Kamis, 25 Oktober 2012

Ekspansi Kebun Sawit di Bolmong : Anugerah atau Petaka


Pembabatan hutan untuk kebun sawit_foto Greenpeace

Konflik yang terjadi terkait perkebunan kelapa sawit antara masyarakat dan pihak perusahaan, ramai menghiasi layar kaca kita. Pun di media nasional (cetak dan online) berserakan berita terkait konflik yang berujung tragedi berdarah di berbagai tempat dimana perusahaan kebun sawit beroperasi.

Laporan pada laman resmi milik Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat menyebutkan, ekspansi perkebunan kelapa sawit telah memicu timbulnya 280 konflik antara investor dengan masyarakat selama tahun 2008 hingga 2011.

Potensi konflik bahkan diprediksikan masih tetap ada sebagaimana yang dikatakan Sujarni Alloy selaku Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar. Dalam laman itu Alloy mengatakan, konflik masih berpotensi terjadi  karena masih banyak perusahaan kelapa sawit menggunakan sistem kerja sama dan bagi hasil yang merugikan masyarakat. Sementara itu laporan yang dikeluarkan pihak Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) setempat menyebutkan bahwa konflik terjadi di hampir seluruh Kabupaten yang ada di Kalbar. Konflik tersebut terjadi di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang; Tempunak, Kedai, dan Tayan Hulu di Kabupaten Sintang; Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Ketapang; Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau; Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu.

Sejarah Singkat Kelapa Sawit

Kelapa sawit dibawa untuk pertama kalinya oleh pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia tahun 1848. Mula-mula ditanam di Kebun Raya Bogor dan sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an.

Meningkatnya permintaan minyak nabati akibat pecahnya Revolusi Industri pertengahan abad ke-19, memupuk gairah pemerintah kolonial untuk membuat perkebunan kelapa sawit skala besar-besaran. Maka munculah ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, yang di kenal dengan jenis sawit "Deli Dura".

Kelapa sawit mulai dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911 yang dirintis oleh Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt.

Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.(Wikipedia, 2008)

Pendek kata, tahun ini adalah tahun yang ke 101 dimana kelapa sawit melakukan ekspansi hingga merambah sampai ke tanah Bolmong.

Kebun Sawit dan Konflik Berdarah di Tanah Air

Ekspansi kebun sawit bukan tidak menimbulkan masalah sama sekali. Sejak awal, selain melalui sistem perbudakan, tak urung menciptakan kerusakan lingkungan dan konflik agraria. Tak sedikit konflik berujung tragedi berdarah yang memakan korban nyawa.

Kita tentu masih ingat peristiwa sebagaimana yang ditayangkan televisi swasta (meski di sensor) pada  2011 kemarin. Kemajuan teknologi informasi membuat kita bisa melihat video pembunuhan yang memperlihatkan pemenggalan kepala terjadi di Desa Sungai Sodong, Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Konflik yang pecah tersebut gara-gara sawit. Antara masyarakat dan pihak perusahaan yakni PT Sumber Wangi Alam (SWA). Tujuh orang tewas terpenggal dalam peristiwa itu.

Lalu di Riau, kita mengetahui berita kematian Ibu Yusniar selaku masyarakat petani yang bermitra dengan PT. Tribakti Sari Mas. Ia harus mati tertembak peluru polisi karena berjuang teguh memperoleh keadilan dari PT TBS karena dalam kemitraan merasa sangat dirugikan.

Demikian pula pengusiran paksa yang dilakukan pihak PT. MAI (Mazuma Agro Indo) dan PT. Torganda di Kabupaten Rokan Hulu terhadap masyarakat adat setempat yang akhirnya terusir dari ladangnya sendiri. Tak hanya di-usir pihak perusahaan dari tanah ladangnya, rumah warga juga di bakar pada tahun 2010 lalu. (database kasus SPKS Riau). Forum Nasional SPKS bahkan mencatat, pada tahun 2010 ada 129 petani kelapa sawit di-kriminalisasi hingga meringkuk di penjara.

Di Kalimantan Barat, berdasarkan data Walhi setempat mencatat, sedikitnya telah terjadi 28 konflik agraria antara masyarakat dan investor kelapa sawit di Kalsel dalam kurun waktu 2008-2011.  Disebutkan, tanah adat yang kini dikuasai pihak investor tersebar di sepanjang kaki Pegunungan Meratus di wilayah Kabupaten Tabalong, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Banjar, Tanah Bumbu, dan Kotabaru.

Oleh Komnas HAM Perwakilan Kalimantan barat, konflik perkebunan sawit disebut sudah sangat mengkuatirkan. Tak heran perkebunan sawit malah ditetapkan sebagai potensi terbesar pelanggaran Hak Azasi Manusia.

Konflik terbesar adalah sengketa tanah berupa penolakan masyarakat terhadap perusahaan, perampasan lahan dan tanah masyarakat, penggusuran tanaman milik warga tanpa ganti rugi, penggusuran masyarakat adat dan tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat  keramat dan situs budaya, penggusuran sumber air, dan pola kemitraan yang tidak jelas dan lainnya.

Di Kalimantan Timur, tak hanya masyarakat adat yang tergusur dan berkonflik dengan perusahaan kebun sawit. Populasi Orang Utan berdasarkan laporan dari Pusat Peneliti Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Kaltim (vivanews.com) terancam karena tempat hidupnya menjadi sempit dan tercaplok perkebunan sawit.

Sementara itu sebagaimana yang dilaporkan Media Indonesia terkait konflik berkepanjangan antara masyarakat dan perusahaan kebun sawit, Pemerintah Kabupaten Musirawas, Sumatra Selatan, menghentikan operasional perkebunan sawit PT Bina Saint Cemerlang di Desa Sungai Pinang, Kecamatan Muara Lakitan, untuk sementara waktu sambil menunggu permasalahan pihak-pihak yang bertikai terselesaikan.

Perusahaan Kebun Sawit Masuk Mongondow

Berita di-liriknya Boloaang Mongondow (Bolmong) oleh investor perkebunan kelapa sawit sudah mulai terdengar sejak pemerintahan Bupati Marlina Moha Siahaan. Kala itu Bupati MMS pernah diwawancarai wartawan merdeka.com saat berada di Jakarta pada Sabtu 23 Juni 2007. Sebagaimana yang pernah ditulis pada laman populer tersebut, dimana Bupati MMS mengatakan; “kita mengundang investor untuk mengembangkan perkebunan sawit dengan menyiapkan lahan 200.000 hektar di beberapa wilayah,". http://www.merdeka.com/ekonomi-nasional/bolmong-siapkan-200-ribu-ha-lahan-untuk-kelapa-sawit-k8hyzme.html

Saat ini,  pada 18 September 2012 lalu, Bupati Bolmong Salihi Mokodongan membuka sosialisasi dan presentasi AMDAL penanaman kelapa sawit oleh Izzisen Group melalui PT Inobonto Indah Perkasa.

Pada pokoknya Bupati Salihi mengharapkan kepada pihak investor agar memperhatikan kepentingan masyarakat dan harus berkoordinasi dengan SKPD terkait dan diharapkan  dalam setiap kegiatannya nanti harus sepengetahuan aparat pemerintah secara berjenjang.

***

Berkaca pada pengalaman dan tragedi diatas, terkait perkebunan sawit yang terjadi di tanah air, sekarang kita bertanya: Pertama: Pak Bupati tahukah Bapak berapa luas lahan yang sebenarnya diperlukan perusahaan kebun sawit terkait investasi ini? Kedua: rata-rata perusahaan sawit di tanah air bermasalah, berkonflik, dan bersengketa dengan rakyat, bahkan darah dan nyawa menjadi taruhan. Ketiga: contoh kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perkebunan sawit di tanah air  tak hanya bisa dilihat di media cetak nasional, tapi di internet berserakan contoh kasusnya. Keempat : berhati-hatilah terhadap perusahaan kebun sawit.

Bukan anti pembangunan, bukan anti investasi, tapi betapa banyak contoh iming-iming menaikan taraf hidup rakyat dan mimpi kesejahteraan, namun yang terjadi justru malapetaka dan bencana.

Semoga masuknya kebun sawit di Bolmong tak membawa petaka baru di tanah leluhur tercinta ini.


Kamis, 04 Oktober 2012

Setangkai Bunga Hitam Untuk Anggota DPRD Fraksi Partai Golkar


Prihatin rasanya membaca pernyataan Anggota DPRD Bolmong dari Fraksi Partai Golkar di sejumlah media massa dalam merespon Aksi Damai yang digelar para Kepala Desa (Sangadi) dari Bolmong di Pengadilan Tipikor Manado, Selasa 02 Oktober 2012, terkait kasus korupsi dana Tunjangan Pendapatan Aparatur Desa (TPAPD) Bolmong yang tengah berproses. 

Aksi yang dilakukan aparatur pemerintah desa itu pada pokoknya meminta pihak Pengadilan Tipikor supaya jangan terperdaya dengan sikap manis dan santun yang ditunjukan para terdakwa, sekalian meminta pula supaya Majelis Hakim yang diketuai Armindo Pardede SH MAP, memutus perkara kasus korupsi TPAPD tersebut dengan se-adil-adilnya sesuai dengan kadar kesalahan yang telah dilakukan para terdakwa.

Penegasan juga disampaikan dalam aksi tersebut agar Majelis Hakim tidak memvonis bebas para terdakwa yang nyata-nyata bersalah. Dalam orasinya mereka juga meminta para penegak hukum agar segera mengadili mantan Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan yang dianggap pendemo sebagai biang kerok penggerusan dana TPAPD.

Terkait hal itu, Fraksi Partai Golkar di DPRD Bolmong cepat meradang. Mula-mula respon datang dari Sarjan Bonde, personil F-PG. Sarjan yang sudah mengetahui akan ada Aksi yang akan dilakukan para Sangadi, berkoar di media yang pada pokoknya mewanti-wanti para Sangadi agar tidak mengurusi apalagi mengintervensi jalanya kasus TPAPD Bolmong yang sedang berproses. (baca Harian Komentar 30 September 2012)

Namun toh, “ancaman” yang dilontarkan Sarjan, tak digubris para Sangadi yang pada Selasa 02 September 2012 tetap menggelar aksi unjuk rasa di Pengadilan Tipikor Manado.

Selanjutnya hari ini (Kamis 04 September 2012) Anggota DPRD yang tergabung dalam  Fraksi-Partai Golkar (F-PG) di DPRD Bolmong kembali meradang. Tak main-main, mereka malah berani menuding Kapolres Bolmong AKBP Enggar Brotoseno SIK sebagai aktor yang memobilisasi demo para Sangadi di Pengadilan Tipikor pada Selasa 02 Oktober 2012 lalu. 

Mereka juga mengatakan bahwa tudingan terhadap Kapolres Enggar konon bukan tanpa alasan. Disebutkan Sarjan Bonde di Harian Komentar yang terbit hari ini bahwa mereka mendapatkan bocoran dari salah seorang Sangadi sendiri. Hal mana turut diaminkan rekan Sarjan sesama Anggota DPRD di F-PG yakni I Ketut Sukadi. Sedangkan rekan lain yang ikut meradang adalah Hj Fera Pandelaki dan Roy Wajong. Mereka mengatakan demo para Sangadi tersebut tidak harus mengatas-namakan seluruh Sangadi di Bolmong sebab para Sangadi di Kecamatan Sangtombolang tak ada yang ikut hadir di demo. Sedangkan rekan mereka lain yakni Febri Walalangi ikut menambahkan agar para Sangadi fokus saja dalam pelayanan masyarakat dan tak usah mencampuri proses hukum yang tengah berjalan. Pun Sarjan Bonde kembali menambahkan agar Kapolda Sulut segera mencopot jabatan Enggar selaku Kapolres Bolmong karena telah menimbulkan keresahan dan mengancam stabilitas di Bolmong karena ulah Enggar yang dituduh menjadi dalang dibalik aksi unjuk rasa damai para Sangadi.

Terkait tudingan yang dialamatkan padanya, Kapolres Bolmong AKBP Enggar Brotoseno SIK telah memberikan klarifikasi di media. Ia menyampaikan kalau apa yang dituduhkan padanya adalah hal yang mengada-ada alias ngawur dan tanpa bukti yang jelas. Enggar juga menjelaskan, para Sangadi mulanya datang melapor ke Polres Bolmong dimana mereka memberitahukan rencana untuk menggelar demonstrasi di Manado. Maka, adalah kewajiban pihak Kepolisian, kata Enggar, untuk menjelaskan aturan main-nya termasuk mendampingi agar demonstarsi berjalan tertib.

Selain itu, lanjut Enggar, ia segera mengontak aparat setempat turut mendampingi jalanya demonstrasi agar koordinasi terkait hal-hal yang tak di-inginkan cepat dicegah. Maka dari itu Enggar segera menghubungi Kasat Intel jika ada kelowongan supaya bisa mendampingi jalanya demonstrasi agar tertib.

Pembaca, tuduhan para Anggota DPRD Bolmong yang tergabung dalam Fraksi Partai Golkar (F-PG) terhadap Kapolres Bolmong sebagai dalang dibalik demo para Sangadi  bukanlah hal yang main-main. Mereka seperti membuka peluang baru bagi diri mereka sendiri untuk terjerat hukum. Beruntung Kapolres Enggar tidak mudah terpancing dengan tudingan tersebut hingga bisa berbaik hati dengan tidak balik menyerang balik. Toh adalah hal mudah bagi Enggar mengirim surat penggilan kepada para pihak yang menuding dirinya selaku dalang demo Sangadi lalu para pihak yang menuding tersebut di tempeleng satu-satu atau diseret ke ruang penyidik untuk dimintai keterangan.

Lalu tidakkah kita selaku rakyat Bolmong terbesit tanya: kenapa para Anggota DPRD yang tergabung dalam Fraksi Partai Golkar cepat meradang tatkala para Sangadi menggelar demonstarsi di halaman Pengadilan Tipikor Manado??

Pada Kamis 27 September 2012, Gedung DPRD Bolmong di demo para Sangadi. Mereka datang mempertanyakan soal dana TPAPD Triwulan III Tahun 2011 yang harusnya sudah dibayarkan. Para Sangadi juga meminta,terutama kepada Badan Anggaran (Banggar) di DPRD Bolmong, untuk mengambil langkah bijak agar dana sebesar Rp 4,8 Miliar yang merupakan hak mereka segera dibayarkan, mengingat saat ini sudah tahun 2012 sedangkan dana sebesar Rp 4,8 Miliar untuk pembayaran TPAPD Triwulan III tak kunjung juga dibayarkan kepada mereka padahal anggaran tersebut ada.

Sampai disini, saya mau bertanya kepada para personil FPG di DPRD Bolmong; apa jawaban dan langkah yang harus Bapak-Ibu yang terhormat lakukan terkait aspirasi yang disampaikan para Sangadi tersebut? Mengingat dana TPAPD Triwulan III Tahun 2011 yang seharusnya sudah dibayarkan sejak September 2011 silam itu, entah bermuara ke kantong siapa. Apa tindakan Bapak-Ibu? Menganggarkanya kembali? Lalu di ganti dengan dana dari mana?  Seandainya menganggarkanya kembali, lantas dana sebesar Rp 4,8 Miliar yang telah dianggarkan pada APBD kemarin itu kemana??

Nah, tidak adanya jawaban dan langkah-langkah pasti dari pihak DPRD terkait tuntutan para Sangadi tersebut, kenapa tiba-tiba meradang tatkala mereka menggelar demo di Pengadilan Tipikor terkiat dana TPAPD yang merupakan hak mereka? Kenapa serangkaian demonstrasi para Sangadi itu tidak dipahami sebagai wujud akumulasi kekesalan terkait dana TPAPD yang raib seperti diterjang angin musim rontok!

Alih-alih meradang tatkala para Sangadi turun demo, bukanya berpihak kepada mereka para Sangadi yang hak-nya dipangkas, di-kebiri!! 

Selaku anak dan rakyat Mongondow, kepada Anggota DPRD Bolmong Fraksi Partai Golkar,  saya ingin menyanyi untuk kalian : kupersembahkan setangkai bunga hitam, lambang nurani terkelam, yang tak pernah mampu mewarnai hidupmu, kenangan terindah untukmu..(Bunga Hitam) 


Selasa, 02 Oktober 2012

Batiknisasi: Hegemoni Jawa Untuk Indonesia

Oleh pemerintah, Batik dianggap sebagai salah satu warisan budaya nasional yang ikut diakui dunia lewat UNESCO selain Keris dan Wayang. Lahir di Indonesia, yakni di Jawa, sejak jaman Majapahit.  

Keberadaan Batik sebagai budaya bangsa dianggap penting untuk dipertahankan kelestarianya. Tak heran jika pemerintah melalui  Keputusan Presiden No 33 Tahun 2009 tentang Hari Batik Nasional, menetapkan setiap tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional.  Hari ini adalah peringatan yang ketiga kalinya.

Penetapan Hari Batik Nasional oleh Presiden SBY mendapat dukungan berbagai pihak termasuk institusi baik negara/pemerintah maupun swasta yang bahkan mengistruksikan kepada para pegawainya untuk mengenakan pakaian batik tiap tanggal 2 Oktober.

Hal ini juga diperkuat dengan adanya surat dari Sekretaris Kementerian BUMN No.  S397/S.MBU/2012 tanggal 1 Oktober 2012 tentang Pemakaian Baju Batik Dalam Rangka Hari Batik Nasional yang menginstruksikan segenap jajaran BUMN di seluruh Indonesia untuk mengenakan pakaian batik,pada tanggal 2 Oktober,  atau hari ini. Tak heran jika dari Sabang sampai Merauke setiap hari Jumat atau setiap tanggal 2 Oktober, batik dikenakan tak hanya di sekolah-sekolah negeri melainkan pula di kantor-kantor pemerintah dan swasta.

Bangsa Yang Hebat Adalah Bangsa Yang Menghargai Budayanya

Sering kita mendengar kalimat yang mengatakan, bangsa yang hebat adalah bangsa yang bangga dan menghargai akan budayanya.

Bangsa kita Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya, baik dari segi makanan, tari-tarian, adat-istiadat, karya seni maupun pakaian. Terdiri dari susunan masyarakat yang sangat beragam; suku, bangsa, bahasa, adat istiadat, dan kesenian.

Tak ada salahnya memang menghargai budaya bangsa. Melestarikanya memiliki nilai positif agar kita tidak lupa akan identitas diri kita sebagai sebuah bangsa.

Namun  yang berbahaya dan perlu di kritisi adalah adanya upaya hegemoni budaya suatu daerah tertentu (dalam bingkai kebangsaan/NKRI) lewat konsep penyeragaman. Yang menganggap suatu unsur budaya daerah tertentu lebih menonjol dan dianggap mewakili INDONESIA baik sebagai suatu bangsa maupun Negara (NKRI).

Konsep penyeragaman itu adalah apa yang dilakukan pemerintah (Jawa) lewat Batik. Lengkap dengan keputusan yang menetapkan hari ini sebagai Hari Batik Nasional. Kita istilahkan saja Batiknisasi Jawa untuk masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke (Papua).

Di situs resmi Sekretariat Kabinet www.setkab.go.id dituliskan : Peringatan hari Batik Nasional tahun 2012 ini memasuki tahun ketiga, sejak pemerintah menetapkannya pada 2 Oktober 2009. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 November 2009 menerbitkan Keputusan Presiden No 33 Tahun 2009 tentang Hari Batik nasional.

Pemilihan 2 Oktober mengingat pada tanggal itu  Badan PBB yang membidangi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) secara resmi mengakui Batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. UNESCO memasukkan Batik  dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia. Pengakuan terhadap Batik  merupakan pengakuan internasional terhadap mata budaya Indonesia.

Penerbitan Kepres No 33 Tahun 2009 tersebut sebagai usaha pemerintah  meningkatkan citra positif dan martabat bangsa Indonesia di forum internasional, serta untuk menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan masyarakat terhadap kebudayaan Indonesia. Demikian dalam situs Setkab tersebut.

Tak ada salahnya memang melestarikan Batik. Saya adalah salah seorang anak bangsa pecinta Batik. Saya juga tak sekedar mengenakan Batik  jika pergi menghadiri undangan pesta pernikahan atau menghadiri acara-acara resmi. Pergi mancing dengan sahabat  ke sungai, saya bahkan mengenakan Batik, meski tak sedikit olok-olok disertai tawa protes yang saya terima dari mereka. Namun setelah ikan makan umpan dikail, dibakar, dimakan atau dijadikan tola-tola sembari menegak tuak dan bir dingin, barulah mereka tahu bahwa apa yang saya lakukan adalah sikap protes terhadap hegemoni Batik.

Peringatan Hari Batik Nasional yang sudah ketiga kalinya ini, membuat segumpal pertanyaan terbesit dari benak saya: kenapa harus Batik yang mendapat tempat spesial di mata pemerintah? Sampai-sampai menerbirtkan keputusan resmi dengan adanya Hari Batik Nasional. Apakah hal tersebut tidak menimbulkan rasa iri suku bangsa atau daerah lain (dalam bingkai ke-indonesia-an), yang punya budaya sendiri? Kita tahu Batik itu bukan berasal dari Sulawesi, bukan pula dari Ambon, Palembang, Sabang, Miangas, Talaud atau Papua. Namun setiap tanggal 2 Oktober, atau hari Jumat dan Sabtu, hampir semua daerah dari Sabang hingga Merauke diinstruksikan memakai Batik terutama bagi kalangan institusi sebagai bentuk penghargaan atas budaya bangsa.

Kenapa tak ada Hari Tato Nasional, mengingat salah satu seni budaya Tato tertua di dunia ada di Kepulauan Mentawai Sumatera Utara, berhubung Mentawai adalah Indonesia juga, dan terkenal di belahan dunia barat dalam seni budaya tato. Toh seni tato di Mentawai merupakan pula kekayaan budaya bangsa yang patut diakui dan dilestarikan.

Selaku anak bangsa, saya juga ingin mengusulkan kepada pemerintah agar supaya ada hari Onde-onde atau masyarakat di Papua mungkin ingin pula bertanya; kenapa tak ada Hari Koteka Nasional? Alasanya sederhana; sebab Papua kan Indonesia juga? Supaya adil.