Senin, 03 September 2012

Dari Dwitunggal Hingga Eyang-Meydi


Sepenggal tulisan dari E.S Ito dalam Mengenang 107 Tahun Bung Hatta akan dengan sangat sengaja saya kutip dan taruh sebagai pembuka tulisan saya kali ini;

Bah, mengundurkan diri demi prinsip? Itu sama sekali tidak ada dalam kamus manusia Indonesia modern. Sekarang eranya kompetisi, plutokrasi yang indah bagi kami yang berduit. Kau tidak harus mundur karena prinsip, sebab pada prinsipnya, ya, tidak ada prinsip.

Bung Hatta, bagi kami hidupmu adalah rentetan mimpi buruk yang sekuat tenaga akan kami hindari. Bagimu prinsip adalah harga mati sedangkan bagi kami, prinsip itu tergantung pada kompromi. Hanya karena prinsip yang kami tidak peduli, kau mundur sebagai wakil presiden. Begini Inilah kami, Bung!

* * *

Dwitunggal tidak akan pernah lepas dari sejarah lahirnya Indonesia sebagai sebuah Negara. Adalah sebutan kepada Bung Karno dan Bung Hatta, selaku Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia mula-mula.

Pasangan ini mendapat dukungan rakyat Indonesia dengan penuh sikap heroik dan progressif-revolusioner. Mereka dinilai sebagai pasangan ideal. Bung Karno dikenal sebagai Singa Podium dengan aksi orasinya yang meledak berapi-api dan tanpa tedeng aling-aling, sedangkan Bung Hatta memiliki pembawaan yang kalem, bersahaja, penuh kesederhanaan, sangat teliti dan hati-hati dalam bersikap, serta senantiasa tunduk tak hanya pada aturan formal melainkan juga pada kaidah agama yang dipeluknya. Pendek kata, mereka saling mengisi satu sama lain.

Seiring perjalanan waktu Dwitunggal ini bercerai. Pecah kongsi lantaran perbedaan prinsip dan pendapat yang terus meruncing dalam melihat persoalan ke-pemerintahan dan ke-tata-negaraan. Bung Karno tetap bertahan pada prinsip dan pendirianya, begitu pula dengan Bung Hatta.

Puncak perpisahan diantara keduanya semakin meruncing dan tak terelakkan tatkala perdebatan soal sistem pemerintahan yang akan dijalankan yakni apakah menganut sistem parlementarial atau kabinet presidential. Belum lagi soal konsep Demokrasi Terpimpin yang terus digalakkan Bung Karno, adalah satu hal yang kurang disukai Bung Hatta sebab dinilai hanya akan mencederai demokrasi di Indonesia yang baru mulai dibangun.

Pada akhirnya perbedaan prinsip diantara keduanya tak terdamaikan lagi hingga berbuntut mundurnya Bung Hatta dari jabatan Wakil Presiden RI setelah 11 tahun lamanya sedamping, dan membiarkan kawan seperjuanganya Bung Karno berjalan sendiri tanpa Wakil selama 17 tahun sampai akhirnya Singa Podium ini terjungkal lewat drama kudeta yang hingga kini masih sering diperdebatkan; apakah semata karena isu Dewan Jenderal yang cepat membuat PKI bereaksi atau semata karena legitimasi Supersemar yang dijalankan Soeharto.

* * *
Setengah abad lebih berlalu sampai ke era Soeharto dan sederet wakilnya. Berlanjut ke Gusdur-Mega, SBY-Kalla dan SBY-Boediono. Perjalanan yang menunjukan contoh ketidak-akuran antara Pemimpin dan Wakilnya memang menghadirkan Soeharto cukup jauh dari panggang. Namun tidak bagi Gusdur-Mega, atau SBY-Kalla.

Di tingkat pemerintahan daerah, kita menemui sejumlah kasus terkait ketidak-cocokan antara pimpinan dan wakilnya yakni Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dengan Wakil Walikota.
Kita bisa lihat contoh kasus yang memperlihatkan ketidak-cocokan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (Foke-Prijanto) dimana Prijanto selaku Wakil Gubernur memutuskan untuk mundur dari jabatannya karena merasa sudah tak cocok lagi sedammping dengan pasanganya, Foke.

Di Kabupaten Garut kita juga mengetahui bagaimana Dicky Chandra (mantan artis lawak dan sinetron) mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Bupati Garut karena merasa tidak sejalan lagi dengan Aceng Fikri. Sikap pengunduran diri Dicky Chandra dari jabatan Wabup mendapat dukungan publik. Terbukti, saat Dicky Chandra menyampaikan pengunduran dirinya, Bupati Garut mendapat banjir demo terutama dari pendukung Dicky Chandra.

Di Sulut, kita juga pernah mendengar isu keretakan antara Sinyo Hari Sarundajang selaku Gubernur dan Freddy Sualang selaku Wakil Gubernur. Riak-riak kecil dari kubu Sualang bahkan sempat menghembuskan noda dan plek-plek hitam Sarundajang termasuk sindiran peribahasa; kacang yang lupa akan kulitnya, sebab ketika mencalon pasangan ini diusung PDIP yang di-ketuai Sualang.

Di ‘negri’ tetangga kita, Minahasa Selatan (Minsel) melalui pemberitaan media http://www.manadotoday.com/ kita juga mengetahui berita ketidak-cocokan Bupati Tetty Paruntu dan Wakil Bupati Drs Sonny Tandayu. Sedikit agak memalukan sebab tunjangan Wakil Bupati diduga kuat kena pangkas gara-gara ketidak-akuran ini. Lebih menggelikan lagi tatkala Bupati perempuan berparas cantik ini malah mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) bernomor 28 tahun 2011 yang begitu menyinggung perasaan Wabup Tandayu karena mengatur tentang pelaksanaan tugas Wakil Bupati Minsel dalam menyelengarakan pemerintahan daerah.

Perbup yang terbit Agustus 2011 silam ini, isinya selain menggelikan juga menyinggung Tandayu sebab memberi penegasan kepada Wakil Bupati kalau menghadiri suatu acara atau melakukan pengawasan di lapangan harus dapat izin dari Bupati secara tertulis dan bukan lisan. Hal mana cuma menimbulkan cerca yang mengolok-olok bahwa; tak menutup kemungkinan cara berpakaian atau model rambut Wabup dalam menghadiri pesta juga akan diatur-atur Bupati lewat perbub. Tandayu yang amat-amat tersinggung dengan "kegelian" itu menyatakan penolakan dan ketidak-setujuanya atas Perbub tersebut sebab dinilai melanggar aturan dan tidak dibenarkan oleh undang-undang yang dikeluarkan Mendagri. Terlebih lagi fungsi dan tugas dari Wakil Bupati sudah tertera dengan sangat jelas pada Pasal 26 undang-undang nomor 12 tahun 2008.

Di Kota Kotamobagu perseteruan dan ketidak-harmonisan antara Djelantik Mokodompit dan Tatong Bara selaku Walikota dan Wakil Walikota juga sudah menjadi rahasia publik yang bukan cuma sekedar o’uman belaka melainkan sudah terjerumus ke level tonte’ek yang alangkah lucu dan bikin gemas, tatkala kejengkelan sudah tak memiliki tempat lagi.

Mengarah ke Bolmut, melalui media kita mendapati informasi seputar keretakan hubungan antara Bupati Hamdan Datunsolang dan Wabup Depri Pontoh meski keduanya berusaha memberi bantahan tetapi tak mampu menutupi fakta dilapangan meski hal itu hanya diperuncing oleh kepentingan Pemilukada yang akan digelar tahun depan.

Di Bolmong, isu keretakan pasangan fenomenal Bupati Salihi dan Wabup Yanni pun pernah mencuat ke permukaan cuma gara-gara rolling eselon yang dilakukan Bupati Salihi tempo hari  dinilai merugikan kubu Yanni.

Sekarang, di Boltim, perpecahan antara Bupati Sehan Lanjar dan Meydi Lensun yang sebelumnya begitu hangat mesra, akhirnya muncul meletus dan berbuntut pada semacam terjadinya “keributan massal” di Boltim.

* * *

Apa perbedaan mendasar hingga menyulut perpecahan antara pimpinan pemerintahan dan wakilnya sejak era Bung Karno – Bung Hatta, hingga Eyang – Meydi? Jika kita mau jujur mengakui maka kita akan sepakat mengatakan bahwa dalam kasus perpecahan Dwitunggal yakni antara Bung Karno dan Bung Hatta, yang terjadi adalah murni soal pertarungan prinsip, pendapat atau ideologi politik. Namun semenjak era Gus Dur - Mega atau SBY-Kala lalu turun ke Foke-Prijanto, Aceng-Dicky, Sarundajang-Sualang, Djelantik-Tatong, Hamdan-Depri, Salihi-Yanni, dan yang paling heboh saat ini Eyang-Meydi, yang menjadi pemicu adalah soal komitmen (yang pengertian dan konteksnya bisa bias), soal "keributan" lantaran pembagian dan perebutan peran didalam mengelola pemerintahan, dimana Wakil merasa seperti ban reserep atau ibarat dalam permainan bola kaki, si Wakil merasa hanya selalu didudukan di bangku cadangan saja dan tak dapat berbuat banyak di lapangan.

Hm, pembaca. Ada baiknya memang mereka yang berstatus sebagai Wakil baik itu Wakil Presiden, Wakil Gubernur, Wakil Walikota atau Wakil Bupati, kita sarankan supaya mau membuka lagi se-perangkat peraturan dan perundang-undangan yang membahas seputar fungsi dan tugas pokok mereka sebagai Wakil (Wakil Gubernur, Wakil Walikota, Wakil Bupati) sembari terlebih dahulu mau untuk membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dan mencari entry kata Wakil didalamnya (semoga saja seperangkat peraturan dan Kamus itu ada di meja kerja mereka).

Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan kembali mengutip E.S Ito:

Kita menghirup nafas kemerdekaan tetapi jiwa kita terpenjara. Kita enggan menengok sejarah sebab itu hanya akan menghambat rutinitas kita. Kita satu bangsa, tetapi sudah berbeda lingua franca; yang berkuasa menumpahkan darah demi seceret air. Bila pada hari ini, jalan hidup yang telah ditempuh oleh Hatta tidak masuk akal bagi kita maka selamanya kita akan menjadi kuli dari kuli bangsa lain.