Foto Dani Alex |
INI
ADALAH kali kedua dimana ia harus membagi dukanya dalam diam diantara
gundukan batu reklamasi, gemuruh laut, kelepak camar, sampah plastik,
pada seonggok kayu yang terombang-ambing dipukul ombak, berbisik pada
perahu nelayan yang diam, dan kepada matahari jingga yang cepat menjadi
gelap.
Di
laut yang telah kehilangan bibir pantai, pada sebuah kota dimana
kapitalisme leluasa bersolek, ia duduk di beton panjang ditemani sekotak
teh dingin dan sebungkus rokok mentol yang sebenarnya kurang ia sukai.
Ia
menghadap ke arah barat dimana langit melukis warna jingga yang pekat.
Memandang jauh kesana entah untuk mendapatkan apa. Sesekali ia sedot
minuman kotak yang ia letakkan di atas beton, lalu cepat menyadari bahwa
ada yang telah terengut dari singgasana hatinya.
Ia
memang tak sendiri. Di sekitar ada beberapa orang duduk berkelompok.
Sebagian berpasang-pasangan. Mereka berada tak jauh dari tempat ia
meringkuh. Ada pula yang duduk di pucuk-pucuk batu sebagai penghalang
ombak. Sebagian lagi asik memotret warna senja.
Ia
tak mau menatap orang-orang itu. Dadanya yang bak pualam cuma makin
pedih melihat itu. Dan betapa batinnya seperti sedang dicekik mendengar
suara-suara disekitarnya.
Ia membatin.
“Laki-laki
memang keparat. Bagaimana mungkin apa yang telah diperjuangkan tak
hanya dengan darah begitu mudah terhempas dan dikotori”.
Puihh! Ia meludah.
Sebenarnya
ia bisa memaafkan kekasihnya itu. Tapi bagaimana mungkin sosok yang
biasa menghujamkan cinta ke dadanya, tiba-tiba menjadi begitu bangsat.
Bagaimana pula ia memaafkan kekasihnya yang saban hari saban malam bibir
manis yang ia cumbu itu, berpaling dan harus mendarat ke bokong
perempuan lain?
“Aahh..laki-laki memang biadab dan tak tahu diuntung”
Puihh! Ia meludah lagi. Lalu menimbang bertanya-tanya dalam hati.
“Tapi
bukankah ia mencintaiku? Berjanji untuk senantiasa bersama sehidup
semati menjadi pendampingku? Hah, Sekarang apa? Apa? Kau biarkan aku
merana. Dan sekarang tengoklah. Tengoklah sekarang wahai bangsat, apa
yang kau lihat disini? Hah? Apa? Aku sebatang kara disini. Aku sebatang
kara! Langit jingga kini sedang membakarku tinggal tulang. Sekarang kau
dimana bangsat! Kau dimana?”
Ia memaki. Matanya mulai berkaca. Bibirnya gemetar.
“Kau
dimana? Kau dimana? Kau dimana sekarang? Dengan perempuan sundal
pilihan Ibumu itu? Owh, aku tahu. Aku tahu kau dimana saat ini. Bukankah
kau sekarang sedang berada di ketek Ibumu? Dibawa rongrongan
keluargamu?”
"Apa? Kau tak punya pilihan? Selaku anak kau harus berbakti kepada orang tua? Agar tak masuk neraka? Hellooow...Tidakkah
kau menyadari bahwa kau telah menciptakan sebenar-benarnya neraka
untukku? Untuk orang yang katamu kau cinta dan gilai? Lalu sorga macam
apa yang telah kau persembahkan padanya? Pada mereka keluargamu? Katakan
sorga macam apa? Katakan!! Apakah dengan membenamkan wajah di payudara
perempuan pilihan orang tuamu itu lalu menikahinya dan saban hari
menghujamkan seonggok dagingmu, itu yang kau anggap sorga? Sorga yang
demikian itukah yang ingin kau persembahkan? Lalu katakan padaku, apa
yang telah kau ciptakan untukku? Neraka macam apa ini? bangsat!”
Senja
tenggelam. Orang-orang pulang berganti dengan orang-orang yang baru
datang. Pelan-pelan ia mulai merasakan lututnya basah. Ia mengangkat
muka lalu menemukan bintang di atasnya. Ia mengeluh.
“Kenapa
dia tega meninggalkanku hanya karena keluarganya jauh lebih menyukai
perempuan yang mereka pilih sendiri. Seorang perempuan yang sebenarnya
tak jauh lebih baik dariku. Apakah kau tega mencampakkanku karena
perempuan pilihan orang tuamu itu masih perawan? Cuuiihh.. kau
tahu darimana dia perawan? Perempuan dengan tingkah macam sundal itukah
yang kau kira perawan? Bukankah kau dulu yang selalu berkata ikhlas
menerimaku apa adanya?”
Ia merengek. Memprotes. Lalu merasa dirinya seperti percuma.
“Kau
bilang kau mencintaiku? Lalu dimana anjing-anjing kecil yang akan kita
lihat berkejaran di pematang? Mana pulau jauh tempat kita mabuk
kepayang? Mana taman dan beranda tempat kita akan menghabiskan waktu
setiap akhir pekan? Mana muka memelas yang kau umbar tiap kali aku
pura-pura menolak saat kau digagahi hasrat berulang-ulang hingga
matahari cemburu di kamar kos kita yang menunggak sebulan? Babi....!!”
Bibirnya
gemetar bersamaan dengan suara tangis yang pecah di debur ombak. Air
laut telah pasang. Lampu-lampu mulai menyala beraneka warna. Dan
mobil-mobil kian sibuk masuk satu persatu di loket parkir sebuah kawasan
reklamasi yang terus bersolek.
Ia
merogoh ponsel dari dalam tasnya berwarna coklat. Setelah menekan
tombol panggil berwarna hijau, yang ia dengar beberapa detik kemudian
adalah suara di udara yang mengatakan bahwa nomor tujuan sedang dalam
keadaan tidak aktif.
"Babi!" makinya.
Ia
mencoba nomor yang lain. Tapi hal yang sama berlaku. Nomor tidak aktif.
Sama seperti hari-hari kemarin tatkala bulan pecah dan runtuh berkeping
ke bumi. Bumi yang kini bak neraka baginya.
Saat
membuka kembali pesan-pesan lama dalam ponselnya untuk sekedar
menghibur diri, tangisnya membuncah. Ia menangis, memaki, menangis,
memaki, menangis, dan kembali memaki. Tak peduli apakah ada orang
melihatnya. Sebab ia duduk di pinggir laut yang telah kehilangan pantai,
di beton panjang, di gundukan-gundukan batu di sebuah kota.
Ia
masih terus menangis. Tangisnya tangis purba yang justru melahirkan
kerinduan. Tapi pada siapa? Kepada orang yang tiba-tiba berlagak masa
bodoh lalu mengkhianatinya?? Ia merasa betapa mencekamnya rindu yang
tersisa dalam rongga dadanya. Rindu yang telah tercabik dan membuat
harapannya kabur.
Tapi
ia tiba-tiba tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika tangisnya
terhenti. Ia lalu mencoba untuk menangis kembali sehingga jadilah tangis
itu sebagai tangis terhadap tangisnya yang sempat berhenti.
Seseorang lantas mendekat lalu duduk di dekatnya. Seorang laki-laki.
Menyadari
ada orang datang, ia bergeser beberapa jarak. Laki-laki yang datang
ini tak peduli. Setelah memasang rokok, terdengar suara bersamaan dengan
kepulann asap di udara:
"Menangislah" kata orang ini lalu melepas asap rokoknya seperti corong cerek yang melepas uap didih.
"Di
dalam setiap kepedihan, pasti akan ada tangis sekalipun itu terpendam"
tambahnya. "Yang kita tangisi sebenarnya bukan sesuatu. Bukan pula
sebagaimana yang kau pikirkan. Tapi yang kita tangisi adalah diri kita
sendiri,"
Lelaki yang tiba-tiba datang ini terus saja bicara. Seolah tak peduli apakah perempuan di seberangnya ambil peduli atau tidak.
"Setiap
orang tahu dan sebenarnya memiliki cara sendiri bagaimana mereka
menangisi tangisan masing-masing. Dengan demikian akan lahir kemuliaan
yang membuat diri kita tahu siapa dan seperti apa kita,"
"Percayalah
bahwa sebenarnya tangis diciptakan bukan semata-mata untuk kepedihan,
melainkan untuk kemuliaan-kemuliaan yang diberikan semesta lewat air
mata kepada kita selaku manusia yang memang rapuh. Tapi tangis berbeda
dengan darah dan apa saja yang muncrat atau mengalir di dunia ini.
Tangis yang dibuncahkan melalui air mata merupakan sebuah proses untuk
perbaikan-perbaikan yang menakjubkan, atas prahara yang terjadi dalam
hidup kita. Ia melahirkan perbaikan dan kemuliaan. Maka merdekakanlah
tangismu malam ini juga atas tragedi-tragedi yang menimpamu,"
Perempuan
yang bersimpuh di kedua lututnya mengangkat muka. Ia merasa seperti
sedang diceramahi. Telinganya panas. Ia lalu menengok ke seberang di
mana laki-laki itu berada seolah hendak mengukur jarak agar bisa
meludahinya.
"Siapa kamu?" tanyanya, dengan mata yang menyorot tajam.
Yang ditanya tak menjawab, tak pula menengok. Hanya bicara:
"Aku adalah perkara yang hadir malam ini dan bukan bagian dari tangismu. Aku adalah kemuliaan malam persembahan semesta,"
"Sok
penyair babi kau!" katanya memaki laki-laki itu. Tapi sebenarnya ia
menyesal melepaskan itu ketika sekonyong-konyong ia merasa seperti
mengenali wajah orang di seberangnya meski ia sendiri ragu sehingga
cepat menyimpulkan dalam batin bahwa keadaan hatinya saat itu memang
bisa memungkinkan segala sesuatu seperti dejavu.
"Penyair sudah duluan mati sebelum kata-kata berdansa lalu tertikam di lembaran kertas dan palung-palung hati,"
"Hah, tak peduli!"
Lelaki
itu berdiri, lalu pergi begitu saja membelakangi perempuan yang makin
remuk di tepi laut tak berpantai, di beton panjang, di gundukan-gundukan
batu sebuah kota yang malam itu mulai dingin.
Tiba-tiba:
"Eh, tunggu..tunggu. Jangan pergi.. " ia memohon.
Lelaki
itu tak bergeming. Ia terus berjalan di bawah lampu melewati jejeran
mobil yang terparkir hingga bayangannya hilang, seperti tersedot ke
dalam sebuah gedung raksasa yang berisi tak hanya Café dan Bioskop.
Malam
terus mewujud. Perempuan yang sepertinya mulai menyesal atas apa yang
baru ia lakukan, ikut bangkit dari beton panjang tempat ia duduk.
"Bukankah aku perlu teman untuk bicara?" bisik batinya.
Tapi
ia cepat memendam keinginan itu. Sebab suasana batinnya ketika itu
begitu rapuh. Ia tak ingin segala kemungkinan akan terjadi dan tak
memberi peluang yang hanya membuatnya malah merugi akibat
kemungkinan-kemungkinan yang justru menghadiahkan kejahatan.
Ada
guratan sesal tiba-tiba meliuk di wajahnya. Ia lalu mencoba mengingat
wajah orang tadi. Sepertinya ia mengenal sosok itu. Ingatannya terus
diputar. Menerka. Dari situ, lahirlah gambaran yang sekonyong-konyong
tak asing baginya.
Ia
beranjak lalu menyusuri trotoar. Beberapa orang memperhatikannya. Ia
memang seperti pualam yang berjalan di bawah sinar lampu berwarna
kuning. Jejeran mobil yang di parkir lantas membunyikan klakson genit
untuknya. Ia tak bergeming. Darahnya malah mendidih dibikin begitu.
Tak
jauh dari gedung tempat laki-laki tadi tersedot, ia menemu sebuah taman
dengan pencahayaan temaram. Ia duduk disitu. Tapi cuma sebentar sebab
merasakan firasat tak baik ketika sendiri disitu.
Sekarang
ia masuk menapaki lantai gedung yang didalamnya tak hanya berisi café
dan bioskop. Langkahnya gontai. Diam-diam ia memelihara harapan untuk
dapat bertemu lelaki di beton panjang tadi. Nampaknya ia begitu yakin.
Tapi
di dalam ia hanya menangkap kekosongan. Sebuah kesunyian yang datar.
Langkahnya mulai sempoyongan. Ia lupa sudah tidak makan selama 3 hari.
Tidurpun tidak. Paling banter 5 menit. Itupun saat matanya sudah
bengkak. Ia senantiasa terjaga sepanjang malam, sepanjang hari,
berhari-hari, bermalam-malam.
Di tengah ruangan di lantai dasar, pandangannya mulai buram dan sekonyong-konyong tubuhnya ambruk. Ia terjatuh.
***
Sayup-sayup ia mulai menangkap suara disekitarnya. Jemarinya bergerak, meraba kian kemari seperti hendak menggapai sesuatu.
Ia
terhenyak dan menemukan seonggok tubuh tidur disampingnya; seorang
laki-laki yang ditemuinya ketika menangis di tepi laut yang tak memiliki
pantai lagi.
"Siapa kamu?" suara itu agak melengking. Membuat orang di sampingnya tersentak panik.
"Hey, ini aku. Kamu kenapa?" Laki-laki yang tak lain adalah kekasihnya itu sontak kaget sembari mengucak mata.
"Owh, kau disini rupanya sayangku" Ia melompat girang lalu naik di atas tubuh laki-laki itu seperti anak monyet kepada induknya.
"Kenapa kamu? Mimpi buruk lagi ya?"
Ia tidak menjawab. Hanya memeluk tubuh kekasihnya. Begitu kuat, begitu erat.
"Please jangan
pergi sayang" pintanya dengan mata berkaca-kaca. Dari atas dada,
matanya mengitari isi kamar kos, seperti hendak meyakinkan diri.
"Siapa yang pergi?" kekasihnya tersenyum. "Aku disini sayang. Tuh, kan mimpi buruk lagi kan?"
"Sayangku.."
"Yaa... Kenapa?"
"Boleh aku minta sesuatu?" ia tatap wajah kekasihnya itu seperti ia anak kecil kepada bapaknya.
Kekasihnya tersenyum lalu bicara, "Pintalah.."
"Maukah kau menikahiku?"
Laki-laki itu menaruh kedua telapak tangannya ke pipi kekasihnya.
"Kapan saja kau mau sayangku?" suaranya lembut parau.
"Sekarang sayang. Sekarang"
"Oke,
ayo kita berangkat” setelah mencium kepala kekasihnya, Laki-laki itu
turun dari kasur lalu meraih kemeja yang digantung di tepi jendela.
“Oh,ya jangan lupa, kita masih menunggak uang kos sebulan dan sepertinya
kita akan menunggak lagi untuk bulan depan,"
"Aku
tak peduli sayangku. Sekalipun kita diusir dari tempat ini, aku tak
peduli. Aku tak ingin menangis di pantai, aku tak ingin menangis di
pantai. Semua cukup bagiku. Aku tak ingin kehilangan kamu. Aku tak
ingin,"
Laki-laki
itu melongo. Tapi ia senang mendengar setiap kalimat yang keluar dari
perempuan itu. Kalimat yang sudah lama ia nanti-nantikan dari bibir
kekasihnya. Ia lalu memutar tubuhnya menghadap ke pintu sembari
merapikan kancing kemejanya. Sengaja membelakangi sorot mata perempuan
itu, karena ia tak ingin kekasihnya itu melihat matanya sedang
berkaca-kaca. "Ya, tak ada lagi tangis di pantai kekasihku," bisiknya
dalam hati. (TAMAT)