Selasa, 03 Maret 2015

Diskusi Publik yang Teramputasi


Seumur-umur ikut forum diskusi publik diberbagai kesempatan, baru tadi malam saya mengalami kejadian tak biasa. Sebenarnya bukan apa- apa, tapi jalannya dialog yang dibagi dalam 4 sesi, justru diamputasi oleh
pihak penyelenggara.

Moderator bahkan tanpa perasaan bersalah, nekat mengklosing acara ketika 2 sesi dialog baru dirampungkan. Padahal sejatinya, dialog nanti akan ditutup setelah sesi ke 4 usai sebagaimana yang diagendakan penyelenggara dan ikut diberitahukan moderator di awal pembukaan diskusi.

Hasil dari pengamputasian sesi dialog tersebut, moderator yang merupakan bagian dari penyelenggara, menuai protes dari para peserta.

Memang tak sebegitu seriusnya. Hanya sebentuk kekecewaan standar meski tetap dilampiaskan dengan cara mengolok-olok sang moderator dalam nuansa dinamis berbalut senda gurau belaka. Namun demikian, protes
tetaplah protes bagaimanapun bentuknya.

Dialog publik dengan tema yang pada pokoknya menyangkut undang-undang pemekaran wilayah dan terkait isu pembentukan Propinsi Bolaang Mongondow Raya (PBMR), dimoderatori oleh Sehan Ambaru. Sedangkan yang duduk sebagai Keynote Speaker adalah Aditya Didi Moha (Anggota DPR RI), didampingi dua rekannya masing-masing Fahri Damopolii (KNPI Kotamobagu) dan Anhar Pasambuna (KNPI Bolmong)

Anggota DPRD Bolmong Musli Lauma (PDIP) dan Anggota DPRD Kotamobagu Herry Angky Coloay (Gerindra), ikut hadir sebagai peserta bersama sejumlah elemen pemuda, ormas, jurnalis, dan masyarakat.

Pembaca, kita saling TST (tahu sama tahu) kalau di forum-forum diskusi, posisi moderator memang vital karena memegang peranan penting jalannya memimpin diskusi. Segala sesuatu yang berjalan dalam forum
diskusi, benar-benar dikontrol langsung oleh moderator.

Maka dari itu, untuk menjadi seorang moderator, apalagi dalam forum diskusi publik, bukanlah perkara gampang se-gampang dedew-dedew mengenakan hot panty dan terpantau sedbng jogging di Jalur Dua Kotobangon.

Selain tidak mudah, menjadi moderator juga harus mampu menempatkan diri berada di posisi netral dan mampu mengatur jalannya diskusi dengan lebih terarah. Moderator juga harus bisa menghentikan seorang
peserta yang berbica keluar dari topik dan mampu menenangkan peserta yang kurang fokus, dan dapat melerai diskusi yang tidak sehat, sekaligus bisa membagi porsi bicara yang sesuai kepada masing-masing
peserta diskusi.

Jelas pekerjaan ini bukan mudah memang. Apalagi moderator diharapkan jeli dan peka menangkap situasi yang berkembang di forum, kemudian sedapat mungkin mengolahnya sehingga diskusi berjalan semakin seru dan hangat.

Selaku pemandu berjalannya acara sekaligus moderator dalam diskusi publik tadi malam, Sehan Ambaru awalnya tampil dengan performa gemilang cetar membahana. Saat itu, Sehan selaku moderator tak lupa
memberi penyampaian sebagai pengantar bahwa jalannya diskusi dibagi dalam 4 sesi dialog. Dalam setiap sesi, peserta diberi kesempatan bertanya atau menumpahkan segala apa yang menurutnya layak
ditumpahkan.

Diskusi lantas berlangsung dengan baik berdasarkan tata kelola sang moderator.

Akan tetapi, ketika sesi ke 2 usai, tak ada angin tak ada hujan (dan entah dapat ilham dari mana), tiba-tiba moderator memberi penyampaian kalau diskusi diklosing. Ini pun tanpa ada penjelasan yang bisa
diterima akal sehat; apa yang menjadi penyebab sehingga diskusi tiba-tiba dihentikan meski masih ada 2 sesi dialog yang tersisa? Bahkan ketika moderator terus-terusan didesak peserta termasuk oleh Kabag Humas Bolmong Jemmy Sako yang mengacungkan tangan sembari meminta agar diskusi dilanjutkan, tetap tak digubris moderator.

Mujur bagi salah seorang peserta, Rubianto Suid (mantan anggota KPU Bolmong), ia memaksa dan minta izin agar tetap diberi kesempatan berbicara bahkan langsung diberi microphone dari tangan keynote
speaker (ADM), kemudian memuntahkan kalimat yang sejak dari tadi hendak ia muntahkan.

Diskusi semakin memanas dengan muntahan-muntahan kalimat dari Obi yang menohok. Sesudah ia selesai bicara, sejumlah peserta lainnya saling berebutan minta diakomodir untuk dapat ikut bercicara, tetapi
moderator (yang bahkan mengaku diancam lewat SMS karena tak memberi kesempatan luas kepada peserta untuk memegang mic dan berbicara), tetap bersikukuh akan menutup diskusi. Alasan yang dikemukakan pun sepertinnya tiba saat tiba akal ketika Sehan (sang moderator) sontak menyampaikan bahwa diskusi terpaksa diakhiri karena, ADM selaku keynote speaker akan segera bertolak ke Bolmut. (Padahal tidak).

Jadi, kepada Bung Sehan yang awalnya tampil cemerlang tadi malam (meski tiba-tiba loyo dan bersikap agak aneh), saya selaku yang diundang (anggap mewakili yang lain) sebagai peserta diskusi, dan yang
telah diberi kesempatan berbicara di sesi pertama, hendak bertanya :

1. Kenapa diskusi yang dibagi 4 sesi tiba-tiba diklosing padahal masih ada 2 sesi yang belum dirampungkan?

2. Jika alasannya adalah waktu, maka, saya menengok jarum jam yang baru menunjukan pukul 23:55 WITA. Sedangkan diskusi baru dimulai sekira pukul 21:00 WITA. Selain itu jadwal dimulainya diskusi molor 2 jam karena masih menunggu nara sumber datang. Dan bukankah penyelenggara sudah menjadwalkan telebih dahulu waktu yang dibutuhkan hingga diskusi usai? Jika waktu yang disalahkan maka kesiapan
penyelenggara patut dipertanyakan.

3. Di sesi diskusi pertama Bung tampil begitu cemerlang dan mengesankan. Kenapa ketika sesi diskusi kedua yang baru saja rampung, Bung tiba-tiba loyo, nampak pasrah, tak bertenaga, dan tak lagi memimpin jalannya diskusi, meski para peserta cewek (tidak diberi kesempatan bicara) amat butuh microphone yang tak kunjung tiba? Apa Bung lelah? Perut mules? Atau lupa minum obat kuat?

4. Saya jadi curiga, adakah bisikan dari ke tiga keynote speaker agar acara segera diklosing saja?

Forum semacam diskusi publik yang digelar di Kopi Korot macam tadi malam memang amat tepat dilaksanakan. Mongondow memang jarang menggelar hajatan macam demikian. Tapi sebaiknya harus dikemas serius tanpa main-main, agar tidak terkesan diskusi itu hanya sekedar mengisi catatan pelaporan kegiatan agenda reses yang sedang dilangsungkan Bung ADM.

Saya pribadi tetap memberi standing aplause terhadap diskusi yang digelar tadi malam meski jujur ada secuil kecewa yang sempat lahir (anggap saya mewakili mereka yang mengerubungi Bung Sehan usai diskusi).

Terakhir sebagai penutup, kita akhirnya tahu sama tahu bahwa sampai detik ini, belum ada satupun pejabat publik di BMR yang mampu menumbangkan rekord Eyang dalam forum-forum diskusi yang pernah
berlangsung di Warung Kopi di Kotamobagu.

Pada jaman Pilpres lalu, berdiskusi dengan Eyang (Bupati Boltim) di Kopi Korot, baru bisa bubar pada pukul 03:25 WITA. Sedangkan pada forum diskusi publik yang berlangsung di Coffe Break (dengan tema
diskusi yang sama yakni terkait isu PBMR) diskusi baru ditutup oleh moderator tepal pukul 04:00 WITA. Padahal diskusi dimulai pada pukul 20:30 WITA.

Maka, siapa yang mampu mengalahkan rekord yang masih dipegang Eyang? Ini mungkin hanya mampu dilakukan jika moderator maupun keynote speaker tak sekedar minum kopi tapi perlu obat kuat.