Rabu, 14 Januari 2015

Palu Arit di Pegunungan Ambang

foto irsan - arthedeologi
kisah ini terjadi beberapa tahun lalu yang telah lampau...

PEGUNUNGAN AMBANG adalah hamparan hutan tropis di tanah Mongondow. Dari sisi selatan, kawasan ini membentang berupa perbukitan di wilayah Modayag hingga Bongkudai Baru setelah melewati wilayah bekas Onderneming di Poerworejo, Danau Tondok, Danau Mooat dan berakhir di daerah perbatasan antara Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Kabupaten Minahasa Selatan Propinsi Sulawesi Utara.

Dari sisi sebelah barat, wilayah kaya ini membentang dari perbukitan Sia', desa Pangian, Poopo dan Manembo. Di sebelah utara kawasan yang berada pada tipe ekosistem dataran rendah hingga hutan pegunungan ini, memutar mengitari wilayah desa Sinsingon dan Insil lalu menukik kembali di titik perbatasan Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel).

Sebagian besar wilayah ini sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Sisanya adalah areal pertanian penduduk sejak turun temurun bahkan sebelum wilayah ini ditetapkan pemerintah sebagai kawasan cagar alam pada tahun 1978 dengan luas sebesar 8.638 hektar area kemudian dilakukan rekonstruksi dan pemancangan tata batas kembali menjadi 18.765,4 hektar area berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 1999.

Dahulu pegunungan Ambang secara utuh masuk wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow. Namun setelah kabupaten ini dimekarkan menjadi 5 wilayah daerah otonomi baru, pada tahun 2008 sepenggal kawasan yang dikenal pula dengan sebutan CAGA (Cagar Alam Gunung Ambang) ini masuk wilayah kabupaten baru bernama Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan sepenggalnya lagi tetap berada di wilayah kabupaten induknya yakni Bolaang Mongondow.

Di bagian paling timur pegunungan ini, kami memiliki areal pertanian yang tak sekedar memberi banyak penghidupan. Ada sederet potongan kisah dan peristiwa-peristiwa penting yang menggeliat di wilayah subur ini, hingga membuat kami senantiasa menyadari bahwa disinilah roh dan nafas hidup kembali dimulai.

Sebuah rumah tua berdinding kayu yang kokoh, berdiri di punggungan bukit. Posisinya sengaja dihadapkan ke arah timur dimana matahari akan menyembul. Di rumah inilah kami tinggal agak terasing dari kebanyakan rumah penduduk, seolah menyingkir dari peradaban desa yang merayap di bawah kaki Gunung Ambang.

Dari atas sini kami bisa melihat atap rumah penduduk yang berkilauan tatkala matahari mulai tinggi. Nampak pula goresan jalan aspal membentang dari wilayah Boltim hingga ke wilayah Minsel melintasi Modoinding dan Wulurmaatus.

Udara disini bersih. Cuaca sejuk berselimut dingin ditambah keindahan Danau Moo’at dan pemandangan alam yang membentang dari segala penjuru, membuat wilayah ini semakin romantis.

Jika angin di wilayah punggungan ini diam, lalu angin di wilayah perkampungan naik, maka dibawanya deru mobil meraung dari jalan raya. Terkadang bertautan dengan lolongan anjing yang menyalak gerombolan pendaki pemula ketika keliru memasuki lorong kampung menuju jalur pendakian, usai melewati kompleks pekuburan umum lalu menanjak panjang ke wilayah kami.

Semenjak kepergian Ayah, di rumah pertanian ini praktisnya kami tinggal berempat; Aku, adikku Lusi, Ibu, dan Om Dedi adik laki-laki dari Ibu. Tapi tak jarang memang saudara dari sebelah Ibu maupun sebelah Ayah datang menemani. Begitupun Oma dan Opa. Banyak yang berkumpul disini apalagi di masa-masa penantian nan penuh cemas tatkala tak ada lagi kabar dari Ayah semenjak peristiwa 1965 meletus di Ibukota Republik.

Pada masa itu, ada satu dua anggota keluarga dari Ayah maupun Ibu menetap beberapa hari sesuka hati disini. Kadang saling bergantian. Namun seiring waktu yang berjalan, mereka harus beranjak untuk kehidupan lain yang sempat mereka tinggalkan.

Nanti setelah kami selaku anak-anak Ibu mulai tumbuh besar bersamaan dengan putaran roda jaman yang menggilas bongkah-bongkah harapan akan sebuah penantian terkikis, barulah kami lebih sering tinggal bertiga saja sebab pada giliran hidup selanjutnya, Om Dedi harus turun gunung sebelum hari menjadi gelap di pegunungan karena ada keluarga baru menantikan dirinya selaku suami dari seorang istri, dan Ayah dari anaknya.

Kecuali itu, ketika waktu yang membentang memberi langkah lebar bagi Om Dedi, maka ia akan berada lagi disini bahkan ketika fajar baru menyingsing di ufuk timur, terutama pada musim tanam apatah lebih saat waktu panen tiba.

Oma dan Opa sebelah Ibu sebenarnya sudah beberapa kali meminta agar Ibu turun gunung dan tinggal bersama di rumah mereka di kampung. Bukan sekali dua Oma meminta agar Ibu mau melepas rumah tua sekaligus tanah ladang peninggalan Ayah ini dan menjualnya ke pak Kepala Desa sebagaimana yang bersangkutan pernah menawari. Tapi Ibu tidak pernah mau melepas tanah ladang ini sekalipun Oma dan Opa pernah memaksa. Ia tetap pada pendiriannya. Belakangan aku tahu bahwa keengganan Ibu adalah karena ia tidak mau kehilangan gambaran dan penggalan-penggalan kisah yang pernah direguknya di wilayah ini.

Ayah sudah lama tidak bersama kami sejak beliau menuntut ilmu di Pulau Jawa. Kami mengenal sosoknya hanya berdasarkan cerita yang dituturkan Ibu. Tak jarang satu dua orang tua di kampung yang dekat dengan Ayah, ikut pula memberi cerita tentang dia.

Ibu beberapa kali berkisah soal Ayah yang dikabarkan hilang saat peristiwa 1965 meletus. Melalui ceritannya, dikisahkan bahwa Ayah dan Ibu menikah pada usia muda. Pernikahan terjadi ketika mereka baru lulus SMA. Hampir setahun sesudah pernikahan, saya lahir dan diberi nama Revo. Oleh karena tuntutan studi, pada tahun 1965—ketika saya baru berumur 9 bulan—Ayah mendapat sokongan dana dari sebuah Yayasan dan berkesempatan meneruskan pendidikan tinggi di salah satu universitas ternama di Pulau Jawa. Ibu yang senantiasa mendukung Ayah, apatah lebih dalam urusan menuntut ilmu, dengan mantap memberi izin. Bagi mereka ilmu adalah terang dunia dan jalan menuju hidup menjadi lebih baik.

Dikisahkan bahwa kondisi politik di era 1965 membuat keadaan negeri dalam keadaan genting. Ragam kabar yang datang lewat berbagai versi terhembus hingga ke pegunungan Ambang. Lewat penuturan Ibu, kabar yang datang semua serba buram dan penuh tanda tanya seperti gelap yang tak berujung. Kabar yang serba samar inipun hanya melahirkan kecemasan yang betapa gelisahnya. Ibu juga menceritakan isi surat yang ternyata menjadi surat terakhir kalinya dari Ayah. Ibu bahkan masih menyimpan surat itu hingga saat ini.

Salam hangat dan rindu untukmu wahai cintaku
Keadaan disini serba genting
Aku belum dapat menjelaskan secara panjang lebar kenapa tiba-tiba banyak tentara berseliweran.

Terjadi banyak penangkapan terhadap sujumlah warga termasuk mahasiswa 
Banyak pertikaian meletup disini
Padahal aku baru punya rencana untuk pulang dan menemuimu bersama buah cinta kita Revo
Oh,ya Bagaimana juga keadaan kandunganmu?
Jika anak kedua kita itu lahir sebelum aku pulang, dan ia perempuan maka kau beri dia nama Lusi

Entah kenapa aku datang kesini di saat situasi politik negeri sedang tegang

Ah, betapa aku ingin berada disitu bersama dirimu wahai cintaku 
Bangun pagi dan menghirup udara segar di luar
Memandangi apa yang membuat kita selalu bahagia
Tapi, keadaan disini tiba-tiba jadi serba sulit dan penuh bahaya
Aku pikir masih untung dan merupakan keajaiban jika surat ini sampai ke tanganmu
Nanti aku kabari lagi
Saat ini sepertinya bersiaga adalah jalan bagiku untuk bisa memelukmu kembali
Nanti aku kabari lagi

Salam cintaku

***

Hampir setahun lamanya surat itu erat dalam genggaman Ibu sampai ketika ia melahirkan anak kedua dan diberi nama Lusi sebagaimana pesan Ayah.

Ibu senantiasa membaca dan menaruh surat itu dibawah bantal hampir saban hari terutama saat menjelang tidur. Namun kabar terbaru dari Ayah yang sangat ia harapkan belum juga datang. Kecuali berita menggelisahkan lewat surat yang dikirim oleh seseorang yang entah siapa. Namanya bahkan disamarkan. Isi surat yang tiba-tiba datang itu pada intinya menceritakan bahwa; ada sekompi tentara memasuki kampus dimana Ayah menempuh pendidikan. Terjadi penangkapan terhadap sejumlah mahasiswa. Mereka dibawa entah kemana. Ayah termasuk salah satu yang ditangkap.

Informasi lain, sebagaimana yang pernah pula dituturkan Ibu, menyebutkan; ketika itu Ayah sedang bersama beberapa kawan seniman. Mereka berkumpul di sebuah sanggar beberapa jam saat sebuah huru-hara terjadi tak jauh dari tempat mereka berkumpul. Beberapa orang lantas masuk dengan beringas. Ada juga yang berseragam. Persitiwa itu membuat banyak orang kena peluru sedangkan yang lainnya luka dan sekarat oleh amukan masa yang entah datang dari mana.

***

Lima belas tahun berlalu dimana informasi berbagai versi itu bersemayam seperti kuburan purbakala tak bernama dalam lubuk hati Ibu, tapi belum datang juga kabar langsung dari Ayah. Malah dalam hitungan ke 16 tahun penantian Ibu, kabar lain yang tak kalah pedih menggelisahkan datang kembali melalui sepucuk surat dengan pengirim yang disamarkan dan tak pernah membuka identitasnya. Dalam surat kaleng itu dijabarkan secara singkat bahwa Ayah dibuang ke Pulau Buru bersama ribuan warga yang dituduh simpatisan serta anggota Partai Komunis Indonesia termasuk mereka yang dituduh sebagai pengikut setia Bung Karno. Yang menggetarkan sebagai penutup surat itu, Ayah dinyatakan telah meninggal dunia.

Konon itu terjadi setelah keluar kebijakan dari rezim Orde Baru pimpinan Soeharto dikarenakan desakan dunia internasional agar pemerintah Indonesia meniadakan Kamp Konsentrasi dan membebaskan semua tahanan politik di Pulau Buru. Di masa pembebasan itu, dikatakan bahwa Ayah gagal pulang karena keburu sakit dan meninggal dunia.

Rentang dan bentang kabar selanjutnya hanyalah untaian kesumiran berita dan kegelapan yang belum berujung. Tak pasti kabar mana yang harus dipercaya oleh Ibu.  Tapi penantian tetaplah sebuah penantian meski cercah harap kian kabur dan digugur oleh jaman. Dalam kenyataan itu, hidup harus terus dijalani hingga pada suatu ketika kehidupan baru dimulai kembali.

***

Suatu waktu di awal bulan Mei beberapa tahun selanjutnya…

Matahari mulai membenam ke barat seperti hendak memberitakan kepada gelap disana agar segera bertandang ke wilayah kami. Segerombol gagak berarak-arak pulang ke dahan-dahan pohon yang sebentar lagi kelam lalu diganti hiruk pikuk margasatwa nokturna yang mulai riuh bersahutan. Terkadang mengeluarkan suara aneh.

Aku duduk di beranda bambu depan rumah menantikan adikku Lusi yang tengah bersiap dari dalam kamar. Beberapa meter dari tempat aku duduk, Ibu mencomot gundukan kayu kering dan rerantingan yang telah dikumpulnya sejak sore hari. Ia membakarnya. Api yang bergejolak panas dari kayu dan rerantingan itu membuat permukaan kulit wajah dan leher jenjangnya mengkilap. Ibu kelihatan nampak lebih cantik dan eksotik dengan itu.

Orang di kampung memang banyak yang menaruh perhatian padanya. Masih kencang dan montok. Demikian pernah kudengar para lelaki di kampung bergunjing. Pernah pula suatu ketika secara tidak sengaja, saat turun gunung dan lewat di rumah salah seorang perangkat desa, dari balik jendela kupingku menangkap obrolan-obrolan agak cabul yang diriaki cekekikan. Mereka membicarakan Ibu. Menyoal bagaimana mungkin kecantikannya bertahan dan tak ada gumpalan-gumpalan lemak tinggal di tubuhnya.

"Kalau istriku setuju, atau suatu ketika ia meninggal, aku pasti akan menikahi Mamanya Revo itu. Aku pikir Mamanya itu sudah kembali jadi perawan" demikian omongan-omongan itu kudengar termasuk yang lebih cabul lagi.

Sekarang aku memperhatikan dari beranda bambu dan menemukan kebenaran soal apa yang difantasikan para lelaki di kampung. Aku pikir demikian itu terjadi pada Ibu sebab ia adalah seorang perempuan petani yang ulet, telaten, dan giat bekerja di ladang sehingga nyaris tak ada tumpukan lemak melekat di setiap jengkal tubuhnya. Segala semangat, kerja, dan daya upaya di atas tanah ladang kami itulah yang aku pikir membuat Ibu masih menjadi idaman banyak lelaki. Tubuhnya liat, menyala, dan tanpa lemak.

"Bukankah malam ini purnama akan muncul?" kataku bicara sembari memperhatikannya sibuk membakar kayu dan reranting.

"Iya, betul" jawab Ibu.

"Kenapa membakar ranting?"

"Ini api unggun?"

"Ya, api unggun. Kenapa membuat itu?"

Ia menatapku. Agak tajam. Segores senyum lalu terhias di permukaan wajahnya yang menyala.

"Kau tak pernah ikut pramuka?"

"Haha.. Apa di jaman Ibu dulu pramuka memang sudah ada?"

Ia ikut tertawa. Sesudah itu bicara.

"Aku dan Ayahmu bertemu saat kegiatan kepanduan"

Ada rasa haru berbalut sedih yang tiba-tiba menjalar disekujur tubuhku tatkala mendengar ungkapan Ibu pada kesempatan malam itu. Aku terdiam. Rasanya seperti sedang diseret ke suatu masa yang telah lampau dimana suara-suara disekitar kami adalah kegelapan.

"Turunlah ke kampung. Nikmati purnama malam ini dari tepi danau bersama pacar kalian" kata Ibu melanjutkan bicaranya. Mungkin paham atau menyesal ketika tahu tidak selalu tepat waktu dimana cerita-ceritanya melambung jauh kembali ke masa yang telah silam dimana kami selaku anak-anaknya tidak harus senantiasa menjadi pendengar yang baik meski bukan berarti kami tidak suka sama sekali dengan potongan-potongan ceritanya itu.

"Ibu tidak ikutan turun? Sudah dua pekan Ibu tak ke rumah Oma" kataku

Ia menggeleng lalu bernyanyi kecil. Mungkin lagu dijamannya dulu. Lusi lalu menyambung saat keluar dari dalam rumah.

"Bukankah Ibu mau ke rumah tante Yuli?"

"Tak jadi. Mungkin besok. Malam ini Ibu merasa enak saja disini sendiri. Oh,ya. Bulan akan muncul dari balik bukit di depan sana tak lama lagi" Ibu bicara sambil menunjuk kearah bukit di sebuah wilayah bernama Kakenturan.

"Cahyanya akan mendahului langkah kalian sebelum tiba di wilayah Om Hengky" tambahnya.

"Yakin Ibu tidak ikutan turun?" Serentak aku dan Lusi.

"Iya. Ibu merasa enak saja disini malam ini. Sebentar juga paling-paling banyak pendaki naik. Bukankah ini purnama? Minggu lalu anak-anak dari Kota, Roki dan Sinta sempat bilang kalau malam ini mereka akan naik dan akan buka tenda disini. Nanti pada pagi harinya mereka lanjut naik. Sinta bilang ia mau belajar resep masakan dulu sama Ibu. Kalian turunlah"

***

Malam itu aku dan Lusi akhirnya turun meski tanpa Ibu. Bagi orang lain hal ini mungkin bukan biasa. Tapi tidak bagi kami. Orang di kampung malah sudah lama mengenal sosok Ibu sebagai perempuan pemberani. Bagi Ibu, ditinggalkan kedua anaknya turun ke kampung berjam-jam bukanlah suatu masalah. Sejak kecil kami juga sudah diajarkan agar tidak pernah takut dengan hal-hal yang tak masuk akal seperti kisah-kisah hantu dan semacamnya. Apalagi wilayah kami berdekatan dengan jalur pendakian dimana tak jarang halaman rumah ramai dengan para pendaki yang menggelar tenda.

Aku dan Lusi menuruni punggung bukit sembari tetap menerangi jalan setapak memakai senter. Ada perasaan sedih ketika lagi-lagi menyadari kalau Ibu kesepian. Ah, seandainya ia mau menikah lagi tentu perasaan sepi tak akan hinggap menganggu malam-malamnya di pegunungan. Tapi entahlah, mungkin belum ada seorangpun lelaki yang mampu menggantikan posisi Ayah. Kataku membatin ketika itu.

Hampir separuh perjalanan dan Ibu benar. Pelan-pelan bulan mendahului langkah kami ketika berada di pinggir lembah di perbatasan kebun kentang Om Hengky. Cahaya yang masih berwarna kuning kepekatan jingga itu menyembul dari balik bukit di atas wilayah Kakenturan. Cepat lagi bulan itu timbul seolah mau bergegas menghilangkan warna jingga yang kental diganti dengan warna kuning yang pucat. Pepohonon dan wajah bukit yang sebelumnya melukiskan kekelaman jadi kemilau.

Hampir di kaki bukit, sesosok bayang merangsek diantara batang demi batang pohon singkong lalu dengan gesit memotong jalan setapak yang bersilangan. Bayang itu lalu berhenti. Tubuhnya terhalang di balik pohon jati. Tapi sepertinya sengaja menyembunyikan diri. Aku bersuara pada bayang itu.

"Eh, ada orang?"

Tak ada respon. Tapi ada sedikit gerakan yang ditunjukkan. Terdengar bunyi ranting patah terinjak kaki di tanah.

"Hey, aku melihatmu. Siapa disitu?" Kataku mengulang dan memberi sedikit sorot cahaya senter ke arah pohon.

"Siapa?" Bayangan itu membalas.

"Aku Revo. Siapa disitu?" kataku

Bayangan itu melongo sebentar lalu membungkuk seperti sedang memungut sesuatu sembari bicara:

"Oh, kau rupanya Revo. Ini aku, Anton"

Ia lalu keluar menampakkan wujudnya meski nampak ragu.

"Oh, Anton rupanya. Aku pikir siapa. Eh, dari mana? Kenapa disini?"

"Aku lihat ada cahaya di atas. Aku pikir rumahmu terbakar" Katanya agak panik lalu kembali membungkuk memungut barang bawaannya yang jatuh berserakan; beberapa buah buku, lembaran kertas, diktat,dan alat tulis.

"Oh, terima kasih mencemaskan kami. Itu api unggun. Ibu yang membuatnya" Aku lalu memberi sorotan cahaya senter dimana barang bawaannya itu jatuh berhamburan lalu membantu memungutnya.

"Eh, terima kasih Revo," katanya. Kami lalu sama-sama berdiri lagi.

"Aku kira rumahmu yang terbakar" Anton menepuk jidat. "Tadi aku baru dari rumah tante Nonce, lalu kulihat ada cahaya di atas".

"Hahaha, tidak" Aku dan Lusi tertawa kecil, tapi penuh menaruh hormat atas kekhawatirannya.

"Syukurlah kalau begitu. Eh, kalian mau kemana ini?"

"Kami mau ke danau. Ada teman-teman menunggu disana"

"Hm, baiklah kalau begitu" Anton nampak lega.

"Mau ikut?"

"Ah, tidak. Sebenarnya aku mau ketemu Om Hengky. Tapi, entahlah. Apa dia di sana waktu kalian lewat?"

Lusi lalu menyela, "Om Hengky jarang menetap di atas. Biasanya ia turun ke kampung"  katanya.

"Oh, baiklah kalau begitu" jawab Anton.

"Tadi aku mengira kalau Kak Anton pendaki gunung yang salah jalur. Tak bawa senter pula?" kataku.

"Haha..Bukankah bulan terang?"

"Haha, iya. Bulan terang"

"Baiklah, aku mau ketemu Om Hengky dulu. Kalian baik-baiklah di danau ya"

"Iya, terima kasih Anton"

Anton adalah aktivis sebuah LSM lingkungan yang bermarkas di Manado. Sejak lulus kuliah hukum di sebuah universitas ternama di Sulut, ia memilih tinggal di Manado dan hanya pulang tiap kali lebaran atau jika ada urusan lain yang mendesak di tanah kelahirannya nun jauh di Sumatera. Ia bukan anak Mongondow tetapi pengetahuan dan kepeduliannya tentang Tanah Mongondow sudah menjadi bahan olok-olok dan sindiran terhadap orang yang justru asli Mongondow.

Lembaga tempat ia bekerja sudah 3 bulan lamanya menggelar program kampanye konservasi berbasis budaya lokal pada masyarakat di sekitar CAGA.

***

Kami sudah duduk lama di danau. Kepalaku sudah mulai pusing dan terpatuk-patuk di keheningan. Tapi gelas masih saja diputar penuh gegas sedangkan Cap Tikus belum juga kandas. Aku tiba-tiba jadi ingat Ibu. Aku tahu ia kesepian di bukit. Apalagi sepanjang perjalanan saat turun kampung, Aku dan Lusi juga tidak bertemu para pendaki yang biasanya naik tiap Sabtu malam.

Agak sempoyongan aku berdiri hendak mengajak Lusi untuk pulang. Tapi rasanya enggan ketika nampak ia masih ingin berlama-lama di danau bersama pacarnya dan beberapa sahabat di kampung. Akhirnya aku putuskan untuk pulang sendiri setelah menitip pesan ke Lusi agar menginap saja di rumah Oma.

Angin malam mengelus punggung bukit dengan lembut. Hawa dingin kurang kuasa menyusup kedalam tubuhku yang berasa seperti mau terbakar. Di langit bulan masih bundar dan di jalan setapak yang sedikit menanjak berkelok, langkahku gemetar. Tenggorokan berasa pula kering dan kepala tak enak.

Aku berhenti di mata air yang tak seberapa jauh dari rumah bermaksud menyegarkan wajah dan kepala. Setelah merasa agak mendingan aku lanjut berjalan.

Di halaman rumah aku tak menemukan tenda para pendaki terpasang. Terkadang mereka memang memilih membuka tenda disini sebelum naik. Begitupun ketika mereka turun. Tapi kali ini tidak. Mungkin mereka sudah berkemas naik.

Tapi di dekat beranda bambu, masih ada sisa-sisa bara api unggun yang sepertinya masih kuasa memanggang apa yang perlu dipanggang. Aku lantas bergerak menuju belakang rumah mengecek keadaan kandang ayam dan memastikan kalau sekitaran rumah baik-baik saja. Aku lalu menuju ke belakang rumah hendak lewat pintu belakang. Aku bukadengan pelan sebab cemas kalau saja aku menganggu tidur Ibu.

Saat berada di ruang tengah, di sebuah meja kayu yang lebar, aku terkejut mendapati benda-benda yang aku yakin bukan kepunyaan siapa-siapa di rumah ini. Ada beberapa buah buku, lembaran kertas, alat tulis dan ring bag berwarna hijau tergeletak begitu saja. Sontak aku merasa seperti seekor pipit kehilangan induknya.

Aku tahan nafas kemudian menapaki satu demi satu anak tangga dengan pelan dan mengontrol berat tubuh agar tidak menciptakan bunyi derit ketika menapaki ubin. Aku mulai masuk ke ruang utama yang senyap, menjelajahi isinya dengan pelan hingga akhirnya menggapai pintu kamar yang menyisakan celah agar lebar. Rupanya tak dikunci. Aku lantas melongo kedalam dengan amat hati-hati.

Sekujur tubuh Ibu dan wajah cantiknya tak bisa kulihat utuh sebab sesosok tubuh yang berbaring dalam posisi miring dan membelakangi arah pandangku menghalanginya. Tapi bisa kulihat dengan jelas bagaimana jemari lentik Ibu menelusup dari celah ketiak seorang laki-laki disampingya lalu mengelus dengan lembut sebuah gambar yang sepertinya sudah mendarah daging di punggung laki-laki yang berhadapan dengannya. Pada saat elusan itu mengalir secara terus menerus kemudian meliar mencengkram dan ubin mulai berderit diikuti buru nafas yang khas, cepat aku membalikkan tubuh dan melesat keluar seperti hantu.

Aku tiba-tiba saja sudah menemukan diriku dalam keadaan berkeringat dingin dan agak jauh terasing dari rumah kayu peninggalan Ayah. Sepertinya menanjak ke atas punggungan di dekat jalur pendakian. Aku terduduk di sisa akar sebuah pohon yang sudah lama ditumbangkan orang lalu dibawa turun kampung, jauh sebelum musim tanam datang yang ketiga kalinya. Dari sini, seperti seekor pungguk yang kedinginan, aku melongo ke bawah memperhatikan rumah kayu kami yang malam itu sekelumit cahya remang bermain di kisi-kisi jendela sebuah kamar.

Cepat ingatanku melompat ke suatu masa silam dimana jemari Ibu mengelus rambutku hingga terlelap, menyiapkan sarapan, mengambil bara tempurung dan menaruhnya ke dalam setrika cap ayam jago lalu menyetrika seragam putih merahku, terkadang pula aku merasakan bagaimana jemari itu mencubit pedih dagingku hingga memerah ketika aku nakal, terbayang pula betapa telatennya tangan itu memilih benih untuk ditanam, dan kini di suatu malam yang telah berlalu itu, aku saksikan kembali dengan mata kepala dan batinku, bagaimna uletnya jemari pekerja itu hinggap di punggung seorang laki-laki melalui ketiak lalu mengelus tato bergambar Palu Arit.

Setelah angin bertiup semilir dan punggungku sontak segar seperti sayap Tyto Rosenbergi yang baru mendapatkan kekuatannya kembali untuk menjaga belantara pegunungan Ambang, yang aku rasakan malam itu adalah suatu masa dimana dunia gemintang dan hidup kembali dimulai.

TAMAT

NB: Cerpen ini masih dalam tahap perbaikan. Telah mengalami beberapa kali perombakan dan pertama kali ditulis pada tahun 2000