Minggu, 18 Januari 2015

Gobin


Namanya Gobin. Jelas bukan nama yang lazim bagi orang Mongondow sebab umumnya orang tua di Mongondow pada jaman dulu sih  memberi nama pada anak-anak mereka sebagai; Harlan, Subaeda, Jainta, Obay, Uyo’, Nungko’, Santima, Sahar, atau Dolu’ong.

Tapi jaman memang mengalami peberubahan. Dan orang Mongondow jelas tak luput dari arus perubahan itu termasuk soal pemberian nama anak.  Maka tak perlu heran jika nama seperti Jemi, Siska, Cintia, Gerri, atau yang paling moderat sebagai Gunawan, kini melekat sebagai nama anak-anak Mongondow.

Mungkin kita memang sepakat bahwa saat ini Mongondow sudah berada di jaman modern, di era Millenium. Bukan lagi di jaman Paloko-Kinalang, Bogani atau di jaman ketika Lengkebong dan Lonua’ masih hidup. Siapa pula orang tua Mongondow yang kini hidup di jaman Samsung dan Apple mau memberi nama anaknya: Jainta, Santimah, Nungko’, Dolu’ong, atau tarulah sedikit lebih moderat macam Mahadi. 

Mungkin pernah kita berpikir, apakah ini suatu pertanda bahwa akar budaya Mongondow telah terkikis atau bahkan sudah tercerabut dari tanah leluhurnya? Apa yang menyebabkan itu? Akibat penetrasi budaya luarkah? Atau?? Mungkin ada beberapa yang enggan mengiyakan. Ada pula yang sepakat membenarkan. Sebagian acuh tak acuh. Dan sebagian lagi mungkin khawatir.

Soal penamaan ini, sebenarnya ada yang menarik dan terutama perlu disadari dan diketahui orang Mongondow yang keras kepala membantah bahwa, perkara penamaan, orang Mongondow tidak terpengaruh sama sekali dengan adat budaya luar. Apalagi menconteknya.

Nah, apa benar begitu? Mari kita buka:

Rupanya orang Mongondow selain sudah menghilangkan nama-nama berbau Mongondow untuk disematkan sebagai nama kepada anak keturunannya, ternyata lebih rela mencontek nama-nama yang lazim kita jumpai pada orang-orang di Timur Tengah. Contohnya ; Mustafa, Yusuf, Sulaiman, Abdulah bin Abdul Aziz,  dan yang paling banter adalah Muhamad.

Maka jadilah nama anak Mongondow sebagai Mustafa Gerri, Yusuf Nungko’, Muhamad Gunawan,  atau Sulaiman Sahar untuk anak laki-laki. Sedangkan untuk perempuan biasanya didahului dengan nama Siti, Zulaeha, atau Aisyah. Sehingga jadilah nama itu sebagai Siti Sintia, Zulaeha Siska, Aisyah Cintia, dan sebagainya.

Sampai disini ada yang membantah? Lalu, entah dimana letak pertautan adat budaya antara Mongondow dengan Timur Tengah? Sehingga pencampuran nama itu bisa terjadi meski tidak berlaku sebaliknya bagi orang di Timur Tengah.

Tak percaya? Mari kita cek apakah ada orang Kuwait atau Afganistan di gurun pasir sana menamakan anak mereka Nungko’, Uyo’, Lengkebong, Lonua’, Santima? Dolu’ong, Harlan, atau Sahar? Atau coba cek keturunan Kuwait dan Afganistan yang tali pusarnya sudah di tanam di sini kemudian kawin beranak-pinak dengan orang Mongondow, adakah mereka memberi nama keturunannya seperti deretan nama-nama berbau Mongondow yang barusan disebut itu?

Haha, sebelum lebih jauh dan akan banyak kuping panas kemudian menuduh kisah ini rasis,  mari kita  tinggalkan perkara penamaan ini sembari mengingat sebuah pepatah yang mengatakan; Apalah arti sebuah nama.

Maka mari kita kembali pada Gobin. Ya, Gobin. Anak Mongondow yang kedua orang tua sebelah-menyebelahnya adalah asli suku Mongondow. Kakek-Neneknya juga begitu. Pendek kata Gobin yang adalah 100 persen Mongondow alias Madirutu Mongondow. Asli tanpa campuran.

Lalu ada apa sebenarnya dengan Gobin sehingga ia seolah-olah penting dikisahkan disini?

Sebenarnya semua bermula dari ketelodoran kami selaku anak Mongondow yang lalai dan sembrono menjaga bahasa Ibu.

Mari kita mulai kisah ini..

Ketika itu kami 4 orang anak Mongondow yang bertolak dari Bandara Sam Ratulangi Manado tiba di Jakarta pada bulan dan tahun yang tidak perlu diceritakan disini. Kami tiba di pintu kedatangan nomor sekian di Bandara Soekarno Hatta. Sebuah mobil sudah lama terparkir di luar menunggu kami tiba lalu cepat melesat hingga sampailah kami di sebuah hunian di Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat.

Sebagai orang yang baru tiba dengan pakaian yang masih bau AC pesawat bercampur parfum mobil yang membawa kami kesini, tentulah ritual yang dilakukan tak jauh panggang dari kamar mandi, beres-beres barang, dan berselonjor di kasur, sofa, atau di karpet setelah mencomot bantal empuk terlebih dahulu. Soal makan tak perlu ditanya.

Babak selanjutnya—setelah beberapa babak yang tak perlu diumbar disini—kami sudah berada di sebuah tempat hiburan malam di Jalan Hayam Wuruk.

Kami kini berenam di sebuah ruangan yang privasinya terjaga. Beberapa jam kemudian 4 orang perempuan dan 1 lelaki masuk. Mereka sengaja dipanggil kemari oleh 2 orang kawan kami di Jakarta selaku tuan rumah yang menerima tamu dari Manado. (sebetulnya kami rekan bisnis hehe).

Malam berjalan dengan suasana yang begitu cabul dan mabuk. Kegembiraan yang kelewat batas inilah yang membuat kami lalai dan sembrono. Selaku anak Mongondow yang memiliki bahasa sendiri, merasa kami malam itu seperti 4 orang manusia planet jaman purbakala yang terlempar di tengah-tengah dosa modernitas yang hedonis di Ibukota.

Apa yang terjadi selanjutnya, adalah keributan berbalut ketegangan dan babak-babak yang sekali lagi tak perlu diumbar disini, dimana kami harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Maka diboyonglah kami malam itu ke sebuah kantor polisi berlevel sektor. Soal di wilayah mana polsek itu berada, tak perlu diceritakan disini.

Tapi ada kebingungan yang betapa membuat kami seperti orang-orang tolol dan bukan ahli dibidangnya. Kami juga merasa rendah terhadap 2 anak Jakarta selaku rekanan kami yang ketika itu ikut meringkuk di ruang SPK dan terus diinterogasi hingga yang ada di dalam batok kepala kami hanyalah jeruji. Dan itu terjadi sekonyong-konyong diakibatkan oleh kedunguan kami sebagai rekanan yang ternyata amatir.

“Tak usah saling menyalahkan. Yang jelas kalian adalah orang-orang tolol”

Demikian dua rekanan kami anak Jakarta berkali-kali menamparkan itu setiap ada jeda interogasi. Selaku rekan bisnis dan anak Mongondow yang hendak menunjukkan profesionalitas dalam bidang yang sebenarnya sudah kami geluti beberapa tahun belakangan, kami benar-benar dibuat malu dan nampak dungu. Terlebih lagi kami yang memutar keras isi kepala dan menganalisa apa sebenarnya yang menjadi penyebab sampai bisa berada di tempat setengik ini, belum pula menemukan jawaban.

“Bukankah semua terkendali? Tak ada yang menyolok. Semua aman-aman saja. Tapi kenapa bisa terendus?” Aku melempar itu kepada kawan sesama anak Mongondow dan berharap 2 rekan kami anak Jakarta mendengar meski sebenarnya mereka sudah menutup telinga dan kelewat dongkol.

Aku akhirnya bertanya pada rekanan kami soal siapa sebenarnya laki-laki di ruang VIP tadi yang dipanggil Gobs? Begitupun soal 4 orang perempuan yang ikut bergabung. Tapi mereka tak bergeming. Yang terucap hanya makian dan sederet luapan kedongkolan yang alangkah memalukannya jika diungkap disini. Tetapi aku terus mendesak soal siapa laki-laki yang disapa Gobs?

“Tidakkah kau lihat dari tampang dan gayanya siapa dan apa dia? Lalu kalian pikir siapa 4 perempuan yang dibawanya? Bukankah kalian perlu bersenang-senang? Apa aku harus berteriak disini bahwa Gobs itu mucikari?”

“Aku tahu itu tapi darimana asalnya? Apa dia sentimen terhadapmu? Apa kalian tidak berpikir bahwa semua ini berawal dari dia? Atau dari empat perempuan itu??” kataku.

“Kami sudah berteman lama dengannya. Kami punya hubungan baik bahkan dia tidak pernah tahu meski secuilpun soal urusan kita, bisnis kita. Kami mengenalnya dengan baik dan mana mungkin semua berawal darinya sedang kita tidak pernah bicara setitikpun soal apa yang kita urus. Dia buta soal urusan kita dan aku pikir kita tadi hanya bersenang-senang. Bukan membuka aib urusan kita.”

“Tapi dari mana asalnya?” kejarku

“Kenapa sekarang kau menanyakan asalnya dari mana? Apa itu penting? Kau tahu, dari mana saja orang tinggal di Jakarta? Bisa jadi dia dari Aceh, mungkin pula Lombok. Siapa juga yang tahu dari Kupang, Sambas, Medan, Lampung, Pontianak, mungkin Ambon, Papua, atau Madura? Jakarta dihuni tak hanya orang Betawi bos, tapi dari Sabang hingga Merauke ada disini, Jakarta”

“Maka mungkin pula ia dari Mongondow” balasku.

Tiga kawanku sesama anak Mongondow sontak menatapku tajam. Begitupun kedua rekan kami anak Jakarta. Tatapan mereka seperti memaknai sesuatu dan sudah barang tentu kami jugalah anak Mongondow yang akan jadi santapan.

“Kalian ngomong apa aja tadi saat di ruangan? Kudengar kalian berbicara bahasa alien? Ayo, apa sebenarnya yang kalian bicarakan?” Tanya rekan dari Jakarta, tiba-tiba penuh selidik.

Maka sadarlah kami atas apa yang dilakukan saat di ruang VIP. Sadarlah kami telah mengolok-olok orang yang disapa Gobs. Mengolok-oloknya dalam bahasa Mongondow yang betapa terkutuk, jahanam, dan menjijikan yang telah kami bicarakan tentang orang itu jika disalin ke bahasa Indonesia.

Mereka terbelalak. Rata-rata penuh selidik dengan lagak yang tiba-tiba seperti sedang digagahi segala terka.

Sejurus dengan itu seorang komandan mendekati kami. Rupanya salah satu ponsel milik kami yang disita berbunyi. Ada SMS masuk.

“Siapa pemilik ponsel ini?” kata komandan.

Aku mengangkat tangan. Sang komandan mendekat dengan mata menyala seperti singa mau menelan mangsa hidup-hidup.

“Jangan main-main dengan bahasa dan jangan berpikir bahwa polisi itu bodoh” kata sang komandan penuh geram lalu mengeluarkan pistol. Meski aku tahu itu gertakan tapi dalam posisi terjepit tidak mungkin diantara kami tak ada yang menuruti apa yang jadi kehendaknya.

“Sekarang terjemahkan ke bahasa Indonesia apa maksud isi SMS ini” kata sang komandan. Matanya terus menyala.

Layar ponsel diperlihatkan dan isi SMS dengan bahasa Mongondow tertayang disitu seperti untaian pasal pidana yang bakal mengurung kami. Jujur, ketika itu aku nyaris saja pingsan.

Lalu apa isinya?

Memang tak seberapa jahanam, terkutuk, dan menjijikan sebagaimana yang telah kami olok-olokkan terhadapnya saat di ruang VIP. Jika disalin ke bahasa Indonesia maka secara garis besarnya SMS berbahasa Mongondow itu berbunyi : Jaga mulut dan bahasamu!

Di akhir tulisan itu tertulis kata Gobin. Seperti sebuah pernyataan bahwa Gobin juga anak Mongondow dalam rantau yang bisa nekat dan tega berbuat apa saja jika diri apalagi yang menyangkut kehormatan orang tuanya diusik, apalagi dijadikan olok-olok.