Rabu, 25 Februari 2015

Gadis Tanpa Celana Dalam

Foto : ilmail.files.wordpress.com

GADIS itu berangkat ke sekolah tanpa memakai celana dalam. Sebagai gantinya, ia mengenakan celana pendek untuk menutupi rasa ketidak-nyamanan. Seumur-umur, baru kali itu ia tidak mengenakan celana dalam. Apalagi untuk berangkat ke sekolah. Seandainya hari itu bukan ujian semester, pasti ia memilih tak ke sekolah tinimbang harus pergi namun tidak memakai celana dalam.

Tapi bagaimana ia harus beralasan. Apalagi ia tidak pintar berdusta dan enggan mengecewakan orang tua. Ayahnya juga begitu keras mendidik. Meski selalu kekurangan uang tiap kali diminta untuk kepentingan sekolah. Soal jajan, jangan di tanya. Setiap bangun pagi, sebagai anak yang tahu susah orang tua, ia harus membuat sarapan sendiri dan makan terlebih dahulu agar tak kelaparan selama di sekolah hingga lonceng pulang berdentang. Itupun jika ada sisa ubi atau nasi semalam.

Sudah lama sebenarnya ia hendak mengutarakan keinginannya agar dibelikan celana dalam baru. Apalagi ia anak gadis yang punya ritual bulanan. Tapi ia sadar kalau Ayahnya cuma buruh tani yang hanya dapat uang tiap musim tanam dan panen tiba. Itupun harus berkeluh kesah menawarkan jasa pada tuan tanah yang sebenarnya sudah punya orang kerja. Sedangkan Ibunya hanya mengharapkan kebaikan orang di kampung yang memberi order cucian meski di rumah pemberi order sudah ada pembantu dan mesin cuci.

Kakak perempuannya juga sudah tidak tinggal bersama di rumah mereka. Sudah menikah dan diboyong keluar kampung oleh suaminya yang bekerja serabutan di Ibukota Kabupaten. Kekurangan dan rasa kasihan terhadap kedua orang tuanya, membuat ia lebih banyak memendam keinginan. Mereka memang tergolong keluarga miskin. Jangankan untuk beli celana dalam, buat makan malam saja tak jarang mereka menambalnya dengan ubi di pekarangan.

Dengan kepemilikan celana dalam yang terbatas itu, ia juga harus berjuang ekstra ketat atas hasrat pengidap fetitisme di kampungnya. Bukan sekali dua ia pernah memergoki orang yang entah siapa, menggasak celana dalam miliknya dari tali jemuran, dibawa pulang untuk kesenangan sendiri. Makanya, setiap kali menjemur celana dalam, ia harus duduk menjaganya hingga kering kemudian dibawa masuk ke rumah; disetrika dan disusun rapi di lemari untuk kemudian dipakainya pagi hari saat hendak berangkat ke sekolah.

Ia juga punya kebiasaan mencuci celana dalamnya setiap kali pulang dari sekolah. Ia memang tinggal punya dua pasang celana dalam beberapa bulan belakangan. Mencucinya pun ia harus melakukannya diam-diam karena enggan Ibunya akan bertanya, dan kalau begitu Ayahnya pasti akan mendengar. Ia takut dimarahi ketika harus menjawab, celana dalamnya hilang lagi di tali jemuran.

Namun yang tak kalah repot adalah ketika ia datang bulan. Jika periode itu datang, ia menangis bukan semata karena perut mules atau bokongnya terasa seperti ditabrak motor bebek, tapi betapa ia kerepotan mengurus area segitiganya agar tetap higinis sementara celana dalamnya terbatas.

Tapi tak ada memang yang tahu kalau di rumah, ia sudah jarang memakai celana dalam. Ini demi kepentingan setiap kali berangkat ke sekolah. Karena memakai celana dalam yang bersih, membuat ia merasa nyaman dan konsentrasi belajar.

Selain mencuci celana dalam setiap pulang sekolah, ia lebih memilih mengerjakan PR sekolah ketimbang harus keluar rumah. Terkadang berleha-leha di kursi kayu ruang tamu yang pojoknya ditaruhi bantal dari kapas, sembari membaca mata pelajaran sekolah.

Namun bukan berarti belajar atau duduk berleha-leha di rumah tanpa memakai celana dalam (terlebih lagi cuma pakai daster), dianjurkan bagi anak gadis yang mulai hemok seperti dia. Siapa yang tahu ada mata lelaki hinggap disitu dan membuat segala sesuatu bisa terjadi.

Maka simaklah kisahnya yang terjadi sepulangnya ia dari sekolah siang itu.

Seperti biasa, setelah berganti pakaian, ia ke kamar mandi lalu mencuci celana dalamnya kemudian menjemurnya di pekarangan. Tentu ia berniat menjaganya sampai jemurannya kering, sebab pangalaman adalah guru terbaik.

Tapi terkadang orang memang luput. Usai menaruh celana dalam yang masih basah di tali jemuran, sontak ia masuk rumah hendak mengerjakan tugas bahasa indonesia yang disukainya. Saking gembirannya dengan tugas mengarang, ia lupa kalau harus menjaga celana dalamnya hingga kering, baru boleh mengerjakan tugas yang sebenarnya bisa dikerjakannya saat malam tiba.

Tak pelak ia yang mengenakan daster tipis, ketiduran di kursi kayu ruang tamu dengan bantal kapas di bawah kepalanya.

Saat itulah dua orang remaja laki-laki kampung lewat di pekarangan. Dua buah celana dalam yang teronggok di tali jemuran pada siang yang terik ketika itu, menarik perhatian mereka; yang satu berwarna merah jambu dan satunya lagi berwarna putih dengan motif lin berbentuk kupu-kupu di bagian atas. Kedua remaja yang lewat ini seperti ayam kena teluh. Mereka lalu pura-pura duduk di gundukan batu dekat pohon pisang. Cerita mesum mulai menjalar dari situ.

Sesekali, dalam bisik-bisik bermuatan fantasi yang mesum itu, mereka mencuri-curi pandang ke tali jemuran dimana celana dalam merah jambu dan putih menggantung dibawah sinar matahari siang bolong. Terkadang mereka cekikikan.

Tak lama berselang, salah seorang dari mereka memilih pergi meninggalkan tempat itu. Mungkin merasa ada kemesuman yang telah begitu menggumpal dipenuhi ragam fantasi sehingga bagian bawah pusarnya ikut tegang meradang, perlu saluran. 

Tapi temannya, anak si tuan tanah kampung itu nampaknya enggan beranjak. Apa yang menggumpal dari dalam jiwa raganya seolah memiliki kekuatan hingga membentuk rencana nekat.

Entah, setelah menimbang-nimbang yang entah apa pula itu, remaja laki-laki ini mantap melangkah ke arah rumah sang gadis. Pintu rumah itu memang tak dikunci karena ini siang bolong. Si gadis juga cuma sendiri di dalam rumah. Orang tuanya keluar mencari nafkah. 

Laki-laki yang sudah berada tepat di depan pintu, merasakan dadanya sesak berdegup. Ada hasrat berlendir naik ke ubun-ubun saat ia mendapati sang gadis berparas manis tertidur dengan daster tersingkap. Dan dibawah itu.... ohhh...tak ada penghalang sama sekali.

Gadis itu dibuat tak bisa meronta. Mulutnya disumpal handuk kecil dan sebilah golok tertodong di lehernya. Ia dipaksa menuruti kemauan si pembawa golok masuk kamar. Semua lantas berlangsung seperti api menjilat tisu putih.

Di luar, siang masih bolong sebolong pedih yang kini dirasakan sang gadis tanpa celana dalam.