Rabu, 18 Februari 2015

Bercinta Dengan Tuhan


Belum ada yang tahu kalau yang membuat Ruru tiba-tiba menjadi remaja pemurung dan penyendiri, diakibatkan oleh mimpi yang saban hari membuat dirinya dipenuhi perasaan bersalah.

Itu bukan mimpi sembarang mimpi. Sehingga dengan mudah orang akan bilang, ah itu cuma bunga tidur, jangan terlalu dipikirkan.

Masih untung begitu, tapi bagaimana jika  orang akan bilang; kau memang cabul dan sungguh terkutuk. Sebaiknya bertobatlah sebelum engkau celaka. Kejadian yang kau alami dalam mimpi itu, sungguh merupakan pertanda bahwa ada dosa besar yang telah kau perbuat.

Awalnya Ruru memang dikenal teman sebayanya sebagai remaja ceria. Ia juga dikenal tekun beribadah dan aktif dalam kegiatan bernuansa religi. Dosen di kampus senantiasa mengandalkannya, terlebih tiap hari perayaan keagamaan tiba. Ruru selalu ditunjuk menjadi ketua panitia mengurusi perayaan itu. Ragam kegiatan ditampilkannya termasuk pementasan teater bertema religi.

Tapi belakangan apa yang terjadi? Ruru menjadi remaja yang sekonyong-konyong mengalami gangguan bipolar. Ia juga bisa menjadi seorang penyendiri dan pemurung selama berhari-hari, dan di saat-saat tertentu, dapat meledak secara tiba-tiba. Tak ada yang sanggup memprediksi. Ia cepat berganti mood. Terkadang ekstrim dan susah ditebak. Maka teman-teman sebayanya tak menaruh heran lagi jika dalam keadaan mood yang low, Ruru bisa tiba-tiba menjadi seorang mania yang menyebalkan.

Lalu apa yang menyebabkan itu semua? Najwa dan Heri, teman sebaya Ruru, adalah yang menjadi orang pertama mendengar rahasia itu dibongkar.

“Aku bermimpi bercinta dengan Tuhan”

Demikian Ruru menumpahkan apa yang selama ini membuatnya begitu tertekan dalam perasaan takut dan bersalah.

“Masya Allah....Ruru...!! Bagaimana engkau mimpi bercinta dengan Tuhan, sedang kau sendiri belum pernah melihatNya? Astagafirullahulazim..... dosa apa gerangan yang telah kau perbuat Ruru”  Najwa tercengang. Sedangkan Heri berkali-kali menepuk jidat.

Menyadari reaksi kedua temannya, Ruru menangis. Padahal ia belum menceritakan secara lebih mendetail bagaimana jalannya mimpi itu, tapi Najwa maupun Heri sudah kaget bukan kepalang. Bagaimna jika ia menceritakan versi terlengkapnya, detil demi detil. Misalnya, pada adegan ketika Tuhan memaksa mencumbunya. Inipun masih tergolong soft sebab ada adegan versi hardcore.

“Ini gara-gara kau terlalu banyak nonton drama korea, atau keseringan menghayal dan nonton film porno,” timpal Heri berseloroh.

“Apakah kau pernah menolak mimpi datang? Apakah sebelum tidur kau punya kuasa memilah dan memilih mimpi mana yang harus datang? Apakah kau punya kuasa bagaimana menciptakan mimpi di dalam mimpi? Bagaimana mungkin itu? Aku katakan kepadamu bahwa aku tak pernah kepikiran barang setitik-pun untuk memimpikan itu. Tapi kenapa mimpi itu datang? Apakah kita punya kuasa menolak atau menawar-nawar mimpi yang bisa datang semaunya? Hah! Aku malah menyesal dan sepertinya merasa terkutuk dengan mimpi itu!! Tapi, adakah orang mengerti??” kata Ruru jujut-menjujut.

“Kau tahu kan Sigmund Freud? Aku pernah baca, menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Artinya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya hadir dari keinginan-keinginan yang terlarang, dan diungkapkan dalam keadaan terjaga,”  kata Heri entah mengutip Freud dari angkasa mana.

“Oh, bagus kawan. Jadi sekarang kau menuduhku pernah membayangkan kondisi itu? Sebuah keinginan terlarang dalam keadaan terjaga, kemudian terdistorsi secara kampret hingga membentuk mimpi macam kau bilang itu? Bagus, kau memang teman yang jenius Heri,” ketus Ruru. Heri dan Nadjwa diam. Mereka hanya tidak pernah menyangka kalau inilah yang membuat Ruru berubah.

“Apa kalian pernah punya keinginan-keinginan terlarang? Dalam keadaan sadar, kemudian bangunan yang terlarang itu mewujud dalam mimpi, di alam bawah sadar? Peh, bagus sekali itu. Jadi kalian sudah bisa merencanakan bagaimana jalan cerita sebuah mimpi? Hebat ya kalian,” tambahnya.

“Sudahlah tak usah berdebat. Kalau hanya gara-gara mimpi yang membuatmu jadi begini, aku pikir kau membuang-buang waktu dan menyiksa dirimu sendiri Ruru. Orang bilang mimpi itu cuma bunga tidur. Tak usah dibawa pikir hingga menjadi beban dan membuatmu merasa bersalah,” hibur Najwa mencoba meredam. Tapi Heri malah bicara;

“Tapi, aku juga merasa aneh, bagaimana mungkin kau memimpikan itu? Aku pikir setiap mimpi pasti ada alasan-alasan,”

“Oh, jadi kau tetap pada pendirianmu wahai mister Freud? Maksudmu, alasan-alasan yang akhirnya membentuk mimpi itu berdasar pada keinginan-keinginan terlarang yang terbentuk dari alam sadar, kemudian mewujud di alam bawah sadar ketika aku tertidur dan mimpi itu terbentuk karena ekspresi kesadaran sebelum tidur yang terdistorsi? Haha..haiklah kalau begitu mister Freud,” Usai mengatakan itu Ruru menyuruh mereka pulang. Tepatnya mengusir kedua sahabatnya itu ketika berkunjung ke rumahnya.

Pengakuan Ruru akhirnya heboh di kampus. Alhasil, ia menjadi korban bully di media sosial dalam bebagai bentuk status satire, meski tak sedikit juga yang blak-blakan.

Hal tersebut menimbulkan banyak reaksi termasuk di kolom komentar medsos. Beragam teori hasil gugling dan copy-paste meruyak bak jamur di musim hujan. Mulai dari yang sok paling tahu psikonalalisis, hingga ke arena filasafat yang antah berantah.

Di kelompok dan komunitas tertentu, mimpi itu malah jadi bahan debat dan kajian yang kehilangan pijakan. Anehnya, bersandar pada rasa ketersinggungan, muncul rencana yang berbuntut pada suatu pengusungan agenda di komunitas yang nanti akan mendudukkan Ruru di forum resmi untuk dikuliti habis-habisan sebagai ‘pesakitan’.

Mahasiswa fakultas hukum yang mendengar agenda ngaco itu memberikan pembelaan. Mereka mengatakan kalau mimpi bukan kejadian fakta yang layak ‘disidangkan’. Olok-olok mereka terhadap kaum kolot, reaksioner, konservatif, dan ‘wahabi’ di kampus, malah menimbulkan adu jotos antar komunitas yang lebay mengupas mimpi Ruru.

“Adalah sebuah penghinaan dan kemudaratan, ada mahasiswa di kampus tercinta ini bermimpi kalau ia bercinta dengan Tuhan. Apalagi yang bersangkutan sengaja menggembar-gemborkan di medsos. Dia juga kan dikenal sebagai mahasiswa religi, entah apa maksud semua ini?” demikian salah seorang mahasiswa reaksioner alay memberi komentar.

Tapi, adakah yang tahu bahwa Ruru tidak pernah membongkar apa yang ia alami kecuali pada Najwa dan Heri? Itupun karena terpaksa, ketika ia tak tahan lagi terus-terusan dipaksa bicara oleh dua sahabatnya.

Reaksi terbaru juga berhamburan tatkala seseorang yang dikenal sebagai mahasiswa fakultas filsafat memposting statusnya di medsos dengan hastag Ruru; “Lalu bagaimana rasanya ketika Tuhan datang menggerayangi tubuh mungilmu, kemudian memberi cumbuan terdahsyat...oohh...maka nikmat mana lagi yang hendak kalian dustai, #Ruru” 

Maka keributan semakin menjadi-jadi. Dan Ruru, selain kecewa pada Najwa dan Heri yang menjadi biang kerok segala kegegeran di medsos itu, sudah ‘mengungsi’ ke rumah kakeknya nun jauh di udik.

Tapi bukan berarti ia lolos dari kunjungan. Terutama dari orang yang sepertinya terobsesi dengan semua itu.

Makanya, pada pagi yang berkabut di udik, sebuah motor butut yang dikendarai seseorang, memasuki halaman rumah di mana Ruru mengasingkan diri—masih dengan perasaan bersalah lantaran ngaconya mimpi.

Namun santer juga beredar kabar bahwa Ruru mengungsi ke udik untuk berobat pada orang pintar. Belakangan ia mengalami gangguan mental.

Setelah bersalam-salaman lalu diizinkan masuk, tamu yang datang ini sempat menyaksikan Ruru sekonyong-konyong sedang diurapi orang pintar di salah satu ruangan yang ada di rumah itu.

Beberapa saat kemudian, usai ritual itu, si orang pintar membebaskan Ruru untuk berekspresi. Termasuk ketika ia juga diizinkan dapat menerima dan bercakap-cakap dengan tamu yang datang.

“Oh, kau rupanya Ursa. Aku pikir Kim Jong Un,” sambut Ruru pada tamu  yang tampangnya memang agak mirip dengan pimpinan Korut saat ini. “Ada apa?” tanya Ruru.

Ursa yang disapa sebagai Kim Jong Un ini, lantas mengurai maksud kedatangannya. Karena ia juga kini tak sekedar mendengar kabar kalau Ruru sedang dalam masa pengobatan—sekarang ia juga berpikir mungkin sudah sembuh—maka ia menyampaikan maksud kedatangannya dengan pengantar yang agak panjang, penuh hati-hati, diplomatis, namun tetap dalam nuansa canda agar semuanya dapat mengalir bebas, dan tujuannya tercapai.

“Hahahaha... jadi kau mau mengangkat kisah ini menjadi Novel?," Ruru terkekeh. "Ursa..Ursa... jangan katakan bahwa ini nanti akan kau gunakan sebagai bahan propaganda untuk memporak-porandaklan tatanan lama yang sudah mengakar dalam peradaban umat di nusantara pasca Mataram, atau bahkan di level dunia pasca perang dingin,” 

Ursa tertegun. Ia tak pernah menyangka kalimat itu bakal keluar dari mulut Ruru. Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi.

“Sebenarnya sih aku mau menulisnya dalam bentuk Cerpen, tapi... entahlah, mungkin Novel juga lebih baik,” katanya kalem. Ia lantas tersenyum lebar. Seolah sebagai penyeimbang tawa yang terbahak-bahak dari Ruru.

“Haha, apapun itu Ursa, apapun itu, aku tak mau ambil pusing. Aku tiba-tiba hanya menemukan ada sepenggal otak Kim Jong Un kini menyusup ke dalam batok kepalamu,” kata Ruru sembari terkekeh.

“Ah, tidak begitu kawan. Ini hanya cerita fiksi,”

“Fiksi lebih berbahaya dari fakta. Camkan itu Ursa!”

"Tapi tetap saja fiksi"

"Ursa, jangan pikir tak banyak orang di dunia ini mengimani bahwa mimpi bukan sekedar fiksi"

Lagi-lagi Ursa tidak pernah menyangka setiap kalimat yang terlontar dari mulut Ruru.  Sepertinya ia merasakan kehadiran Ruru dengan sosok yang begitu berbeda. Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. Jantungnya berdetak semakin kencang hingga membuat ia sekonyong-konyong bicara dalam hati agar meredam semua itu supaya Ruru luput mendengar deru di dadanya. Deru yang penasaran; bagaimana sosok Tuhan yang sebenarnya; apakah sama seperti yang dipikirkan orang selama ini.

* * *

Hari sudah siang dan menyala. Diskusi terhenti oleh ajakan yang memang sudah ditunggu-tunggu. Apalagi Ursa sadar kalau lambungnya sudah sedari tadi hanya menampung kopi dan asap.

“Sebaiknya kalian makan dulu biar kembali punya tenaga bercengkrama,” ajak kakek Ruru.

“Ayo, kita makan siang dulu Ursa. Nanti akan aku ceritakan semuanya padamu sampai ke detil-detilnya,”

Senyum kemenangan tersungging dari bibir Ursa. Mereka lantas bergerak ke ruang makan. Menyantap menu khas udik yang membuat Ursa kini merasa benar-benar merdeka.