Rabu, 27 Maret 2013

Tukang Pukul Yang Pilih - Pilih Lawan

Tulisan atas kasus yang menimpa Ayu Basalamah

Kecanggihan teknologi  membuat kita mudah saling terhubung tak kenal keadaan, jarak, batas, dan waktu. Seorang ABG di Mongondow, meski lagi berak sekalipun, tetap masih bisa saling berkirim kabar dan gambar dengan Ayahnya yang lagi berjuang di Namlea. Pun demikian kejadian di belahan antah berantah mana bisa dengan mudah kita mamah. Sama halnya dengan kita yang cepat mengunyah  informasi soal kasus yang menimpa Ayu Basalamah. Ini jaman Gadget, EDGE dan 3G.

Hingga hari ini 27 Maret 2013, seantero Mongondow tahu ihwal kejadian yang menimpa Ayu, termasuk versi terkini  pasca ia dibebaskan dari Polsek Urban Kotabunan.

Meski gosip sudah bukan gosip lagi, dan teman-teman Ayu telah mengetahui siapa pelaku sekaligus penyebar chating pribadi yang di capture dan disebar pertama kalinya hingga menjadi santapan umat ‘Bebekiyah’ (BlackBerry Messenger),  kita sepakat bahwa apa yang telah dilakukan para pelaku penganiayaan (siapapun mereka) terhadap Ayu, terlalu 'mulia' jika  disejajarkan bak tindak-tanduk mafia Sisilia. Bagi saya pribadi, penganiayaan itu cuma satu tingkat dibawah level seorang tukang pukul kelas pamabo yang kehilangan kecerdasan soal bagaimana 'bermain cantik'.

***

Dari bahan bacaan fiksi maupun non fiksi, atau film bertema mafia, kita mendapat pelajaran bahwa kekejaman dan kebrutalan yang dipraktekkan para anggota geng, wajib menjunjung tinggi kedisiplinan. Operasi yang dilakukan juga selalu mengutamakan tingkat kerapian; penghilangan barang bukti, modus operandi yang membuat pelaku dan kelompoknya tidak bisa diendus, meski tetap memberi kesan kejam, brutal, juga dingin.

Tak jarang dalam adegan film mafia kita melihat bagaimana anak buah atau pengikut yang membahayakan kelompok terutama nama besar Don, sepulang dari operasi (sekalipun sukses memberi pelajaran atau pelenyapan terhadap korban), justru menjadi mangsa baru kelompoknya sendiri karena operasi yang dilakukan sembrono dan amatiran, sebab dianggap cuma mencorengi nama besar sang Don.

Konsekuensi terkejam yang bakal menimpa anak buah yang berlaku sembrono bak pemabuk brutal ini adalah: nyawa melayang sebagai pelajaran bagi anggota kelompok lain agar memperhatikan permainan cantik. Sedangkan jika di beri maaf oleh sang Don, maka hukuman paling ringan adalah kehilangan beberapa buah jari tangan, kaki, puting, atau daun telinga.

Dalam kasus yang menimpa Ayu, seandainya ada orang atau kelompok dan pengikut fanatik seseorang atau kelompok itu, atau yang di anggap barisan setia pengikut atasan, bos besar,atau Don yang merasa terhina, terusik, kelewat meradang hingga naik pitam dan berpikir ada darah yang harus ditumpahkan atau minimal diberi pelajaran gara-gara nama Don dicaci hingga dianggap mengurangi kadar kehormatan dan kemuliaan sang Don, toh ada hal yang jauh lebih 'mulia' dan berkelas, yang bisa dilakukan dengan mengutamakan tingkat 'kebersihan', 'kerapian', 'kelembutan' dan kebijaksanaan.

Jikalaupun harus dilakukan dengan cara kasar, perih nan kejam, penuh nafsu angkara murka, hilang akal sehat tinggal pitam yang naik turun di atas kepala alias bobudukon kata orang Mongondow, tersebab apa yang dilakukan Ayu adalah sebuah aib, dosa, pelecehan dan kebiadaban yang sungguh diluar batas pengampunan, toh setidaknya ganjaran yang akan dihadiahkan terhadapnya juga harus mengutamakan tingkat ‘kedisiplinan’, ‘kerapian’, ‘kebersihan’, dan modus yang tak mencoreng nama baik atasan, pimpinan, atau orang yang patut dijaga kehormatanya. Bukan dengan cara-cara amatir, blunder, dan memalukan. Terlebih khalayak semua tahu siapa Ayu yang saya sendiri mengenalnya tak kurang tak lebih adalah seorang penata rambut dan tukang rias pengantin dengan pembawaan yang kemayu. Atau dengan terlebih dahulu meminta maaf sebesar Gunung Ambang kepada Ayu, saya mengatakan (sekali lagi maaf Ayu bukan bermaksud melecehkan), bahwa sosok Ayu adalah sebagaimana orang biasa mengkategorikan dia sebagai Banci'.

Kabar dari kawan media, dan yang saya dapat dari teman se-profesi Ayu, ditambah serangkaian broadcast yang di kirim sederet umat sahabat Bebekiyah (saya menyebut pengguna BlackBerry Messenger demikian) yang merekomendasikan tautan berisi bahan bacaan terkait hal-ihwal kasus yang menimpa Ayu, maka cukuplah data yang menjadi bahan rujukan bahwasanya kronologi kejadian yang telah terserak dan menjadi kunyahan khalayak, sudah tidak bisa di tutup-tutupi lagi. Olehnya saya tak perlu menuturkan kembali dalam tulisan ini, apa yang menimpa Ayu.

Saya bukan ahli hukum meski tidak buta hukum sehingga berani mengatakan bahwa siapapun oknum yang menyeret, menjemput paksa dan menganiaya korban (Ayu) dengan cara sistim malendong, maka mereka (para pelaku) itu selain melanggar hukum, justru memberi nilai minus pada orang yang dibela gara-gara pembelaan yang dilakukan itu (selain berlandaskan angongong in bobudukon) berlevel amatir dan mengesampingkan kecerdasan akal sehat. Kecuali itu (ini tanggapan pribadi dari saya dan bukan berarti harus di ikuti), yang melakukannya  adalah anak, atau putra dari orang yang telah di hina dan di caci. Sebab di Mongondow, bukan tak ada cerita dan kisah nyata terkait pembelaan demi menjaga harga diri dan kehormatan orang yang dianggap suci dan terlampau tabu nan keramat jika dilecehkan. 

Sekedar berbagi cerita, di Bilalang, sejak kecil saya sudah beberapa kali mendengar cerita penuturan saudara sebelah Ayah soal bagaimana seorang anak memenggal kepala orang gara-gara orang yang kepalanya dipenggal itu memaki orang tuanya.

Dalam kasus Ayu, jika yang melakukan itu adalah bawahan, anak buah, pengikut setia, atau orang-orang yang tak ada ikatan keluarga secara langsung melainkan hanyalah orang dilingkaran kekuasaan Bupati Boltim Sehan Lanjar, yang (taruhlah) tersinggung, tercela, terhina dan marah karena ulah Ayu yang tak terpuji di chating BBM , maka saya ingin bertanya: dimana kalian dan apa yang kalian lakukan tatkala nyawa Bupati Sehan Lanjar dan Istrinya tak hanya di caci-maki melainkan nyawa keduanya terancam oleh berondongan batu dari massa yang mengamuk tatkala menghadang dan mencegat rombongan Bupati sepulang dari Upacara 17 Agustus silam? Dimana??

Kalau memang seorang ksatria dan tukang pukul pengawal setia Bupati, janganlah hanya sekedar menjadi tukang pukul yang pilih-pilih lawan.