Senin, 10 September 2012

Dumoga: Negeri Kaya, Negeri Ngeri, Negeri Para Bogani dan Pemberani


Senin 10 September 2012
Dumoga: Negeri Kaya, Negeri Ngeri, Negeri Bogani dan Para Pemberani


Dumoga yang kini terbagi menjadi 4 wilayah Kecamatan (Timur, Barat, Selatan, Utara), adalah wilayah kaya sekaligus "panas" yang terletak di tengah-tengah Kabupaten Bolaang Mongondow saat daerah ini belum dimekarkan menjadi 4 wilayah Kabupaten dan 1 Kota (Bolmong, Boltim, Bolsel, Bolmut dan Kotamobagu). Bolaang Mongondow (Bolmong) bahkan dikenal dengan julukan lumbung beras karena keberadaan wilayah gemah ripah loh jinawi ini.
 
Di level internasional, Dumoga bahkan diklaim sebagai kawasan paru - paru dunia yang turut berperan dalam menjaga keseimbangan ekologi dan iklim dunia karena keberadaan kawasan konservasi; Taman Nasional Dumoga Bone, atau yang kini berganti nama menjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNWB).

Di Mongondow, Dumoga selalu penting pun menarik dibicarakan bukan semata karena ada Taman Nasional disini, bukan pula soal kandungan emas di Teluk atau di Superbusa yang sejak era 90-an menjadi pusat mimpi tak hanya bagi orang Mongondow yang datang berbondong-bondong ke wilayah ini bermodalkan nyali, samurai, cakram, tombak dan aneka benda tajam lainnya termasuk yang kata konon; ilmu kebal, melainkan karena ada mimpi kesejahteraan dijanjikan tempat ini. Bongkah-bongkah mimpi yang akan merubah nasib dari kere menjadi royal, dari melarat menjadi berada, seperti Cebol (nama julukan), Juma’, atau Aske Giroth (3 di antara orang Dumoga suku Minahasa yang berhasil dalam usaha tambang tradisonal. Satu diantaranya bahkan pernah duduk sebagai Anggota DPRD Bolmong dari Partai Golkar). Tapi sebut juga nama Ajan Bonde, penambang asal Dumoga dari suku Mongondow yang pernah juga duduk di kursi DPRD Bolmong.

Saat ini Dumoga semakin menarik sebab sederet stakeholder di wilayah lumbung beras ini tengah bersemangat dalam euphoria pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Tengah (Bolteng), mengikuti jejak 4 saudara kembarnya; Boltim, Bolsel, Bolmut, dan Kota Kotamobagu.

Pembentukan Bolteng ini malah disebut-sebut sebagai prasyarat untuk melengkapi terbentuknya cita-cita yang lebih besar yakni Propinsi Bolaang Mongondow Raya (PBMR) sebagaimana yang tengah digaungkan saat ini oleh para pemukanya termasuk mantan Wakil Gubernur Sulawesi Utara asal Bolmong; Abdullah Mokoginta.

Dumoga Dimata Pemerintah Pusat

Betapa pentingnya Dumoga di mata pemerintah Indonesia sehingga dengan mengatasnamakan rakyat Indonesia, berhutang ke rentenir kelas wahid; World Bank sebesar 60 juta dollar AS untuk pembangunan Proyek Irigasi Dumoga yang menghasilkan Bendungan Touraut dan Kosinggolan. (lihat G.J. Aditjondro, "Nasib penduduk asli Mongondow di Sulawesi Utara", Suara Pembaruan, 4 Desember 1992).

Tak hanya itu, di penghujung 80-an, BJ. Habibie yang ketika itu menjabat sebagai Menteri, melaksanakan pembangunan SMTP (Sekolah Menengah Teknologi Pertanian) Mokintob, yang nasibnya kini tinggal cerita tergambar dari sisa-sisa puing bangunan gedung yang murung bak pusara yang telah bertahun-tahun diterlantarkan.

Dumoga Jaman Mokodoludut

Dalam mitologi Mongondow, dikisahkan kelahiran seorang bayi laki-laki dengan keadaan tak lazim dari seorang perempuan yang belum bersuami. Kelak kemudian bayi ini diangkat sebagai seorang Punu', yakni pimpinan tertinggi, datu, atau raja, diberi nama Mokodoludut. Mitos ini mengisahkan soal bagaimana sepasang suami istri bernama Kueno dan Obayow (dalam penceritaan lain bernama Inali dan Amali) suatu ketika si sebuah sungai menemukan sebutir telur yang dierami seekor burung. Mereka membawa pulang telur ini di kediaman mereka di Tudu In Bumbungon (Puncak Bukit Bumbungon) dan peristiwa mengagetkan terjadi; tujuh hari kemudian telur ini pecah dan keluar seorang bayi laki-laki.

Tak seberapa lama kemudian  terdengar bunyi guntur dan kilat bersahut-sahutan di langit. Beriringan dengan itu turun hujan lebat dan terdengar bunyi hentakan langkah kaki para pendatang yang bergerak secara berbondong-bondong menuju tempat dimana bayi itu lahir. Saking banyaknya langkah kaki para pendatang itu, maka bumi Dumoga terasa bergoncang. Itu pulalah yang dalam bahasa Mongondow disebut nooludut. Para pendatang ini rupanya adalah para Bogani, manusia yang digambarkan kuat dan keramat pemimpin masing-masing komunitas yang tersebar di seluruh Bolaang Mongondow.

Para Bogani ini berbondong-bondong menuju Tudu In Bumbungon karena mengetahui ada kelahiran tak biasa disana yakni seorang bayi laki - laki yang diyakini bakal menjadi pemimpin nanti. Oleh sebab itulah bayi ini mereka namakan Mokodoludut, yakni sesuatu yang menimbulkan kegoncangan atau kegemparan.

Para Bogani lantas bermusyawarah dan hasilnya mereka sepakat mengangkat bayi laki-laki ini sebagai Punu' atau pimpinan tertinggi di Bolaang Mongondow. Dari padanya akan lahir raja-raja yang secara bergantian akan memimpin Bolaang Mongondow.  
 
Maka dimulailah kepemimpinan itu secara turun-temurun dimana pusat pemerintahan kerajaan dimuali di Dumoga yakni di Tudu In Bumbungon.

Terkait peristiwa kelahiran Mokodoludut ini, ada juga cerita lain yang mengisahkan bahwa Ayah dan Ibu dari Mokodoludut adalah Manggopa Kilat dan Salamatiti yang tak lain adalah pasangan Bogani lelaki dan Bogani perempuan yang tinggal di dataran Dumoga. 

Dumoga dan Taman Nasional

Di tahun 1940 hingga 1950-an, dataran Dumoga yang membentang luas didatangi orang Mongondow dari berbagai penjuru untuk membuka area penghidupan baru, termasuk yang dilakukan penduduk Passi yang akhirnya membentuk Desa Ibolian.

Tak hanya penduduk lokal yang tertarik mencari penghidupan baru di dataran Dumoga, sebab tersebutlah kelompok yang datang dari Tondano (Minahasa) yakni di kampung Jaton (Jawa Tondano) dipimpin Slamet Nurhamidin dan Tarekat Banteng sekitar tahun 1948.

Kedatangan kelompok Slamet Nurhamidin dan Tarekat Banteng inilah yang menjadi cikal-bakal Desa Ikhwan. Selanjutnya adalah orang-orang yang datang dari suku Minahasa lewat program BRN (Biro Rekuonstruksi Nasional).

Pada Tahun 1967 datang transmigran asal Jawa dan Bali yang dimukimkan di Tumokang atau daerah di sekitar Kosinggolan. Setelah satu dekade selanjutnya, para transmigran ini dipindahkan lagi ke wilayah yang sekarang bernama Desa Mopugat, Wherdi Agung, Kembang Merta dan Mopuya. Pemindahan ini konon dikarenakan pertimbangan ekosistem dan hidrologi yang ada di kawasan Kosinggolan yang merupakan daerah tangkapan air. Terbukti pada Tahun 1979 kawasan hutan Dumoga ditunjuk sebagai kawasan Suaka Margasatwa Dumoga (SMD) berdasarkan SK. Menteri Pertanian Nomor 476/Kpts-Um/8/79 tanggal 2 Agustus 1979, dengan luas 93.500 Ha. Awalnya, kawasan bekas lokasi transmigrasi Tumokang termasuk dalam wilayah lindung ini. 

Namun di era 80-an, masyarakat Doloduo yang merupakan masyarakat asli suku Mongondow, melakukan pembukaan kembali kawasan bekas pemukiman transmigrasi tersebut. Mereka menganggap wilayah tersebut adalah wilayah adat dan tanah ulayat mereka, meski pemerinta pusat telah menetapkan sebagai kawasan tersebut sebagai Suaka Margasatwa  Dumoga (SMD).

Dalam catatan Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, perambahan yang dilakukan masyarakat Doloduo dan beberapa yang datang dari sejumlah desa di Mongondow, meluas hingga di kawasan Sindak, Tabang Mororok, Binuanga, Patue, Bolungkuga, Baturapa, dan Tumpa.

Penetapan Taman Nasional Dumoga Bone (TNDB) terjadi pada tahun 1991 lewat Surat Keputusan  Menteri Kehutanan nomor 731/Kpts-II/91 tanggal 15 Oktober 1991, yang merubah fungsi Suaka Margasatwa Dumoga (SMD) menjadi Taman Nasional Dumoga Bone (TNDB). Selanjutnya nama ini berubah lagi menjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW)  dengan luas 287.115 Ha.

Masa Eko-Facism

Mengutip catatan George Aditjondro yang dimuat surat kabar harian nasional, Suara Pembaruan edisi 4 Desember 1992di tahun 1982 hingga 1983 dan di era 90-an, terjadi eko-facism yang dilakukan Pemerintah Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow, Kodim 1303 Kotamobagu, Polres Bolaang Mongondow, dan Kejaksaan Negeri Kotamobagu, tatkala menggelar Operasi Wibawa I dan berhasil mengeluarkan orang-orang Mongondow disana yang dituduh sebagai perambah kawasan TNDB.

Operasi ini berlanjut ke Operasi Wibawa II pada tahun 1993-1994  dan berhasil mengusir sejumlah penduduk yang menggantungkan hidupnya di Kawasan TNDB, termasuk kelompok penambang tradisional.

Peristiwa Operasi Wibawa I dan II yang dilakukan oleh lembaga dan alat-alat negara dalam pengusiran  penduduk ini, masih membekas dibenak hati orang Mongondow yang menjadi korban pengusiran itu. Penulis sendiri di tahun 1998 pernah mendengar langsung apa yang dikisahkan kembali oleh salah seorang penyintas yang diungkapkan dalam bahasa Mongondow; yo operasi tatua deman bi' ta' noguser sin yanu' bi' no nurub kon pinomula nami (operasi tersebut tak hanya mengusir kami dari situ tapi sekalian membakar apa yang sudah kami tanam).

Pemerintah beralasan, Operasi Wibawa dilakukan sebab praktek pembukaan hutan oleh petani dan kelompok penambang, mengancam ekosistem kawasan lindung. Berdasarkan penuturan salah seorang petani asal Mongondow yang turut menjadi korban pengusiran dalam operasi itu, mengisahkan bahwa sejumlah bibit cengkeh dan tanaman tahunan yang sudah mereka tanam, habis dibakar aparat.

Namun eko-facism yang dilakukan pemerintah terhadap warga Mongondow di dataran Dumoga, tak membuat warga kapok. Pada tahun 1987 warga memasuki kawasan itu lagi hingga dipermulaan tahun 90-an. Kekayaan yang di kandung Dumoga dan gempar di tahun-tahun itu, bahkan menarik beberapa pemuda Mongondow yang tengah menempuh pendidikan di Manado dan Tondano, pulang kampung dan memilih masuk rimba ketika menyadari, mimpi kesejahteraan sebenarnya berada di wilayah ini; Dumoga.

Puncak kegusaran pemerintah ketika melihat Dumoga menjadi lahan rebutan, membuat terjadinya Operasi Santiago yang menggunakan agresi militer di kawasan tersebut dari tahun 1993 hingga 1994.  Lubang galian emas rakyat ditutup pihak militer menggunakan semen padat. Operasi bersenjata ini cukup efektif menggulung ratusan petani dan ribuan penambang tradisional yang terpaksa  meninggalkan lulung atau daseng  yang mereka dirikan disana dalam keadaan murung, dingin, dan mencekam.

Dalam catatan Geogre Aditjondro (Penulis buku Gurita Cikeas) menyebutkan bahwa di era 80 hingga 90-an ratusan keluarga petani suku Mongondow dan imigran Minahasa serta Sangihe di lembah Dumoga, dipaksa keluar tidak cuma dari hutan Taman Nasional Dumoga-Bone, melainkan dari dataran Dumoga di Kabupaten Bolaang Mongondow. Lagi, pengusiran itu dilakukan demi melindungi kelestarian daerah tangkapan air proyek irigasi Dumoga, serta bendungan Toraut yang merupakan bagian dari proyek yang dibiayai lewat pinjaman rakyat Indonesia sebesar 60 juta dollar AS dari Bank Dunia. (lihat G.J. Aditjondro, "Nasib penduduk asli Mongondow di Sulawesi Utara", Suara Pembaruan, 4 Desember 1992).

Dumoga; Pusat Mimpi Para "Ninja" dan "Samurai"

Wilayah Dumoga tak lepas dari cerita macam di film silat Saur Sepuh, koboi-koboi mabuk, Ninja, dan Samurai.  Orang Sulut pasti pernah mendengar beragam kisah yang dituturkan dari mulu ke mulut lewat berbagai versi soal kesohoran kelompok penambang yang dikenal dengan nama Group 88. Sesuai namanya, grup ini dibentuk tahun 1988, adalah kumpulan orang-orang yang memiliki ilmu kanuragan.

Tersebutlah pula sosok bernama Soni Putong yang konon mantan atlet Anggar Sulut. Ia putar haluan dari atlit anggar menjadi penambang karena mimpi kesejahteraan di Dumoga lebih menjanjikan tinimbang mengharapkan perhatian KONI. maka banting setrilah dia dan datang mengadu nasib di lembah Dumoga bermodal kelihaiannya bermain pedang. Grup-grup penambang (rambangan/kongsi) disebut-sebut kerap memperebutkan Soni Putong bergabung di grup mereka karena keahliannya memainkan pedang. Di Dumoga, keahlian yang satu ini memang paling dibutuhkan selain nyali.

Tersebut pulalah cerita heroik seorang lelaki Mongondow asal Desa Doloduo yang dijuluki Andol (Andalan Doloduo). Namanya begitu tersohor tak hanya di kalangan penambang. Soal memainkan pedang maupun badik, dia juga ahlinya. 

Selain Andol, dikenal pula nama kelompok pemuda bengal nan brutal dari suku Mongondow dengan julukan Poppeye. Sama seperti ANdol, sebagian besar anggota kelompoknya adalah penduduk asli Doloduo. 

Dumoga memang mengoleksi banyak nama, grup, dan julukan, yang saling berebut pemgaruh disana. Maka dikenal pulalah sosok perempuan penambang yang namanya tak kalah populer memperlengkap nuansa di rimba raya Dumoga tak ubahnya seperti adegan film Xena The Warrior of Princess tatkala seorang perempuan berada ditengah-tengah kelompok lelaki sambil menenteng pedang, samurai dan pisau badik terselip di kiri-kanan pinggangnya. Dialah yang dikenal dengan nama Titin.

Sejak lokasi galian yang dinamai Teluk gempar oleh berita ditemukannya lubang galian dengan kadar emas tinggi, (para penambang mengistilahkannya lubang kancang), maka sejak itu pula Dumoga kian menjadi pusat mimpi orang-orang yang ingin mengubah nasib. Mereka berbondong-bondong ke Dumoga dengan membentuk grup (biasa disebut kongsi) berlatar keterikatan pertemanan, wilayah, kampung, pun yang sifatnya random.

Karena tahu bahwa sudah ada kelompok lain yang mula-mula merintis dan menguasai lubang galian, ditambah lagi informasi bahwa mereka itu bukan penambang kelas daong lemong (bukan kelas ecek-ecek), maka dipersenjatailah diri dengan beragam benda tajam penantang maut yang dibalik itu tersimpan maksud gelap; ingin menguasai lubang rebutan itu dengan cara apapun termasuk baku potong apabila upaya baku ator tidak berjalan. Istilah yang mereka pakai adalah bongkar jalur.

Sebagai contoh, jika ada lubang dengan kadar emas tinggi (lubang kancang), maka lubang itu akan jadi rebutan. Kelompok pertama yang menguasai lubang ini akan menjaga lubang tersebut dari gangguan kelompok lain. Menjaganya tak hanya dengan raga melainkan nyawa. Lubang akan dijaga oleh para "pendekar samurai" yang tangannya akan ringan menyembelih leher siapapun yang nekat datang dan sok jagoan menguasai. Kecuali jika mereka tunduk dibawah peraturan kelompok pertama. Sekadar contoh; kelompok pertama yang menguasai lubang, jika mood lagi bagus, maka sosok-sosok keras dan sangar ini, bisa berbaik hati dengan memberi kesempatan kelompok berikut yang datang untuk masuk lubang mengambil rep (material). Sebuah kesempatan yang sekonyong-konyong diberikan atas dasar senasib-sepenangungan antar penambang agar bisa saling hidup-menghidupi. Ini jika mood kelompok penguasa pertama lagi bagus. Namun jika tidak, maka yang sudah bosan hidup sila bongkar jalur jika punya sembilan nyawa.

Saat perang rebutan minyak antara Irak melawan Kuwait yang dibantu Amerika Serikat bergolak di Kawasan Teluk (Timur Tengah), ketika itu pula konflik kepentingan terkait pertambangan tradisional di Dumoga sedang bergejolak. Tak heran salah satu kawasan lubang galian yang menjadi rebutan sekaligus sumber sengketa dan petaka, dinamai para penambang sebagai Teluk. Di kawasan Teluk, nyawa orang seolah tak direken.

Emas memang panas dan memicu pertikaian. Sama halnya dengan perang rebutan minyak di kawasan Teluk, Timur Tengah. Konflik di kawasan Teluk Dumoga, biasanya pecah karena adanya keengganan dari kelompok lain untuk menuruti aturan kelompok yang mula-mula menguasai lubang. Ini yang menjadi pemicu konflik antar penambang yang berhasrat menguasai. Seperti koboi-koboi tak berkuda, mata merah mulut bau alkohol, kelompok berideologi hukum rimba ini—yang mendengar ada mimpi kesejahteraan dapat diraih meski hanya semalam—memasuki belantara dengan nyali yang tertanam kuat. Mereka tinggalkan anak istri, pacar, sanak keluarga, untuk satu tujuan; kesejahteraan. Di pinggang para “koboi” ini bukan revolfer, melainkan badik mengkilap yang terselip penuh siaga. Tangan mereka memegang 'samurai' yang siap memenggal leher siapa saja yang berani menghalangi tujuan mereka; Emas!!Gold Glory Gold!

Kelompok yang menggunakan metode bongkar jalur dijuluki Ninja sebab dianggap penyusup. Apalagi saat beroperasi, sebagian besar dari kelompok ini menutupi wajah mereka. Biasanya mereka datang dengan kekuatan yang lebih besar dan tak kalah brutal. Tujuan para Ninja yang dilengkapi benda maut seperti pedang panjang terbuat dari rem cakram—biasa mereka istilahkan samurai—adalah untuk menyerobot antrian. Jika sudah begitu maka adegan seperti dalam film Saur Sepuh, The Last Samurai, atau Xena The Warrior Princess, akan meletus hingga menyisakan korban yang bisa berujung pada kematian di kedua-belah pihak setelah saling tebas alias baku blah.

Semua itu adalah hal biasa di Dumoga yang liar dan keras. Hukum yang dipakai adalah hukum rimba. Tak ada pihak korban yang keberatan dan melapor ke Polisi. Semua akan diselesaikan lewat "hukum adat ala rimba" di belantara Dumoga. Mereka bertarung di arena tambang. Meski akhirnya, seiring waktu berjalan, konflik di lokasi tambang dibawa turun ke kampung maka kejadian-kejadian tarkam di Dumoga nyaris bosan kita dengar. Kesepakatan "adat" yang menyebutkan tak boleh membawa-bawa masalah yang pecah di lokasi tambang turun ke kampung, urung terjaga.

Namun demikian bukan berarti di semua lubang galian terjadi perkelahian tatkala semua kelompok tunduk pada aturan antri. Tidak semua lubang galian juga berkadar emas tinggi. Di galian yang kadar emasnya rendah, suasana adem-adem saja. Bahkan konon ada kawasan yang disebut Panta Putih. Ini semacam kawasan agak lapang yang difungsikan kepada para penambang yang masih jomblo, sayang anak-istri, terutama lagi sayang nyawa. Artinya, ketika terjadi sengketa atau konflik antar grup penambang, bagi para penambang yang netral dan tak mau terlibat baku potong dan kubu-kubuan, segera mengambil posisi ke kawasan Panta Putih agar nyawa tak melayang. Panta adalah bahasa setempat yang jika disalin ke Bahasa Indonesia artinya pantat atau bokong. Istilah Panta Putih dikonotasikan pula kepada mereka yang dianggap penakut atau yang tak punya nyali untuk berkelahi.

Masa kejayaan para penambang di Dumoga meledak di era 90-an. Banyak orang tak kenal tua-muda, dari yang sudah beristri maupun bujang, dari status ekonomi tak berpunya menjadi berpunya; motor keluaran terbaru; kemeja; celana blue jeans merek Levis dan Lea lengkap dengan sepatu keren model terbaru; jaket kulit; parabola; laser disc; home teater; segala pernak-pernik enterteint untuk hiburan di rumah yang baru pula direhab, pun yang baru di bangun permanen. Pendek kata, rimba Dumoga telah memberi mereka kesejahteraan hidup, sikap royal, hura-hura, bahkan filantropi. Meski pada akhirnya masa kejayaan itu terengut dan tergilas roda jaman dan waktu yang berputar bengis kencang, meruntuhkan apa yang pernah dimiliki dan melahapnya hingga tinggal sobekan kisah tua yang manis terselip di balik blue jeans kumal dan tersenyum menyapu bekas jahitan luka dihampir sekujur tubuh para Ninja dan veteran Teluk.

Penulis masih ingat karena pernah mengalami langsung bagaimana para Ninja dan penambang di Dumoga turun ke Kota (Kotamobagu) dan pica kongsi (bagi hasil penjualan emas). Mereka memborong isi Toko dan menyuruh siapa saja yang lewat di depan mata mereka saat berbelanja untuk mengambil sesuka hati barang dagangan yang dijual. Mereka seolah menyatakan diri : "Inilah kami para ninja dari Dumoga. Silahkan pilih, kami yang bayar, kami punya banyak uang!!". 

Pernah suatu ketika di penghujung tahun 1994, mereka tiba di pusat kota dimana penulis dan beberapa teman yang masih mengenakan seragam putih abu-abu berada di emperan toko, bersebelahan dengan rumah makan. Saat para penambang ini masuk, terdengar oleh kami dari luar keras suara serak dari salah seorang diantara mereka : "Ator akang makanan harga 3 juta!".   

Amboy, hanya 6 orang dan mereka minta dihidangkan menu seharga 3 juta? Kurs dollar waktu itu Rp 1.500 per dollar. Sebuah kesombongankah, olok-olok, sifat royal, atau pernyataan diri bahwa; kami bukan pengangguran, bukan sampah masyarakat yang tak punya kupang!Jika selama ini kalian memandang kami sebelah mata, sekarang saatnya layani kami, semua menu yang ada di rumah makan ini angkat dan taruh di atas meja, kami bayar!

Nampak pelayan rumah makan sibuk tak tahu bagaimana harus menghidangkan menu yang dipatok 3 juta untuk 6 orang Ninja. Pemilik rumah makan dengan wajah tegang yang senang nampak sibuk dengan kalkulator di tangannya yang sebenarnya tak berguna sama-sekali sebab tengoklah, segala menu sudah dihidangkan; bir juga sudah dijejer di meja, tapi belum juga menyentuh angka 3 juta. Paling banter 500 ribu, itupun sudah max.

Salah seorang dari mereka keluar. Matanya merah liar, mulut beraroma alkohol memakai jaket jeans, ada bekas luka di lengannya dengan sepatu merek Finoti dan satunya Dr.Martin.

Saya dan teman-teman di emperan toko, diseret satu persatu masuk ke dalam rumah makan Minang. Tapi karena harga patokan harus genap Rp 3 juta, sekitar 20-an anak SMA di emperan Toko yang tentu sedang kelaparan, ikut di boyong ke dalam; "Maso kong kase abis tu apa da pesan!" kata salah seorang dari mereka.

Setelah perut kami membuncit, kami digampar rokok tiap orang dua bungkus, lalu dikasih beberapa lembar uang yang cukup membuat masing-masing dari kami bisa mentraktir teman-teman di kantin sekolah selama seminggu berturut-turut dan tak pusing lagi pagi-pagi minta uang jajan ke ortu. 

Bayangkan, jika mengikuti kurs dollar saat ini di kisaran 13.500 per dollar, maka 6 orang Ninja yang turun kota kala itu di restoran Minang, memesan menu makanan dan minuman seharga Rp 40.500.000. Empat puluh juta guys...!
 
Masih kuat pula dalam ingatan membayangkan adegan para Ninja menghambur-hamburkan uang di jalan, di depan kos-kosan, membagikan kepada orang-orang. Sebuah pemandangan tak ubahnya seperti film Robin Hood.


Dumoga Menuju Bolteng

Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Dumoga memberi simpulan catatan tersendiri bagi rakyatnya. Seperti merupakan suatu keharusan, pihak-pihak berkepentingan di Dumoga mulai menggelorakan isu pemekaran demi terselenggaranya upaya penataan dan pengelolaan Dumoga dengan lebih baik. Upaya yang sempat diwarnai gelombang demonstrasi oleh rakyat Dumoga bersatu di Kantor DPRD Bolmong beberapa waktu lalu, telah berhasil dengan dimekarkannya Kecamatan Dumoga menjadi 4 Kecamatan.  

Tak cukup dengan itu, pada tahun 2010 Dumoga kembali "bergolak". Seolah mengikuti jejak 5 saudara kembarnya (Bolmong, Boltim, Bolsel, Bolmut, Kota Kotamobagu). Negeri lumbung beras ini menuntut diadakanya pemekaran dalam rangka pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Tengah (Bolteng). Presidium Pemekaran terbentuk. Tim Verifikasi sudah turun. Apa selanjutnya?? Saya kebetulan waktu itu diundang Presidium Bolteng ke Dumoga, ke Doloduo, ngobrol di rumah makan, memesan makan minum, meski bukan seharga 40 juta, seperti yang pernah dilakukan para Ninja dahulu kala.

Sambil menunggu babak berikut, ada berderet harapan dan keinginan yang hendak kita buncahkan ke negeri Mokodoludut, negeri Manggopa Kilat, Salamatiti, Kueno Obayou, Inali Amali, negeri para Punu' dan Datu; semoga Dumoga senantiasa berdaulat di atas tanahnya. Negeri yang kini dihuni lintas suku dan agama, yang hingga kini ini masih tetap setia mempertahankan kedamaian dan ketenangan dalam konteks persaudaraan dan hidup berdampingan. Meskipun iklim sosial dan stabilitas di Dumoga bisa tiba-tiba cepat "panas" dan "meledak", percayalah bahwa pedang tidak berarti selalu ditebaskan meski memang tetap dibutuhkan.

Kita hilangkan imej yang tersemat di Dumoga sebagai negeri brutal, negeri para geng, koboi-koboi mabuk, dan tukang bakalae. Kita jauhkan dari imej negeri yang mengutamakan hukum rimba sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan perkara. Kita jaga imej lumbung beras nan damai tentram tetap terjaga sebagai jalan menuju Bolaang Mongondow Tengah (Bolteng) seperti yang di-idam-idamkan rakyat Dumoga saat ini. 

Dumoga adalah negeri para Bogani. Negeri para pemberani yang di negeri indah nan kaya inilah pertama kali berdiri kerajaan Bolaang Mongondow dibawa tampuk kepemimpinan Punu Mokodoludut. Tak perlu terus-terusan mejadikan Dumoga sebagai negeri ngeri tapi buatlah setiap orang untuk tahu diri. Dengan begitu orang banyak akan mengerti; mengapa para Bogani mengangkat Punu dan mendirikan kerajaan disini.