Senin, 02 Desember 2013

Punggawa Polemik dan Tulisan Kosong Ini

Polemik itu penting. Setidaknya begitu pandangan pribadi saya. Selain menambah pengetahuan, polemik juga bisa menjadi khasanah hiburan dan permainan.

Sebagai sebuah hiburan dan permainan, polemik sebenarnya menghadirkan pula rasa lelah akibat  riah-riuh yang lahir dari polemik itu sendiri.

Segala sesuatu bisa menjadi polemik. Di Mongondow, kue sekelas binarundak pun bisa menjadi bahan polemik.  Jangankan itu, orang salah sebut istilah pun bisa menjadi santapan untuk dipolemikkan.  Jadi jangan heran, jika di Mongondow orang bisa menemukan hal-hal sederhana menjadi bahan polemik atau di-polemik-kan.

Tapi, polemik sebagai sebuah “hiburan” dan “permainan”, setidaknya sedapat mungkin berasal dari bahan yang memiliki bobot untuk di-polemik-kan. Sebab polemik yang bermutu, akan memberi asupan pengetahuan bermutu bagi para penggila polemik. 

Jika polemik  adalah sebuah permainan bola kaki , maka setidaknya pertandingan itu adalah pertandingan berkelas, seperti pertandingan bola kaki Liga Itali atau Liga Champion. Sehingga usai menonton pertandingan, para polemik mania bisa pulang dengan kepala dan hati yang padat berisi. Bukan kelelahan dari penonton yang menundukkan kepala karena pening, mual-mual, dan susah tidur.

Di Mongondow, saya melihat polemik yang mencuat terkadang tidak bermutu untuk dijadikan bahan polemik.  Namun, karena (mungkin) hanya itu yang bisa dijadikan bahan polemik (anehnya penonton pun suka) maka polemik sekelas binarundak pun bisa lahir. Jadi  jangan heran jika penontonnya adalah orang yang itu-itu saja, bolak-balik disitu. 

Polemik yang memiliki bobot alias bermutu, harus melibatkan para polemik mania  yang memahami duduk soal apa yang di-polemik-kan.  Ini sebagaimana yang dikatakan Wibisono Sastrowardoyo, seorang budayawan muda. Ia menulis, sebaik-baiknya polemik adalah yang tetap menjaga kesantunan bahasa. Penggunaan bahasa yang kasar membuat penonton tidak enjoy dan bahkan dengan mudah mengubah penonton menjadi pemain. Kalau penonton sudah menjadi pemain maka dijamin polemik akan menjadi chaos.

Sekarang, bagaimana polemik itu hadir? Kita tidak sedang membicarakan polemik lewat media Surat Kabar atau Koran. Sekarang kita berbicara polemik yang lahir dari dunia internet sebab internet adalah media paling enteng, cepat dan aman untuk mengakomodasi polemik.

Di Mongondow, tumbangnya usaha Warnet, masih bisa digantikan ketersediaan jaringan WiFi yang dijadikan sebagai fasilitas pelengkap para pemilik Rumah Kopi.  Orang bisa dengan mudah menciptakan polemik dari situ sambil duduk minum kopi berjam-jam. Para polemik mania-pun bisa lama berleha-leha disitu sembari menikmati polemik dari smartphone atau gadget yang dimiliki.

Lalu siapa punggawa di Mongondow yang paling produktif melahirkan polemik? Ya, dialah Katamsi Ginano lewat blog pribadinya, Kronik Mongondow.  Hampir setiap apa yang di posting Katamsi disitu, senantiasa menjadi bahan polemik yang terhidang kemudian ditarik penonton tembus ke meja jejaring sosial, menjadi menu santap para polemik mania di facebook

Namun tak hanya sederet artikel Katamsi Ginano dalam blog pribadinya yang melahirkan polemik. Berita maupun artikel di Surat Kabar terbitan Sulut maupun Bolmong, sering pula dijadikan bahan polemik oleh Katamsi Ginano yang diracik sedemikian pedas bahkan brutal dan tanpa ampun. Tak heranlah orang Mongondow percaya; punggawa polemik di Mongondow saat ini adalah Katamsi Ginano.  Ada yang mau membantah??

Jika melihat bahan yang menjadi tulisan Katamsi Ginano hingga berujung menjadi polemik, sebenarnya berasal dari hal sederhana dan biasa-biasa saja.  Jika ditelisik lebih dalam (ini pendapat pribadi), kita bisa memastikan bahwa (kecuali tulisan soal Dumoga) hampir tak ada gagasan baru dan hal-hal padat berisi dalam polemik yang hadir dari tulisan itu. Bahannya memang biasa-biasa saja.

Namun bukan berarti tulisan Katamsi Ginano tidak menarik untuk dibaca. Justru disitulah kita menemukan daya pikat sekaligus kekuatan Katamsi Ginano dalam meramu dan memainkan bahan sederhana menjadi sesuatu yang Waw.

Di ujung jari Katamsi, koran bekas yang jadi pembungkus kacang, sekantong plastik bekas pembungkus Onde-onde yang sudah dilempar orang ke tong sampah, atau selembar layang-layang yang terselip di tiang listrik dan luput dari perhatian anak-anak, bisa menjadi Waw ketika diramu Katamsi Ginano menjadi tulisan yang enak di baca lalu menjadi polemik. Maka tak usah heran pula kita ketika beberapa waktu lalu, ujian kesarjanaan seorang politisi muda di Mongondow yang di tulis Katamsi Ginano (entah lewat sumber mana) pernah menjadi bahan polemik "panas" hingga seorang Lendi Mokodompit pun sempat menjadi  “penulis” lewat artikel yang dimuat Harian Komentar dan Radar Totabuan kemudian dimamah-biak para polemik mania seantero Mongondow.

Polemik terbaru di Mongondow saat ini adalah soal demonstrasi HMI Bolmong Raya beberapa waktu lalu. Tulisan Katamsi Ginano dalam Blog pribadinya terkait aksi tersebut, seperti sebuah pemantik yang jatuh di tumpukan ilalang kering.  HMI  meradang, terbakar, lalu bersusulanlah  tulisan jujut-menjujut sebagai bentuk balasan hingga  menjadi polemik terkini. Tapi sayang seribu sayang, irama polemik yang lahir dari dua kubu yang saling berpolemik, cukup melelahkan untuk sekedar diikuti.

Bagi saya pribadi, tulisan biasanya lahir  menjadi polemik ketika mengandung nilai yang dibelokkan atau bermakna kontroversi lalu ada tanggap-menanggapi. Tulisan sekelas picisan-pun bisa lahir menjadi polemik ketika didalamnya melahirkan kontroversi kemudian ada tanggapan dari para pelaku polemik. Namun, tulisan sehebat apapun dan se-kontroversi apapun itu, tak bakal melahirkan polemik ketika tak ada tanggap-menanggapi.  Jadi kita sudah tahu, kenapa sebuah tulisan bisa lahir menjadi polemik baik di media massa (surat kabar) maupun internet.

Untuk kasus HMI Bolmong Raya, ketika orang tahu dan menganggap apa yang di tulis Katamsi Ginano dalam Blog pribadinya terkait demonstrasi  HMI adalah (taruhlah) omong kosong belaka, maka kenapa harus ditanggapi? Menanggapi tulisan berisi omong-kosong, terlebih dengan tensi yang meledak-ledak lengkap dengan caci-maki bahkan hunusan pisau dan gertakan penggal-memenggal kepala sekalipun, seperti sebuah bentuk pembantahan yang mengatakan bahwa apa yang ditulis sebenarnya bukan omong-kosong belaka. 

Polemik yang memuat bahasa barbar, seperti yang disampaikan Wibisono Sastrowardoyo, cenderung membuat penyimak polemik ikut menyeret diri mereka  “masuk” menjadi “pemain”  ke dalam bahan polemik hingga bisa berujung chaos.  Sangat disayangkan jika polemik yang lahir bukan mengasah intelektualitas para pelaku dan  penikmat polemik menjadi tajam dan berlapang dada, tapi malah menumpulkan bahkan terburuk lagi menyesatkan dan yang paling kekanak-kanakan adalah ketika polemik memungkinkan terciptanya ring tinju.

Jadi, sekedar sebagai selembar kulit jagung kering terhalus ketika kertas untuk melinting tembakau tak ada lagi, saya ingin menyampaikan;  tak perlu tanggapi jika tulisan yang  di unggah atau dimuat dimana saja itu, adalah pepesan kosong belaka.  Atau bersiaplah untuk mual-mual, pening, susah tidur, mungkin berujung ke kantor polisi akibat chaos, pun silahkan pula merugi waktu kemudian lelah tak dapat apa-apa ketika menjadi pemain, penonton atau penikmat polemik-polemik omong kosong se-kosong tulisan ini.