"Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang,
setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan
Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya
bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera,
setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara
resmi.”
Tulisan diatas adalah nukilan yang saya ambil dari majalah Tempo edisi 1 April 1978. Adalah isi surat yang disampaikan Wakil Presiden RI Mohamad Hatta
kepada Ketua DPR RI yang kala itu dijabat Sartono SH. Surat pengunduran
diri yang disampaikan Bung Hatta ke DPR itu bertanggal 20 Juli 1956.
***
Rabu 29 Agustus 2012, kabar pengunduran diri Meydi Lensun, Wakil Bupati
Bolaang Mongondow Timur (Boltim) menjadi trendding status sejumlah
kerabat media di situs jejaring sosial dan BBM. Saya mengejar keabsahan
berita tersebut dan rata-rata dari mereka memberikan keterangan kalau
kabar itu bukan gosip. Ternyata benar, Kamis 30 Agustus 2012 kemarin di
media cetak terbitan Sulut, kabar itu terkonfirmasi lengkap dengan
pernyataan Meydi kepada wartawan usai dirinya bertemu dengan Wakil
Gubernur Sulut Djouhari Kansil di Kantor Pemprop Sulut.
Ada hal (bagi saya pribadi) yang cukup disayangkan tatkala membaca
pernyataan Meydi kepada wartawan terkait alasan pengunduran dirinya.
Meydi memang berbeda dengan Bung Hatta. Jika Bung Hatta mempersoalkan
sistem pemerintahan yang akan dianut negara ini apakah menganut sistem
parlementer atau kabinet presidentil, termasuk soal demokrasi terpimpin
yang digencarkan Bung Karno, maka Meydi mempersoalkan konsistensi dan
komitmen pasanganya, Bupati Sehan Landjar. Perkara konsistensi dan
komitmen apa yang dimaksudkan Meydi memang bias. Namun tersirat sederet
guliran statement dari Meydi ke-orang media cukup keras dan bertendensi
pribadi. Begitu terbuka, emosional, dan leluasa sebagaimana yang
disampaikanya ke Harian KOMENTAR (Jumat 31 Agustus 2012), saya kutip;
"Tidak perlu. Siapa sih dia" kata Meydi tatkala wartawan menanyai alasan
pengunduran dirinya yang tak diberitahukan ke Bupati Sehan Lanjar.
Kutipan lainya adalah : "Alasan utama saya mundur, karena selama ini
komitmen yang sudah kami bangun sejak awal pencalonan yang tertuang
dalam MoU yang disaksikan oleh partai-partai pendukung sudah banyak yang
dilanggar".
Yah, menjadi kebebasan dan hak Meydi memuntahkan apa yang menurutnya
perlu dimuntahkan. Entah barang apapun itu, kita aminkan saja dan cukup
tahu bahwa ada sesuatu yang besar dan complicated (meminjam istilah Meydi) terjadi antara dirinya
dengan Eyang (Sehan Lanjar). Ungkapan Meydi yang meluap hingga di
dunia gadget mencerminkan gejolak jiwa mudanya.
***
Secuil Cerita Dengan Bersemi
Saya tidak ikut berdarah-darah dalam memenangkan pasangan Bersemi di
moment Pemilukada Boltim 2010 silam. Namun saya ingat, ketika itu
dibutuhkan 5 orang pengelola sekretariat pemenangan. Sahabat saya Yusra
Alhabsy yang adalah Ketua Tim Kampanye pasangan Bersemi (Bersama
Sehan-Meydi) datang ke kampung saya di Passi bersama Rio Manoppo (keduanya
sama-sama Anggota DPRD Bolmong). Maksud kedatangan mereka adalah minta
tenaga bantuan 2 orang yang serius dan siap kerja di Media Center
Bersemi dalam rangka pemenangan. Ikut menjadi bagian tim sukses maksudnya.
Kami ngobrol di rumah Delianto Bengga. Bagi saya, tawaran itu sangat
menarik. Apalagi datangnya dari Uchan (Yusra Alhabsy yang saya kenal sejak dirinya
memimpin PMII Cabang Manado) dan Rio teman setongkrongan yang berhasil menjadi
Anggota DPRD Bolmong pada Pemilu 2009 silam.
Saya yang ketika itu baru saja mendapatkan pekerjaan di Manado dan hanya pulang libur sebentar menyampaikan ke dua orang sahabat ini bahwa saya tidak bisa
aktif ikut berjuang bersama mereka di Boltim.
Akhirnya Rio dan Uchan memboyong Delianto Bengga dan Endri Tanjung (teman asal Jakarta
yang sudah jadi orang Mongondow setelah kawin di Biga) untuk direkrut
menjadi bagian dari Tim Pemenangan Bersemi. Saya cukup mengikuti kerja dan sepak
terjang mereka dari Manado.
Jauh sebelum itu, Rio Manoppo (mantan Anggota DPRD Boltim) datang
menemui saya dimana dirinya bermaksud melamar Partai Republikan supaya
menjadi salah satu partai pengusung pasangan Sehan Lanjar-Meydi Lensun
dalam Pemilukada Boltim. Rio menemui saya sebab tahu kalau sayalah yang
merintis pembentukan Partai Republikan tingkat Kabupaten (DPC) hingga
Kecamatan (DPAC) di Boltim dengan modal pas-pasan yang hampir koit di
pertigaan Jikoblanga (saat mengkonsolidasikan partai ini di
Boltim, kendaraan saya hampir masuk jurang di pertigaan Jikoblanga dan
nyawa se-isi mobil nyaris terengut), tahu sendiri bagaimana kondisi
jalan waktu itu.
Saya lantas menyampaikan ke Rio kalau saya akan membicarakan dulu
dengan Saptono Paputungan dan Titin Mamonto serta beberapa teman
pengurus partai di Boltim sebab orang-orang inilah yang sama-sama
bekerja dengan saya tatkala partai yang di-anggap remeh ini (namun mampu
membawa Saptono ke kursi DPRD Boltim bersaing dengan caleg lain dari
partai besar) dibentuk di Boltim. Saptono yang memang harus dijujuri
tergolong orang baru dan masih malu-malu dalam dunia partai,
mempercayakan semua urusan tetek-bengeknya kepada saya. Namun demikian
dirinya tetap memberi dukungan.
Kepemimpinan partai di Boltim lantas
saya serahkan pada Saptono Paputungan. Hal ini diperkuat dengan SK dari
DPD Republikan Sulut yang saya urus. Pertemuan di Restoran Nyiur Hijau
bersama calon kandidat papan dua yakni Meydi Lensun lantas
dilangsungkan. Zainuddin Mokodongan (mantan politisi dari Partai Golkar)
yang kala itu sudah memegang tampuk kepemimpinan sebagai Ketua DPC
Republikan Bolmong diminta turut hadir sebagai "sesepuh" Republikan
dan melakukan pembicaraan dengan Meydi Lensun terkait pengusungan. Kesepakatan
didapat, memang ada sederet MoU yang sempat dibicarakan disitu, tapi
biarlah tak perlu diungkit-ungkit lagi sebab waktu sudah berjalan lama.
Yang pasti saya sudah cukup berbangga (sumpah kebanggaan saya tidak
mampu dibeli dengan apapun termasuk mengungkit-ungkit soal komitmen),
partai yang dengan begitu susah payahnya dibentuk di Boltim bisa ikut
menjadi partai pengusung bersama PKB, PDS, PBR dan Pelopor dalam
memenangkan pasangan Bersemi (Bersama Sehan-Meydi).
Ditambah lagi dengan kesuksesan mencetak seorang Saptono Paputungan
menjadi Anggota DPRD Boltim dari partai yang sama; Republikan.
***
Kenangan Itu Tak Lama Bersemi
Tampilnya pasangan Bersemi sebagai pemenang di perhelatan Pemilukada
Boltim menggegerkan banyak kalangan. Semua tahu kalau nama Sehan Lanjar
dan Meydi Lensun tidak se-populer lawan-lawan mereka di Pemilukada.
Terlebih lagi cuma didukung partai gurem dengan dana yang sangat-sangat
terbatas. Bagaimanapun juga kerja teman-teman tim pemenangan Bersemi
layak diacungi jempol.
***
Jika Bung Hatta bisa bertahan sedamping dengan Bung Karno selama 11
tahun, maka 2 tahun sudah cukup bagi Meydi Lensun untuk tak sedamping
lagi dengan Eyang. Padahal banyak harapan dititipkan rakyat dipundak
pasangan yang mewakili ragam unsur ini. Apalagi kepemimpinan mereka
dihari-hari sebelumnya dikenal mesra, hangat dan merakyat. Eyang dan
Meydi juga merupakan simbol peleburan dua generasi. Meydi yang dikenal
begitu muda dan penuh semangat nan berapi-api, didampingi Eyang yang
hampir mirip sebagai sosok orang tua yang cerdas, arif dan humoris.
Sayang sekali kebersamaan pasangan ini tak lama bersemi.
Tahun ini benar-benar tahun yang berat bagi Eyang. Belum sebulan kita
dikagetkan dengan insiden pelemparan batu oleh masyarakat Tutuyan
terhadap Eyang, kabar duka sudah datang; Ibu mertua Eyang
meninggal dunia. Masih dalam lingkup suasana duka, Eyang harus menerima
kabar; "adik" sedampingnya memutuskan untuk berpisah.
Ada apa sebenarnya Eyang?