Minggu, 29 Maret 2015

Dialog Publik di Korot dan "Kesesatan" Topik Yang Nyaris Berbuntut Adu Jotos


 Dalam acara dialog, seminar, diskusi publik, entah dikemas formal nonformal, memang tidaklah mungkin semua peserta yang hadir dapat diberi kesempatan oleh moderator untuk berbicara. Kesadaran itulah yang membuat saya harus maklum, meski memang tidak bisa menyembunyikan kedongkolan yang membuncah saat berkali-kali (bahkan) memaksa  dengan cara berbisik langsung ke telinga moderator yang melintas di depan meja tempat saya berada, agar kiranya dapat memberi kesempatan, meski 30 detik saja agar saya dapat  diberi mic.

Dialog bertajuk “Saatnya Pemuda Bergerak” dengan sub-tema “Posisi Pemuda Dalam Pusaran Pilkada Gubernur Sulut” di Kopi Korot tadi malam, dipimpin Sehan Ambaru sebagai moderator sekaligus MC, dan meninggalkan banyak sesal yang percuma. Setidak-tidaknya dalam pendangan saya.

Sehan Ambaru adalah kawan reriungan di Kantin Pemkab Bolmong  2010 silam, Kampus UDK, dan biasa semeja di Korot. Dia juga tercatat sebagai PNS di Pemkot Kotambagu, dan Sabtu 20 Maret 2015 kemarin, baru dilantik menjadi Wakil Ketua I KNPI Bolaang Mongondow. Selebihnya tentang Sehan Ambaru, bagi orang Mongondow yang berlangganan koran sejak 5 tahun belakangan, pasti tak asing dengan namanya.

Apa yang perlu dikritisi terhadap Sehan selaku moderator dalam dialog publik tadi malam yang digelar KNPI Bolmong? Dan apa pula yang perlu dikritisi dengan dialog publik yang ikut melibatkan kehadiran elit politik di Mongondow diantaranya Aditya Didi Moha (Anggota DPR RI), Yasti Sopredjo (Anggota DPR RI), Tatong Bara (Walikota Kotamobagu) Ahmad Sabir (Ketua DPRD Kotambagu), Kamran Mochtar (Anggota DPRD Bolmong), Abdul Akdir Mangkat (Wakil Ketua DPRD Bolmong) Herry Coloay (Anggota DPRD Kotamobagu), plus kehadiran Jackson Kumaat selaku Ketua DPD KNPI? 

Pertama,
soal Sehan selaku moderator. Tadi malam adalah kali kedua saya terlibat sebagai peserta dialog publik di Korot yang dipimpinnya. Tulisan ini sekaligus kritikan kali kedua dari Leput kepada dia.

Jika pada dialog sebelumnya, kegagalan Sehan tertangkap lewat aksi sepihaknya yang mengklosing dialog saat baru memasuki sesi ke 2 (padahal dibagi 4 sessi), sehingga memunculkan banyak reaksi dari peserta, maka tadi malam kegagalan Sehan adalah membiarkan (sebenarnya mereka adalah peserta) mereka yang mendadak disebut nara sumber berbicara tidak berdasarkan tajuk atau tema diskusi.

Pembiaran itu adalah ketika Sehan memberi kesempatan kepada Yasti Soepredjo memberikan penyampainnya (yang panjang) terkait isu pembentukan Propinsi Bolaang Mongondow Raya (PBMR).
Apa dampak dari pembiaran itu? Arah diskusi keluar dari tema yang sudah ditetapkan; Saatnya Pemuda Begerak/Peran pemuda Dalam Pusaran Pilkada Gubernur Sulut.

Maka gayung bersambut, peserta yang diberi giliran pegang mic selanjutnya oleh Sehan, mengikuti apa yang dilontarkan sebelumnya oleh Yasti Soepredjo, tentang PBMR.

Kedua, soal fungsi dan peran dialog. Ajang diskusi yang sebenarnya hanya sebatas wadah pengemasan isu terkait posisi dan peran pemuda yang ditekankan untuk; bergerak dan menentukan sikap terkait pilkada gubernur, tak ayal terjungkir balik dari tujuan.

Kenapa? Sebab yang terjadi tadi malam, peran dan fungsi dialog tersebut sekonyong-konyong justru bergeser ke (semacam) momen penjaringan kandidat bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang sebenarnya adalah urusan parpol. 

Diantara kita yang hadir tadi malam pasti masih ingat pernyataan para peserta yang diberi kesempatan moderator memegang mic dan berbicara. Rata-rata pointnya (selain terjebak dengan topik PBMR) adalah; penjaringan dan penetapan nama bakal calon kandidat yang harus diusung untuk maju dalam pilkada gubernur.

Sialnya lagi nama-nama yang disebutkan (dijaring) justru jauh panggang dari PEMUDA. Helooooo... bukankah seharusnya kita membicarakan soal PERAN dan POSISI PEMUDA DALAM ARUS PUSARAN PILGUB sebagaimana topik dialog? Dan tengoklah tajuk yang ditetapkan panitia : SAATNYA PEMUDA BERGERAK. Lain soal jika tajuk tadi malam diganti; SAATNYA PEMUDA MENJADI TIM SUKSES dengan sub-tema; PERAN PEMUDA DALAM MENJADI TIM SUKSES DI PILKADA GUBERNUR SULUT.

Lalu apa yang semakin memperparah jalannya dialog? Adalah tidak adanya sikap “pertobatan” dari Sehan selaku moderator untuk kemudian membawa dialog kembali pada topik dan tema yang diusung, yakni SAATNYA PEMUDA BERGERAK dan POSISI PEMUDA DALAM PUSARAN PILKADA GUBERNUR SULUT.

Ketiadaan “pertobatan” sang moderator sehingga berbuntut pada “sesatnya” berderet pernyataan yang keluar dari para peserta secara berjamaah, alhasil hanya melahirkan ketiadaan gerak pemuda dalam mengidentifikasi peran dan posisinya dalam pusaran Pilgub Sulut, sebagaimana tujuan yang diharapkan.

Memang, diluar dari semua itu, secara obyektif, Sehan tampil prima, bersemangat dan begitu keasyikan dalam memimpin jalannya dialog. Kita patut mengakui itu sebab tak semua orang mampu melakukan apa yang dilakukan Sehan tadi malam. Sehan seperti merasa sedang di atas angin dan menikmati peran yang dimainkannya. Seperti ada tujuan yang terselip diantara 'atraksi' todong-menodong mic kepada peserta yang terpilih.

Tetapi performance prima, segar, dan cukup memberi pukau itu, justru tercela setelah sempat terjadi insiden antara peserta dengan moderator juga peserta dengan peserta di menit-menit terakhir hingga nyaris berakhir dengan adu jotos. Dan semua itu terjadi akibat pembiaran topik yang melenceng pun sikap buru-buru dari moderator seolah langit runtuh jika lama-lama berdialog.

Sudah kali kedua dalam kesempatan dialog publik, Sehan seperti moderator yang sejak awal begitu terburu-buru dengan waktu seolah-olah akan ada gempa menimpa Korot jika jam dinding sudah mendekati pukul 11 tengah malam, sementara dia masih memberikan kesempatan kepada satu-dua peserta untuk berbicara.

Ini nampak sekali. Seolah Sehan begitu ketakutan dengan waktu yang sudah mulai mendekati pukul 12 tengah malam. Kenapa?? Apa karena sudah mengantuk? Kecapean jadi moderator? Kelaparan? Bukankah ada 100 kopi korot tersaji plus makanan?

Maka apa yang terjadi selanjutnya akibat sikap dia yang buru-buru hendak mengklosing acara sebagaimana yang pernah dilakukan pada acara sebelum itu?  Denny Mokodompit (DeMo) salah seorang peserta yang merasa tak kebagian mic padahal jauh-jauh datang dari suatu urusan di seberang dan bela-belain datang ke Korot mengesampingkan anak-istri yang sudah rindu di rumah, sontak protes.

Terjadi perdebatan antara Sehan dan DeMo disaksikan secara agak menegangkan (juga lucu) oleh para peserta. Sehan yang bersikukuh tak ayal gelagapan tatkala mic dari tangannya dirampas paksa oleh DeMo. Dihadapan para peserta termasuk tamu dari pengurus DPD KNPI Sulut, Manado dan Tomohon, nampak sekali mereka (Sehan dan DeMo) seperti dua orang bocah yang saling berebutan lolipop.

Saling rampas mic itu seperti tontonan bonus terhadap para hadirin yang berakhir dengan kemenangan DeMo selaku peserta dan kekalahan Sehan selaku moderator. Sehan nampaknya harus belajar kata ikhlas sebagaimana penggalan “pidato” Aditya Didi Moha ketika diberi kesempatan bicara di awal. Dan keikhlasan itu tergambar setelah ia mengalah dari ‘superioritas’ DeMo yang sempat mengancam; “so lama kita ndak pukul orang jadi jang sampe kita pukul orang gara-gara ndak kase bicara di sini”

Buntut dari “kesesatan” topik yang terjadi sudah sejak awal dialog, membuat isi pernyataan DeMo cepat tertuduh “sesat” karena menggaungkan kembali topik PBMR. Sehan menyela dan DeMo balik menyela dengan alasan; sejak dari tadi moderator tidak menyela penyampaian Yasti Soepredjo (meski panjang-lebar) soal PBMR, termasuk kawan-kawan peserta lainnya. DeMo juga mengaku berhak bicara berhubung kapasitasnya selaku Panitia Pemekaran PMBR.

Saat kembali terjadi saling sela dengan kalimat yang saling menekan dan panas, seorang peserta lainnya sontak berang lalu bangkit dari kursi kemudian dengan nada lantang mengecam DeMo yang dianggap sudah “sesat” topik tapi tetap bersikukuh bicara apalagi dinilai menyinggung. 

Saling rampas mic kembali terjadi. Sehan yang dibantu beberapa peserta  akhirnya berhasil mengambil-alih mic dari tangan DeMo yang terus-terusan memohon agar bisa diberi kesempatan bicara. DeMo yang dipaksa berhenti berbicara karena mic sudah dikembalikan kepada moderator, sontak berjalan ke arah peserta yang menantangnya seolah hendak mengajak duel. Beberapa peserta lantas mencegatnya. Adu jotos akhirnya dapat dicegah.

Sebagai catatan, berikut nanti jika ada lagi dialog publik yang akan diselenggarakan, sebaiknya moderator ketika memimpin jalannya dialog harus fokus pada topik dan tak perlu sungkan mengingatkan nara sumber atau peserta yang keluar dari topik agar dialog dapat terhindar dari insiden yang sebenarnya tak perlu, seperti adu jotos misalnya dan saling merampas mic.