munafik di dalam kelas dan hanyut dalam euforia yang tak kalah munafiknya ketika seolah-olah berhasil mengerjakan soal Matematika ketika tercatat sebagai siswa di SMP Negeri 1 Kotamobagu.

Matematika yang sebelumnya saya mamah-biak secara enteng saat masih di bangku SD, tiba-tiba jadi momok yang bikin mumet tatkala deretan rumus dan sebutan yang membacot seperti; contingent, alfa, cosinus, beta (dan anak-pinaknya), menjadi seperti untaian bencana yang berkeluk-keluk dan malimbuku secara tengik di kepala hingga berefek pada naiknya asam lambung, dan yang terparah adalah diare.

Mulanya saya memang menganggap bahwa mata pelajaran Matematika hanyalah ledakan kesenangan yang dirasakan tatkala berhasil mengerjakan soal terkait pembagian, pengurangan, perkalian dan penambahan, sebagaimana yang pernah saya rasakan saat masih di bangku SD.

Tenyata saya keliru. Penjelasan soal diagonal sisi, diagonal bidang seluruhnya, persamaan kuadrat, bujur sangkar, segitiga siku-siku, logaritma, dan kemumetan-kemumetan lainnya, benar-benar telah merampas kenyamanan dan rasa ganteng di dalam kelas. Apalagi rata-rata guru Matematika di jaman itu adalah para ‘killer’ yang tak hanya bicara dengan mistar atau cubitan terpedih, tapi tak jarang bicara lewat tamparan menyakitkan (tentu pula memalukan) tanpa mereka para pendidik itu perlu khawatir kalau tindakan itu melanggar HAM. (terima kasih atas tumbangnya Orba).

Dan betapa memalukannya ketika engkau (yang payah Matematika) sengaja dipilih bapak/ibu guru (kuat dugaan sudah dengan niat busuk) untuk tampil di depan papan tulis lalu disuruh mengerjakan kerumitan soal. Padahal mereka tahu betul bahwa engkau adalah siswa yang tak hanya payah tapi memang tuna-rumus. Terkadang kita memang merasa sedih membayangkan peristiwa ini; kau buta rumus, payah Matematika, dan guru-gurunya adalah para 'killer'. Ah, betapa ada babak-babak dalam hidup kita di jaman kanak dulu yang kenyamanannya benar-benar terampas.

Maka, tak ada ruang belajar yang lebih berguna (benar-benar terbukti berguna), saat jam Matematika akan masuk, saya sudah duluan minggat dari kelas dan temukanlah saya di kolam renang Stadion Gelora Ambang. Siapa sih diantara kita pada masa itu (siswa-siswi) yang mau di-bully; ganteng-ganteng tolol atau cantik-cantik tapi goblok rumus pythagoras. (tepuk jidat).

Maka di situ (Kolam Gelora Ambang) saya merasa lebih berguna, berbobot, dan tentu tetap merasa ganteng, sehingga betapa merdekannya saya mempraktekkan gaya punggung, gaya bebas, gaya dada, gaya kupu-kupu, gaya selam, gaya salto bahkan loncat indah dari ketinggian 10 meter yang menuai aplause meriah kakak-kakak putih abu-abu yang ternyata sudah duluan ada di sana.

Tak jarang saya berhasil memengaruhi teman sekelas untuk keluar dari jam Matematika dan mencari manfaat lain (belajar berenang misalnya) tinimbang harus nampak bodoh dan munafik di bangku deretan belakang, atau jadi saksi dengan hati dibebani rasa iba dan campur-aduk yang gimana gitu, ketika harus menyaksikan bagaimana pedihnya mistar itu membabat betis dan pantat siswi (bunga kelas yang kau taksir), karena kepayahannya terhadap soal matematika dan lupa mengerjakan PR. Ini belum termasuk jadi korban bully ketika disuruh berdiri di atas bangku atau dilempar bantalan penghapus (dengan efek dramatis berupa debu putih yang mengepul) karena nampak seperti keledai yang cengar-cengir dengan keadaan bodoh karena kepayahan menyelesaikan contoh soal di papan tulis.

Tapi menggencarkan agitasi propaganda terhadap teman sekelas untuk mensubstitusi pelajaran Matematika (sekali-sekali maksudnya) dengan mata pelajaran Penjas (renang misalnya), bukan tak melahirkan perdebatan dan adu argumen. Oleh sebab itu urat leher saya harus selalu timbul demi meyakinkan teman bahwa, tak usah merasa langit seperti runtuh hanya karena bolos mata pelajaran Matematika sekali-sekali saja, sebab pelajaran Matematika hanya sekedar permainan kepintaran di ruang kelas belaka. Sedangkan di luar kelas, Matematika kehilangan eksistensi kecuali dalam kepentingan bertransaksi dan proyek infrastruktur seperti jembatan misalnya, atau bangunan. Ketidak-berdayaan Matematika terbukti ketika ia tidak bisa diandalkan sehingga gagal menjadi keahlian pribadi yang menyelamatkan. Artinya, Matematika hanya ada dan hidup dalam realitas kelas (sekolah) sedangan dalam realitas sosial (luar sekolah), Matematika tidak memberikan banyak manfaat. Begitu saya menyesatkan teman.

Kepada beberapa teman, saya lantas mencontohkan, misalnya ketika pulang sekolah lalu engkau dihadang sekelompok pemalak (anggap begal di jaman sekarang), tidak mungkin keahlian Matematika yang dimiliki akan menyelamatkanmu. Kecuali terapan ilmu yang ada di Penjas yakni; tendangan Karate atau Sprint 100 Meter.

Ambil contoh pula ketika kapal yang engkau tumpangi hendak karam, tidaklah mungkin engkau mengandalkan pengetahuan matematis dengan terlebih dulu mencari kertas buram lalu mencakar-cakar rumus di situ kemudian membagi-kurung dan mengalikan berapa kedalaman laut dikalikan dengan berapa derajat kemiringan kapal, kemudian dibahagi-kurang dengan jumlah penumpang, terlebih merapal rumus Arcimedis. Sebab dalam keadaan begitu, keahlian matematis sama sekali tidak diperlukan. Tetapi jika engkau jago renang, maka keselamatan diri dapat dijamin. Begitupun ketika ada orang tua berteriak-teriak histeris melihat putrinya yang cantik sedang diseret ombak, tak mungkin orang tua si tuan putri akan berteriak kepada khalayak di kapal; “siapa yang jago Matematika di sini? Tolong selamatkan anak saya dan sebagai hadiah, kalian akan saya nikahkan”.

Pendek kata, di jaman itu, bagi saya Matematika hanyalah permainan kepintaran yang hanya berlaku di dalam kelas saja dan sebagai penambah nilai rapor. Sedangkan di luar kelas, Matematika dengan rumus-rumusnya betapa payah menjadi peganggan atau keahlian diri yang menyelamatkan. Cukuplah sudah Matematika merampas dan meneror rasa nyaman dalam ruang kelas kita sejak di bangku SD hingga SMA. Dan biarlah Matematika hanya dikejar oleh mereka yang benar-benar tertarik dan serius dengan kubus, persamaan kuadrat, contingent, alfa, cosinus beta, segi-tiga sama kaki, dan pada aljabar.

Oleh sebab itu saya selalu bersyukur, tabiat mensubstitusi Matematika dengan Kolam Renang Gelora Ambang pada masa yang silam itu, benar-benar berguna di episode kehidupan saya selanjutnya. Tak usah dijejer record yang pernah dicapai. Begitupun kisah-kisah haru, romantis, menyenangkan, dan kepahlawanan (Ekheeem..) gara-gara skill jago renang yang dimiliki. Tapi betapa menyenangkan ketika saya diterima dan bekerja dengan orang luar Mongondow di Diving Center sebuah Resort yang letaknya di pulau jauh dengan terumbu karang dan pasir putih nan indah, dimana 98 persen tetamunya bermata bak kucing di rumah Ibu. Di situ juga saya (kok jadi enak) ikut memanggang kulit dibawah terik matahari bersama para pemilik mata kucing dan bokong coklat mengkilap mengagumkan selama 1,5 tahun.

Baiklah, itu hanya sepenggal kisah di suatu masa yang telah berlalu, dimana Matematika adalah bencana dari rasa nyaman dan keceriaan dalam kelas. Sekarang kita berada pada era dimana Matematika tiba-tiba berubah menjadi hal yang sungguh mencurigakan.

Saking mencurigakannya, kita perlu mendapatkan penjelasan dari mereka para jago Matematika yang di hadapan penduduk Indonesia mengatakan begini; setiap tahun ada 51.000 orang meninggal lantaran narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba).

Dan tak kalah menggetarkannya lagi sampai dada sesak dan nalar kita yang payah Matematika seperti tak henti-hentinya dibully adalah pengumuman yang sering diumbar dan dikutip-kutip seolah itu merupakan kebenaran yang turun dari langit dengan keimanan yang mengatakan bahwa; setiap hari ada 50 nyawa generasi muda melayang sia-sia gara-gara narkoba. Sehingga jangankan Kejagung dan Kepala BNN, Presiden Jokowi pun ikut-ikutan mengumbar sabda dari kengerian yang betapa mengundang curiga itu.

Lalu pernahkah kita mendapat penjelasan bagaimana angka itu didapat? Tidakkah pula kita menaruh curiga kalau angka-angka yang didapat itu diperoleh hanya dengan memetiknya di sembarang tempat? Seperti ketika kita begitu mudah memetik daun berulat di halaman sekolah jaman SD dulu lalu menakut-nakutinya kepada teman sebaya putri yang lari terbirit-birit sembari menjerit?

Semoga tidak demikian. Sejak di bangku SD, Guru Agama telah mengajarkan kepada kita agar tak boleh berprasangka buruk. Maka tanpa suudzon, kita anggap saja bahwa angka-angka yang diperoleh itu adalah hasil perbuatan para jago Matematika negeri ini yang mereka dapat tak hanya dengan mengkhayal. Soal rumus apa yang dipakai, merekalah yang paling tahu.

Tapi sepayah-payahnya kita dengan matematika—meski tidak demikian kalau dalam urusan bertransaksi—sepertinya harus nekat bertanya; apakah angka itu diperoleh dengan cara membagi jumlah penduduk republik ini dengan angka para pengguna narkoba? Dan hasil yang didapat dari pembagian itu adalah populasi yang membuat kita mudah mengidentifikasi setiap orang yang berpulang ke alam baka gara-gara narkoba? Coba cocokkan dengan populasi tempat kita masing-masing berada dan mulailah menghitung? Begitukah?

Tanpa berburuk sangka sembari tetap berjabat-tangan dengan kelompok anti-narkoba, kita juga punya pertanyaan begini; apakah ada pengklasifikasian jenis narkoba terkait kematian yang disebabkan barang berbahaya itu? Sebab bukankah absurd dan merupakan generalisasi yang semena-mena jika pengklasifikasian yang menyebabkan kemampusan itu tidak ada?

Ah, mulai rumit dan mencurigakan bukan?

Baiklah kalau begitu. Sebaiknya mungkin begini, kepada siapapun pembaca yang jago Matematika, boleh mengirimkan penjelasannya via email di uwinmokodongan@gmail.com

Tentu akan sangat menyenangkan jika kita dapat menikmatinya secara bersama-sama di Leput. Sehingga Matematika tak hanya sekadar permainan kepintaran di dalam kelas belaka, apalagi momok mengerikan yang telah merampas kenyamanan anak-anak sekolah (terutama bagi yang merasa ganteng dan yang merasa cantik), dan tidak dijadikannya Matematika sebagai alat untuk menakut-nakuti yang alangkah mencurigakannya. Sehingga sepayah-payahnya nalar kita menerima Matematika, tidak se-enteng itu untuk terus diteror apalagi digoblok-gobloki secara statistik.