Rabu, 22 April 2015

Untuk Sigidad: Tanggapan atas Tanggapan


KESALAHAN pertama Kristianto Galuwo alias Sigidad, dalam menanggapi artikel berjudul Dengan Segala Hormat, Ibu Kartini, yang saya unggah di www.arusutara.com, adalah, dia nekat menuduh (bahkan diawal paragraf) bahwa, saya (penulis artikel itu) membentangkan soal ketidakpantasan Kartini menjadi tokoh emansipasi. (tulisan miring adalah kutipan asli di blog Sigidad)

Jawaban saya adalah; coba Sigidad cari lagi, dimana penegasan saya yang mengatakan bahwa, Kartini tidak pantas menjadi tokoh emansipasi?

Kedua, Sigidad yang lupa pernah membaca link (yang diyakininya sama) soal keraguan akan ketokohan (mungkin maksudnya kepahlawanan) Kartini, sekonyong-konyong kembali nekat “menuduh” yang kedua-kalinya bahwa, saya mengutip link yang dibagikan kawannya (entah siapa kawannya itu) di masa silam itu terkait Kartini yang disandingkan dengan pahlawan perempuan asal Aceh, Cut Nyak Dien yang berdarah-darah di medan tempur.

Ketiga, Aceh memang berbeda kultur dengan Jawa. Tapi soal kalimat yang disampaikan Sigidad mengenai kultur islami, saya merasa malas mendebat itu.

Keempat, Saya tertarik dengan kalimat Sigidad yang menyatakan (saya kutip) : Kaum perempuan begitu dihormati di kalangan Islam. Singkatnya, Cut Nyak Dien berjuang dan mendapat tempat. Tak begitu dengan Jawa. Tak begitu pula dengan Kartini.

Jawaban saya, sekali lagi malas rasanya mendebat apa yang sudah disandarkan Sigdad pada tiang agama yakni Islam lewat kalimat; Kaum perempuan begitu dihormati di kalangan Islam. Meski awalnya saya sempat berhasrat untuk mengatakan bahwa, adat dan adab di Mongondow, memberi banyak contoh pelajaran dan praktek bagaimana memperlakukan dan menghormati wanita, bahkan jauh sebelum para leluhur di sini (Mongondow) dikatai sebagai Kaper! Oleh para pendatang.

Kelima, Soal Cut Nyak Dien dan Kartini yang sama-sama beragama Islam, sebagaimana yang Sigidad ketahui, kenapa beda pandangan (secara islami)? Dipengaruhi latar belakang adat budayakah? Atau diantara dua wilayah berbeda ini, satu diantaranya hanya menjadikan Islam sebagai topeng. Lebih kuat adat mana? Atjeh atau Djawa? Masih ingat salah satu factor yang menjadi pemicu meledaknya Perang Padri di tanah Atjeh? Atau perlu bergegas ke perpustakaan mini Yudien Mirzha Salam di Gorontalo? Ah, Om Gogel sedekat urat nadi.

Keenam, Apa Sigidad yakin, di masa kolonialisme menggerogoti nusantara, penjajahan dilakukan dengan memandang suku adat dan budaya wilayah jajahan? Atau setali-tiga uang, penjajahan tetaplah penjajahan.

Ketujuh, Kartini dilahirkan dari darah priyayi. Tanggapan saya: Lalu Cut Nyak Dien atau Martha Christina Tiahahu, lahir dari darah apa? darah O, AB, atau darah yang secara kasta lebih tinggi dari priyayi?

Kartini dibebat dengan adat yang begitu lekat.  Lalu Cut Nyak Dien dan Martha Christina Tiahahu, dibebat dengan adat apa? adat alay-kah?

Kartini besar dengan sempurna. Sebab kenapa? Di usianya yang begitu muda, Kartini yang gadis sudah membaui begitu banyak buku. Iya, membaca kerap diidentikan dengan anak rumahan, bukan?

Jika Kartini besar dengan sempurna karena Di usianya yang begitu muda, Kartini yang gadis sudah membaui begitu banyak buku. Lalu, Cut Nyak Dien (tanpa perlu menyebut tokoh perempuan lainnya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan) besar dengan apa? gejetkah, fesbukkah, atau Clash of Clan?

Apakah berjuang melawan ketertindasan perempuan dijaman kolonial dan dominasi patriarki yang betapa tengiknya, sudah cukup dengan membaca majalah atau cerpen sembari minum teh dan dada seringkali berguncang karena penasaran (mungkin pula takut) akan dipoligamikan dikawinkan dengan siapa?

Kedelapan, Kartini agamais dan plural?. Ah, mungkin betul. Mengkritik agama bisa lebih agamais dari yang agamais. Begitupun ketika mengkritik Al-Quran yang “konon” tak diterjemahkan. Bisa lebih mulia dari yang sekedar membacanya, tanpa mempraktekkan kemuliaan-kemuliaan yang terkandung di dalam teks-teks suci. Lalu Kartini, apakah mempraktekkan ide dan teks-teks feminisme (berbahasa Belanda) yang konon dibaca dan ada terjemahannya?

Apa yang bisa dipahami bahkan dari ayat-ayat api, jika kita tak tahu maknanya?

Maka apa pula yang bisa dipercaya dari teks-teks feminism yang dibaca Kartini tanpa makna tanpa praktek? Dan tiba-tiba dapat tempat; pejuang emansipasi wanita endonesya. Emansipasi Politik Etis?

Bahkan baginya poligami pun tak masalah meski terpaksa. Nabi juga begitu kepada perempuan, katanya. Lalu Kartini menulis. Itu saja.

Apakah ide dan teks-teks feminisme Eropa yang dibaca Kartini adalah termasuk melanggengkan poligami? Ajaran dan gerakan feminism Eropa macam apa yang menyetujui poligami sebagaimana yang dipasrahi Kartika Kartini?

Kesembilan, Kartini memberontak lewat tulisan? Mana tulisan rebel itu? Bolehkah kita tanyai Balai Pustaka? Hasta Mitra, atau Om Gogel?

Kartini yang terkungkung seorang pahlawan. Pahlawan tak harus berdarah-darah dan terkaing-kaing di medan perang. Bahkan dari balik tembok keraton atau jeruji, sastra bisa berperang. Itu saja.

Sigidad,  yang berdarah-darah dan terkaing-kaing di medan perang, biasannya mati di situ, di arena. Tanpa pernah mendengar lagi namanya disebut, dianggap, atau dijadikan sebagai pahlawan.

Ah, terkadang pahlawan memang lahir tanpa segorespun luka, tanpa setetespun darah.

Kesepuluh, pada jaman itu, di masa ketika Kartini sedang belajar menulis “surat”, kehidupan di nusantara tengah dirundung kegelapan; penjajahan, penghisapan, kerja paksa, feodalisme, dan patriarki. Cahaya nan terang benderang hanya ada di Barat, tempat dimana para imperialisme bertolak kemari. Tujuan mereka datang amat jelas; hendak membawa terang di kegelapan yang betapa gulita dan lamanya terjadi di nusantara. Kolonialisme adalah cahaya yang mereka bawa itu. Cahaya untuk menerangi kegelapan yang telah menua.

Door Duisternis Toot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang. Politik etis, politik balas budi, politik cahaya atas kegelapan yang telah begitu purba berlangsung di nusantara. Kegelapan yang diperbuat kaum imperialis.