Polemik itu penting.
Setidaknya begitu pandangan pribadi saya. Selain menambah pengetahuan, polemik juga bisa menjadi
khasanah hiburan dan permainan.
Sebagai sebuah hiburan dan permainan,
polemik sebenarnya menghadirkan pula rasa lelah akibat riah-riuh yang
lahir dari polemik itu sendiri.
Segala sesuatu bisa menjadi
polemik. Di Mongondow, kue sekelas binarundak pun bisa menjadi bahan
polemik. Jangankan itu, orang salah sebut istilah pun bisa menjadi
santapan untuk dipolemikkan. Jadi jangan heran, jika di Mongondow orang
bisa menemukan hal-hal sederhana menjadi bahan polemik atau
di-polemik-kan.
Tapi, polemik sebagai sebuah “hiburan” dan
“permainan”, setidaknya sedapat mungkin berasal dari bahan yang memiliki
bobot untuk di-polemik-kan. Sebab polemik yang bermutu, akan memberi
asupan pengetahuan bermutu bagi para penggila polemik.
Jika polemik adalah sebuah permainan bola kaki , maka
setidaknya pertandingan itu adalah pertandingan berkelas, seperti pertandingan bola kaki Liga Itali atau
Liga Champion. Sehingga usai menonton pertandingan, para polemik mania
bisa pulang dengan kepala dan hati yang padat berisi. Bukan kelelahan
dari penonton yang menundukkan kepala karena pening, mual-mual,
dan susah tidur.
Di Mongondow, saya melihat polemik yang mencuat
terkadang tidak bermutu untuk dijadikan bahan polemik. Namun, karena
(mungkin) hanya itu yang bisa dijadikan bahan polemik (anehnya penonton
pun suka) maka polemik sekelas binarundak pun bisa lahir. Jadi jangan
heran jika penontonnya adalah orang yang itu-itu saja, bolak-balik
disitu.
Polemik yang memiliki bobot alias bermutu, harus
melibatkan para polemik mania yang memahami duduk soal apa yang
di-polemik-kan. Ini sebagaimana yang dikatakan Wibisono Sastrowardoyo, seorang budayawan muda. Ia menulis,
sebaik-baiknya polemik adalah yang tetap menjaga kesantunan bahasa.
Penggunaan bahasa yang kasar membuat penonton tidak enjoy dan bahkan
dengan mudah mengubah penonton menjadi pemain. Kalau penonton sudah
menjadi pemain maka dijamin polemik akan menjadi chaos.
Sekarang,
bagaimana polemik itu hadir? Kita tidak sedang membicarakan polemik
lewat media Surat Kabar atau Koran. Sekarang kita berbicara polemik yang
lahir dari dunia internet sebab internet adalah media paling enteng,
cepat dan aman untuk mengakomodasi polemik.
Di Mongondow,
tumbangnya usaha Warnet, masih bisa digantikan ketersediaan jaringan WiFi yang dijadikan sebagai fasilitas pelengkap para pemilik Rumah Kopi. Orang bisa dengan mudah menciptakan polemik
dari situ sambil duduk minum kopi berjam-jam. Para polemik mania-pun
bisa lama berleha-leha disitu sembari menikmati polemik dari smartphone atau gadget yang
dimiliki.
Lalu siapa punggawa di Mongondow yang paling produktif
melahirkan polemik? Ya, dialah Katamsi Ginano lewat blog pribadinya,
Kronik Mongondow. Hampir setiap apa yang di posting Katamsi disitu, senantiasa menjadi bahan polemik yang terhidang kemudian ditarik penonton tembus ke meja jejaring sosial, menjadi menu santap para polemik mania di facebook.
Namun tak hanya sederet artikel Katamsi Ginano
dalam blog pribadinya yang melahirkan polemik. Berita maupun artikel di
Surat Kabar terbitan Sulut maupun Bolmong, sering pula dijadikan bahan
polemik oleh Katamsi Ginano yang diracik sedemikian pedas bahkan brutal dan tanpa ampun. Tak heranlah orang Mongondow percaya; punggawa polemik di Mongondow saat ini adalah Katamsi Ginano. Ada yang
mau membantah??
Jika melihat bahan yang menjadi tulisan Katamsi
Ginano hingga berujung menjadi polemik, sebenarnya berasal dari hal
sederhana dan biasa-biasa saja. Jika ditelisik lebih dalam (ini
pendapat pribadi), kita bisa memastikan bahwa (kecuali tulisan soal
Dumoga) hampir tak ada gagasan baru dan hal-hal padat berisi dalam
polemik yang hadir dari tulisan itu. Bahannya memang biasa-biasa saja.
Namun bukan berarti tulisan Katamsi
Ginano tidak menarik untuk dibaca. Justru disitulah kita menemukan daya
pikat sekaligus kekuatan Katamsi Ginano dalam meramu dan memainkan bahan
sederhana menjadi sesuatu yang Waw.
Di ujung jari Katamsi, koran bekas yang
jadi pembungkus kacang, sekantong plastik bekas pembungkus Onde-onde
yang sudah dilempar orang ke tong sampah, atau selembar layang-layang yang
terselip di tiang listrik dan luput dari perhatian anak-anak, bisa
menjadi Waw ketika diramu Katamsi Ginano menjadi tulisan yang enak
di baca lalu menjadi polemik. Maka tak usah heran pula kita ketika beberapa waktu lalu, ujian kesarjanaan seorang
politisi muda di Mongondow yang di tulis Katamsi Ginano (entah lewat sumber mana) pernah menjadi
bahan polemik "panas" hingga seorang Lendi Mokodompit pun sempat menjadi
“penulis” lewat artikel yang dimuat Harian Komentar dan Radar Totabuan kemudian dimamah-biak para
polemik mania seantero Mongondow.
Polemik terbaru di Mongondow saat ini adalah soal demonstrasi HMI Bolmong Raya beberapa waktu lalu. Tulisan Katamsi Ginano dalam Blog pribadinya
terkait aksi tersebut, seperti sebuah pemantik yang jatuh di tumpukan ilalang
kering. HMI meradang, terbakar, lalu bersusulanlah tulisan jujut-menjujut sebagai bentuk balasan hingga
menjadi polemik terkini. Tapi sayang seribu sayang, irama polemik yang
lahir dari dua kubu yang saling berpolemik, cukup melelahkan untuk sekedar diikuti.
Bagi saya pribadi, tulisan biasanya lahir menjadi polemik ketika mengandung nilai yang dibelokkan atau bermakna
kontroversi lalu ada tanggap-menanggapi. Tulisan sekelas picisan-pun
bisa lahir menjadi polemik ketika didalamnya melahirkan kontroversi kemudian
ada tanggapan dari para pelaku polemik. Namun, tulisan sehebat apapun
dan se-kontroversi apapun itu, tak bakal melahirkan polemik ketika tak
ada tanggap-menanggapi. Jadi kita sudah tahu, kenapa sebuah tulisan
bisa lahir menjadi polemik baik di media massa (surat kabar) maupun internet.
Untuk
kasus HMI Bolmong Raya, ketika orang tahu dan menganggap apa yang di
tulis Katamsi Ginano dalam Blog pribadinya terkait demonstrasi HMI adalah
(taruhlah) omong kosong belaka, maka kenapa harus ditanggapi? Menanggapi
tulisan berisi omong-kosong, terlebih dengan tensi yang meledak-ledak
lengkap dengan caci-maki bahkan hunusan pisau dan gertakan
penggal-memenggal kepala sekalipun, seperti sebuah bentuk pembantahan
yang mengatakan bahwa apa yang ditulis sebenarnya bukan omong-kosong
belaka.
Polemik yang memuat bahasa barbar, seperti yang disampaikan
Wibisono Sastrowardoyo, cenderung membuat penyimak polemik ikut menyeret diri mereka “masuk” menjadi “pemain” ke
dalam bahan polemik hingga bisa berujung chaos. Sangat disayangkan jika
polemik yang lahir bukan mengasah intelektualitas para pelaku dan penikmat polemik menjadi tajam dan berlapang dada, tapi malah menumpulkan bahkan terburuk
lagi menyesatkan dan yang paling kekanak-kanakan adalah ketika polemik memungkinkan terciptanya ring tinju.
Jadi, sekedar sebagai selembar kulit jagung
kering terhalus ketika kertas untuk melinting tembakau tak ada lagi,
saya ingin menyampaikan; tak perlu tanggapi jika tulisan yang di
unggah atau dimuat dimana saja itu, adalah pepesan kosong belaka. Atau
bersiaplah untuk mual-mual, pening, susah tidur, mungkin berujung ke
kantor polisi akibat chaos, pun silahkan pula merugi waktu kemudian lelah tak
dapat apa-apa ketika menjadi pemain, penonton atau penikmat
polemik-polemik omong kosong se-kosong tulisan ini.