Sabtu, 01 September 2012

Dari Bus PNS Hingga Bupati Bolmong Sepanjang Masa

Dekat dengan tempat kerja atau kantor, tentu jadi point tersendiri bagi setiap orang yang bekerja. Selain hemat biaya (sebab tak perlu merogoh kocek untuk transport atau makan minum karena saat jam istrihat tinggal selangkah-dua sudah tiba di rumah) juga tidak perlu cemas akan terlambat dan kena semprot atasan. Jadi masalahg kena sanksi disiplin dari pimpinan, itu tinggal salah sendiri. Orang yang sudah dekat dengan tempat kerja, tetapi masih juga sering terlambat, bukan malas lagi namanya tetapi pandang enteng yang suka ber-iseng-iseng. Anak-anak muda di Passi akan cepat mengolok-olok orang begitu dengan sebutan; no bodok! (tentu dengan dialek dan gaya yang khas Passi)

Soal kedekatan tempat tinggal dengan kantor atau tempat kerja ini, saya jadi teringat dialog biasa terjadi tatkala pulang kampung dan punya kesempatan berada di dekat (Alm) Nenek saya sebelah Ibu. Pertanyaan yang biasa beliau lontarkan adalah seputar; ko onda pinogaidanmu? (dimana kamu bekerja) mo diug kon pinogutunan? (Apakah dekat dengan tempat tinggal?). Setelah saya menjawab tempat terrmasuk kedekatan jarak tempat tinggal dengan kantor maka sambil mengunyah pinang beliau akan berkata; ow,da'mopiya aka na'tua (ow, baguslah kalau begitu). Pendek kata, kedekatan lokasi tempat tinggal dengan kantor (oleh Nenek) dianggap baik dan menguntungkan.
***

Baru-baru ini hampir semua media terbitan Sulut memberitakan kekesalan Bupati Salihi yang kecewa tatkala memimpin apel perdana pasca liburan Idul Fitri 1433 H dan Cuti Bersama. Penyebabnya, Bupati berang dengan kehadiran PNS yang saat apel perdana hasilnya cuma bikin Bupati dongkol.
Perkara ini memang sudah sering muncul pasca kepindahan Kantor Pemkab Bolmong dari Kota Kotamobagu ke Lolak. Banyak PNS (yang rata-rata tinggal di Kota Kotamobagu) sering datang terlambat karena harus bangun subuh-subuh dan harus menempuh jarak 40 km dari rumah ke kantor. Tak sedikit diantara mereka yang absen dengan macam-macam alasan.

Perjalanan bolak-balik dengan jarak sekitar 40 km memang merupakan rutinitas yang selain melelahkan juga berat di ongkos. Bagi mereka yang punya kendaraan pribadi-pun isi tangki masih tetap memakai bensin, yang berarti tetap butuh ongkos ekstra sebab semakin jauh jarak tempuh, semakin banyak bensin diperlukan. Ini belum terhitung bahaya lalu-lintas yang mengintai setiap PNS dalam berkendara mengingat jalur yang ditempuh adalah jalur sibuk Trans Sulawesi. (pernah ada Koran mewartakan kecelakaan PNS Bolmong yang ke Lolak).
Sedangkan bagi mereka yang tak memiliki kendaraan, harus rela ngantri di Terminal Bonawang dengan ongkos PP Rp 30.000 (diluar uang makan). Beruntunglah  jika ada teman se-kantor yang punya kendaraan pribadi berbaik hati dan memberi tumpangan.

Sebagian PNS (terutama yang belum berkeluarga) akhirnya memilih Indekos di Lolak. Peluang tersebut tentu tak disia-siakan sekelompok warga Lolak yang bisnis oriented. Harga kamar kost dipatok antara Rp 400 ribu hingga Rp 600 ribu (sekarang mulai dikeluhkan). Bagi PNS yang memiliki gaji 5 Juta per bulan tentu ini perkara kecil, tapi PNS mana yang punya gaji 5 juta? Seoramg Kepala Dinas berpangkat Golongan IV.E dengan pengabdian selama 32 tahun saja cuma di gaji Rp 4,6 Juta per bulan. Bagaimana dengan mereka PNS kebanyakan yang berpangkat Golongan I.A dengan gaji Rp. 1.175.000 per bulan. Apa artinya itu jika di potong dengan uang transport ke Lolak belum termasuk uang makan minum. Jika dipakai untuk sewa kost, maka sudah bukan gali lobang tutup lobang lagi namanya, tapi nombok! Lebih tragis lagi para tenaga honorer yang cuma diberi gaji Rp 800 ribu per triwulan. Ampun jo kasiang....!!

Bupati Instruksikan PNS Tinggal di Lolak

Berdasarkan asumsi agar kinerja pemerintahan berjalan baik dan upaya pelayanan terhadap masyarakat lancar, Bupati Salihi menginstruksikan kepada para PNS di jajaran Pemkab Bolmong; terhitung mulai 1 September 2012 semua PNS sudah harus tinggal di Lolak. Instruksi ini juga dipertegas Drs Farid Asimin MAP disejumlah media cetak. Apa reaksi para PNS? Mereka yang paling tahu bagaimana petakanya itu. Namun salah seorang sahabat yang kebetulan adalah PNS di Kantor Pemkab Bolmong menyambut gembira instruksi ini. Sayangnya, kegembiraan itu semata bukan karena takut akan instruksi pimpinan yang harus dijalankan, tapi dianggap "peluang" bagi dia untuk terbebas dari "kekuasaan" Istri di rumah. Instruksi Bupati justru disalahgunakan sebagai legitimasi bagi dia agar segera indekost di Lolak, sedangkan sahabat satu ini punya rekam sejarah pang bakurung parampuang di kos waktu jaman kuliah dulu. Istrinya tahu makanya tidak pernah memberi izin suaminya Indekos di Lolak. Ikut suaminya indekos bersama, istrinya juga enggan. Membayangkan pertengkaran mereka yang bakal terjadi akibat instruksi ini saja kepala saya sudah terasa puyeng.

Instruksi Bupati Salihi memang bukan tidak menimbulkan reaksi. Jemmi Tjia Anggota DPRD Bolmong, di Harian KOMENTAR menyampaikan, Bupati tidak harus memaksakan kehendak yang meminta PNS harus tinggal di Lolak. Bagi Tjia apa yang di-instruksikan Bupati adalah sebuah pemaksaan. Yang paling penting menurut  Tjia adalah kinerja PNS tetap  menjadi yang utama. Menetap atau tinggal dimanapun asalkan kewajiban selaku PNS tetap dijalankan, misalnya tetap datang sesuai jam kerja dalam arti tidak terlambat dan bekerja profesional sekalipun tidak berdomisili di Lolak. Tjia berasumsi bahwa dirinya merasa kasihan dengan PNS terutama yang gajinya tak mampu mengongkosi biaya hidup jika harus indekos di Lolak.

Bus PNS dan Rumah Susun PNS

PNS memang dituntut harus menerima kewajiban sebagai abdi negara yang mesti menerima ditempatkan dimanapun di seluruh wilayah NKRI. Jika tiba-tiba hari ini, esok, atau lusa dan disuatu masa yang akan datang ada PNS yang harus di mutasi ke Papua misalnya atau pedalaman Pulau Mentawai dan Kalimantan, hal itu memang sudah menjadi panggilan tugas yang harus ditaati dan dijunjung tinggi. (mau??) hihi....!!
Masih untung memang PNS cuma diminta tinggal di Lolak. Bagaimana kalau di-mutasi ke Pulau Miangas? Paling-paling ada PNS yang menjawab; blum stow, biar jo ndak jadi PNS. Atau bagi yang menganggap menjadi PNS bukan semata panggilan tugas melainkan panggilan jiwa dan pengabdian terhadap nusa dan bangsa, mungklin bisa berkata:  tak masalah, asalkan ada tempat tinggal gratis yang dekat dengan kantor. Hm, adakah PNS macam begini di Bolmong? (semoga).

Bagi saya pribadi, menempuh jarak 40 km ke kantor, apapun alasanya, selain beresiko juga mempengaruhi kinerja. Tak minta-minta ban bisa kempis ditengah jalan. Sudahlah itu sebab mudah menemukan tampal ban di jalur Trans Sulawesi, tapi bagaimana kalau ke-senggol Toyota Rino yang sarat muatan, atau Avanza yang ugal-ugalan?? Pasangan Salihi-Yanni yang di-pundak mereka banyak rakyat (termasuk PNS) memberi tanggungan harapan yang sebisa mungkin dekat dengan isi hati rakyatnya, sudah saatnya melakukan gebrakan yang mampu mewakili semangat itu asal saja tak menabrak aturan.

Saya justru kepikiran, Pertama; bagaimana kalau Pemkab Bolmong melalui instansi terkaitnya semacam Dinas Perhubungan mengalokasikan dana untuk pengadaan Bus yang di-fungsikan untuk mengangkut seluruh PNS yang tinggal di Kota Kotamobagu. Bus PNS ini bisa parkir dekat Bundaran Paris, Lapangan Mogolaing, atau Terminal Bonawang Mongkonai. Sopir yang dipilih bisa direkrut dari DLLAJ, Polantas, atau pegawai di Dinas Perhubungan yang alangkah banyak dan lowongnya mereka. Jadwal keberangkatan Bus PNS juga sudah ditentukan dan tepat waktu, misalnya jam 6 pagi atau 6:30 sudah harus berangkat ke Lolak. Bagi PNS yang malas sebaiknya ditinggal dan PNS macam ini wajib dikenai sanksi disiplin. Begitupun setelah jam kantor usai. Bus PNS kembali ke Kota Kotamobagu dan berhenti ditempat yang sudah ditentukan sebagai tempat mangkal permanen.
Kedua; Pemkab Bolmong melalui instansi terkait mengalokasikan dana untuk pembangunan gedung atau Rumah Susun buat para PNS. Bila perlu Rumah Susun ini dibangun satu kompleks dengan Kantor Pemkab. Sistem keamananya di-serahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja yang memang alangkah banyak dan lowongnya mereka (daripada waktu mereka cuma dihabiskan main domino). Biaya perawatan baik Bus PNS dan Rumah Susun PNS juga dianggarkan setiap tahunya melalui dana APBD dan dibawa kelola manajemen instansi terkait. Sebaiknya setiap PNS juga tidak di pungut biaya dalam menggunakan fasilitas Bus PNS dan Rumah Susun PNS. Ini juga untuk menghindari adanya pundi-pundi yang kemungkinan bisa dijadikan lahan korupsi pihak pengelola Bus dan Rumah Susun PNS. Fasilitas gratis ini dianggap saja sebagai bagian dari pelayanan pemerintah.
Dengan begini, percayalah Pak Bupati, anda bukan cuma disanjung, dihormati, dan di-elu-elu-kan seluruh PNS yang merasa sejahtera karena nasibnya diperhatikan (belum termasuk doa para suami, istri, anak, cucu, atau sanak saudara dan kerabat mereka). Malah Pak Bupati akan diminta supaya bisa menjadi Bupati Bolmong sepanjang masa. Maka tak heran juga jika anda akan mendapatkan award atau mungkin rekord dari MURI atas kebijakan yang anda buat. Percayalah!