Jumat, 31 Agustus 2012

Meydi Minta "Cere"; Ada Apa Ini Eyang??

"Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi.”

Tulisan diatas adalah nukilan yang saya ambil dari majalah Tempo edisi 1 April 1978. Adalah isi surat yang disampaikan Wakil Presiden RI Mohamad Hatta kepada Ketua DPR RI yang kala itu dijabat Sartono SH. Surat pengunduran diri yang disampaikan Bung Hatta ke DPR itu bertanggal 20 Juli 1956.
***

Rabu 29 Agustus 2012, kabar pengunduran diri Meydi Lensun, Wakil Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim) menjadi trendding status sejumlah kerabat media di situs jejaring sosial dan BBM. Saya mengejar keabsahan berita tersebut dan rata-rata dari mereka memberikan keterangan kalau kabar itu bukan gosip. Ternyata benar, Kamis 30 Agustus 2012 kemarin di media cetak terbitan Sulut, kabar itu terkonfirmasi lengkap dengan pernyataan Meydi kepada wartawan usai dirinya bertemu dengan Wakil Gubernur Sulut Djouhari Kansil di Kantor Pemprop Sulut.

Ada hal (bagi saya pribadi) yang cukup disayangkan tatkala membaca pernyataan Meydi kepada wartawan terkait alasan pengunduran dirinya. Meydi memang berbeda dengan Bung Hatta. Jika Bung Hatta mempersoalkan sistem pemerintahan yang akan dianut negara ini apakah menganut sistem parlementer atau kabinet presidentil, termasuk soal demokrasi terpimpin yang digencarkan Bung Karno, maka Meydi mempersoalkan konsistensi dan komitmen pasanganya, Bupati Sehan Landjar. Perkara konsistensi dan komitmen apa yang dimaksudkan Meydi memang bias. Namun tersirat sederet guliran statement dari Meydi ke-orang media cukup keras dan bertendensi pribadi. Begitu terbuka, emosional, dan leluasa sebagaimana yang disampaikanya ke Harian KOMENTAR (Jumat 31 Agustus 2012), saya kutip; "Tidak perlu. Siapa sih dia" kata Meydi tatkala wartawan menanyai alasan pengunduran dirinya yang tak diberitahukan ke Bupati Sehan Lanjar. Kutipan lainya adalah : "Alasan utama saya mundur, karena selama ini komitmen yang sudah kami bangun sejak awal pencalonan yang tertuang dalam MoU yang disaksikan oleh partai-partai pendukung sudah banyak yang dilanggar".
Yah, menjadi kebebasan dan hak Meydi memuntahkan apa yang menurutnya perlu dimuntahkan. Entah barang apapun itu, kita aminkan saja dan cukup tahu bahwa ada sesuatu yang besar dan complicated (meminjam istilah Meydi) terjadi antara dirinya dengan Eyang (Sehan Lanjar). Ungkapan Meydi yang meluap hingga di dunia gadget mencerminkan gejolak jiwa mudanya.
***

Secuil Cerita Dengan Bersemi

Saya tidak ikut berdarah-darah dalam memenangkan pasangan Bersemi di moment Pemilukada Boltim 2010 silam. Namun saya ingat, ketika itu dibutuhkan 5 orang pengelola sekretariat pemenangan. Sahabat saya Yusra Alhabsy yang adalah Ketua Tim Kampanye pasangan Bersemi (Bersama Sehan-Meydi) datang ke kampung saya di Passi bersama Rio Manoppo (keduanya sama-sama Anggota DPRD Bolmong). Maksud kedatangan mereka adalah minta tenaga bantuan 2 orang yang serius dan siap kerja di Media Center Bersemi dalam rangka pemenangan. Ikut menjadi bagian tim sukses maksudnya.

Kami ngobrol di rumah Delianto Bengga. Bagi saya, tawaran itu sangat menarik. Apalagi datangnya dari Uchan (Yusra Alhabsy yang saya kenal sejak dirinya memimpin PMII Cabang Manado) dan Rio teman setongkrongan yang berhasil menjadi Anggota DPRD Bolmong pada Pemilu 2009 silam.
Saya yang ketika itu baru saja mendapatkan pekerjaan di Manado dan hanya pulang libur sebentar menyampaikan ke dua orang sahabat ini bahwa saya tidak bisa aktif ikut berjuang bersama mereka di Boltim.
Akhirnya Rio dan Uchan memboyong Delianto Bengga dan Endri Tanjung (teman asal Jakarta yang sudah jadi orang Mongondow setelah kawin di Biga) untuk direkrut menjadi bagian dari Tim Pemenangan Bersemi. Saya cukup mengikuti kerja dan sepak terjang mereka dari Manado.

Jauh sebelum itu, Rio Manoppo (mantan Anggota DPRD Boltim) datang menemui saya dimana dirinya bermaksud melamar Partai Republikan supaya menjadi salah satu partai pengusung pasangan Sehan Lanjar-Meydi Lensun dalam Pemilukada Boltim. Rio menemui saya sebab tahu kalau sayalah yang merintis pembentukan Partai Republikan tingkat Kabupaten (DPC) hingga Kecamatan (DPAC) di Boltim dengan modal pas-pasan yang hampir koit di pertigaan Jikoblanga (saat mengkonsolidasikan partai ini di Boltim, kendaraan saya hampir masuk jurang di pertigaan Jikoblanga dan nyawa se-isi mobil nyaris terengut), tahu sendiri bagaimana kondisi jalan waktu itu.

Saya lantas menyampaikan ke Rio kalau saya akan membicarakan dulu dengan Saptono Paputungan dan Titin Mamonto serta beberapa teman pengurus partai di Boltim sebab orang-orang inilah yang sama-sama bekerja dengan saya tatkala partai yang di-anggap remeh ini (namun mampu membawa Saptono ke kursi DPRD Boltim bersaing dengan caleg lain dari partai besar) dibentuk di Boltim. Saptono yang memang harus dijujuri tergolong orang baru dan masih malu-malu dalam dunia partai, mempercayakan semua urusan tetek-bengeknya kepada saya. Namun demikian dirinya tetap memberi dukungan.
Kepemimpinan partai di Boltim lantas saya serahkan pada Saptono Paputungan. Hal ini diperkuat dengan SK dari DPD Republikan Sulut yang saya urus. Pertemuan di Restoran Nyiur Hijau bersama calon kandidat papan dua yakni Meydi Lensun lantas dilangsungkan. Zainuddin Mokodongan (mantan politisi dari Partai Golkar) yang kala itu sudah memegang tampuk kepemimpinan sebagai Ketua DPC Republikan Bolmong diminta turut hadir sebagai "sesepuh" Republikan dan melakukan pembicaraan dengan Meydi Lensun terkait pengusungan. Kesepakatan didapat, memang ada sederet MoU yang sempat dibicarakan disitu, tapi biarlah tak perlu diungkit-ungkit lagi sebab waktu sudah berjalan lama. Yang pasti saya sudah cukup berbangga (sumpah kebanggaan saya tidak mampu dibeli dengan apapun termasuk mengungkit-ungkit soal komitmen), partai yang dengan begitu susah payahnya dibentuk di Boltim bisa ikut menjadi partai pengusung bersama PKB, PDS, PBR dan Pelopor dalam memenangkan pasangan Bersemi (Bersama Sehan-Meydi). Ditambah lagi dengan kesuksesan mencetak seorang Saptono Paputungan menjadi Anggota DPRD Boltim dari partai yang sama; Republikan.
***

Kenangan Itu Tak Lama Bersemi

Tampilnya pasangan Bersemi sebagai pemenang di perhelatan Pemilukada Boltim menggegerkan banyak kalangan. Semua tahu kalau nama Sehan Lanjar dan Meydi Lensun tidak se-populer lawan-lawan mereka di Pemilukada. Terlebih lagi cuma didukung partai gurem dengan dana yang sangat-sangat terbatas. Bagaimanapun juga kerja teman-teman tim pemenangan Bersemi layak diacungi jempol.
***

Jika Bung Hatta bisa bertahan sedamping dengan Bung Karno selama 11 tahun, maka 2 tahun sudah cukup bagi Meydi Lensun untuk tak sedamping lagi dengan Eyang. Padahal banyak harapan dititipkan rakyat dipundak  pasangan yang mewakili ragam unsur ini. Apalagi kepemimpinan mereka dihari-hari sebelumnya dikenal mesra, hangat dan merakyat. Eyang dan Meydi juga merupakan simbol peleburan dua generasi. Meydi yang dikenal begitu muda dan penuh semangat nan berapi-api, didampingi Eyang yang hampir mirip sebagai sosok orang tua yang cerdas, arif dan humoris. Sayang sekali kebersamaan pasangan ini tak lama bersemi.

Tahun ini benar-benar tahun yang berat bagi Eyang. Belum sebulan kita dikagetkan dengan insiden pelemparan batu oleh masyarakat Tutuyan terhadap Eyang, kabar duka sudah datang; Ibu mertua Eyang meninggal dunia. Masih dalam lingkup suasana duka, Eyang harus menerima kabar; "adik" sedampingnya memutuskan untuk berpisah.

Ada apa sebenarnya Eyang?