Sabtu, 09 Maret 2013

Matematika Pilwako, Malam Bakupas dan Serangan Fajar


Adnan Nurman, penulis bidang sosial politik dan ekonomi, dalam bukunya Strategi Pemenangan mengatakan bahwa Pemilukada (Pilwako,red) bukanlah sebuah hitungan matematika melainkan ilmu sosial yang perlu dikaji dan dipelajari dengan terjun langsung didalamnya.  Namun demikian Adnan juga mengatakan, meskipun Pemilukada adalah ilmu sosial, tetap saja ada pendekatan matematika sederhana, yakni: jika ingin menang maka rumusnya adalah penjumlahan dan perkalian dan jika ingin kalah maka rumusnya adalah pengurangan dan pembagian.

*** 
Sudahlah di daerah lain (yang masih dalam lingkup Indonesia raya), tapi di Mongondow, mari kita berani jujur dan berterus terang bahwa tiap tiba Pemilu baik itu Pilgub, Pilbup, Pilwako, Pileg, bahkan Pilsang (kecuali pemilihan ketua kelas), praktek money politik seolah sudah mendarah daging dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pesta demokrasi.  Pemilu tanpa money politik seolah ganjil. Sama halnya dengan orang yang usai mandi kemudian berdandan siap ke pesta tapi lupa pakai celana dalam.  

Praktek money politik yang sudah tak tabu lagi dalam setiap hajatan pemilu tak urung telah melahirkan pendidikan sesat dan brutal yang akhirnya mematrikan sebuah pemikiran dalam batok kepala masyarakat kita bahwa; siapapun calon yang akan tampil nanti, asalkan  berduit, pasti layak dipilih dan calon tersebutlah yang punya kans memenangkan pertandingan. Sedangkan bagi mereka (kandidat) dengan kemampuan financial yang merangkak, silahkan gigit jari. Jangan harap dihari H nanti suara di TPS akan tembus sesuai yang diharapkan, sekalipun kandidat itu memiliki kapasitas sumberdaya manusia mumpuni dan kwalitas kepemimpinan yang didukung dengan ahlak, wawasan, dan disiplin ilmu yang baik dan memadai.  Bersyukur masih ada anggota keluarga yang komit memilih sebab bukan tak ada kejadian yang jadi bahan olok-olok orang di Mongondow;  “sedang ngana pe ipar nyandak pilih pa ngana. Tapi sudah jo herang, tadi malam ngaana pe ipar dapa serangan fajar dari calon sablah”.  

Miris memang hingga kerap  kuping kita mendengar serentetan ungkapan dari masyarakat; “Sapa ngana pe calon so? Yah, dia dang?  Ndak ada doks dia kong stel  ba calon. Bulum sto mopilih. Doks dulu dang toh. Pokoknya sapa yang ba cair, dia tu torang mopilih. Yang nyandak cair, suruh pilih jo pa tiang listrik”.  

Sedemikian parahnya hingga membuat batin kita tak hanya luruh runtuh bersama akal sehat bak dimutilasi ketika harus menyadari kenyataan tatkala money politik di ajang pesta demokrasi telah ikut menciptakan masyarakat pemilih menjadi masyarakat yang transaksional, oportunis dan materialistis.

Di Mongondow, kita mengenal dua istilah populer terkait money politik. Pertama, yang disebut Malam Bakupas, sedangkan yang kedua Serangan Fajar.  Kita mungkin tidak tahu istilah ini mula-mula dibikin oleh siapa. Masyarakat kita memang nampaknya cukup pintar membikin istilah-istilah yang selain populer juga bermakna olok-olok. Namun kita paham bahwa Malam Bakupas, demikian pula Serangan Fajar, merujuk pada suatu moment atau proses dimana warga pemilih dipengaruhi pilihanya dengan iming-iming uang (juga paket sembako) supaya menjatuhkan pilihanya ke kandidat tertentu. Momen Malam Bakupas umumnya berlangsung pada malam jelang hari H. Sedangkan Serangan Fajar lasim dilancarkan pada subuh atau pagi-pagi buta di hari H. Pada moment itu kaki tangan tiap-tiap kandidat beraksi menjalankan misinya.

Baku ambor  dan abis kalu abis adalah semboyan yang mereka gunakan. Pada moment itu kaki-tangan kandidat seolah berubah wujud dimana mereka nampak seperti sekelompok orang dengan gerak-gerik yang tak ubahnya seperti Ninja, sebagian lagi macam sekompi pasukan elit khusus yang cekatan dalam melancarkan serangan ke target, tak sedikit pula berlagak seperti Robin Hood, juga tokoh-tokoh bijak, filsuf, filantropi dan sinterklas yang sebenarnya tak sedikit diantara mereka itu adalah tukang tipu.

Mereka melangsungkan perang gerilya dibelantara pemilih yang terdiri dari ragam umur, status, golongan dan pekerjaan; dari yang pemula hingga manula, duda hingga janda, tukang tenteng martelu hingga pengusaha sogili, dari tukang roti hingga tukang pasang togel.

Perang gerilya yang mereka lancarkan biasanya berjalan mulus sebab longgarnya pengamatan Panwaslu yang tak punya daya dan upaya dalam menghadang ‘tsunami’ Malam Bakupas dan ‘badai’ Serangan Fajar. 

Lucunya lagi, masyarakat yang sebenarnya sudah berpengalaman dan “terlatih” dalam beberapa kali pesta Pemilu, jauh-jauh hari memang sudah tahu kalau akan ada penyerangan ke wilayah mereka pada moment-moment tersebut. Namun bukanya melawan atau sedikitnya bertahan atas serangan-serangan yang dilancarkan secara 'cetar membahana badai', yang terjadi malah memberi signal kepasrahan kepada pihak penyerang bahwa wilayah mereka belum di serang.  

Model serangan yang diharapkanpun sebaiknya adalah serangan yang dilakukan secara bertubi-tubi, membabi-buta, bumi hangus, tak kenal ampun, tanpa tedeng aling-aling, yang dalam istilah militer Amerika biasa disebut Broken Arrow.

Maka bukanlah sebuah kemustahilan, pada moment tersebut banyak warga yang nanti berkumpul berkelompok baik dipinggir jalan, sekedar duduk-duduk diteras rumah, di warung, atau bagi yang malu-malu kucing dan yang takut kena angin malam boleh-boleh saja berdiam diri dirumah asalkan tak perlu mematikan lampu ruang tamu (yang di hari-hari biasa hal itu tak berlaku) lalu memberi celah agak lebar dan genit pintu rumah supaya menandakan belum dikunci seolah-olah ada anggota keluarga yang sedang ditunggu.  

Perlu pula di catat bahwa semua ketidak-biasaan ini (rumah dengan pintu yang terbuka lebar) masih berlangsung meski jarum jam telah menunjukan lewat pukul 12  tengah malam, dimana banyak orang percaya (tak cuma orang Mongondow) kalau cuma demit dan bayongan dimukud yang keluar bergentayangan di jam-jam begitu.

Kalok sudah sedemikian kronisnya fenomena ini maka, mari kita belajar matematiko Pilwako. (Sudah dekat bro..)

Matematika Pilwako : Mengerangkeng 30 Persen Suara

Tanda aman pertama bagi pasangan kandidat yang bertarung di Pilwako Kota Kotamobagu adalah pasangan yang mampu mencapai angka 30 persen suara dari total pemilih di KK yang berdasarkan DP4 kurang lebih berjumlah 91.000 Jiwa. Untuk mencapai 30 persen dari total pemilih tersebut berarti minimal kandidat harus mendapat dukungan sekitar 27.000 suara.  Jika ilmu matematika sederhana kita pakai dalam mengerangkeng 27.000 suara ini lewat rumus penjumlahan dan perkalian memakai strategi Serangan Fajar atau moment Malam Bakupas, dengan asumsi Rp 150 ribu per pemilih, maka yang perlu dipersiapkan kandidat adalah dukungan dana sebesar Rp 4,5 Milyar. Jika harga dinaikan menjadi Rp 200 ribu per kepala, maka biaya yang dibutuhkan adalah Rp 5,4 Milyar. Selanjutnya karena persaingan pasar antar kandidat yang ketat di kantong-kantong pemilih, maka sudah menjadi hukum pasar kalau harga akan melonjak naik sehingga persaingan ditingkatan pasar akan menyentuh hingga kisaran angka Rp 250 ribu per kepala pemilih sehingga angka bayar juga dinaikan menjadi Rp 250 ribu X 27.000 pemilih = Rp 6,7 Milyar lebih.  Perhitungan 27.000 suara ini adalah suara yang sudah dikerangkeng, diluar tambahan suara dari partai pengusung/pendukung dan dari elemen lain semisal kedekatan atau hubungan langsung dengan kandidat berdasarkan visi misi (meski instrument ini paling jarang), wilayah, kekerabatan, keluarga, ormas, atau karena ketertarikan dari faktor lain, sebutlah karena selingkuhanya si A adalah Tim Sukses dari pasangan kandidat bla..bla..bla...

Pertanyaan kita selanjutnya adalah; pasangan kandidat Waklikota-Wakil Walikota mana yang pada 1 minus H Pilwako KK ini memiliki dana sebesar Rp 6,7 Milyar yang siap-siap di kokang lalu diberondongkan habis ke setiap kepala pemilih dalam sekejap (hitungan jam). Pendistribusianyapun membutuhkan kesiapan mental level super sebab asumsi dasarnya adalah uang harus di ikhlaskan hilang, begitupun pertimbangan resiko jika akhirnya Serangan Fajar ini beresiko hingga ke meja Mahkamah Konstitusi. Jawabanya tentu bisa kita petakan dengan sedikit menelisik latar belakang ekonomi (dan faktor-faktor pendukung yang berpotensi) dari masing-masing kandidat yang sudah menabuh genderang perang untuk baku abis dalam Pilwako Kota Kotamobagu saat ini. Djelantik-Rustam kah? Tatong-Jainuddin kah? atau Matt Jabrik (Ahmad Ishak) yang siapa mengira diam-diam sudah ada Bandar Togel dari Singapura yang siap memback-up sosok wartawan satu ini. Maka jangan tanya soal urusan Malam Bakupas dan Serangan fajar kepada sang Bandar Togel yang cuma menganggap hitungan 10 hingga 15 Milyar adalah  tai kuku alias kacang kacang ona'e...


Terakhir yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, saya sangsi dengan pendapat yang menyebutkan bahwa pemilih KK adalah pemilih rasional (rasional bagaimana maksud ente?), atau disebut pemilih cerdas terlebih dikata sebagai pemilih ideologis. Maaf,  bukanya pesimis atau tak sependapat, namun bagi saya,  untuk urusan Pemilukada/Pilwako dan sejenisnya, sampai dengan tahun ini semua masih bergantung doks. Pendapat ini bukan tanpa alasan apalagi hasil imajinasi yang sembarangan (boleh kita debatkan di Jarod Sinindian). Tapi salah satu alasannya (yang tidak perlu panjang), yakni tatkala daftar pasangan kandidat adalah mereka-mereka yang kini hampir dipastikan akan bertarung pada perhelatan Pilwako KK nanti, maka kekuatan finansial masih menjadi faktor yang sangat memperngaruhi. Asumsi inipun bukan semata-mata dilandasi pengalaman Pemilukada yang terjadi di Bolmong Raya. Dan karena pendapat ini adalah pendapat pribadi maka bukan berarti harus di-ikuti. Saya juga memiliki keyakinan bahwa semua kita hingga saat ini masih senantiasa mengharapkan berlangsungnya Pemilukada/Pilwako dimana masyarakat pemilih mau memberikan partisipasinya di TPS bukan karena doks semata.