Sabtu, 18 Agustus 2012

Nasionalisme Pluru Pongo

Sumber Foto :  BBM
Penghadangan sekelompok warga Tutuyan terhadap rombongan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Landjar,  sepulangnya Eyang (Sebutan akrab Bupati) dari Lapangan Bogani Kotabunan dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI Ke 67, yang jatuh hari Jumat 17 Agustus 2012 kemarin--diluar dari apapun musabab yang melatar-belakangi kejadian tersebut--sungguh adalah kejadian yang memiriskan.

Bayangkan, seorang kepala daerah pilihan rakyat Boltim sendiri, dihadang amuk massa dan secara brutal mobil dinas yang ditumpangi Bupati ber-nopol  DB 1 N itu dilempari batu hingga kaca bagian depan mobil pecah. Nursiwin Dunggio Istri tercinta Bupati pun tak luput jadi korban. Ia terkena pecahan kaca dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit terdekat.

Harian kriminal terbitan sulut yang saya baca pada Sabtu pagi (18/08/2012), bahkan menurunkan judul yang tak main-main; Boltim Rusuh, Bupati Nyaris Tewas di Amuk Massa!! (Posko 18 Agustus 2012).

Kabar yang datang dari satu-dua orang sahabat yang ikut dalam rombongan itu (satu diantaranya hampir kena serangan jantung) ikut menambah informasi yang saya dapat via media. Saya terus mencari pasti soal; apa yang sebenarnya telah dilakukan sang Bupati sehingga warga sedemikian naik pitam begitu?

Setelah mengaisnya kemana-mana, semakin pasti bahwa penyebab penghadangan itu cuma gara-gara upacara 17 Agustus yang tak jadi digelar Bupati di Lapangan Pondabo Tutuyan.

Saya tiba-tiba merasa iri terhadap masyarakat Tutuyan. Di Passi, kampung tempat saya tinggal, jangankan ikut upacara, disuruh memasang bendera merah putih di depan rumah pun warga ogah-ogahan. Kalau tak di bujuk atau di tegur langsung oleh Sangadi--adalah biasa jika diwarnai ancaman akan dipersulit jika nanti melakukan pengurusan terkait administrasi di desa--maka masih ada saja yang kumabal.

Tapi di Tutuyan? warga justru marah dan puncaknya mengamuk sebab berkeinginan sekali ikut upacara peringatan 17 Agustus di lapangan desa mereka.

Ouww...Ternyata Cuma Nasionalisme Pluru Pongo

Secara sederhana sekali, nasionalisme dapat kita artikan sebagai perasaan cinta tanah air. Bangga dan terpanggil untuk  membela cita-cita bangsa dan negara. Bagi warga Boltim yang masih percaya terhadap negara dan mengaku sebagai warga negara indonesia (yang tak hanya diperlihatkan dengan menunjukan KTP), adalah baik dan mulai memang menjaga nilai luhur nasionalisme. Tak ada persoalan dengan itu. Bahkan sekedar berpeluh keringat ikut kerja bakti mempersiapkan lokasi tempat digelarnya upacara bendera peringatan kemerdekaan 17 Agustus,  dapat pula dimaknai sebagai wujud nasionalisme dalam arti sekecil-kecilnya. Bahkan ikut upacara bendera pun menurut saya itu sudah merupakan perwujudan nasionalisme dalam arti yang sekerdil dan serendah-rendahnya.

Tapi di Tutuyan, ternyata yang diportontonkan adalah nasionalisme pluru pongo. Tentu sangat disayangkan sebab kenekatan itu tak ada kaitan sama sekali dengan wujud nasionalisme sebagaimana yang sudah bisa kita pahami sejak di bangku SD. Ini adalah nasionalisme yang bicara dengan batu. Terlontar dari tangan-tangan orang yang bikin keruh keadaan dengan alasan; upacara tak jadi di gelar.

Semula para pengamuk ini berdalih bahwa mereka kecewa dan tersinggung karena dipindahkanya lokasi peringatan HUT RI dari Lapangan Pondabo Tutuyan ke Lapangan Bogani Kotabunan. Namun setelah ditelusur kembali, ternyata yang menjadi inti persoalan adalah gosip murahan yang menyebutkan bahwa; Ibukota Kabupaten yang sebelumnya bertempat di Tutuyan, akan dipindahkan ke Kotabunan.

Jadi bukan gelaran upacaranya yang di soal terutama ketersinggungan ketika tiang bendera yang telah dipersiapkan dicopot  lalu dipindahkan ke Lapangan Bogani di Kotabunan. Lain soal kalau bukan isu pemindahan lokasi upacara yang dipermasalahkan.

Jika warga menganggap Bupati adalah pengkhianat bangsa dan melakukan suatu tindakan yang tak hanya menodai tetapi  malah melukai prinsip-prinsip nasionalisme, maka jangankan pluru pongo, tetapi M16, AK-47, Shootgun, Granat, atau bahkan peluncur roket  pun tak jadi soal digunakan. Sedang yang paling kepepet-pun seperti senjata ketapel, masih layak dilontarkan  para pembela nasionalisme ini tepat ke wajah sang Bupati.

Eyang saat di hadang (sambil menahan emosi karena lagi puasa) segera turun dari mobil dan cepat membela diri atas tuduhan yang menurutnya keliru.  Di hadapan warga ia memberi klarifikasi bahwa dirinya sama-sekali tak memiliki maksud untuk memindahkan Ibukota Kabupaten dari Tutuyan ke Kotabunan. Kecuali itu, dirinya bermaksud akan menggelar setiap upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI di seluruh wilayah Kecamatan  yang ada di Boltim secara bergilir setiap tahunya.

Namun nasi sudah menjadi bubur. Genderang perang sudah di tabuh. Batu telah meluncur dan pecah di kaca depan mobil sang Bupati. Simbol kewibawaan pemerintah tercoreng sudah. Ibu Bupati terkena serpihan kaca dan batru. Memiriskan lagi sebab ini merupakan sejarah kali pertama di Sulawesi Utara;  mobil seorang Bupati dilempari warga dengan batu. Ironi sebab terjadi di Tutuyan dimana Eyang mendulang suara signifikan saat pemilukada Boltim 2 tahun silam. Lebih ironi lagi sebab terjadi di moment bulan puasa dan 2 hari menjelang Hari raya Idul Fitri.

Ada Apa Eyang?

Persitiwa di atas tentu memaksa batok kepala kita berpikir dan bertanya-tanya; Ada kiapa sebenanrya ini Eyang? Apa benar cuma gara-gara isu pemindahan lokasi peringatan upacara HUT Kemerdekaan? atau ada hal gawat lain sehingga memicu amuk massa yang nekat brutal seolah tak kenal lagi terhadap tokoh pilihan mereka sendiri?

Melompatnya salah seorang massa ke deksel mobil tepat dihadapan hidung Bupati lalu berjingkrak-jingkrak sambil meneriakan bara kesumat dengan nada lantang membakar seolah dia adalah satu diantara prajurit pemberontak yang menghadang rombongan  Moamar Khadafi, tentu bukan tontonan kacang-kacang. Ini sungguh serius Eyang? Lebih serius dari rencana pembentukan Propinsi Totabuan. Rakyat sedang marah. Bahkan rela tak puasa (atau sengaja batal puasa) demi menghadang rombongan Eyang.

Ada gosip yang sempat beredar yang konon sudah menjadi rahasia umum. Gosip itu mengatakan, warga Tutuyan nekat berbuat demikian karena sudah muak dengan Eyang. Pelemparan batu itu cuma wujud akumulasi kekecewaan yang sudah tak tertahankan. Pengalihan lokasi upacara peringatan HUT Kemerdekaan tinggal jadi pemicu yang hampir bisa dikata sudah di tunggu-tunggu.

Saat rekruitmen CPNS Pemkab Boltim silam, banyak warga Tutuyan mengaku tersinggung dengan statement  Bupati yang ikut menyalahkan warga Tutuyan karena tidak mampu menjaga keamanan sehingga terjadi pembobolan Kantor BKKD Boltim, padahal warga Tutuyan sudah merasa dirugikan dengan banyaknya honorer dan CPNS asal tutuyan yang gugur. Begitupun soal aliran dana proyek yang lebih banyak bermuara ke kerabat-kerabat dekat Eyang.

Hmm, Pak Bupati! Lebaran kali ini benar-benar menjadi momentum  introspeksi buat Pak Bupati. Maka berbenahlah sebelum "bernasib seperti"  Moamar Khadafi yang dihadang para pemberontak dengan AK-47, M16 dan Revolfer.

Tentu ini bukan lebay. Saatnya bersalam-salaman kembali. Ajak warga berdiskusi dan cari jalan keluar.

Selamat Idul Fitri.