Namanya Gobin. Jelas bukan nama yang lazim bagi orang Mongondow sebab umumnya orang tua di Mongondow
Tapi jaman memang mengalami peberubahan.
Dan orang Mongondow jelas tak luput dari arus perubahan itu termasuk soal
pemberian nama anak. Maka tak perlu
heran jika nama seperti Jemi, Siska, Cintia, Gerri, atau yang paling moderat
sebagai Gunawan, kini melekat sebagai nama anak-anak Mongondow.
Mungkin kita memang sepakat bahwa
saat ini Mongondow sudah berada di jaman modern, di era Millenium. Bukan lagi di jaman
Paloko-Kinalang, Bogani atau di jaman ketika Lengkebong dan Lonua’ masih hidup. Siapa pula
orang tua Mongondow yang kini hidup di jaman Samsung dan Apple mau memberi nama
anaknya: Jainta, Santimah, Nungko’, Dolu’ong, atau tarulah sedikit lebih
moderat macam Mahadi.
Mungkin pernah kita berpikir,
apakah ini suatu pertanda bahwa akar budaya Mongondow telah terkikis atau
bahkan sudah tercerabut dari tanah leluhurnya? Apa yang menyebabkan itu? Akibat
penetrasi budaya luarkah? Atau?? Mungkin ada beberapa yang enggan
mengiyakan. Ada pula yang sepakat membenarkan. Sebagian acuh tak acuh. Dan
sebagian lagi mungkin khawatir.
Soal penamaan ini, sebenarnya ada
yang menarik dan terutama perlu disadari dan diketahui orang Mongondow yang keras
kepala membantah bahwa, perkara penamaan, orang Mongondow tidak terpengaruh sama
sekali dengan adat budaya luar. Apalagi menconteknya.
Nah, apa benar begitu? Mari kita buka:
Nah, apa benar begitu? Mari kita buka:
Rupanya orang Mongondow selain
sudah menghilangkan nama-nama berbau Mongondow untuk disematkan sebagai nama kepada anak
keturunannya, ternyata lebih rela mencontek nama-nama yang lazim kita jumpai pada
orang-orang di Timur Tengah. Contohnya ; Mustafa, Yusuf, Sulaiman, Abdulah bin
Abdul Aziz, dan yang paling banter
adalah Muhamad.
Maka jadilah nama anak Mongondow sebagai
Mustafa Gerri, Yusuf Nungko’, Muhamad Gunawan,
atau Sulaiman Sahar untuk anak laki-laki. Sedangkan untuk perempuan
biasanya didahului dengan nama Siti, Zulaeha, atau Aisyah. Sehingga jadilah
nama itu sebagai Siti Sintia, Zulaeha Siska, Aisyah Cintia, dan sebagainya.
Sampai disini ada yang membantah?
Lalu, entah dimana letak pertautan adat budaya antara Mongondow dengan Timur
Tengah? Sehingga pencampuran nama itu bisa terjadi meski tidak berlaku
sebaliknya bagi orang di Timur Tengah.
Tak percaya? Mari kita cek apakah
ada orang Kuwait atau Afganistan di gurun pasir sana menamakan anak mereka
Nungko’, Uyo’, Lengkebong, Lonua’, Santima? Dolu’ong, Harlan, atau Sahar? Atau
coba cek keturunan Kuwait dan Afganistan yang tali pusarnya sudah di tanam
di sini kemudian kawin beranak-pinak dengan orang Mongondow, adakah mereka
memberi nama keturunannya seperti deretan nama-nama berbau Mongondow yang barusan disebut itu?
Haha, sebelum lebih jauh dan akan banyak
kuping panas kemudian menuduh kisah ini rasis,
mari kita tinggalkan perkara
penamaan ini sembari mengingat sebuah pepatah yang mengatakan; Apalah arti sebuah nama.
Maka mari kita kembali pada
Gobin. Ya, Gobin. Anak Mongondow yang kedua orang tua sebelah-menyebelahnya
adalah asli suku Mongondow. Kakek-Neneknya juga begitu. Pendek kata Gobin yang adalah
100 persen Mongondow alias Madirutu Mongondow.
Asli tanpa campuran.
Lalu ada apa sebenarnya dengan
Gobin sehingga ia seolah-olah penting dikisahkan disini?
Sebenarnya semua bermula dari ketelodoran kami selaku anak Mongondow yang lalai dan sembrono menjaga bahasa Ibu.
Sebenarnya semua bermula dari ketelodoran kami selaku anak Mongondow yang lalai dan sembrono menjaga bahasa Ibu.
Mari kita mulai kisah ini..
Ketika itu kami 4 orang anak
Mongondow yang bertolak dari Bandara Sam Ratulangi Manado tiba di Jakarta pada
bulan dan tahun yang tidak perlu diceritakan disini. Kami tiba di pintu
kedatangan nomor sekian di Bandara Soekarno Hatta. Sebuah mobil sudah lama terparkir di luar menunggu kami tiba lalu cepat melesat hingga sampailah kami di sebuah
hunian di Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat.
Sebagai orang yang baru tiba
dengan pakaian yang masih bau AC pesawat bercampur parfum mobil yang membawa
kami kesini, tentulah ritual yang dilakukan tak jauh panggang dari kamar mandi,
beres-beres barang, dan berselonjor di kasur, sofa, atau di karpet setelah
mencomot bantal empuk terlebih dahulu. Soal makan tak perlu ditanya.
Babak selanjutnya—setelah
beberapa babak yang tak perlu diumbar disini—kami sudah berada di sebuah tempat
hiburan malam di Jalan Hayam Wuruk.
Kami kini berenam di sebuah
ruangan yang privasinya terjaga. Beberapa jam kemudian 4 orang perempuan dan 1
lelaki masuk. Mereka sengaja dipanggil kemari oleh 2 orang kawan kami di
Jakarta selaku tuan rumah yang menerima tamu dari Manado. (sebetulnya kami
rekan bisnis hehe).
Malam berjalan dengan suasana
yang begitu cabul dan mabuk. Kegembiraan yang kelewat batas inilah yang membuat
kami lalai dan sembrono. Selaku anak Mongondow yang memiliki bahasa sendiri,
merasa kami malam itu seperti 4 orang manusia planet jaman purbakala yang
terlempar di tengah-tengah dosa modernitas yang hedonis di Ibukota.
Apa yang terjadi selanjutnya, adalah keributan berbalut ketegangan dan babak-babak yang sekali lagi tak perlu
diumbar disini, dimana kami harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Maka diboyonglah kami malam itu
ke sebuah kantor polisi berlevel sektor. Soal di wilayah mana polsek itu berada,
tak perlu diceritakan disini.
Tapi ada kebingungan yang betapa
membuat kami seperti orang-orang tolol dan bukan ahli dibidangnya. Kami juga
merasa rendah terhadap 2 anak Jakarta selaku rekanan kami yang ketika itu ikut
meringkuk di ruang SPK dan terus diinterogasi hingga yang ada di dalam batok kepala
kami hanyalah jeruji. Dan itu terjadi sekonyong-konyong diakibatkan oleh kedunguan
kami sebagai rekanan yang ternyata amatir.
“Tak usah saling menyalahkan.
Yang jelas kalian adalah orang-orang tolol”
Demikian dua rekanan kami anak
Jakarta berkali-kali menamparkan itu setiap ada jeda interogasi. Selaku rekan
bisnis dan anak Mongondow yang hendak menunjukkan profesionalitas dalam bidang
yang sebenarnya sudah kami geluti beberapa tahun belakangan, kami benar-benar dibuat
malu dan nampak dungu. Terlebih lagi kami yang memutar keras isi kepala dan
menganalisa apa sebenarnya yang menjadi penyebab sampai bisa berada di tempat
setengik ini, belum pula menemukan jawaban.
“Bukankah semua terkendali? Tak
ada yang menyolok. Semua aman-aman saja. Tapi kenapa bisa terendus?” Aku
melempar itu kepada kawan sesama anak Mongondow dan berharap 2 rekan kami anak
Jakarta mendengar meski sebenarnya mereka sudah menutup telinga dan kelewat
dongkol.
Aku akhirnya bertanya pada rekanan kami soal
siapa sebenarnya laki-laki di ruang VIP tadi yang dipanggil Gobs?
Begitupun soal 4 orang perempuan yang ikut bergabung. Tapi mereka tak bergeming. Yang
terucap hanya makian dan sederet luapan kedongkolan yang alangkah memalukannya
jika diungkap disini. Tetapi aku terus mendesak soal
siapa laki-laki yang disapa Gobs?
“Tidakkah kau lihat dari tampang
dan gayanya siapa dan apa dia? Lalu kalian pikir siapa 4 perempuan yang
dibawanya? Bukankah kalian perlu bersenang-senang? Apa aku harus berteriak
disini bahwa Gobs itu mucikari?”
“Aku tahu itu tapi darimana
asalnya? Apa dia sentimen terhadapmu? Apa kalian tidak berpikir bahwa semua
ini berawal dari dia? Atau dari empat perempuan itu??” kataku.
“Kami sudah berteman lama
dengannya. Kami punya hubungan baik bahkan dia tidak pernah tahu meski
secuilpun soal urusan kita, bisnis kita. Kami mengenalnya dengan baik dan mana
mungkin semua berawal darinya sedang kita tidak pernah bicara setitikpun soal
apa yang kita urus. Dia buta soal urusan kita dan aku pikir kita tadi hanya
bersenang-senang. Bukan membuka aib urusan kita.”
“Tapi dari mana asalnya?” kejarku
“Kenapa sekarang kau menanyakan
asalnya dari mana? Apa itu penting? Kau tahu, dari mana saja orang tinggal di
Jakarta? Bisa jadi dia dari Aceh, mungkin pula Lombok. Siapa juga yang tahu
dari Kupang, Sambas, Medan, Lampung, Pontianak, mungkin Ambon, Papua, atau
Madura? Jakarta dihuni tak hanya orang Betawi bos, tapi dari Sabang hingga
Merauke ada disini, Jakarta”
“Maka mungkin pula ia dari
Mongondow” balasku.
Tiga kawanku sesama anak
Mongondow sontak menatapku tajam. Begitupun kedua rekan kami anak Jakarta. Tatapan
mereka seperti memaknai sesuatu dan sudah barang tentu kami jugalah anak
Mongondow yang akan jadi santapan.
“Kalian ngomong apa aja tadi saat
di ruangan? Kudengar kalian berbicara bahasa alien? Ayo, apa sebenarnya yang
kalian bicarakan?” Tanya rekan dari Jakarta, tiba-tiba penuh selidik.
Maka sadarlah kami atas apa yang
dilakukan saat di ruang VIP. Sadarlah kami telah mengolok-olok orang yang
disapa Gobs. Mengolok-oloknya dalam bahasa Mongondow yang betapa terkutuk,
jahanam, dan menjijikan yang telah kami bicarakan tentang orang itu jika
disalin ke bahasa Indonesia.
Mereka terbelalak. Rata-rata
penuh selidik dengan lagak yang tiba-tiba seperti sedang digagahi segala terka.
Sejurus dengan itu seorang
komandan mendekati kami. Rupanya salah satu ponsel milik kami yang disita
berbunyi. Ada SMS masuk.
“Siapa pemilik ponsel ini?” kata
komandan.
Aku mengangkat tangan. Sang
komandan mendekat dengan mata menyala seperti singa mau menelan mangsa
hidup-hidup.
“Jangan main-main dengan bahasa
dan jangan berpikir bahwa polisi itu bodoh” kata sang komandan penuh geram lalu
mengeluarkan pistol. Meski aku tahu itu gertakan tapi dalam posisi terjepit
tidak mungkin diantara kami tak ada yang menuruti apa yang jadi kehendaknya.
“Sekarang terjemahkan ke bahasa
Indonesia apa maksud isi SMS ini” kata sang komandan. Matanya terus menyala.
Layar ponsel diperlihatkan dan
isi SMS dengan bahasa Mongondow tertayang disitu seperti untaian pasal pidana
yang bakal mengurung kami. Jujur, ketika itu aku nyaris saja pingsan.
Lalu apa isinya?
Memang tak seberapa jahanam,
terkutuk, dan menjijikan sebagaimana yang telah kami olok-olokkan terhadapnya saat di
ruang VIP. Jika disalin ke bahasa Indonesia
maka secara garis besarnya SMS berbahasa Mongondow itu berbunyi : Jaga mulut
dan bahasamu!
Di akhir tulisan itu tertulis
kata Gobin. Seperti sebuah pernyataan bahwa Gobin juga anak Mongondow dalam
rantau yang bisa nekat dan tega berbuat apa saja jika diri apalagi yang
menyangkut kehormatan orang tuanya diusik, apalagi dijadikan olok-olok.