Sabtu, 30 Maret 2013

Perang Bendera dan Tafsir Mimpi Tukang Pasang Togel

Foto : LimzPaputungan

Kamis 28 Maret 2013, atau dua hari lalu, usai memperbaiki keran air yang bocor, bunyi SMS dari handphone yang sedang di charger di teras rumah kediaman Ayah - Ibu di Ikayang (Passi), menyita langkah saya yang hendak ke kamar mandi.

Datangnya dari kenalan. Di kontak saya edit sembarang nama dia menjadi Master Togel. Soal nama kenalan satu ini, para pengunjung yang sempat membaca tulisan saya di sini, berjudul: Pilwako KK: So Pernah Kwa Ni Pelem, pasti sudah tahu.

Ya, dialah si Master Togel yang ahli dalam urusan syair-menyair mimpi untuk dipasangkan sebagai angka Togel (Judi Toto Gelap). Isi SMS yang ia kirimkan begini; "Ndak percaya ngana? co turung dulu ngana dari Passi kong ba lewat di Gogagoman. Datang hitung sandiri sapa pe bendera paling banyak...wkwkkkwk"

Saya tersenyum acuh membacanya. Ingatan kembali melambung ke SMS tempo hari yang pernah saling kami kirimkan. Salah satu kutipanya pernah saya muat dalam tulisan : (http://uwinmokodongan.blogspot.com/2013/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html)

Setelah merapikan perkakas yang digunakan memperbaiki pipa bocor tadi, saya membalas isi SMS itu; "Iyo, nanti mo ka bawah. Ini rencana abis mandi ada mo ke Jarod lay " .  

***

Ritual di kamar mandi usai. Setelah berganti pakaian berbau harum karena dicuci memakai pewangi, saya menghidupkan mesin kendaraan. Tak  lupa saya mengajak serta ponakan yang dari segi postur kami sudah sama tinggi, meski lebih gemukan dia. Rasanya baru kemarin sebuah ingatan terpampang bagaimana saya menangkap dia bertelanjang dibawah hujan di tengah lapangan. Menyadari ponakan yang cepat tumbuh dewasa, sepertinya menyadarkan saya bahwa umur sudah makin tua saja.

Saat hidung kendaraan baru memasuki kelurahan Gogagoman, amboy isi hati cepat bergumam; benar telah terjadi perang bendera disini. Bendera Partai Amanat Nasional (PAN) pengusung pasangan Calon Walikota Tatong Bara - Jainuddin Damopolii, yang sebelumnya jarang di wilayah yang konon dikuasai pasangan Djelantik Mokodompit - Rustam Simbala, kini bak ber-loyang-loyang pakaian yang dijemur secara serampangan dari tiang listrik satu ke tiang listrik lainya. Melintang zig-zag dari rumah seberang kiri jalan, ke rumah seberang kanan jalan,. tepat di atas jalur lalu-lintas.  Seperti orang-orangan di sawah.

Saya tersenyum sembari geleng-geleng kepala. Ponakan di samping cuma cengar-cengir. Dagunya lalu ia taruh di dashboard mobil kemudian dihadapkanya muka memelototi kesemrautan bendera dari balik kaca depan mobil. Ia bicara; "Dorang da pasang tadi malam amper siang ini. Pas kita somo pulang Passi kwa kong bakudapa dengan dorang pe group. Dorang di motor da baku-baku bonceng kong mulai nae ba pasang. Kita sedang masih dorang pangge brenti".  

Saya bertanya, siapa saja mereka yang ia sebutkan itu? Tanpa beban, sederet nama ia tumpahkan sembari tertawa. Saya jadi tambah terkakak mendengarnya. Dari setengah lusin nama yang ia sebut, saya mengenal sedikitnya 3 orang yang rata-rata berusia ABG. Seorang diantaranya bahkan terlalu saya kenal, sampai-sampai saya berani taruhan besar jika diminta bisa menebak celana dalam warna apa yang dipakai orang itu, tatkala sedang beraksi dari tiang listrik satu ke tiang listrik lainya.

Sepanjang Gogagoman hingga di perempatan lampu merah dekat Mesjid Raya Baitul Hikmah, saya dan ponakan ketawa-ketiwi penuh gunjingan. Salah satu yang jadi pokok gunjing adalah imbalan yang diterima para pemasang bendera yang mengendarai motor tengah malam buta. Lucunya lagi bendera yang dipasang gerombolan pemuda bau kencur pengendara motor tengah malam buta ini, bukan cuma satu warna saja melainkan dua. "Lucu dari dorang da pasang bukang cuma bendera PAN tapi Golkar lagi. So mabo lay stow kwa dorang".  tutur ponakan.

Setelah mengantarkan ponakan ke Kantor Polres Bolmong karena adanya suatu urusan yang harus ia kerjakan, saya memacu kendaraan ke Rumah Kopi Jarod Sinindian.

Di Jarod, setelah memesan Goroho dan Es Teh, saya rogoh handphone dari kantong celana lalu mengirim SMS ke Master Togel; "Butul kang, so mulai baku ambor bendera dorang". SMS lantas berbalas; "Makanya, sama deng itu hari kita ada bilang, ngana hitung joh sapa pe bendera paling banyak ta ambor di Kotamobagu ini, noh so dia itu tu mo menang. Kita so syair ni mimpi. Kuat pokoknya. Sapa paling banyak, so dia berarti itu".

Satu minggu kemudian

Sore tadi, saat meluncur dari Passi hendak ke rumah peninggalan Alm. Kakek saya sebelah Ayah, di Jalan Soeprapto Kelurahan Gogagoman, pemandangan terkait perang bendera makin terasa. Gogagoman yang konon adalah basis Djelantik Mokodompit, kini jalanan-nya dipadati warna biru.

Tapi bukan berarti kubu Kuning tak melakukan perlawanan. Duet Kuning dan bendera Moncong Putih yang tahu 'musuh' sudah datang ke halaman, memberi perlawanan meski memang agak diamuk Badai Biru yang mulai tampil mendominasi.  Tak main bendera saja, spanduk dan baliho pasangan Tatong Bara - Jainuddin Damopolii pun mulai terpancang, berdiri kokoh di tanah Gogagoman.

Saat hendak menyelesaikan tulisan ini, saya kembali mengirimkan SMS ke sahabat saya, sang Master Togel. Isinya singkat saja; "Pengaruh so tu bendera-bendera itu?".  

SMS pun cepat berbalas; "Bukang soal depe bendera, tapi tempo hari ngana da ba tanya toh, sapa yang mo untung, noh sesuai kita pe mimpi, sapa pe bendera paling banya ta sebar di Kotamobagu, noh so dia yang mo untung. Jadi ngana so boleh data joh".

Saya tersenyum membaca balasannya. Lalu senang bukan kepalang tatkala membaca isi SMS yang ia kirim selanjutnya; saya kena 2 angka ekor nomor Togel dengan pasangan tinggi, yang keluar Edisi Sabtu 30 Maret 2013 ;)

Hore saya menang Lotre.... 

Kamis, 28 Maret 2013

Mawar Hitam Kedua Untuk Anggota DPRD Fraksi Partai Golkar

 Jika telah ada mawar hitam pertama untuk Anggota DPRD Bolmong Fraksi Partai Golkar, maka ini adalah kali kedua untuk mereka..


Menyimak pentas politik di Mongondow ibarat kita menonton salah satu channel di televisi yang lebih banyak menyuguhkan program acara yang itu-itu saja. Kalau bukan sinetron ya lawakan Olga yang selain tak lucu, juga mengesampingkan segi kwalitas dan tak pula mendidik.
Maka dengan berterus terang dan dari lubuk hati yang paling dalam, lawakan yang biasa diperankan Olga di layar tipi malah membuat saya kehilangan selera bergaul.

Namun tidak dengan ulah para (yang katanya) politisi  di Gedung DPRD Bolaang Mongondow utamanya yang datang baru-baru ini dari Fraksi Partai Golkar. Kelakuan mereka sungguh-sungguh membuat takjub, kadang menggelikan, dan yang tak kalah penting adalah membuat tawa kita bisa meledak sembari geleng-geleng kepala keheranan. Terkait ini tak jarang saya pernah berpikir; hal yang sebenarnya menjengkelkan yang dilakoni oleh para politisi kita, terkadang memang bisa menghibur.

Saya tak perlu mundur ke bilangan puluh tahun ke belakang atau ke jaman dimana Marlina Moha Siahaan berkuasa untuk sekedar menelisik kembali jejak dan gambaran yang pernah terekam dalam perjalanan politik Bolaang Mongondow beserta dinamikanya yang penuh lawakan sekalipun lawakan itu menjengkelkan dan tak berkwalitas. 

Namun dua hari kemarin teseraklah berita di sejumlah media yang bersumber dari sebuah insiden yang katanya adalah ‘pelecehan’ terhadap Anggota DPR RI asal Bolmong, Aditya Didi Moha (ADM) tatkala menghadiri acara HUT Ke 59 Kabupaten Bolaang Mongondow di Kantor Pemkab Bolmong Senin 25 Maret 2013 lalu di Lolak.

Tak tanggung-tanggung ‘pelecehan’ terhadap ADM di kata merupakan kesengajaan pihak Pemkab Bolmong, sebagaimana pula ocehan Abdul Kadir Mangkat yang terliput, terekam, dan termuat di sejumlah media massa terbitan hari rabu 27 maret 2013.

***
Blunder dan tak berpikir panjang. Itulah sikap yang dilakoni Abdul Kadir Mangkat (Ketua DPRD Bolmong) dan kawan-kawannya di Fraksi Partai Golkar tatkala memboikot Sidang Paripurna Istimewa HUT Ke 59 Bolaang Mongondow. Terlebih ketika dengan lantang dan penuh percaya diri, Abdul Kadir Mangkat mengumandangkan di sejumlah media baik cetak maupun online bahwa alasan dia beserta 9 orang Anggota DPRD dari Fraksi Partai Golkar enggan menghadiri Sidang Paripurna semata-mata untuk memberi pelajaran terhadap Pemkab Bolmong karena dianggap telah melecehkan Aditya Didi Moha (ADM) dihadapan banyak orang karena acara pemberian bantuan 1 unit mobil dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang konon diwakilkan pada ADM selaku Anggota Komisi IX DPR RI, telah dihilangkan secara sengaja oleh pihak Pemkab Bolmong dari susunan acara.

Amboy, sampai disini nampaknya ada yang menurut saya aneh, sebab setelah menelisik lebih jauh ke beberapa rekan yang hadir disana, ternyata penyerahan bantuan dari Kemenakertrans itu tetap dilaksanakan. Hal ini juga terbukti dengan tayangnya foto ADM tatkala memberikan bantuan secara simbolis tersebut ke Pemkab Bolmong melalui Bupati Salihi Mokodongan sebagaimanay yang ada di halaman advertorial Radar Totabuan edisi Rabu 27 Maret 2013.

Owh,jadi rupanya tetap ada? Namun nampaknya kedongkolan kubu Golkar terlampau tak dapat di obati. Penghapusan atau penundaan acara penyerahan secara simbolis bantuan 1 unit mobil reaksi cepat untuk keselamatan para pekerja oleh kader andalan yang muda nan energik telah diterjemahkan sebagai bentuk pelecehan di hadapan publik, sekalipun hal itu pada akhirnya tetap dilaksanakan. Apa mau di kata, maraju tetap maraju. Onu bi' po lawang kon tontoll.

Baiklah, sekarang kita bertanya pada mereka yang memboikot Sidang Paripurna Istimewa HUT Ke 59 Kabupaten Bolaang Mongondow yang batal dilakukan dan merupakan sejarah terlucu dan baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah perpolitikan di Bolaang Mongondow:

Pertama, bukankah sikap maraju yang telah mereka lakukan ibarat kata pepatah; menepuk air di ladang terpercik muka sendiri?  Betapa tidak, DPRD Bolmong yang diketuai Abdul Kadir Mangkat adalah lembaga yang seharusnya terhormat selain merupakan pula pihak penyelenggara sekaligus yang mengundang tamu-tamu istimewa yang berdatangan baik dari  jauh-jauh maupun yang paling dekat, sebut saja yang dari Boltim, Kota Kotamobagu, Bolsel dan Bolmut. Maka selaku pihak yang punya hajatan, sebaik-baiknya tuan rumah adalah yang menghargai tamu di atas segala-galanya. Cuma tuan rumah tak beradab yang mampu menelantarkan tamu terlebih meninggalkan tamu dalam keadaan bingung tak tahu apa yang terjadi di dalam rumah tempat diselenggarakanya hajatan.
Bayangkan sebuah pesta ulang tahun; tamu-tamu spesial yang datang dari jauh, berdandan paling spesial nan harum semerbak, namun tiba-tiba si tuan rumah pemilik hajatan dan yang berulang tahun justru memboikot acara, enggan hadir dan membiarkan tamu terlantar dalam keadaan bingung dan derita yang dialaminya.

Kedua, tidak adakah cara yang lebih elegan dan lebih beradab meski tetap pedas dan kritis dalam menanggapi (taruhlah) insiden ‘pelecehan’ terhadap ADM yang konon dilakukan pihak Pemkab Bolmong (entah bagian mana dan siapa yang paling bertanggung jawab), dibanding tak menghadiri Sidang Paripurna Istimewa yang juga dihadiri tamu-tamu dari luar utusan Pemprop Sulut, Polda Sulut, Korem, Danlantamal, Pemkot Bitung, Pemkab Bolsel, Pemkab Bolmut, Pemkot Manado, dan sejumlah daerah lain di Sulut. Tak terkecuali Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), unsur pemuda, tokoh agama, serta seluruh Kepala Desa se-Bolmong. Tak heran jika Gun Lapadengan selaku Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sulut mewakili Gubernur Sulut berkomentar kepada sejumlah wartawan bahwa apa yang terjadi dalam hajatan tersebut akan ia laporkan ke Gubernur Sulut. http://www.radartotabuan.com/read/fpg-bolmong-boikot-paripurna-11468

Kekecewaan juga datang dari Anggota DPRD Sulut asal Bolmong, Soenardi Soemantha yang mengaku kecewa atas peristiwa pemboikotan yang dikomandani ketua DPRD Bolmong Abdul Kadir Mangkat. Sama halnya dengan yang dirasakan Wakil Walikota Kotamobagu, Ir. Hj. Tatong Bara dan para Sangadi yang mengaku heran dan kecewa dengan sikap Fraksi partai Golkar. (Bukan tak mungkin para Sangadi yang kecewa ini diam dan dingin telah memberi catatan tersendiri yang bakal dikantongi mengingat pemilu legislatif 2014 juga sudah ada di depan mata).

Padahal kalau mau di pikir menggunakan akal sehat dengan takaran kesabaran yang didasari logika berpikir yang elegan, tak ada salahnya seluruh anggota DPRD dari Fraksi Partai Golkar hadir dalam Sidang Paripurna Istimewa tersebut, anggaplah sebagai bentuk penghargaan dan pemuliaan terhadap tamu. Nanti setelah acara selesai, tamu sudah pulang, baru kemudian segala taring dan kuku yang telah diasah dan diruncingkan, siap-siap untuk ditancap-kaiskan hingga berdarah-darah kepada pihak-pihak yang dianggap paling bertanggung jawab karena telah melecehkan kader FPG se-energik ADM. Gampang bukan? Tak perlu dengan cara bobudukon yang mengutamakan pitam naik turun dikepala, lalu tanpa sadar melakukan hal yang justru blunder, dan membuat malu secara massal.

Tapi inilah ‘hiburan’ (sebut saja begitu) yang bisa kita tonton dari para wakil rakyat kita di DPRD Bolmong. Mereka memang menggemaskan. Saking memnggemaskanya, mereka lupa bahwa ada lawakan (yang sebenarnya tak lucu namun telah menjadi lucu), yang kerap mereka pentaskan dihadapan khalayak. Hingga pada akhirnya apa  yang mereka pentaskan dengan penuh percaya diri itu justru melahirkan lelucon segar ditengah-tengah masyarakat kita. Contohnya seperti yang saya dengar di perempatan kampung Passi sehari setelah pemboikotan itu terjadi; “to laeng bik doman anggota dewan mita nongkon Golkar  tatua kuma?? Totok bik lolongonon?” kata suara itu. “Sin eta bi’?” celetuk salah satu anggota majelis perempatan.  “Ka hajatan tontanik, mo sia no gundang, bo anda namangoy in tamu dak dega’ minayak bi’ no ro ngopi ko onda?”

Tulisan ini juga didedikasikan kepada mereka yang berani-berani, manis dan lucu-lucu!








Rabu, 27 Maret 2013

Tukang Pukul Yang Pilih - Pilih Lawan

Tulisan atas kasus yang menimpa Ayu Basalamah

Kecanggihan teknologi  membuat kita mudah saling terhubung tak kenal keadaan, jarak, batas, dan waktu. Seorang ABG di Mongondow, meski lagi berak sekalipun, tetap masih bisa saling berkirim kabar dan gambar dengan Ayahnya yang lagi berjuang di Namlea. Pun demikian kejadian di belahan antah berantah mana bisa dengan mudah kita mamah. Sama halnya dengan kita yang cepat mengunyah  informasi soal kasus yang menimpa Ayu Basalamah. Ini jaman Gadget, EDGE dan 3G.

Hingga hari ini 27 Maret 2013, seantero Mongondow tahu ihwal kejadian yang menimpa Ayu, termasuk versi terkini  pasca ia dibebaskan dari Polsek Urban Kotabunan.

Meski gosip sudah bukan gosip lagi, dan teman-teman Ayu telah mengetahui siapa pelaku sekaligus penyebar chating pribadi yang di capture dan disebar pertama kalinya hingga menjadi santapan umat ‘Bebekiyah’ (BlackBerry Messenger),  kita sepakat bahwa apa yang telah dilakukan para pelaku penganiayaan (siapapun mereka) terhadap Ayu, terlalu 'mulia' jika  disejajarkan bak tindak-tanduk mafia Sisilia. Bagi saya pribadi, penganiayaan itu cuma satu tingkat dibawah level seorang tukang pukul kelas pamabo yang kehilangan kecerdasan soal bagaimana 'bermain cantik'.

***

Dari bahan bacaan fiksi maupun non fiksi, atau film bertema mafia, kita mendapat pelajaran bahwa kekejaman dan kebrutalan yang dipraktekkan para anggota geng, wajib menjunjung tinggi kedisiplinan. Operasi yang dilakukan juga selalu mengutamakan tingkat kerapian; penghilangan barang bukti, modus operandi yang membuat pelaku dan kelompoknya tidak bisa diendus, meski tetap memberi kesan kejam, brutal, juga dingin.

Tak jarang dalam adegan film mafia kita melihat bagaimana anak buah atau pengikut yang membahayakan kelompok terutama nama besar Don, sepulang dari operasi (sekalipun sukses memberi pelajaran atau pelenyapan terhadap korban), justru menjadi mangsa baru kelompoknya sendiri karena operasi yang dilakukan sembrono dan amatiran, sebab dianggap cuma mencorengi nama besar sang Don.

Konsekuensi terkejam yang bakal menimpa anak buah yang berlaku sembrono bak pemabuk brutal ini adalah: nyawa melayang sebagai pelajaran bagi anggota kelompok lain agar memperhatikan permainan cantik. Sedangkan jika di beri maaf oleh sang Don, maka hukuman paling ringan adalah kehilangan beberapa buah jari tangan, kaki, puting, atau daun telinga.

Dalam kasus yang menimpa Ayu, seandainya ada orang atau kelompok dan pengikut fanatik seseorang atau kelompok itu, atau yang di anggap barisan setia pengikut atasan, bos besar,atau Don yang merasa terhina, terusik, kelewat meradang hingga naik pitam dan berpikir ada darah yang harus ditumpahkan atau minimal diberi pelajaran gara-gara nama Don dicaci hingga dianggap mengurangi kadar kehormatan dan kemuliaan sang Don, toh ada hal yang jauh lebih 'mulia' dan berkelas, yang bisa dilakukan dengan mengutamakan tingkat 'kebersihan', 'kerapian', 'kelembutan' dan kebijaksanaan.

Jikalaupun harus dilakukan dengan cara kasar, perih nan kejam, penuh nafsu angkara murka, hilang akal sehat tinggal pitam yang naik turun di atas kepala alias bobudukon kata orang Mongondow, tersebab apa yang dilakukan Ayu adalah sebuah aib, dosa, pelecehan dan kebiadaban yang sungguh diluar batas pengampunan, toh setidaknya ganjaran yang akan dihadiahkan terhadapnya juga harus mengutamakan tingkat ‘kedisiplinan’, ‘kerapian’, ‘kebersihan’, dan modus yang tak mencoreng nama baik atasan, pimpinan, atau orang yang patut dijaga kehormatanya. Bukan dengan cara-cara amatir, blunder, dan memalukan. Terlebih khalayak semua tahu siapa Ayu yang saya sendiri mengenalnya tak kurang tak lebih adalah seorang penata rambut dan tukang rias pengantin dengan pembawaan yang kemayu. Atau dengan terlebih dahulu meminta maaf sebesar Gunung Ambang kepada Ayu, saya mengatakan (sekali lagi maaf Ayu bukan bermaksud melecehkan), bahwa sosok Ayu adalah sebagaimana orang biasa mengkategorikan dia sebagai Banci'.

Kabar dari kawan media, dan yang saya dapat dari teman se-profesi Ayu, ditambah serangkaian broadcast yang di kirim sederet umat sahabat Bebekiyah (saya menyebut pengguna BlackBerry Messenger demikian) yang merekomendasikan tautan berisi bahan bacaan terkait hal-ihwal kasus yang menimpa Ayu, maka cukuplah data yang menjadi bahan rujukan bahwasanya kronologi kejadian yang telah terserak dan menjadi kunyahan khalayak, sudah tidak bisa di tutup-tutupi lagi. Olehnya saya tak perlu menuturkan kembali dalam tulisan ini, apa yang menimpa Ayu.

Saya bukan ahli hukum meski tidak buta hukum sehingga berani mengatakan bahwa siapapun oknum yang menyeret, menjemput paksa dan menganiaya korban (Ayu) dengan cara sistim malendong, maka mereka (para pelaku) itu selain melanggar hukum, justru memberi nilai minus pada orang yang dibela gara-gara pembelaan yang dilakukan itu (selain berlandaskan angongong in bobudukon) berlevel amatir dan mengesampingkan kecerdasan akal sehat. Kecuali itu (ini tanggapan pribadi dari saya dan bukan berarti harus di ikuti), yang melakukannya  adalah anak, atau putra dari orang yang telah di hina dan di caci. Sebab di Mongondow, bukan tak ada cerita dan kisah nyata terkait pembelaan demi menjaga harga diri dan kehormatan orang yang dianggap suci dan terlampau tabu nan keramat jika dilecehkan. 

Sekedar berbagi cerita, di Bilalang, sejak kecil saya sudah beberapa kali mendengar cerita penuturan saudara sebelah Ayah soal bagaimana seorang anak memenggal kepala orang gara-gara orang yang kepalanya dipenggal itu memaki orang tuanya.

Dalam kasus Ayu, jika yang melakukan itu adalah bawahan, anak buah, pengikut setia, atau orang-orang yang tak ada ikatan keluarga secara langsung melainkan hanyalah orang dilingkaran kekuasaan Bupati Boltim Sehan Lanjar, yang (taruhlah) tersinggung, tercela, terhina dan marah karena ulah Ayu yang tak terpuji di chating BBM , maka saya ingin bertanya: dimana kalian dan apa yang kalian lakukan tatkala nyawa Bupati Sehan Lanjar dan Istrinya tak hanya di caci-maki melainkan nyawa keduanya terancam oleh berondongan batu dari massa yang mengamuk tatkala menghadang dan mencegat rombongan Bupati sepulang dari Upacara 17 Agustus silam? Dimana??

Kalau memang seorang ksatria dan tukang pukul pengawal setia Bupati, janganlah hanya sekedar menjadi tukang pukul yang pilih-pilih lawan.

Rabu, 20 Maret 2013

PILWAKO KK: 'So pernah kwa ni pelem'


Pasangan mana yang akhirnya akan memenangkan Pilwako Kota Kotamobagu nanti? Pertanyaan ini tentu tengah meracau merayap-rayap tak hanya di benak setiap orang yang tercatat sebagai warga Kota Kotamobagu, namun juga disetiap relung hati siapa saja (dimanapun berada)  yang memiliki hubungan dan menaruh perhatiannya terhadap pesta demokrasi di Kotamobagu.

Ada sejumlah indikator yang bisa dijadikan bahan acuan untuk memprediksi pasangan mana yang punya kans menang. Urusan ini biasanya lazim menjadi kunyahan para analis politik (kita sebut saja dukun politik) mulai dari yang kelas amatir hingga professional, dari kelas daong lemong hingga kelas daong sosoro, atau dari kelas karbitan hingga masa’ pohong.

Namun karena persoalan Pemilukada/Pilwako adalah persoalan ilmu sosial dan ilmu politik yang perlu dikaji dan dipelajari hanya dengan terjun langsung didalamnya, maka siapapun bisa menjadi analis, pengamat, atau tukang ramal sekalipun karbitan. Terlebih ketika banyak dukun politik kelas kaliber belakangan pernah keliru dalam memprediksi pasangan yang bakal menang dalam Pemilukada di Sulut.

Sebut saja ketika prediksi para dukun politik itu meleset di Pemilukada Boltim dan Pemilukada Bolmong 2010 lalu. Alasan lainya adalah, karena Pilwako KK yang saat ini lebih banyak mempertontonkan perang baliho, bendera, spanduk, konvoi, posko pendukung, tembang kenangan, ajang baku terek hingga konon kucuran dana segar dari Tim Sukses salah satu kandidat yang tembus hingga ke urusan ramu-meramu rempah untuk bebek bumbu RW, maka nyong-nyong hingga ABG tukang wora valinggir di Kotobangon pun bisa dengan mudah menjadi dukun politik yang mampu memprediksikan, pasangan mana yang punya kans paling besar dalam memenangkan hajatan Pilwako nanti.

* * *

Saat dalam perjalanan menuju Jarod Sinindian, saya terjebak macet tepat di depan bekas Kantor Pemkab Bolmong karena berjubelnya massa pendukung pasangan MSL – Ishak yang tengah mengarak jagoan mereka  menuju Kantor KPU Kota Kotamobagu untuk mendaftar.  

Saya terpaksa menghentikan kendaraan dan memarkirnya direntetan kendaraan massa pendukung itu lalu masuk berjalan kaki mengikuti  iring-iringan massa yang memasuki halaman Kantor KPU Kota Kotamobagu.

Di tengah kerumunan massa, iseng saya bertanya pada salah seorang yang hadir: “Bagimana kira-kira ni Pilwako KK? Sapa jo yang mo untung?”  orang ini cepat menjawab: “Biar badai biru, kuning, deng merah mo baku malendong akang, tetap torang yang mo untung. Nanti baku lia jo? Katanya mantap penuh percaya diri.  Saya membalas : “Ah, masa. Kiapa boleh bagitu dang?” jawaban pun cepat bersambut: “So pernah kwa ni pelem?” katanya lalu pergi menuju kerumunan massa yang berjubel tepat di depan gedung pendaftaran. Antusias yang ia tunjukkan pada siang itu   menunjukkan sebuah gambaran bahwa dia bukan massa bayaran.

Saya jadi penasaran dengan ungkapanya. Membuat saya ingin mengejarnya lagi berharap mendapatkan kejelasan apa yang ia maksudkan dengan kalimat so pernah kwa ni pelem? Namun orang ini keburu lenyap ditelan kerumunan massa sehingga saya memilih bergabung dengan beberapa kawan Wartawan yang meliput pendaftaran pasangan yang hari itu resmi dijuluki  LARIS MANIS.

Dikerumunan, saya mendengar (meski terpotong-terpotong) pembicaraan yang sedikitnya membahas soal massa pasangan Tatong Bara – Jainudin Damopolii juga Djelantik Mokodompit – Rustam Simbala yang telah terlebih dahulu berkonvoi di hari sebelumnya. Dari perbincangan itu rata-rata omongan tidak pernah merasa gentar dengan massa yang telah berkonvoi. “Kong massa ini hari dang ndak mo rekeng dang?” kata omongan itu diselingi tawa dan olok-olok yang cukup menggelitik. “Torang malah sanang kalo tiap hari dorang ba konvoi. Sebiar kasana sampe dorang hosa di tengah jalan”. Kata omongan dalam kerumunan massa di hari pendaftaran itu.

***

Politik, terutama dalam urusan Pemilukada/Pilwako memang menghadirkan beragam kemungkinan dan kegemparan tersendiri. Sekedar menengok ke belakang, siapa yang tak ingat konvoi  massa pendukung pasangan Bogani pada Pilwako 2009 lalu? Juga rilis hasil survey yang digelar para dukun politik yang menaruh pasangan Bogani (Syachrial Damopolii – Sutomo Samad) dihitungan teratas. Toh pada akhirnya pasangan Djelita (Djelantik Mokodompit – Tatong Bara) keluar sebagai pemenang. Begitupun pengalaman Pemilukada di Boltim yang dimenangkan kandidat yang kalah popularitas dibanding kandidat lain. Begitupun di Pemilukada Bolmong dimana rakyat gempar tatkala pasangan Salihi Mokodongan – Yanni Tuuk berhasil keluar sebagai pemenang meruntuhkan prediksi yang menyebutkan kalau bukan ADM-Norma yang menang maka Limi-Meydi yang bakal jadi Bupati dan Wakil Bupati Bolmong. Namun toh semuanya meleset. Tak tanggung-tanggung kemenangan Salihi-Yanni memberi tamparan paling memalukan terhadap para dukun politik yang berkecimpung di lembaga survey kelas kaliber.

Lantas kandidat mana yang  bakal menjadi pemenang di Pilwako KK saat ini? Selasa 19 Maret 2013 kemarin, saya iseng mengirim chat BBM (BlackBerry messenger) pada  seorang sahabat  dekat yang selain tukang lawak, dia  juga dikenal paling jago dalam urusan syair-menyair mimpi untuk dipasangkan sebagai angka Togel. Tak heran di kontak BBM, saya mengedit nama kontaknya menjadi Master Togel. Saya lantas menanyakan soal siapa menurut dia pasangan kandidat yang punya kans kuat dalam memenangkan Pilwako KK nanti? Pertanyaan saya cepat dibalas sebagai berikut; “Ngana hitong jo, sapa pe bendera deng baliho paling banyak da pasang, so pasangan itu noh yang mo menang. Kita pe mimpi kwa bagitu”.

Saya tahu itu rujukan yang bukan hanya ngawur tapi juga apa yang disebut anak-anak muda Mongondow sebagai Gilingan. Tapi saya memang ingin bermain-main dengan dia. Minimal kepenatan siang kemarin bisa hilang dengan adanya lelucon-lelucon segar. Sembari tersenyum saya kembali mengiriminya chat yang isinya menanyakan kenapa harus bendera dan baliho yang menjadi ukuran? Ia lantas membalas: “Karna romantis itu yang paling banyak bendera”. Balasan chat yang ia kirimkan ini penuh berhias emotion yang menggambarkan orang  tengah terkakak sambil guling-guling, lalu di ikuti chat selanjutnya: “Ngana pasang jo 35 di Sidney, asli kanal ngana. Sudah jo batanya sapa yang mo menang karna so pernah kwa ni pelem”. 

Saya menutup chat yang ia kirimkan ini dengan mengetik: Wkwkwkkwkwkwk…!! Lalu menaruh emotion mata berputar mewakili rasa penasaran saya tatkala kembali berjumpa dengan kalimat: so pernah kwa ni pelem. Namun yang membuat saya sedikit menyesal, adalah ketika tak mengikuti saranya untuk memasang angka 35 di putaran Togel Sidney periode Selasa 19 maret 2013.

Pembaca, lantas kandidat mana sebenarnya menurut pembaca yang paling berpeluang memenangkan Pilwako KK nanti?  Please, jangan katakan: so pernah kwa ni pelem. Sebab satu minggu jelang hari pemilihan, saya akan bertemu dengan saudara-saudari untuk memberitahu apa yang seharusnya menjadi keputusan sebelum masuk bilik TPS.

Bagi yang mau mendengar silahkan, yang enggan juga tak masalah.

Sabtu, 09 Maret 2013

Matematika Pilwako, Malam Bakupas dan Serangan Fajar


Adnan Nurman, penulis bidang sosial politik dan ekonomi, dalam bukunya Strategi Pemenangan mengatakan bahwa Pemilukada (Pilwako,red) bukanlah sebuah hitungan matematika melainkan ilmu sosial yang perlu dikaji dan dipelajari dengan terjun langsung didalamnya.  Namun demikian Adnan juga mengatakan, meskipun Pemilukada adalah ilmu sosial, tetap saja ada pendekatan matematika sederhana, yakni: jika ingin menang maka rumusnya adalah penjumlahan dan perkalian dan jika ingin kalah maka rumusnya adalah pengurangan dan pembagian.

*** 
Sudahlah di daerah lain (yang masih dalam lingkup Indonesia raya), tapi di Mongondow, mari kita berani jujur dan berterus terang bahwa tiap tiba Pemilu baik itu Pilgub, Pilbup, Pilwako, Pileg, bahkan Pilsang (kecuali pemilihan ketua kelas), praktek money politik seolah sudah mendarah daging dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pesta demokrasi.  Pemilu tanpa money politik seolah ganjil. Sama halnya dengan orang yang usai mandi kemudian berdandan siap ke pesta tapi lupa pakai celana dalam.  

Praktek money politik yang sudah tak tabu lagi dalam setiap hajatan pemilu tak urung telah melahirkan pendidikan sesat dan brutal yang akhirnya mematrikan sebuah pemikiran dalam batok kepala masyarakat kita bahwa; siapapun calon yang akan tampil nanti, asalkan  berduit, pasti layak dipilih dan calon tersebutlah yang punya kans memenangkan pertandingan. Sedangkan bagi mereka (kandidat) dengan kemampuan financial yang merangkak, silahkan gigit jari. Jangan harap dihari H nanti suara di TPS akan tembus sesuai yang diharapkan, sekalipun kandidat itu memiliki kapasitas sumberdaya manusia mumpuni dan kwalitas kepemimpinan yang didukung dengan ahlak, wawasan, dan disiplin ilmu yang baik dan memadai.  Bersyukur masih ada anggota keluarga yang komit memilih sebab bukan tak ada kejadian yang jadi bahan olok-olok orang di Mongondow;  “sedang ngana pe ipar nyandak pilih pa ngana. Tapi sudah jo herang, tadi malam ngaana pe ipar dapa serangan fajar dari calon sablah”.  

Miris memang hingga kerap  kuping kita mendengar serentetan ungkapan dari masyarakat; “Sapa ngana pe calon so? Yah, dia dang?  Ndak ada doks dia kong stel  ba calon. Bulum sto mopilih. Doks dulu dang toh. Pokoknya sapa yang ba cair, dia tu torang mopilih. Yang nyandak cair, suruh pilih jo pa tiang listrik”.  

Sedemikian parahnya hingga membuat batin kita tak hanya luruh runtuh bersama akal sehat bak dimutilasi ketika harus menyadari kenyataan tatkala money politik di ajang pesta demokrasi telah ikut menciptakan masyarakat pemilih menjadi masyarakat yang transaksional, oportunis dan materialistis.

Di Mongondow, kita mengenal dua istilah populer terkait money politik. Pertama, yang disebut Malam Bakupas, sedangkan yang kedua Serangan Fajar.  Kita mungkin tidak tahu istilah ini mula-mula dibikin oleh siapa. Masyarakat kita memang nampaknya cukup pintar membikin istilah-istilah yang selain populer juga bermakna olok-olok. Namun kita paham bahwa Malam Bakupas, demikian pula Serangan Fajar, merujuk pada suatu moment atau proses dimana warga pemilih dipengaruhi pilihanya dengan iming-iming uang (juga paket sembako) supaya menjatuhkan pilihanya ke kandidat tertentu. Momen Malam Bakupas umumnya berlangsung pada malam jelang hari H. Sedangkan Serangan Fajar lasim dilancarkan pada subuh atau pagi-pagi buta di hari H. Pada moment itu kaki tangan tiap-tiap kandidat beraksi menjalankan misinya.

Baku ambor  dan abis kalu abis adalah semboyan yang mereka gunakan. Pada moment itu kaki-tangan kandidat seolah berubah wujud dimana mereka nampak seperti sekelompok orang dengan gerak-gerik yang tak ubahnya seperti Ninja, sebagian lagi macam sekompi pasukan elit khusus yang cekatan dalam melancarkan serangan ke target, tak sedikit pula berlagak seperti Robin Hood, juga tokoh-tokoh bijak, filsuf, filantropi dan sinterklas yang sebenarnya tak sedikit diantara mereka itu adalah tukang tipu.

Mereka melangsungkan perang gerilya dibelantara pemilih yang terdiri dari ragam umur, status, golongan dan pekerjaan; dari yang pemula hingga manula, duda hingga janda, tukang tenteng martelu hingga pengusaha sogili, dari tukang roti hingga tukang pasang togel.

Perang gerilya yang mereka lancarkan biasanya berjalan mulus sebab longgarnya pengamatan Panwaslu yang tak punya daya dan upaya dalam menghadang ‘tsunami’ Malam Bakupas dan ‘badai’ Serangan Fajar. 

Lucunya lagi, masyarakat yang sebenarnya sudah berpengalaman dan “terlatih” dalam beberapa kali pesta Pemilu, jauh-jauh hari memang sudah tahu kalau akan ada penyerangan ke wilayah mereka pada moment-moment tersebut. Namun bukanya melawan atau sedikitnya bertahan atas serangan-serangan yang dilancarkan secara 'cetar membahana badai', yang terjadi malah memberi signal kepasrahan kepada pihak penyerang bahwa wilayah mereka belum di serang.  

Model serangan yang diharapkanpun sebaiknya adalah serangan yang dilakukan secara bertubi-tubi, membabi-buta, bumi hangus, tak kenal ampun, tanpa tedeng aling-aling, yang dalam istilah militer Amerika biasa disebut Broken Arrow.

Maka bukanlah sebuah kemustahilan, pada moment tersebut banyak warga yang nanti berkumpul berkelompok baik dipinggir jalan, sekedar duduk-duduk diteras rumah, di warung, atau bagi yang malu-malu kucing dan yang takut kena angin malam boleh-boleh saja berdiam diri dirumah asalkan tak perlu mematikan lampu ruang tamu (yang di hari-hari biasa hal itu tak berlaku) lalu memberi celah agak lebar dan genit pintu rumah supaya menandakan belum dikunci seolah-olah ada anggota keluarga yang sedang ditunggu.  

Perlu pula di catat bahwa semua ketidak-biasaan ini (rumah dengan pintu yang terbuka lebar) masih berlangsung meski jarum jam telah menunjukan lewat pukul 12  tengah malam, dimana banyak orang percaya (tak cuma orang Mongondow) kalau cuma demit dan bayongan dimukud yang keluar bergentayangan di jam-jam begitu.

Kalok sudah sedemikian kronisnya fenomena ini maka, mari kita belajar matematiko Pilwako. (Sudah dekat bro..)

Matematika Pilwako : Mengerangkeng 30 Persen Suara

Tanda aman pertama bagi pasangan kandidat yang bertarung di Pilwako Kota Kotamobagu adalah pasangan yang mampu mencapai angka 30 persen suara dari total pemilih di KK yang berdasarkan DP4 kurang lebih berjumlah 91.000 Jiwa. Untuk mencapai 30 persen dari total pemilih tersebut berarti minimal kandidat harus mendapat dukungan sekitar 27.000 suara.  Jika ilmu matematika sederhana kita pakai dalam mengerangkeng 27.000 suara ini lewat rumus penjumlahan dan perkalian memakai strategi Serangan Fajar atau moment Malam Bakupas, dengan asumsi Rp 150 ribu per pemilih, maka yang perlu dipersiapkan kandidat adalah dukungan dana sebesar Rp 4,5 Milyar. Jika harga dinaikan menjadi Rp 200 ribu per kepala, maka biaya yang dibutuhkan adalah Rp 5,4 Milyar. Selanjutnya karena persaingan pasar antar kandidat yang ketat di kantong-kantong pemilih, maka sudah menjadi hukum pasar kalau harga akan melonjak naik sehingga persaingan ditingkatan pasar akan menyentuh hingga kisaran angka Rp 250 ribu per kepala pemilih sehingga angka bayar juga dinaikan menjadi Rp 250 ribu X 27.000 pemilih = Rp 6,7 Milyar lebih.  Perhitungan 27.000 suara ini adalah suara yang sudah dikerangkeng, diluar tambahan suara dari partai pengusung/pendukung dan dari elemen lain semisal kedekatan atau hubungan langsung dengan kandidat berdasarkan visi misi (meski instrument ini paling jarang), wilayah, kekerabatan, keluarga, ormas, atau karena ketertarikan dari faktor lain, sebutlah karena selingkuhanya si A adalah Tim Sukses dari pasangan kandidat bla..bla..bla...

Pertanyaan kita selanjutnya adalah; pasangan kandidat Waklikota-Wakil Walikota mana yang pada 1 minus H Pilwako KK ini memiliki dana sebesar Rp 6,7 Milyar yang siap-siap di kokang lalu diberondongkan habis ke setiap kepala pemilih dalam sekejap (hitungan jam). Pendistribusianyapun membutuhkan kesiapan mental level super sebab asumsi dasarnya adalah uang harus di ikhlaskan hilang, begitupun pertimbangan resiko jika akhirnya Serangan Fajar ini beresiko hingga ke meja Mahkamah Konstitusi. Jawabanya tentu bisa kita petakan dengan sedikit menelisik latar belakang ekonomi (dan faktor-faktor pendukung yang berpotensi) dari masing-masing kandidat yang sudah menabuh genderang perang untuk baku abis dalam Pilwako Kota Kotamobagu saat ini. Djelantik-Rustam kah? Tatong-Jainuddin kah? atau Matt Jabrik (Ahmad Ishak) yang siapa mengira diam-diam sudah ada Bandar Togel dari Singapura yang siap memback-up sosok wartawan satu ini. Maka jangan tanya soal urusan Malam Bakupas dan Serangan fajar kepada sang Bandar Togel yang cuma menganggap hitungan 10 hingga 15 Milyar adalah  tai kuku alias kacang kacang ona'e...


Terakhir yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, saya sangsi dengan pendapat yang menyebutkan bahwa pemilih KK adalah pemilih rasional (rasional bagaimana maksud ente?), atau disebut pemilih cerdas terlebih dikata sebagai pemilih ideologis. Maaf,  bukanya pesimis atau tak sependapat, namun bagi saya,  untuk urusan Pemilukada/Pilwako dan sejenisnya, sampai dengan tahun ini semua masih bergantung doks. Pendapat ini bukan tanpa alasan apalagi hasil imajinasi yang sembarangan (boleh kita debatkan di Jarod Sinindian). Tapi salah satu alasannya (yang tidak perlu panjang), yakni tatkala daftar pasangan kandidat adalah mereka-mereka yang kini hampir dipastikan akan bertarung pada perhelatan Pilwako KK nanti, maka kekuatan finansial masih menjadi faktor yang sangat memperngaruhi. Asumsi inipun bukan semata-mata dilandasi pengalaman Pemilukada yang terjadi di Bolmong Raya. Dan karena pendapat ini adalah pendapat pribadi maka bukan berarti harus di-ikuti. Saya juga memiliki keyakinan bahwa semua kita hingga saat ini masih senantiasa mengharapkan berlangsungnya Pemilukada/Pilwako dimana masyarakat pemilih mau memberikan partisipasinya di TPS bukan karena doks semata.