Kamis, 13 September 2012

Jalan Panjang 3 Serangkai

Mengetahui informasi lewat pemberitaan hampir semua media cetak di Sulut termasuk yang versi online: (http://www.tribunmanado.co.id  dan http://www.kontraonline.com), soal ditetapkanya mantan Bupati Bolmong Marlina Moha Siahaan (MMS) beserta dua konco yang diduga kuat Ferry Sugeha  (mantan Sekda Bolmong) dan Farid Asimin (Sekda Bolmong saat ini), sebagai tersangka dalam kasus Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Bolmong, bukanlah sebuah kegembiraan bagi saya apalagi dimaknai sebagai suatu kesenangan. Bahkan lebay yang imoral jika petaka yang kini menyeret tiga serangkai itu, dirayakan dengan bersulang bir dingin sambil berkelakar; cheers oi!

Tapi bagi para aparatur desa mulai dari Sangadi, Porobis, dan Kepala Dusun se-Bolmong (ini pendapat pribadi) kala mengetahui kabar tersebut, kemungkinan mengumpat (meminjam istilah yang dipopulerkan Denny Mokodompit di grup jejaring Facebook, Pinotaba) ; pongengngeng!

Saya menyimpulkan demikian sebab selama ini tahu, nada-nada minnor apa yang biasa mereka umpatkan tiap kali tahu pencairan macet, apalagi ketika belakangan justru menguap entah ke mana.

Bukan sekali-dua  saya jadi saksi yang mendengar langsung keluh-kesah mereka terkait hal ini. Saking kelewat pedas dan brutalnya, ada baiknya  tak usah diumbar disini sebagai konsumsi publik, sebab ada keinginan dari saya pribadi agar sumpah serapah, odi-odi dan segala jampi dan kutuk mengerikan ala Mongondow, sejauh mungkin bisa dihindarkan dari ruang kecil ini.

Saya yang pernah menulis keras di media cetak, online, juga di Blog terkait kasus TPAPD, tak juga harus menanggapinya sinis. Reaksi saya tatkala mengetahui berita ini pertama kali, cuma bergumam dalam hati: jalan masih panjang, penetapan status sebagai tersangka oleh pihak kepolisian masih akan melalui pintu demi pintu penuh lika-liku agar status tersebut bisa berubah dari Tersangka menjadi Terdakwa kemudian dari Terdakwa ke Terpidana. Berkas yang sudah P 21 dan telah diterbitkan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) oleh pihak berwenang, dalam hal ini Polres Bolmong, pun masih bisa di utak-atik Jaksa di Kejari. Apabila dirasa masih kurang atau belum lengkap, masih bisa dikembalikan pihak kejaksaan. Terlebih lagi jika tak cukup bukti atau perlu dukungan bukti lain supaya kasus tersebut tidak mentah dan dapat disidangkan di meja pengadilan.

Atau taruhlah semua tahapan itu terpenuhi. Tetap saja status tersangka yang ditetapkan oleh penyidik kepolisian masih harus dibuktikan lewat tahapan persidangan tatkala tersangka didudukkan sebagai terdakwa. Masih akan ada eksepsi yang bisa diajukan pihak terdakwa kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU), dimana dalam upaya itu, tidak menutup kemungkinan dakwaan tersebut  (jika ditangani JPU abal-abal) bisa batal demi hukum.

Belum lagi jika dalam sidang pemeriksaan saksi-saksi, alat bukti dan fakta persidangan kurang menguatkan untuk menjerat Terdakwa menjadi Terpidana. Selain itu Terdakwa juga akan didampingi Penasehat Hukum atau Pengacara (pasti bukan pengacara abal-abal) yang memang harus menguasai pokok soal perkara.

Selanjutnya masih akan ada agenda sidang Pleidoi terhadap terdakwa. Bahkan sekalipun di vonis bersalah, masih ada upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Kalah di Pengadilan Tinggi, masih ada upaya Kasasi ke Mahkamah Agung.

Pendek kata masih ada proses persidangan yang akan memutuskan apakah Tersangka atau Terdakwa benar bersalah? Atau harus dibebaskan demi hukum karena tak cukup bukti adanya tindak pidana yang dilakukan.

Jadi kita (terutama para Sangadi hingga Kapala Dusun) tidak perlu langsung melantak-hujamkan segala jenis jampi, odi-odi, maupun kutuk sebagai wujud pelampiasan segala kedongkolan dan angongngong tatkala status tersangka telah disematkan Penyidik Polres Bolmong kepada MMS, FS maupun FA. Biarlah semuanya berproses sekalipun akan melalui jalan panjang. Kata para ABG alay di dunia facebook ; semua akan indah pada waktunya.

Masih segar juga dalam ingatan saya beberapa waktu silam ketika bukan cuma sekali mencoba bertanya, menelisik, bahkan mewanti terkait persoalan ini di ruang kerja Cimmy Wua sebelum kasus ini terkuak. Bahkan ketika harus 'malu' karena selalu topik itu-itu saja yang ditanyai termasuk canda-gurau saat kongkow-kongkow: "Bukang ada cek undur to ni pembayaran TPAPD Pak Cimmy?"

Ternyata Bukang Daong Lemong

Entah siapa yang memulai, istilah daong lemong yang belakangan populer dihampir semua kota di Sulut. Pengistilahan yang bermakna olok-olok mengartikan abal-abal, imitasi, kacang-kacang, KW, dan sejenisnya, lazim kita dengar pula di Mongondow.

Melalui tulisan sebelumnya saya memang sempat mengkritik agak pedas kinerja penyidik Polres Bolmong yang terkesan cuma berlevel daong lemong dan ragu-ragu menangani kasus ini, ibarat kata pepatah:  tajam ke bawah tumpul ke atas. Begitu pula keraguan terhadap Jaksa Lukman Effendy SH yang akhirnya timbul, meski secara pribadi saya mengenal Lukman semasa kuliah dulu sebagai sosok perpaduan antara cerdas dan keras yang integritasnya bisa diandalkan.

Kapolres Bolmong AKBP Enggar Brotoseno SIK yang secara gamblang menyampaikan di media soal penetapan kasus tersangka MMS, FS dan FA (meski untuk FS dan FA disampaikan secara implisit) adalah suatu kemajuan yang melunturkan predikat daong lemong kepada penyidik. Olehnya (terutama) para Sangadi dan Porobis layak memberi jempol kepada para penyidik di Unit IV Reskrimsus Tipikor Polres Bolmong.

Lampu Hijau Pada Salihi-Yanni

Nama Farid Asimin yang ikut ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana secara implisit disampaikan AKBP Enggar Brotoseno SIK kepada media tentu merupakan tamparan bagi Salihi-Yanni (Bupati dan Wakil Bupati Bolmong).

Di era Bupati MMS, Farid Asimin dipercayakan menjabat selaku Asisten III. Dia bisa disebut pula orang dekat Butet, Bunda atau Mama Didi (Bupati MMS). Selepas kepemimpinan MMS, karir birokrat Asimin melejit setelah dipercaya Bupati Salihi memegang jabatan Sekda Bolmong.  Jabatan yang tentunya bukan main-main.

Mundur sejenak kebelakang, terkait mencuatnya nama Farid Asimin sebagai kandidat Sekda Bolmong era Salihi-Yanni, hingga akhirnya terpilih mengalahkan kandidat lain, kita tahu betul kalau nyaris tak ada kontroversi. Begitu adem-ayemnya pemberitaan di media yang tak memperguncingkan track record Farid Asimin, terutama yang berdenting minnor.  Kecuali rumor yang beredar di kalangan terbatas bahwa nama Farid Asimin bakal kandas sebab yang bersangkutan adalah orang dekat Butet (Bupati MMS). Namun toh, Asimin berhasil melenggang mulus mengalahkan sederet nama yang ikut dirokemendasikan sebagai 'finalis'.

Nah, sekarang, apa mau di kata. Asimin yang pada sidang kasus TPAPD lalu hanya berstatus sebagai saksi (sempat kena semprot Ketua Majelis Hakim Armindo Pardede SH) kini statusnya dinaikan menjadi tersangka.

Di media kita juga belum menemukan tanggapan Bupati Salihi terkait hal ini. Seandainyapun ada, pasti statement yang disampaikan bernuansa normatif yang tak jauh-jauh diseputar rangkaian kalimat yang bisa kita contohkan seperti ini:  sebagai warga negara yang baik, menghormati proses hukum yang berlaku tentu juga dengan mengedepankan praduga tak bersalah.  (Amboiii...kampretlah untuk itu semua).

Pembaca, kasus TPAPD yang terus menggelinding dan mulai memakan korban patut dijadikan contoh aparat pemerintahan saat ini. Pengalaman selalu memberi pelajaran penting, suara-suara sumbang yang diumpatkan (sepahit apapun itu), penting untuk didengar. Loyalitas kebablasan para pamong dan abdi negara yang berujung penyelewengan dan kongkalingkong mengatas-namakan demi ini, demi itu, demi anu dan segala demi-demi lainya, sudah saatnya dihentikan.

Jika terbukti benar dan secara resmi Farid Asimin telah ditetapkan sebagai salah satu Tersangka dalam kasus penyelewengan dana TPAPD Bolmong 2010 berbanderol Rp 3,8 Milyar, maka inilah tamparan yeng ditempelengkan secara terlambat kepada Bupati Salihi yang kecolongan menyeleksi calon Sekda, yang seharusnya jauh dari limbah KKN.

Pengalaman era Bupati MMS yang dirasakan para PNS (bukan rahasia lagi), terkait kerisauan dan kegelisahan yang menghantui pejabat karena takut di non-job, tak dapat jabatan, atau di sepak ke pelosok rimba Apado' dan entah di limbuyun mana lagi apabila tak 'loyal' terhadap atasan, sudah saatnya dihilangkan. Pengalaman adalah guru terbaik. Jika tidak juga maka tak menutup kemungkinan, saya, Anda atau siapa saja, bisa tersangkut kasus macam yang dialami Tiga Serangkai ini.

PNS memang dituntut tunduk, patuh, dan loyal terhadap atasan. Namun lebih penting untuk bisa mengatakan tidak! Tatkala yang dimintakan untuk tunduk, patuh, loyal atau dengar-dengaran adalah dalam rangka  pemufakatan yang menghadiahkan jurang ternganga lebar dihadapan, atau bui lembab nan dingin yang sungguh berbeda berlipat ganda level purba dibanding suasana rumah meski cuma dari pitate.

Kecuali kita adalah anggota TRIAD atau Mafia yang tak gentar penjara dan menganggap bui sebagai persinggahan sementara yang tak berarti apa-apa.