Dekat dengan
tempat kerja atau kantor, tentu jadi point tersendiri bagi setiap orang
yang bekerja. Selain hemat biaya (sebab tak perlu merogoh kocek untuk
transport atau makan minum karena saat jam istrihat tinggal
selangkah-dua sudah tiba di rumah) juga tidak perlu cemas akan
terlambat dan kena semprot atasan. Jadi masalahg kena sanksi disiplin
dari pimpinan, itu tinggal salah sendiri. Orang yang sudah dekat dengan
tempat kerja, tetapi masih juga sering terlambat, bukan malas lagi
namanya tetapi pandang enteng yang suka ber-iseng-iseng. Anak-anak muda
di Passi akan cepat mengolok-olok orang begitu dengan sebutan; no bodok!
(tentu dengan dialek dan gaya yang khas Passi)
Soal kedekatan
tempat tinggal dengan kantor atau tempat kerja ini, saya jadi teringat
dialog biasa terjadi tatkala pulang kampung dan punya
kesempatan berada di dekat (Alm) Nenek saya sebelah Ibu. Pertanyaan yang
biasa beliau lontarkan adalah seputar; ko onda pinogaidanmu? (dimana
kamu bekerja) mo diug kon pinogutunan? (Apakah dekat dengan tempat
tinggal?). Setelah saya menjawab tempat terrmasuk kedekatan jarak tempat
tinggal dengan kantor maka sambil mengunyah pinang beliau akan berkata;
ow,da'mopiya aka na'tua (ow, baguslah kalau begitu). Pendek kata,
kedekatan lokasi tempat tinggal dengan kantor (oleh Nenek) dianggap baik
dan menguntungkan.
***
Baru-baru ini hampir semua media
terbitan Sulut memberitakan kekesalan Bupati Salihi yang kecewa tatkala
memimpin apel perdana pasca liburan Idul Fitri 1433 H dan Cuti Bersama.
Penyebabnya, Bupati berang dengan kehadiran PNS yang saat apel perdana
hasilnya cuma bikin Bupati dongkol.
Perkara ini memang
sudah sering muncul pasca kepindahan Kantor Pemkab Bolmong dari
Kota Kotamobagu ke Lolak. Banyak PNS (yang rata-rata tinggal di Kota
Kotamobagu) sering datang terlambat karena harus bangun subuh-subuh dan
harus menempuh jarak 40 km dari rumah ke kantor. Tak sedikit diantara
mereka yang absen dengan macam-macam alasan.
Perjalanan
bolak-balik dengan jarak sekitar 40 km memang merupakan rutinitas yang
selain melelahkan juga berat di ongkos. Bagi mereka yang punya kendaraan
pribadi-pun isi tangki masih tetap memakai bensin, yang berarti tetap
butuh ongkos ekstra sebab semakin jauh jarak tempuh, semakin banyak
bensin diperlukan. Ini belum terhitung bahaya lalu-lintas yang
mengintai setiap PNS dalam berkendara mengingat jalur yang ditempuh
adalah jalur sibuk Trans Sulawesi. (pernah ada Koran mewartakan
kecelakaan PNS Bolmong yang ke Lolak).
Sedangkan bagi mereka yang tak
memiliki kendaraan, harus rela ngantri di Terminal Bonawang dengan
ongkos PP Rp 30.000 (diluar uang makan). Beruntunglah jika ada teman
se-kantor yang punya kendaraan pribadi berbaik hati dan memberi
tumpangan.
Sebagian PNS (terutama yang belum berkeluarga)
akhirnya memilih Indekos di Lolak. Peluang tersebut tentu tak disia-siakan sekelompok warga Lolak yang bisnis oriented. Harga kamar kost dipatok antara Rp 400 ribu
hingga Rp 600 ribu (sekarang mulai dikeluhkan). Bagi PNS yang memiliki
gaji 5 Juta per bulan tentu ini perkara kecil, tapi PNS mana yang punya
gaji 5 juta? Seoramg Kepala Dinas berpangkat Golongan IV.E dengan pengabdian selama 32 tahun saja cuma di gaji Rp 4,6 Juta per bulan. Bagaimana dengan mereka PNS kebanyakan yang berpangkat Golongan I.A dengan gaji
Rp. 1.175.000 per bulan. Apa artinya itu jika di potong dengan uang
transport ke Lolak belum termasuk uang makan minum. Jika dipakai untuk sewa
kost, maka sudah bukan gali lobang tutup lobang lagi namanya, tapi
nombok! Lebih tragis lagi para tenaga honorer yang cuma diberi gaji Rp 800 ribu per triwulan. Ampun jo kasiang....!!
Bupati Instruksikan PNS Tinggal di Lolak
Berdasarkan asumsi agar kinerja pemerintahan berjalan baik dan upaya
pelayanan terhadap masyarakat lancar, Bupati Salihi menginstruksikan
kepada para PNS di jajaran Pemkab Bolmong; terhitung mulai 1 September
2012 semua PNS sudah harus tinggal di Lolak. Instruksi ini juga
dipertegas Drs Farid Asimin MAP disejumlah media cetak. Apa reaksi para
PNS? Mereka yang paling tahu bagaimana petakanya itu. Namun salah seorang sahabat yang kebetulan adalah PNS di Kantor Pemkab Bolmong
menyambut gembira instruksi ini. Sayangnya, kegembiraan itu semata bukan karena takut akan instruksi pimpinan yang harus dijalankan,
tapi dianggap "peluang" bagi dia untuk terbebas dari "kekuasaan" Istri di
rumah. Instruksi Bupati justru disalahgunakan sebagai legitimasi
bagi dia agar segera indekost di Lolak, sedangkan sahabat satu ini punya rekam sejarah pang bakurung parampuang di kos waktu jaman kuliah dulu. Istrinya tahu makanya tidak pernah memberi izin suaminya Indekos di Lolak. Ikut suaminya indekos bersama, istrinya juga enggan. Membayangkan pertengkaran mereka yang bakal terjadi akibat instruksi ini saja kepala saya sudah terasa puyeng.
Instruksi Bupati Salihi memang bukan tidak menimbulkan reaksi. Jemmi Tjia
Anggota DPRD Bolmong, di Harian KOMENTAR menyampaikan, Bupati tidak
harus memaksakan kehendak yang meminta PNS harus tinggal di Lolak. Bagi
Tjia apa yang di-instruksikan Bupati adalah sebuah pemaksaan. Yang paling penting menurut Tjia adalah kinerja PNS tetap menjadi yang utama.
Menetap atau tinggal dimanapun asalkan kewajiban selaku PNS tetap dijalankan,
misalnya tetap datang sesuai jam kerja dalam arti tidak terlambat dan
bekerja profesional sekalipun tidak berdomisili di Lolak. Tjia
berasumsi bahwa dirinya merasa kasihan dengan PNS terutama yang gajinya
tak mampu mengongkosi biaya hidup jika harus indekos di Lolak.
Bus PNS dan Rumah Susun PNS
PNS memang dituntut harus menerima kewajiban sebagai abdi negara yang
mesti menerima ditempatkan dimanapun di seluruh wilayah NKRI. Jika tiba-tiba
hari ini, esok, atau lusa dan disuatu masa yang akan datang ada PNS yang
harus di mutasi ke Papua misalnya atau pedalaman Pulau Mentawai dan Kalimantan, hal
itu memang sudah menjadi panggilan tugas yang harus ditaati dan
dijunjung tinggi. (mau??) hihi....!!
Masih untung memang PNS cuma
diminta tinggal di Lolak. Bagaimana kalau di-mutasi ke Pulau Miangas?
Paling-paling ada PNS yang menjawab; blum stow, biar jo ndak jadi PNS.
Atau bagi yang menganggap menjadi PNS bukan semata panggilan tugas
melainkan panggilan jiwa dan pengabdian terhadap nusa dan bangsa,
mungklin bisa berkata: tak masalah, asalkan ada tempat tinggal gratis
yang dekat dengan kantor. Hm, adakah PNS macam begini di Bolmong?
(semoga).
Bagi saya pribadi, menempuh jarak 40 km ke kantor,
apapun alasanya, selain beresiko juga mempengaruhi kinerja. Tak
minta-minta ban bisa kempis ditengah jalan. Sudahlah itu sebab mudah menemukan tampal ban di jalur Trans Sulawesi, tapi bagaimana kalau ke-senggol
Toyota Rino yang sarat muatan, atau Avanza yang ugal-ugalan?? Pasangan Salihi-Yanni yang di-pundak
mereka banyak rakyat (termasuk PNS) memberi tanggungan harapan yang
sebisa mungkin dekat dengan isi hati rakyatnya, sudah saatnya melakukan
gebrakan yang mampu mewakili semangat itu asal saja tak menabrak aturan.
Saya justru kepikiran, Pertama; bagaimana kalau Pemkab Bolmong melalui
instansi terkaitnya semacam Dinas Perhubungan mengalokasikan dana untuk
pengadaan Bus yang di-fungsikan untuk mengangkut seluruh PNS yang tinggal
di Kota Kotamobagu. Bus PNS ini bisa parkir dekat Bundaran Paris,
Lapangan Mogolaing, atau Terminal Bonawang Mongkonai. Sopir yang dipilih
bisa direkrut dari DLLAJ, Polantas, atau pegawai di Dinas Perhubungan
yang alangkah banyak dan lowongnya mereka. Jadwal keberangkatan Bus PNS
juga sudah ditentukan dan tepat waktu, misalnya jam 6 pagi atau 6:30
sudah harus berangkat ke Lolak. Bagi PNS yang malas sebaiknya ditinggal
dan PNS macam ini wajib dikenai sanksi disiplin. Begitupun setelah jam
kantor usai. Bus PNS kembali ke Kota Kotamobagu dan berhenti ditempat
yang sudah ditentukan sebagai tempat mangkal permanen.
Kedua; Pemkab
Bolmong melalui instansi terkait mengalokasikan dana untuk pembangunan
gedung atau Rumah Susun buat para PNS. Bila perlu Rumah Susun ini
dibangun satu kompleks dengan Kantor Pemkab. Sistem keamananya
di-serahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja yang memang alangkah banyak
dan lowongnya mereka (daripada waktu mereka cuma dihabiskan main domino).
Biaya perawatan baik Bus PNS dan Rumah Susun PNS juga dianggarkan setiap
tahunya melalui dana APBD dan dibawa kelola manajemen instansi terkait. Sebaiknya setiap PNS juga tidak di pungut biaya dalam menggunakan fasilitas Bus PNS dan Rumah
Susun PNS. Ini juga untuk menghindari adanya pundi-pundi yang kemungkinan bisa dijadikan lahan korupsi pihak pengelola Bus dan Rumah Susun PNS. Fasilitas gratis ini dianggap saja sebagai bagian dari pelayanan pemerintah.
Dengan
begini, percayalah Pak Bupati, anda bukan cuma disanjung, dihormati, dan
di-elu-elu-kan seluruh PNS yang merasa sejahtera karena nasibnya
diperhatikan (belum termasuk doa para suami, istri, anak, cucu, atau
sanak saudara dan kerabat mereka). Malah Pak Bupati akan diminta
supaya bisa menjadi Bupati Bolmong sepanjang masa. Maka tak heran juga
jika anda akan mendapatkan award atau mungkin rekord dari MURI atas
kebijakan yang anda buat. Percayalah!