Senin, 26 Januari 2015

Mengkritik Itu Tidak Kejam, Tetapi Menjonru Itu Lebih Kejam Dari...

Foto olahan : Bupati Boltimg  (Kiri), Jonru Ginting (Kanan)
Boltim adalah wilayah yang sebenarnya mengagumkan untuk dikunjungi. Betapa unik, lucu, menggemaskan, lain daripada yang lain, hingga tak jarang diantara kita yang pernah datang, lupa ganti baju dan gagal pulang sesuai jadwal.

Negeri di ujung timur Mongondow ini tak hanya memberi pelajaran hidup yang unik sehingga menjadi ilmu bagi siapa saja yang pernah merangkak di tanjakan Atoga, tergelincir di Inde Indeyaw, mengais bebatuan di Panang, kehabisan korek di Pulau Nanas, ketemu Aya' di Kotabunan, bersilahturasa di Rumah Kopi Jabrik, mendengarkan Mufidz berkisah tentang sepenggal hidupnya, main bola bersama bocah-bocah berbau matahari di pantai pasir besi desa Paret, duduk ngobrol sembari menengak bir bersama kawan PNS yang batal pulang Kotamobagu, menghabiskan malam di Mabes Parkir Timur BNI,  menyaksikan kebebasan Ambing dijalanan Togid, dan yang tak kalah mengagumkan adalah ketika sempat menikmati pementasan puisi di pesta pernikahan warga Tombolikat, dan pementasan teater Penyaliban Yesus Kristus di desa Guaan.

Kedengarannya subyektif. Ini memang merupakan pengalaman pribadi. Tapi bukankah setiap orang punya penilaian sendiri-sendiri tentang apa yang pernah membuatnya menemukan pelajaran penting soal bagaimana menikmati hidup lebih merdeka meski dengan cara berbeda dan tidak gampang.

Ketika wilayah ini akhirnya pisah dengan kabupaten induknya, Boltim ibarat bocah yang tidak kehilangan keceriaannya, termasuk soal kesenangan dalam bermain layangan dan kuda-kudaan yang terbuat dari pelepah pohon kelapa.

Bahkan ketika tragedi “Minamata” tinggal cerita purba yang terkubur dan memfosil di dasar teluk Buyat, Boltim move on meninggalkan kengerian itu sembari tetap menemukan keceriaan dan kebebasannya sendiri untuk tampil sebagai kabupaten baru yang harus maju.

Segala apa yang kini menggeliat, berkembang, mekar, dan gemerlap di Boltim, pada akhirnya mampu membentuk kesadaran rakyatnya yang tidak pernah lupa bahwa; betapa dahulu negeri ini jauh panggang dari pembangunan, dianggap sebelah mata, dan jauh merangkak di belakang tatkala masih berada dibawah naungan atap kabupaten induknya; Bolaang Mongondow.

Masa itu akhirnya datang juga. Suatu masa dimana Boltim ibarat bocah kurus yang merangsek bersama gergaji, palu dan paku di tangan, memasuki belantara bernama kesempatan dan dimensi pembangunan berbagai bidang.

Di masa yang penuh semangat itulah, Boltim bergerak dan tumbuh berkembang dibawah komando dua putranya dari Togid dan Modayag.

Mugkin kita belum dapat mengukur pengorbanan setiap rakyatnya yang terus berjuang menjadi orang Boltim yang punya isi kepala. Perjuangan demi cinta dan gumpalan-gumpalan kasih sayang demi tanah kelahirannya seindah Danau Bunong. Tentang berapa ekor sapi dan luas kintal yang telah terjual, berapa liter peluh yang menetes di setiap pori, soal nafas yang hampir putus di Pondot, atau tentang tangis yang terjungkal di Lanut.

Lalu kepada pemimpin yang telah diberi mandat oleh rakyatnya, pertanyaan apa yang perlu kita lontarkan buat mereka? Apakah soal telah berapa buah kuku yang tercabut dari ujung jari? Atau tentang danau Moo’at yang dibiarkan kesepian dan terlantar di setiap malam-malam yang tiba. 

Ataukah kita juga harus bertanya; kenapa tak kalian beri 1 perahu buat kami, untuk dipakai sekedar memancing di tengah danau, agar Moo;at kita riang, lalu orang-orang yang kedinginan mampir ke pondok-pondok yang kalian bangun dari uang pajak yang kami beri.

Tetapi ada suara menggema diantara bunyi lonceng Gereja di Dodap, dan azan subuh yang melengking dari sebuah surau di Nuangan.  Suara-suara yang mengiang hingga di pucuk-pucuk cengkih perbukitan Buyandi. Suara yang bukanlah janji seperti yang pernah teringkari, bukan pula ucapan yang tidak bisa didustai, melainkan suara dari semangat egaliter yang mampu memerdekakan orang dari kelas sosial paling atas bisa berada di dapur rumah kelas sosial paling bawah, dan orang di kelas sosial paling bawah, bisa ongkang-ongkang kaki di ruang tamu kelas sosial teratas.

Sebuah suara yang meniadakan sikap elitis demi kerakyatan dan kesetaraan; duduk sama rendah berdiri sama tinggi; senasib sepenanggungan; tak ada Bua’ tak ada Ki Abo, apalagi Ki Tuang. Yang ada adalah ; Kita tumpala intau, tongo rey, tongo tareangkum, tumpalla boga’. Pendek kata, semua sama dan sederajat.

Semangat egalitarianisme seperti inilah yang berhasil membawa Boltim tumbuh berkembang dari bocah kurus keremus, menjadi pemuda sehat kekar nan gagah tak dipandang sebelah mata. Bahkan jika diibaratkan sebagai seorang perempuan, Boltim dewasa ini bukanlah sekedar gadis berbaju merah seperti yang didendangkan Wali. Ia adalah gadis yang sudah menjadi incaran para pangeran di negeri seberang, dan menjadi rebutan pemuda-pemuda nan gagah dari berbagai pelosok negeri.

Namun semangat egalitarianisme yang ditiupkan sebagai roh pembangunan dan watak kepemimpinan yang tak hanya tersembur dari ludah seorang Sehan Lanjarmelainkan dipraktekkan lewat lagak laku dan sikapbukan serta merta disambut mulus dan puitik disetiap benak dan isi kepala rakyat Boltim yang telah mendapat peluang kedekatan pergaulan tanpa batas dengan pemimpinnya sendiri.

Olehnya kita menyaksikan bagaimana Bupati diamuk masa ketika iring-iringan mobil DB 1 N yang ditumpanginya mendapat penghadangan yang disertai pelemparan batu, sepulang dari upacara HUT Kemerdekaan RI di Kotabunan.

Pada tahun 2012, di desa Paret, jelang tengah malam, ratusan warga yang entah dikomando oleh siapa, merangsek menuju lokasi perusahaan pasir besi. Massa membawa angkara-murka ke lokasi perusahaan. Berbagai fasilitas dan utility perusahaan dibumi hanguskan hingga rata dengan tanah. Tak terkecuali mess karyawan yang tinggal puing-puing berserakan.

Sejenak kita bertanya, bagaimana mungkin seorang Bupati yang bisa bebas duduk berjam-jam dengan rakyatnya, lalu larut dalam bergelas-gelas kopi di segala tempat dengan topik cerita yang sebagian berisi dan sebagian lagi dibumbui topik yang mulai melantur kemana-mana, bisa dihadang rakyatnya sendiri lalu dilempari batu.

Bagaimana pula amuk massa yang ikut didukung mamak-mamak bisa begitu cepat tersulut oleh api kemarahan dan secepat itu pula membumi-hanguskan perusahaan pasir besi PT MPU hingga tinggal puing berserakan.

Kras memang hidop di Boltim! Demikian sahabat biasa berceloteh tatkala botol bir mulai kandas.

Tetapi keindahan danau Bunong pada suatu purnama yang pernah ada, betapa manis mempertemukan para pecinta yang dimabuk kepayang. Orang tak pernah mengira, di malam yang berbahagia itu, salah seorang dari mereka, beberapa detik lagi harus melesat melewati kabut untuk kembali ke pengasingan. Ke suatu sudut ruang yang tak ada satu setanpun pernah membayangkan perjalanan pulang itu.

Ah, di negeri yang dipimpin Bupati dengan gaya blusukan dan watak khas egalitarian, capres Jokowi pada Pilpres lalu justru keok di sini. Seolah-olah kemenangan Prabowo terhadap Jokowi di Boltim membuat kita (para pendukung Jokowi yang memilihnya karena khawatir Prabowo bakal membangkitkan rezim militerisme) agak sewenang-wenang   berpendapat  bahwa ada watak facisme dan feodalisme yang sebenarnya hidup dan masih tertancap kokoh dalam benak orang Boltim. Watak yang bakal menjadi ancaman terhadap kehidupan yang egaliter di wilayah ini.

Tetapi Bupati tidak pernah merubah gaya dan watak kepemimpinannya yang egaliter. Pada suatu kesempatan di sebuah warung kopi yang dimulai sejak pukul 9 malam hingga setengah 4 subuh, ia pernah berkata : "Air laut tetaplah air laut yang asin, meski hujan turun berkali-kali dan air sungai datang membawa segala kotoran beserta racun dari hilir".

Lalu apakah Bupati harus luput dari kritikan? Atau kita tak boleh mencibir dan mengolok-oloknya jika yang ia lakukanterkait kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyakadalah sebuah kekeliruan. 

Sungguh adalah sesuatu yang halal dan mulia mengkritik, memprotes, bahkan (bila perlu) mengolok-olok pemimpin yang hanya membuat rakyatnya malas gosok gigi dan membawa mereka menuju kesengsaraan.

Tetapi hal yang sesungguhnya kurang pantas dilakukan, apalagi hanya membuat kita lupa cuci muka setelah beberapa kali menguap, adalah menjonru-nya. Sebab seperti kata jamaah fesbukiyah; Menjonru lebih kejam dari pembunuhan.