Rabu, 25 Februari 2015

Gadis Tanpa Celana Dalam

Foto : ilmail.files.wordpress.com

GADIS itu berangkat ke sekolah tanpa memakai celana dalam. Sebagai gantinya, ia mengenakan celana pendek untuk menutupi rasa ketidak-nyamanan. Seumur-umur, baru kali itu ia tidak mengenakan celana dalam. Apalagi untuk berangkat ke sekolah. Seandainya hari itu bukan ujian semester, pasti ia memilih tak ke sekolah tinimbang harus pergi namun tidak memakai celana dalam.

Tapi bagaimana ia harus beralasan. Apalagi ia tidak pintar berdusta dan enggan mengecewakan orang tua. Ayahnya juga begitu keras mendidik. Meski selalu kekurangan uang tiap kali diminta untuk kepentingan sekolah. Soal jajan, jangan di tanya. Setiap bangun pagi, sebagai anak yang tahu susah orang tua, ia harus membuat sarapan sendiri dan makan terlebih dahulu agar tak kelaparan selama di sekolah hingga lonceng pulang berdentang. Itupun jika ada sisa ubi atau nasi semalam.

Sudah lama sebenarnya ia hendak mengutarakan keinginannya agar dibelikan celana dalam baru. Apalagi ia anak gadis yang punya ritual bulanan. Tapi ia sadar kalau Ayahnya cuma buruh tani yang hanya dapat uang tiap musim tanam dan panen tiba. Itupun harus berkeluh kesah menawarkan jasa pada tuan tanah yang sebenarnya sudah punya orang kerja. Sedangkan Ibunya hanya mengharapkan kebaikan orang di kampung yang memberi order cucian meski di rumah pemberi order sudah ada pembantu dan mesin cuci.

Kakak perempuannya juga sudah tidak tinggal bersama di rumah mereka. Sudah menikah dan diboyong keluar kampung oleh suaminya yang bekerja serabutan di Ibukota Kabupaten. Kekurangan dan rasa kasihan terhadap kedua orang tuanya, membuat ia lebih banyak memendam keinginan. Mereka memang tergolong keluarga miskin. Jangankan untuk beli celana dalam, buat makan malam saja tak jarang mereka menambalnya dengan ubi di pekarangan.

Dengan kepemilikan celana dalam yang terbatas itu, ia juga harus berjuang ekstra ketat atas hasrat pengidap fetitisme di kampungnya. Bukan sekali dua ia pernah memergoki orang yang entah siapa, menggasak celana dalam miliknya dari tali jemuran, dibawa pulang untuk kesenangan sendiri. Makanya, setiap kali menjemur celana dalam, ia harus duduk menjaganya hingga kering kemudian dibawa masuk ke rumah; disetrika dan disusun rapi di lemari untuk kemudian dipakainya pagi hari saat hendak berangkat ke sekolah.

Ia juga punya kebiasaan mencuci celana dalamnya setiap kali pulang dari sekolah. Ia memang tinggal punya dua pasang celana dalam beberapa bulan belakangan. Mencucinya pun ia harus melakukannya diam-diam karena enggan Ibunya akan bertanya, dan kalau begitu Ayahnya pasti akan mendengar. Ia takut dimarahi ketika harus menjawab, celana dalamnya hilang lagi di tali jemuran.

Namun yang tak kalah repot adalah ketika ia datang bulan. Jika periode itu datang, ia menangis bukan semata karena perut mules atau bokongnya terasa seperti ditabrak motor bebek, tapi betapa ia kerepotan mengurus area segitiganya agar tetap higinis sementara celana dalamnya terbatas.

Tapi tak ada memang yang tahu kalau di rumah, ia sudah jarang memakai celana dalam. Ini demi kepentingan setiap kali berangkat ke sekolah. Karena memakai celana dalam yang bersih, membuat ia merasa nyaman dan konsentrasi belajar.

Selain mencuci celana dalam setiap pulang sekolah, ia lebih memilih mengerjakan PR sekolah ketimbang harus keluar rumah. Terkadang berleha-leha di kursi kayu ruang tamu yang pojoknya ditaruhi bantal dari kapas, sembari membaca mata pelajaran sekolah.

Namun bukan berarti belajar atau duduk berleha-leha di rumah tanpa memakai celana dalam (terlebih lagi cuma pakai daster), dianjurkan bagi anak gadis yang mulai hemok seperti dia. Siapa yang tahu ada mata lelaki hinggap disitu dan membuat segala sesuatu bisa terjadi.

Maka simaklah kisahnya yang terjadi sepulangnya ia dari sekolah siang itu.

Seperti biasa, setelah berganti pakaian, ia ke kamar mandi lalu mencuci celana dalamnya kemudian menjemurnya di pekarangan. Tentu ia berniat menjaganya sampai jemurannya kering, sebab pangalaman adalah guru terbaik.

Tapi terkadang orang memang luput. Usai menaruh celana dalam yang masih basah di tali jemuran, sontak ia masuk rumah hendak mengerjakan tugas bahasa indonesia yang disukainya. Saking gembirannya dengan tugas mengarang, ia lupa kalau harus menjaga celana dalamnya hingga kering, baru boleh mengerjakan tugas yang sebenarnya bisa dikerjakannya saat malam tiba.

Tak pelak ia yang mengenakan daster tipis, ketiduran di kursi kayu ruang tamu dengan bantal kapas di bawah kepalanya.

Saat itulah dua orang remaja laki-laki kampung lewat di pekarangan. Dua buah celana dalam yang teronggok di tali jemuran pada siang yang terik ketika itu, menarik perhatian mereka; yang satu berwarna merah jambu dan satunya lagi berwarna putih dengan motif lin berbentuk kupu-kupu di bagian atas. Kedua remaja yang lewat ini seperti ayam kena teluh. Mereka lalu pura-pura duduk di gundukan batu dekat pohon pisang. Cerita mesum mulai menjalar dari situ.

Sesekali, dalam bisik-bisik bermuatan fantasi yang mesum itu, mereka mencuri-curi pandang ke tali jemuran dimana celana dalam merah jambu dan putih menggantung dibawah sinar matahari siang bolong. Terkadang mereka cekikikan.

Tak lama berselang, salah seorang dari mereka memilih pergi meninggalkan tempat itu. Mungkin merasa ada kemesuman yang telah begitu menggumpal dipenuhi ragam fantasi sehingga bagian bawah pusarnya ikut tegang meradang, perlu saluran. 

Tapi temannya, anak si tuan tanah kampung itu nampaknya enggan beranjak. Apa yang menggumpal dari dalam jiwa raganya seolah memiliki kekuatan hingga membentuk rencana nekat.

Entah, setelah menimbang-nimbang yang entah apa pula itu, remaja laki-laki ini mantap melangkah ke arah rumah sang gadis. Pintu rumah itu memang tak dikunci karena ini siang bolong. Si gadis juga cuma sendiri di dalam rumah. Orang tuanya keluar mencari nafkah. 

Laki-laki yang sudah berada tepat di depan pintu, merasakan dadanya sesak berdegup. Ada hasrat berlendir naik ke ubun-ubun saat ia mendapati sang gadis berparas manis tertidur dengan daster tersingkap. Dan dibawah itu.... ohhh...tak ada penghalang sama sekali.

Gadis itu dibuat tak bisa meronta. Mulutnya disumpal handuk kecil dan sebilah golok tertodong di lehernya. Ia dipaksa menuruti kemauan si pembawa golok masuk kamar. Semua lantas berlangsung seperti api menjilat tisu putih.

Di luar, siang masih bolong sebolong pedih yang kini dirasakan sang gadis tanpa celana dalam.

Palu Arit di Dada Putri Indonesia 2015


DUA MALAM LALU, sepulang dari Warung Kopi Korot Jalur Dua Kotobangon usai membahas rencana penggarapan film pendek berjudul Melly dengan teman-teman photografer di Kotamobagu, nada chat BBM berbunyi. Ketika itu saya baru saja tiba di kampung Passi  dan baru mau membuka pintu Rumah Pemuda Merdeka (RPM), tempat saya biasa berkumpul dengan teman-teman yang asik dengan pemikiran-pemikiran gila.

Usai melepas ring bag berisi notebook yang tak bekerja lagi karena beberapa bagiannya meminta untuk dipreteli tukang komputer, saya berselonjor di kursi yang akan melahirkan debat jika disebut sofa.

Pesan chat BBM lantas saya buka dan pada pokoknya berisi tentang gegernya foto yang diunggah Puteri Indonesia 2015, Anindya Kusuma Putri di akun Instagram miliknya. Buntut dari unggahan foto itu, Anindya jadi buah bibir netizen.

Apa pasal? Rupanya bukan soal predikat yang berhasil disabet Anindya diajang putri-putian melainkan foto dirinya yang mengenakan caping dan kaos berwarna merah dengan gambar palu arit di dada. Aw, rame ini carita!

Usai berbalas-balasan sebentar, saya lantas izin pamit lalu masuk jaringan menelusuri tautan yang dikirim teman sekadarnya saja.

Tak lama kemudian saya kembali, dan lahir untaian tanya; apa yang dianggap penting dengan gambar di dada Puteri Indonesia? Terlebih ada kelompok yang meradang seolah langit runtuh dan cepat membenarkan; ada bahaya laten (dari dada itu) yang kini terpampang secara membahana badai dan nyata di pelupuk mata, untuk kemudian (mungkin) harus dibasmi hingga ke akar-akarnya? PKI!

Pembaca, di jaman pasca reformasi yang sudah berjalan selama 17 tahun, apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran Anda ketika melihat simbol palu arit? Penyiksaan di lubang buayakah sebagaimana yang digambarkan dalam film buatan rezim pamarentah  orba Soeharto dimana PKI ditampilkan sebagai sekawanan mahluk buas yang tak berperi-kemanusiaan dan tak bertuhan?

Jika itu jawabannya, maka tak bisa disangkal lagi, Anda adalah pasien orba korban propaganda rezim Soeharto sehingga siapapun yang memakai kaos bersimbol palu arit, Anda akan automatic menuduh bahwa si sampean adalah pendukung PKI, atau berprasangka bahwa si tuan puteri adalah produk bahaya laten generasi ketiga yang terbukti tak ada matinya. Anda lupa bahwa komunis telah lama runtuh di NKRI dan bangkrut di negara asalnya, Soviet.

Sejak 1965, ratusan juta rakyat Indonesia memang disusupi kepercayaan bahwa PKI adalah pelaku penculikan sekaligus pembunuhan 7 jenderal. Dan pada tahun-tahun selanjutnya, kepercayaan itu terpelihara secara laten karena kita disuguhi film yang nyata-nyata adalah bahan propaganda Orba. Meski (sebenarnya) dalam film itu juga kita menyaksikan adegan penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal, justru dilakoni pasukan Cakrabirawa (TNI) yang dikomandani Letkol Untung. Bahkan adegan demi adegan selanjutnya (selain siksaan), adalah; kita menyaksikan peperangan antara TNI melawan TNI,  bukan tentara (TNI) melawan anggota partai (PKI).

Sudah, saya enggan memposisikan diri bak sejarawan sekaliber Anwar Gonggong, lalu masuk lebih dalam mengurai-bentangkan sejarah pergerakan komunisme dunia pun peristiwa Gestapu di negeri ini. Tetapi adakah ratusan juta rakyat Indonesia saat ini tahu; ada setengah juta rakyat Indonesia (yang dituduh sebagai simpatisan dan anggota PKI) dibantai pada era 65-66? Dan ada berapa puluh ribu dari mereka yang luput dari agenda pembantaian itu dipenjarakan dalam kamp konsentrasi Pulau Buru atau penjara lainnya di negeri ngeri ini tanpa proses pengadilan?

Lalu pernahkah rakyat Indonesia yang ratusan juta banyaknya membaca kesaksian para pembantai (genosida) ratusan ribu warga yang dituduh PKI itu dalam buku yang diterbitkan Tempo Publishing berjudul; Pengakuan Algojo 1965? Bagaimana pula dengan pengakuan para algojo sebagaimana yang amat gamblang dikisahkan sendiri oleh pelaku (bahkan lewat film/reka ulang) pada Josua Oppenheimer lewat film dokumenter berjudul Jagal (The Act of Killing). Dan apakah kita rakyat Indonesia sudah menonton sekalius mendengarkan secara seksama dan berulang-ulang terkait kesaksian para pembantai warga yang dituduh PKI itu sebagaimana pengakuan mereka (para algojo) dalam film dokumenter berjudul; Senyap (The Look of Silence)? Tahukah kita ada berapa juta rakyat Indonesia yang terdiri dari mamak-mamak dan papak-papak, om, tante, anak, ponakan, kakek, nenek, dibantai karena mereka itu dituduh simpatisan dan anggota PKI?

Tahukah kita tentang kesaksian para pelaku pembantaian terhadap warga yang dituduh PKI itu soal bagaimana (para algojo) memotong payudara seorang perempuan yang dituduh anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)? Atau kita mungkin bisa tahan melihat bagaimana para pembunuh itu (mengaku secara blak-blakkan) harus minum darah warga (yang dituduh PKI) yang mereka bantai itu, supaya mereka (para algojo itu) tidak ketakutan atau menjadi gila karena perasaan bersalah yang nanti menghantui usai melakukan pembantaian? Atau bagaimana Anda selaku Kakak yang menyerahkan adik perempuannya (yang disangka Gerwani) kepada sang algojo untuk ditusuk perutnya, dipotong payudaranya dan digorok lehernya? Siapa sebenarnya yang lebih buas, beradab, dan bertuhan? Dan pernahkah mendengar pengakuan para algojo itu yang dengan terang benderang mengatakan bahwa kekejaman mereka melebihi kekejaman sebagaimana yang ditampilkan rezim Soeharto dalam film G 30S/PKI?

Pembaca dimanapun Anda berada, saya tak punya kehendak untuk mendudukkan simbol palu arit itu pada area benar atau salah ketika harus memakainya baik dalam bentuk kaos, emblem, atau merek celana dalam sekalipun.  Ketika kita melihat sebuah simbol itu dari sisi tidak baik, keluarnya juga pasti tidak baik (begitupun sebaliknya).

Palu arit memang lambang komunisme di dunia. Palu mengasosiasikan kaum buruh, dan arit mengasosiasikan kaum tani. Palu arit adalah simbol persatuan antara kaum buruh dan kaum tani. Partai komunis di dunia mengadopsi simbol ini termasuk di Indonesia.

Jika kita melihat simbol palu arit yang dikenakan putri indonesia itu sebagai bentuk dukungan dirinnya terhadap PKI (yang digambarkan tak bermoral dan tak bertuhan) maka bukankah kita telah melihatnya dari sisi dungu? Dan benarkah bahwa setiap anggota partai komunis itu langsung kita cap tak bermoral dan tak bertuhan? Atau tidakkah kita sadar bahwa PKI sudah lama sirna bahkan dilarang tumbuh di Indonesia? Jangankan anggotanya, warga yang disangka simpatisan saja tak luput dari pembunuhan.

Sampai disini akan ada mungkin suara lantang berkata; kalau memakai palu arit itu boleh, berarti boleh juga dong pakai lambang ISIS atau simbol-simbol kekejaman Nazi di jaman Hitler?

Sekali lagi, saya tidak punya kehendak apalagi menyarankan bahwa simbol palu arit itu baik atau malah buruk untuk dipakai. Tetapi kita harus ingat bahwa, peristiwa Gestapu 1965 baru disampaikan lewat satu versi saja, dan itupun versi dari pemerintah. Ketika orde baru berkuasa dan ada itikad suatu kelompok menelisik peristiwa itu untuk sekadar mendapatkan kebenaran sejarah atau minimal ada data pembanding, maka bukan sedikit yang dipenjara tanpa pengadilan. Menelisik kebenaran soal itu di jaman Orba, sama saja dengan cari mati. Dan rentetan pembantaian pasca Gestapu itu, sudah cukup membungkam para sejarawan kita. Ini jelas mengartikan bahwa PKI dan sejarahnya di Indonesia betapa terpental begitu jauh dengan Nazi Hitler yang untaian fakta sejarahnya jelas dan begitu banyak catatan peristiwa pembanding dan terkonfirmasi. Sedangkan soal ISIS, kita sudah bisa tahu bagaimana track record milisi itu sejak kemunculannya.

Kembali kepada Anindya, kepada Tempo.co, ia mengaku memperoleh kaos merah dengan simbol palu arit itu, dari rekannya asal Vietnam. Dia mengenal sahabatnya itu melalui jejaring pertukaran pelajar yang aktif ditekuninya saat kuliah.

"Kaus itu diberikan kepadaku empat tahun lalu," katanya kepada Tempo, Selasa, 24 Februari 2015.

Disampaikan pula olehnya bahwa pertukaran bingkisan itu menurutnya adalah hal yang lumrah. Sesama mahasiswa pertukaran pelajar, dikatakannya, akan membawa suvenir khas daerah asal. Ia juga mengatakan bahwa foto dalam akun Instagram miliknya itu merupakan bentuk penghargaan atas pemberian hadiah itu.

Dalam keterangan foto yang diunggah itu, Anindya menulis, "I am so Vietnam today" Meski belakangan akhirnya ia menghapus foto itu karena merasa tak nyaman terus dirisak. Ia juga mengaku melakukan penghapusan itu karena enggan ada orang berkelahi dalam akunnya.

Ditegaskan juga olehnya kalau tak ada tendensi apa pun saat ia mengenakan kaus tersebut. Ia juga membantah kalau pemilihan atribut itu adalah bentuk dukungannya terhadap komunisme.

Kepada Viva.co.id, Anindya juga mengatakan kalau ia juga memberikan baju Batik pada temannya asal Vietnam yang telah memberikan kaos bergambar palu arit sebagai suvenir balasan.

"Saya kasih baju batik ke dia. Dia foto dengan baju batik itu dia kirim ke saya. Lalu saya juga foto dengan kaus itu karena menghormati teman saya yang telah berikan itu kepada saya. Ya tukeran foto saja di media sosial," katanya pada Viva.co.id

Pembaca, jika kita membenci Anindya (dan meminta agar ia dihukum penjara) karena kelakuannya mengunggah foto dirinya mengenakan kaos bergambar palu arit di dadanya, dan menganggap bahwa itu adalah kebejatan yang tak berperi-kemanusiaan, lantaran palu arit adalah lambang PKI dan PKI adalah biang kerok pembunuh para Jenderal, kita mungkin bertanya; bagaimana dengan mereka para algojo (ada yang masih hidup hingga saat ini) yang membantai ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia yang dituduh PKI?

Sampai disini kita mungkin akan mendukung pendapat Gus Dur soal rekonsiliasi (antara pembantai dan yang terbantai) demi sejarah dan kehidupan berbangsa yang lebih baik. Kita juga menjadi ingat usulan mantan presiden kita itu terkait pencabutan Tap MPR No 25 Tahun 1966, meski tak disetujui mayoritas Anggota DPR/MPR di jaman Amin Rais.

Lalu tidak bisakah kita hidup dengan cara damai dalam pengakuan sejarah Gestapu yang sebenarnya (termasuk pasca peristiwa itu) dan tetap bergandengan tangan membangun negeri tercinta ini tanpa dendam dan prasangka? Atau kita tetap akan saling tutup-menutupi dalam kedunguan yang penuh dendam dan prasangka?

Foto pembantaian warga yang dituduh simpatisan dan anggota PKI. Sumber : Internet

Sabtu, 21 Februari 2015

Seragam yang Tergunting dan Penyakit SFS


Diantara kita, siapa yang berani sinting dan tak punya rasa malu jadi bahan tertawaan penduduk, sehingga nekat mengatakan bahwa seragam sekolah adalah tolok ukur keenceran otak siswa, dan menjadi faktor penentu moral.

Lebih sinting lagi ketika kita berani membuang akal sehat kita ke tong sampah, lalu menganggap (sekalian mengimani) bahwa, model (celana) seragam sekolah (cutbray, skinny, fit regular, atau celana pensil/kaki botol maupun kaki kuda), mempengaruhi tingkat kecerdasan dan kedunguan siswa. Terlebih lagi model seragam sekolah (SMA) itu dipercaya dapat mempengaruhi tingkat kewarasan siswa. Dan yang terkutuk adalah meyakini bahwa itu dapat mendatangkan kemudaratan.

Pembaca, belum pernah ada penelitian baik di planet bumi maupun di Mars, yang menyebutkan bahwa, di setiap celana seragam anak-anak SMA di Mongondow, terdapat sel otak pemicu kedunguan dan rasa lesuh penyebab ketidak-mampuan motorik dan daya nalar yang menurun sehingga membuat para siswa enggan mengerjakan setiap soal yang diberikan, atau memicu terjadinya mual-mual dan penyebab asam urat pada guru.

Seragam ya seragam. Berbahan kain segala merek, produksi pabrik tekstil yang dijual secara bebas di pasaran (toko maupun kaki lima). Jika harga cocok, dibeli lalu diboyong ke tukang jahit. Setelah jadi,
dibawah pulang ke rumah, lalu esoknya dipakai ke sekolah. Bagi yang tak mau repot pinggang, paha, dan betisnya diukur oleh si tukang jahit, boleh memilih seragam jadi yang banyak dijual di toko. Tinggal sesuaikan, kalau ada yang longgar atau kebesaran, tentu butuh jasa tukang jahit.

Pendek kata, soal seragam tak ada masalah. Tak penting apakah itu produk tukang jahit, atau barang jadi di toko. Asal saja memperhatikan ketentuan paling standar sebagai berikut:

1. Bagi pelajar SMA, bukan berwarna hijau, biru, kuning, apalagi merah jambu. Sebab sistim pendidikan di negeri ini menetapkan bahwa, warna seragam (celana maupun rok) untuk siswa di SMA negeri adalah abu-abu. Ketentuan ini bahkan sudah ada jauh sebelum Obbie Mesakh 'malu pada semut merah' dan Sally Marcelina berdandan di ACI.

2. Karena sudah bukan siswa SMP lagi maka, bagi siswa SMA yang laki - laki, sudah tidak diperbolehkan bernostalgia dengan celana pendek. Ketentuan ini tidak boleh dilanggar. Bukan pula hal terpuji jika memaksakan diri untuk tidak memakai celana panjang. Gak lucu kan siswa SMA memakai celana pendek warna abu-abu. Cobak bayangkan kalau bukan dituduh sableng.

3. Dilarang keras memakai celana panjang yang bagian lutut, paha, dan bokongnya sengaja dibikin bolong atau sobek-sobek. Terlebih dibagian selangkangan. Tentu ini tak bisa ditolerir. Bagi yang nekat melakukan kesintingan ini, hanya drop out ganjaran yang setimpal. Atau lebih cocok jika diboyong ke Rumah Sakit Jiwa.

Pendek kata, untuk soal seragam, selagi itu bersih dan rapi, tentu tak ada soal dikenakan. Soal longgar di paha atau ketat di pinggang,kenyamanan sipemakailah yang menentukan. Asal jangan jadi penghalang di area pernafasan. Itu sama saja dengan bunuh diri secara perlahan-lahan.

Tapi pembaca, ada hal yang sungguh membuat kewarasan kita di Mongondow seperti diuji terkait persoalan seragam sekolah.

Seorang teman jamaah bebekiyah (pengguna BlackBerry Messenger/BBM) di list pertemanan, tadi malam membuat Display Picture (DP) dengan tayangan yang tak hanya mengguncang logika, tetapi ikut membuat diri kita waspada ketika terpingkal-pingkal di tepi telaga.

Kebodohan (kalau tidak mengatakan dungu), biasanya mengundang rasa iba diantara kita terhadap penderitanya. Tapi siapa mengira, di Mongondow, ketika 'tragedi' itu dibalut tingkah yang OAOC (over acting over confidence), hasilnya tak hanya meludahi kesehatan logika masyarakat kita, melainkan pemberian asupan tawa paling purba dengan daya bahak yang naujubillah.

Betapa tidak, di DP yang jadi trending topic teman-teman sesama jamaah bebekiyah tadi malam (terulang lagi hingga pagi tadi), seorang yang konon diduga adalah Kepala Satpol PP Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), dengan mengenakan seragam loreng yang entah dicomot dari satuan mana (bukan uniform resmi Satpol PP), nampak penuh percaya diri menggunting celana (seragam) siswa SMA bagian betis sampai tumit. Sehingga jadilah para pelajar itu macam mengenakan 'calana jojon'.

Lebih menggelikan lagi karena aksi kesewenang-wenangan itu konon dilakukan tanpa ada rasa malu di dada dan tanpa ada rasa bersalah di hati, karena diduga kuat si pelaku (Kepala Satpol PP) kalau tidak mau dibilang penderita gangguan model celana hingga akan melahirkan kekerasan secara kelembagaan atau dalam istilah Leput disebut 'Syndrome facist spanfashion (SFS)', maka kemungkinan pelaku alergi dan tidak terima melihat model celana siswa yang nampak agak ketat dibagian bawah.

Kocaknya lagi, para siswa jaman Android yang seharusnya punya isi kepala, justru diam dalam keadaan pasrah dan menyedihkan, tatkala seragam kesayangan yang (diantaranya) dibeli Mamak dari hasil menjual tahu, dibiarkan menjadi bahan amuk hasrat fasisme yang bersarang dalam pola pikir dan pola tindak sang Kepala Satpol PP berseragam aneh.

Lalu sejak kapan sekolah - sekolah di Mongondow menjadi ladang pelampiasan hasrat fasis yang seharusnya menyinggung perasaan para kepala sekolah yang teritorinya diinjak-injak? Setelah ditelisik kepada para sumber pemasang DP, kejadian yang sebenarnya memalukan pelakunya itu, terjadi pada sekitaran Agustus - September 2014 silam. Sang Kepala Satpol PP Bolmong menginspeksi SMA-SMA di Lolak, lalu menyasar setiap siswa yang seragamnya tidak longgar di bagian betis atau tumit kaki. Setiap yang seragam abu-abunya agak (hanya agak) mengetat di betis, pasti akan digunting. Entah kenapa. Mungkin dia memang sungguh - sungguh pengidap Syndrome facist spanfashion.

Tidakkah kita orang Mongondow yang masih senantiasa menjaga tingkat kewarasan bertanya; apa hubungannya seragam yang agak mengetat di betis dengan keenceran otak pelajar? Adakah korelasi antara seragam yang agak mengetat di bagian tumit dan betis itu dengan kemalasan siswa dalam mengerjakan PR? Atau seberapa seringkah siswa dengan seragam yang agak mengetat di betis itu meludah di lantai kelas saat proses belajar mengajar sedang berlangsung? Adakah kaitan antara seragam yang mengetat di bagian betis dan tumit itu dengan kebrutalan para siswa? Ataukah karena memakai seragam yang agak mengetat itu, para siswa jadi malas gosok gigi dan sering terkentut-kentut di kelas sehingga menganggu proses belajar mengajar?

Ternyata semua jawabannya adalah tidak sama sekali.

Lalu kita bertanya kembali; bagaimana dengan Kepala Satpol PP si pembuat ulah akibat penyakit Syndrome facist spanfashion yang kemungkinan dideritanya? Terutama menyangkut seragam yang dikenakannya penuh bangga dan rasa percaya diri. Tidakkah Badan Kepegawaian Daerah, Inspektorat, Bagian Hukum, atau pak Bupati melakukan pengguntingan?? Jelas uniform yang dipakai dan nampak dalam foto itu adalah uniform gadungan yang entah dibeli di pabrik konveksi mana? Memakai seragam yang lain daripada yang lain itu, selain melanggar aturan, sungguh telah mempermalukan diri sendiri. Sama halnya jika ada siswa SMA yang nekat dan tak punya rasa malu memakai setelan seragam putih - merah jambu (bukan putih abu - abu). Dan pembiaran Bupati terhadap seragam Kepala Satpol PP, sama halnya dengan pembiaran Kepala Sekolah pada siswa yang mengenakan seragam putih merah jambu.

Pembaca, jika benar yang di foto ini adalah Kepala Satpol PP Bolmong yang saat ini dijabat saudari yang terhormat Kakak Linda Lahamesang, (atau kita sapa saja Kak Linda) maka, kekocakkan ini hanya mengingatkan kita kembali pada kekocakkan di jaman Bupati MMS dulu, tatkala Kak Linda nekat tidak mau sholat Idul Fitri dan memilih memakai safari hitam kemudian memayungi sang Bupati di 'singgasana saf'.

Track record Kak Linda di jaman sebelum Salihi memang sudah bukan sekedar rahasia berjamaah lagi. Banyak kejengkelan yang mengundang tawa bertenaga bahak. Sebaliknya pula banyak kekocakkan yang mengundang kejengkelan.

Tapi kita mungkin bisa mengusulkan agar Kak Linda bisa tampil di Kick Andy atau Mata Najwa agar Indonesia tahu bahwa Kak Linda adalah satu-satunya PNS yang tidak kaku dengan aturan pemakaian seragam (PDH maupun PDL) sebagaimana yang sudah ditetapkan pemerintah (kecuali soal seragam siswa SMA). Kak Linda memang kreatif dalam mengenakan seragam yang menurut Kak Linda keren dan bergaya sehingga layak dibanggakan.

Ini tentu menjadi tamparan sekaligus penyemangat dalam dunia fashion Indonesia. Tak menutup kemungkinan, di tahun mendatang, setiap kepala SKPD diberikan kebebasan dalam memilih seragam mana dan apa saja yang dirasa trendy. Dan setelan celana jojon atau 3/4 untuk seragam siswa SMA, siapa yang tahu bakal ngetop di tahun-tahun mendatang.

Maka, dari era Bupati MMS hingga era Salihi kini, ragam lagak dan laku yang dilalui Kak Linda (sampai ke peristiwa uniform dan gunting-menggunting seragam SMA jadi model jojon), membuat kita semakin sadar bahwa Mongondow memang luar biasa lucu dan menggemaskan.

Rabu, 18 Februari 2015

Bercinta Dengan Tuhan


Belum ada yang tahu kalau yang membuat Ruru tiba-tiba menjadi remaja pemurung dan penyendiri, diakibatkan oleh mimpi yang saban hari membuat dirinya dipenuhi perasaan bersalah.

Itu bukan mimpi sembarang mimpi. Sehingga dengan mudah orang akan bilang, ah itu cuma bunga tidur, jangan terlalu dipikirkan.

Masih untung begitu, tapi bagaimana jika  orang akan bilang; kau memang cabul dan sungguh terkutuk. Sebaiknya bertobatlah sebelum engkau celaka. Kejadian yang kau alami dalam mimpi itu, sungguh merupakan pertanda bahwa ada dosa besar yang telah kau perbuat.

Awalnya Ruru memang dikenal teman sebayanya sebagai remaja ceria. Ia juga dikenal tekun beribadah dan aktif dalam kegiatan bernuansa religi. Dosen di kampus senantiasa mengandalkannya, terlebih tiap hari perayaan keagamaan tiba. Ruru selalu ditunjuk menjadi ketua panitia mengurusi perayaan itu. Ragam kegiatan ditampilkannya termasuk pementasan teater bertema religi.

Tapi belakangan apa yang terjadi? Ruru menjadi remaja yang sekonyong-konyong mengalami gangguan bipolar. Ia juga bisa menjadi seorang penyendiri dan pemurung selama berhari-hari, dan di saat-saat tertentu, dapat meledak secara tiba-tiba. Tak ada yang sanggup memprediksi. Ia cepat berganti mood. Terkadang ekstrim dan susah ditebak. Maka teman-teman sebayanya tak menaruh heran lagi jika dalam keadaan mood yang low, Ruru bisa tiba-tiba menjadi seorang mania yang menyebalkan.

Lalu apa yang menyebabkan itu semua? Najwa dan Heri, teman sebaya Ruru, adalah yang menjadi orang pertama mendengar rahasia itu dibongkar.

“Aku bermimpi bercinta dengan Tuhan”

Demikian Ruru menumpahkan apa yang selama ini membuatnya begitu tertekan dalam perasaan takut dan bersalah.

“Masya Allah....Ruru...!! Bagaimana engkau mimpi bercinta dengan Tuhan, sedang kau sendiri belum pernah melihatNya? Astagafirullahulazim..... dosa apa gerangan yang telah kau perbuat Ruru”  Najwa tercengang. Sedangkan Heri berkali-kali menepuk jidat.

Menyadari reaksi kedua temannya, Ruru menangis. Padahal ia belum menceritakan secara lebih mendetail bagaimana jalannya mimpi itu, tapi Najwa maupun Heri sudah kaget bukan kepalang. Bagaimna jika ia menceritakan versi terlengkapnya, detil demi detil. Misalnya, pada adegan ketika Tuhan memaksa mencumbunya. Inipun masih tergolong soft sebab ada adegan versi hardcore.

“Ini gara-gara kau terlalu banyak nonton drama korea, atau keseringan menghayal dan nonton film porno,” timpal Heri berseloroh.

“Apakah kau pernah menolak mimpi datang? Apakah sebelum tidur kau punya kuasa memilah dan memilih mimpi mana yang harus datang? Apakah kau punya kuasa bagaimana menciptakan mimpi di dalam mimpi? Bagaimana mungkin itu? Aku katakan kepadamu bahwa aku tak pernah kepikiran barang setitik-pun untuk memimpikan itu. Tapi kenapa mimpi itu datang? Apakah kita punya kuasa menolak atau menawar-nawar mimpi yang bisa datang semaunya? Hah! Aku malah menyesal dan sepertinya merasa terkutuk dengan mimpi itu!! Tapi, adakah orang mengerti??” kata Ruru jujut-menjujut.

“Kau tahu kan Sigmund Freud? Aku pernah baca, menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Artinya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya hadir dari keinginan-keinginan yang terlarang, dan diungkapkan dalam keadaan terjaga,”  kata Heri entah mengutip Freud dari angkasa mana.

“Oh, bagus kawan. Jadi sekarang kau menuduhku pernah membayangkan kondisi itu? Sebuah keinginan terlarang dalam keadaan terjaga, kemudian terdistorsi secara kampret hingga membentuk mimpi macam kau bilang itu? Bagus, kau memang teman yang jenius Heri,” ketus Ruru. Heri dan Nadjwa diam. Mereka hanya tidak pernah menyangka kalau inilah yang membuat Ruru berubah.

“Apa kalian pernah punya keinginan-keinginan terlarang? Dalam keadaan sadar, kemudian bangunan yang terlarang itu mewujud dalam mimpi, di alam bawah sadar? Peh, bagus sekali itu. Jadi kalian sudah bisa merencanakan bagaimana jalan cerita sebuah mimpi? Hebat ya kalian,” tambahnya.

“Sudahlah tak usah berdebat. Kalau hanya gara-gara mimpi yang membuatmu jadi begini, aku pikir kau membuang-buang waktu dan menyiksa dirimu sendiri Ruru. Orang bilang mimpi itu cuma bunga tidur. Tak usah dibawa pikir hingga menjadi beban dan membuatmu merasa bersalah,” hibur Najwa mencoba meredam. Tapi Heri malah bicara;

“Tapi, aku juga merasa aneh, bagaimana mungkin kau memimpikan itu? Aku pikir setiap mimpi pasti ada alasan-alasan,”

“Oh, jadi kau tetap pada pendirianmu wahai mister Freud? Maksudmu, alasan-alasan yang akhirnya membentuk mimpi itu berdasar pada keinginan-keinginan terlarang yang terbentuk dari alam sadar, kemudian mewujud di alam bawah sadar ketika aku tertidur dan mimpi itu terbentuk karena ekspresi kesadaran sebelum tidur yang terdistorsi? Haha..haiklah kalau begitu mister Freud,” Usai mengatakan itu Ruru menyuruh mereka pulang. Tepatnya mengusir kedua sahabatnya itu ketika berkunjung ke rumahnya.

Pengakuan Ruru akhirnya heboh di kampus. Alhasil, ia menjadi korban bully di media sosial dalam bebagai bentuk status satire, meski tak sedikit juga yang blak-blakan.

Hal tersebut menimbulkan banyak reaksi termasuk di kolom komentar medsos. Beragam teori hasil gugling dan copy-paste meruyak bak jamur di musim hujan. Mulai dari yang sok paling tahu psikonalalisis, hingga ke arena filasafat yang antah berantah.

Di kelompok dan komunitas tertentu, mimpi itu malah jadi bahan debat dan kajian yang kehilangan pijakan. Anehnya, bersandar pada rasa ketersinggungan, muncul rencana yang berbuntut pada suatu pengusungan agenda di komunitas yang nanti akan mendudukkan Ruru di forum resmi untuk dikuliti habis-habisan sebagai ‘pesakitan’.

Mahasiswa fakultas hukum yang mendengar agenda ngaco itu memberikan pembelaan. Mereka mengatakan kalau mimpi bukan kejadian fakta yang layak ‘disidangkan’. Olok-olok mereka terhadap kaum kolot, reaksioner, konservatif, dan ‘wahabi’ di kampus, malah menimbulkan adu jotos antar komunitas yang lebay mengupas mimpi Ruru.

“Adalah sebuah penghinaan dan kemudaratan, ada mahasiswa di kampus tercinta ini bermimpi kalau ia bercinta dengan Tuhan. Apalagi yang bersangkutan sengaja menggembar-gemborkan di medsos. Dia juga kan dikenal sebagai mahasiswa religi, entah apa maksud semua ini?” demikian salah seorang mahasiswa reaksioner alay memberi komentar.

Tapi, adakah yang tahu bahwa Ruru tidak pernah membongkar apa yang ia alami kecuali pada Najwa dan Heri? Itupun karena terpaksa, ketika ia tak tahan lagi terus-terusan dipaksa bicara oleh dua sahabatnya.

Reaksi terbaru juga berhamburan tatkala seseorang yang dikenal sebagai mahasiswa fakultas filsafat memposting statusnya di medsos dengan hastag Ruru; “Lalu bagaimana rasanya ketika Tuhan datang menggerayangi tubuh mungilmu, kemudian memberi cumbuan terdahsyat...oohh...maka nikmat mana lagi yang hendak kalian dustai, #Ruru” 

Maka keributan semakin menjadi-jadi. Dan Ruru, selain kecewa pada Najwa dan Heri yang menjadi biang kerok segala kegegeran di medsos itu, sudah ‘mengungsi’ ke rumah kakeknya nun jauh di udik.

Tapi bukan berarti ia lolos dari kunjungan. Terutama dari orang yang sepertinya terobsesi dengan semua itu.

Makanya, pada pagi yang berkabut di udik, sebuah motor butut yang dikendarai seseorang, memasuki halaman rumah di mana Ruru mengasingkan diri—masih dengan perasaan bersalah lantaran ngaconya mimpi.

Namun santer juga beredar kabar bahwa Ruru mengungsi ke udik untuk berobat pada orang pintar. Belakangan ia mengalami gangguan mental.

Setelah bersalam-salaman lalu diizinkan masuk, tamu yang datang ini sempat menyaksikan Ruru sekonyong-konyong sedang diurapi orang pintar di salah satu ruangan yang ada di rumah itu.

Beberapa saat kemudian, usai ritual itu, si orang pintar membebaskan Ruru untuk berekspresi. Termasuk ketika ia juga diizinkan dapat menerima dan bercakap-cakap dengan tamu yang datang.

“Oh, kau rupanya Ursa. Aku pikir Kim Jong Un,” sambut Ruru pada tamu  yang tampangnya memang agak mirip dengan pimpinan Korut saat ini. “Ada apa?” tanya Ruru.

Ursa yang disapa sebagai Kim Jong Un ini, lantas mengurai maksud kedatangannya. Karena ia juga kini tak sekedar mendengar kabar kalau Ruru sedang dalam masa pengobatan—sekarang ia juga berpikir mungkin sudah sembuh—maka ia menyampaikan maksud kedatangannya dengan pengantar yang agak panjang, penuh hati-hati, diplomatis, namun tetap dalam nuansa canda agar semuanya dapat mengalir bebas, dan tujuannya tercapai.

“Hahahaha... jadi kau mau mengangkat kisah ini menjadi Novel?," Ruru terkekeh. "Ursa..Ursa... jangan katakan bahwa ini nanti akan kau gunakan sebagai bahan propaganda untuk memporak-porandaklan tatanan lama yang sudah mengakar dalam peradaban umat di nusantara pasca Mataram, atau bahkan di level dunia pasca perang dingin,” 

Ursa tertegun. Ia tak pernah menyangka kalimat itu bakal keluar dari mulut Ruru. Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi.

“Sebenarnya sih aku mau menulisnya dalam bentuk Cerpen, tapi... entahlah, mungkin Novel juga lebih baik,” katanya kalem. Ia lantas tersenyum lebar. Seolah sebagai penyeimbang tawa yang terbahak-bahak dari Ruru.

“Haha, apapun itu Ursa, apapun itu, aku tak mau ambil pusing. Aku tiba-tiba hanya menemukan ada sepenggal otak Kim Jong Un kini menyusup ke dalam batok kepalamu,” kata Ruru sembari terkekeh.

“Ah, tidak begitu kawan. Ini hanya cerita fiksi,”

“Fiksi lebih berbahaya dari fakta. Camkan itu Ursa!”

"Tapi tetap saja fiksi"

"Ursa, jangan pikir tak banyak orang di dunia ini mengimani bahwa mimpi bukan sekedar fiksi"

Lagi-lagi Ursa tidak pernah menyangka setiap kalimat yang terlontar dari mulut Ruru.  Sepertinya ia merasakan kehadiran Ruru dengan sosok yang begitu berbeda. Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. Jantungnya berdetak semakin kencang hingga membuat ia sekonyong-konyong bicara dalam hati agar meredam semua itu supaya Ruru luput mendengar deru di dadanya. Deru yang penasaran; bagaimana sosok Tuhan yang sebenarnya; apakah sama seperti yang dipikirkan orang selama ini.

* * *

Hari sudah siang dan menyala. Diskusi terhenti oleh ajakan yang memang sudah ditunggu-tunggu. Apalagi Ursa sadar kalau lambungnya sudah sedari tadi hanya menampung kopi dan asap.

“Sebaiknya kalian makan dulu biar kembali punya tenaga bercengkrama,” ajak kakek Ruru.

“Ayo, kita makan siang dulu Ursa. Nanti akan aku ceritakan semuanya padamu sampai ke detil-detilnya,”

Senyum kemenangan tersungging dari bibir Ursa. Mereka lantas bergerak ke ruang makan. Menyantap menu khas udik yang membuat Ursa kini merasa benar-benar merdeka.

Selasa, 17 Februari 2015

Laki-laki di Tepi Gapura

foto : arifkoes

Entah bagaimana ceritanya, laki-laki yang kemarin sempat terlihat di gedung sebuah rumah sakit terbesar di kota itu, tiba-tiba sudah menemukan dirinya lunglai di atas tanah, tak jauh dari pintu gerbang sebuah kampung.

Rasa ketidak-nyamanan yang mulai merayap di setiap jengkal tubuhnya, membuat ia bangkit pelan-pelan meski dengan gerakan agak sekarat.

Ia mengusap matanya dan mengitari sekeliling. Sederet tulisan tertangkap melintang di papan gapura:

S-E-L-A-M-A-T D-A-T-A-N-G DI S-O-R-G-A

Ia mengucak matanya lagi, hendak meyakinkan diri. "Selamat datang di sorga? Pah! lelucon macam apa ini?" pekik batinnya. "Apa aku sedang bermimpi?".

Ia mencoba mengingat kejadian terakhir kali sebelum ia berada di gapura itu. Ia tahu, setelah dari apotik rumah sakit, ia singgah di warung makan tempat biasa ia breakfast, launch,and dinner. Tapi tak ada keanehan yang ia temukan ketika berusaha mengais-ngais ingatan itu dengan susah payah.

"Apa aku salah minum obat? Keracunan makanan? Atau ada orang usil yang membiusku? Rampok mungkin?"

Bukankah di TV ia memang pernah menonton berita, ada korban perampokan dibius pelakunya?

Sontak ia meraba setiap kantong baju dan celananya. Memeriksa satu dua barang bawaan, tapi tak satupun raib. Di kantong masih ada beberapa lembar uang yang kusut. Termasuk recehan yang dibungkus dalam sebuah kantong khusus. Beberapa batang rokok yang ia beli di emperan juga masih ada. Memang ada beberapa yang patah, tertindih tubuhnya saat tidur telungkup di atas tanah.

Tapi, apa yang membuat ia bisa begitu saja tiba di gapura sebuah perkampungan yang asing bagi dia. Tak ada cara lain kecuali mencari tahu sendiri. Bisa dimulai pada warga kampung yang nanti lewat di situ. Kampung sorga sebagaimana yang tertulis di gapura.

"Ah, paling-paling ini ulah pemuda-pemuda kampung yang usil" pikirnya.

Ia terkekeh. Batinnya seolah mengatakan kalau orang tua macam diayang tak hanya sekedar pernah makan garamtak mungkin mudah dikibuli. Apalagi oleh pemuda-pemuda usil di kampung yang mungkin kurang kerjaan.

Akhirnya ia putuskan untuk masuk. Baru beberapa meter melepas gapura, ia menemu seorang perempuan berdiri di tepi sebuah telaga.

"Oh, rupanya ada telaga dan perempuan berambut panjang di mulut kampung ini" gumamnya dalam hati lalu pura-pura cuek dengan kenyataan yang ada di depan matanya.

Bersikap acuh tak acuh dan agak angkuh seperti kelakuaanya sebelum terlempar dengan cara misterius di tempat itu, ia terus melangkah penuh kepastian tak ambil peduli.

Tapi langkah demi langkah itu digoyahkan kata batinnya yang sepertinya berbisik untuk balik. Ia putar badan lalu sontak terbelalak ketika tak lagi menemukan perempuan yang baru dilewatinya. Dan telaga itu, cepat kabut turun menutupi permukaan sehingga telaga itu tersamar seperti gundukan salju musim dingin di belahan bumi Eropa.

"Apakah semua ini benar-benar ada? Atau hanya ilusi? Kemana perempuan tadi? Apakah aku juga memang ada di sini?" Ia mencubit kulitnya dan merasakan sakit. "Ya, aku ada. Jelas aku ada" gumamnya.

"Hei, siapa di situ? Apa kau demit penunggu gapura? Jangan sembunyi di situ wahai perempuan"

Ia memang tidak pernah percaya pada kisah-kisah hantu. Apa yang menurutnya dapat ditangkap dengan mata telanjang, dan bisa diraba, adalah bangunan realita atau materi dari sebuah keberadaan. Makanya ia berharap perempuan yang ia lihat tadi dapat ia saksikan mucul kembali dari balik semak. Dan dalam keadaan seperti yang tengah dialaminya, malu bertanya berarti bukan hanya sesat di jalan, melainkan punya kemungkinan masuk lubang buaya.

Tapi perempuan itu tidak muncul. Mungkin terlalu cepat bergerak hingga hilang di jalan raya. Merasa tak peduli, ia memasang rokok lalu melangkah lagi masuk ke dalam kampung.

Di tengah jalan ia merasa lelah. Kepalanya juga agak pening. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak lalu duduk di onggokan batu.

"Keparat! Apa aku salah minum obat?"

Lagi-lagi ia mengeluh menyalahkan diri. Selalu terusik dengan situasi yang membuatnya merasa rumit. Ia raba kantong baju sebelah kiri. Merogoh plastik bungkusan obat lalu mengais isinnya. Tak ada yang aneh. Itu obat sakit kepala. Bukan pil koplo yang pernah diberi sekumpulan anak sekolah untuknya, sebagai sogok karena memergoki anak-anak itu di sebuah rumah kosong. Ia diminta agar tak melaporkan kejadian itu kepada kepala sekolah yang biasa memberi sebungkus nasi untuknya.

"Sorga? Pah! inikah sorga? Penuh jalan berlubang, kerikil tajam, bebatuan yang mengelupas dari aspal, ilalang, tak ada buah-buahan segar ranum, macam inikah sorga seperti kata gapura itu? Orang-orang di sini mungkin sinting. Dan entah siapa lurah atau kepala desanya" Gumamnya memprotes.

Ia lalu buru-buru bangkit dan berjalan lagi. Merasa ia seperti Si Buta Dari Goa Plato sebagai seorang lelaki berkumis tebal dalam Nietzsche di Pintu Sorga.

"Jangan sampai penjaga kampung sorga ini akan kaget dan menertawai saya sambil berseru; hai Nietzsche berhenti. Kamu seorang ateis, kamu tidak boleh hidup di sorga". gumamnya.

"Ah, aku akan menjawab; Siapa bilang aku mau hidup di sorga. Aku mau mencari Tuhan. Aku tidak berhasil membunuh-Nya di dunia" sergahnya.

Ia tertawa, lalu kembali berjalan hingga tibalah ia di perkampungan yang nampak lusuh.

"Masya Allah.... inikah yang disebut sorga seperti yang tertera di gapura itu?" Ia berdecak panjang sembari menggeleng-gelengkan kepala tanda tak suka.

Seorang perempuan parubaya tiba-tiba muncul dari balik pos kamling. Ia melihatnya sebagai kesempatan.

"Ibu, boleh saya bertanya?"

Perempuan ini menoleh. "Kenapa?" katanya.

"Apakah betul ini di sorga?"

Tanpa menjawab, perempuan paruh baya itu memutar badan lalu pergi.

"Hei, kemana?"

Perempuan itu tak peduli. Malah berlari kecil meninggalkan dia. Kejadian ini membuatnya semakin sadar bahwa dia tidak sedang berada di sorga.

"Dasar tolol!" Ia tepuk jidatnya sendiri. "Jelas ini bukan sorga. Kenapa aku terlalu bodoh bertanya demikian"

Seorang pemuda lantas lewat. Ia menyapa. Pemuda ini tak merespon.

"Hei anak muda"

Tak ada jawaban. Pemuda itu terus berjalan.

"Pemuda..!!?" Ia berteriak.

Pemuda ini lalu memungut batu sebesar biji kedondong lalu melemparnya. Ia bergeser sebisa mungkin. Batu itu terbang hampir mengenai wajahnya.

"Dasar sableng!" pekik pemuda itu kemudian berlalu.

Akhirnya ia merasa kalau sebaiknya diam. Percuma bertanya jika yang ia dapatkan hanyalah perlakuan tak manusiawi. Bukankah diam itu emas?

Ia duduk di bawah pohon kersen. Di situ ada barang-barang rongsokan bergunduk. Segala ember, televisi rusak, plastik shampo, odol, obat antiseptik, botol kemasan air mineral, bir kaleng, popok bayi, botol kemasan sabun sirih pencuci vagina, ban mobil yang setengahnya sudah terbakar, dan segala yang ia lihat itu adalah sarang penyakit; malaria, disentri dan mungkin kolera. Itu adalah gundukan sampah.

"Pantas orang-orang disini pada sakit semua" gumamnya lalu mencari tempat lebih nyaman agar ia mampu berpikir dengan lebih baik. Ia percaya bahwa faktor lingkungan turut mempengaruhi pola sikap dan pola tindak orang.

Ia masuk ke pos kamling kampung itu. Tapi belum sempat melewati pintu, ia membatalkan niatnya. Itu bukan pos kamling, bisiknya dalam hati. Tapi WC umum yang tingkat kejorokannya sudah mampu menggambarkan perilaku orang-orang di kampung sorga ini. Ia pergi meninggalkan segala pesing dan tinja di situ.

Sekarang langkahnya terhenti di depan halaman sebuah bangunan yang sepertinya terawat. Ia masuk dan berselonjor di tangga bangunan itu, menunggu orang baik datang.

Sekelompok bocah yang muncul dari arah jalan raya, datang menghampirinya. Sepertinya bocah-bocah penasaran ini hendak tahu siapa orang asing yang datang ke kampung mereka dan berselonjor sembarangan di tangga rumah ibadah.

"Om dari mana om?" tanya seorang bocah yang paling berani diantara mereka.

Ia tak menjawab. Bocah lain saling bisik cekikikan.

"Dari mana Om?" bocah itu mengulang.

Sekelumit kejadian yang baru saja dialaminya mulai dari gapura, seorang perempuan parubaya di dekat pos kamling, dan pemuda yang melemparinya dengan batu, adalah peristiwa yang membuat segenap niat dalam benaknya mengatakan bahwa; adalah percuma meladeni bocah-bocah ini. Ia malah berpikir, bisa jadi bocah-bocah inilah yang menulis di papan gapura; Selamat Datang di Sorga.

"Om sudah makan?" ulang bocah tak mau menyerah.

"Mungkin dia bisu" seloroh yang lain.

"Dia tidak bisu, barangkali sedang sakit" timpal yang gendut.

"Om sakit?"

"Mungkin dia gila?"

"Ya, dia sinting. Hati-hati jangan terlalu dekat"

Ia diam tak bereaksi. Ia tahu semua akan percuma. Bagi dia bocah-bocah ini adalah anak orang-orang sinting yang tak pernah diajari sopan santun.

"Hei, Om. Kenapa tak mau bicara"

Bocah yang paling usil mulai menantang. Ia lantas mengumpulkan pasir dan kerikil. Dalam situasi yang demikian, diam mungkin tak selamanya emas. Tapi ia bertahan. Sepertinya menunggu gerangan apa yang bakal terjadi. Ia menyimak.

Merasa bahwa orang yang mereka kerubungi ini adalah orang gila, si bocah usil mulai membisiki teman-temannya. Sepertinya merencanakan sesuatu.

Betul. Mereka menghujaninya dengan kerikil. Ia sudah menduga itu akan terjadi. Makanya ia bersigap menghindar. Hujan kerikil itu meleset. Bocah-bocah itu gagal tertawa.

Tapi tak semua bocah disitu usil. Salah satu diantara mereka melerai teman-temannya untuk tidak berbuat jahat pada orang asing ini. Terjadi perdebatan diantara mereka. Yang tak sepakat lalu memilih ke rumah kepala desa hendak melaporkan bahwa ada orang gila di rumah ibadah.

"Apa kamu tidak tahu kalau orang gila biasa berak dan kencing di sembarang tempat? Ayo Randi kita laporkan dia ke pak kepala desa. Ini rumah ibadah. Harus di jaga kesuciannya,"

Saat itu terucap dari salah seorang bocah si pembuat ide hujan pasir dan kerikil, laki-laki yang disangka gila ini menggerutu dalam hati; "Tai kucing, orang di sini yang tukang berak dan kencing di sembarang tempat. Lihat sana di pos kamling. paling kakakmu, pamanmu, atau bapakmu yang melakukan itu," bisiknya.

"Kenapa kamu menyangka kalau orang ini gila?" tanya salah seorang bocah kepada temannya yang hendak pergi.

"Coba lihat tampang dan dandananya? Kakak saya tadi bilang orang asing ini yang tidur di gapura sejak kemarin"

"Ya, dia gila. Lihat dia tak mau bicara," timpal yang lain. Mereka kemudian berlalu, hendak melaporkan ke kepala desa.

Hanya satu orang bocah yang tertinggal. Merasa peduli, ia mendekat dan mulai bertanya.

"Om dari mana?" tanyanya.

Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Bagaimana mungkin ia akan mengatakan kepada bocah ini kalau ia dari rumah sakit. Atau ketika dari apotik, ia singgah di warung makan kemudian keluar beli rokok di emperan dan tiba-tiba saja sudah menemukan dirinya di gapura kampung.

"Apa Om memang bisu?" tanya bocah ini lagi sembari memberi tanda isyarat.

"Aku tidak bisu?" Akhirnya ia memilih bicara. Bocah didepannya senang dan mulai bersemangat.

"Kenapa Om bisa ada di sini? Om darimana?" kejar sang bocah.

Nampaknya ia akan jujur menjawab bahwa ia dari rumah sakit, atau dari apotik, dan akhirnya terlempar secara misterius di gapura kampung. Tapi, sepertinya sanksi. Ia enggan merusak pertemuan dan komunikasi yang mulai terbangun baik itu.

Tiba-tiba,

"Om,"

"Ya.

"Apa Om baik-baik saja?"

"Tidak. Kenapa?"

"Tidak sakit?"

"Tidak"

"Kok kepala Om berdarah?"

Ia meraba kepalanya. Sejurus dengan itu ada cairan berwarna merah kini membasahi telapak tangannya. Darah itu mengucur deras. Ia kebingungan. Bocah juga bingung.

"Eh, aku kenapa?" Tanyanya panik dengan wajah yang nampak pucat. Tanpa pikir panjang bocah dihadapannya sontak membuka baju lalu diberikan pada laki-laki asing itu. Darah mulai tercecer di lantai rumah ibadah.

"Aku kenapa dik? Aku kenapa?" Ia terus panik.

"Tidak tahu Om. Tiba-tiba saja aku melihat ada darah di kepala Om,"

Ia ambil baju bocah baik hati itu lalu ditekankannya ke kepalanya. Ia merasa lega, tapi sekonyong-konyong lunglai sembari melihat kilatan cahaya di plafon rumah ibadah itu.

"Aku di mana dik, Aku di mana? Di mana?? Aku di mana dik? tolong aku...tolong aku......". Suaranya pelan dan sekarat. Bocah dihadapannya panik tak tahu mau buat apa.

"Tolong aku....tolong......"

"Aku di mana dik.... Sebenarnya aku  di mana....?"

"Om, di rumah ibadah sekarang, Om di rumah ibadah" Jawab sang bocah dengan bibir yang gemetar. Ia sebenarnya hendak lari minta bantuan orang-orang di kampung, tapi mendadak ia tak bisa bergerak. Seperti ada kekuatan yang menahan kakinya. Ia cuma bisa bicara.

"Di rumah ibadah? Aku di rumah ibadah??"

"Iya, Om. Bersabarlah. teman-teman saya sedang cari bantuan. Sebentar lagi mereka datang bersama pak kepala desa"

"Ah, tak usah. Aku cuma ingin tahu kalau aku di mana sekarang?"

"Om sedang berada di rumah ibadah sekarang, bertahanlah Om,"

"Bukankah ini di sorga dik?? Bukankah aku sedang berada di sorga sekarang? Aku tadi membacanya di papan gapura"

Bocah dihadapannya sontak diam. Dia mundur beberapa langkah. Mukanya pucat.

"Aku di sorga kan dik? Aku di sorga kan? Tolong katakan sesuatu, katakan sesuatu apa yang adik ketahui, tolong ucapkan sesuatu," Suaranya parau dan sekarat.

"Dik...tolong dik katakan sesuatu...".

Kilatan cahaya di plafon rumah ibadah itu membuatnya silau. Suaranya sekarat seperti tertahan di kerongkongan. Mulutnya terbata-bata. Sepertinya mengeja sesuatu yang entah apa.

"Kalau begitu katakan pada keluargaku dimanapun mereka berada, bahwa aku di sorga sekarang. Katakan sama mereka dik, katakan bahwa setelah kejadian itu, sekarang aku berada di sorga,"

Bocah didepannya diam dalam keadaan pucat. Ia benar-benar ketakutan.

* * *

Rombongan warga kampung datang bersama pak kelapa desa. Mereka memasuki halaman rumah ibadah. Beberapa bocah yang tadi melapor juga nampak di barisan warga yang berdatangan.

"Mana orang itu?" Tanya pak kepala desa.

"Tadi dia di situ pak, duduk bersama Randi," kata salah seorang bocah yang ada di tengah-tengah rombongan.

Tapi mereka tak menemukan siapa-siapa. Kecuali Randi sang bocah yang mereka tinggalkan bersama orang asing tadi.

"Randi, di mana orang gila itu?" Tanya pak kepala desa, sedangkan warga lainnya mengitari rumah ibadah tapi tak menemukan apa yang mereka cari.

"Randi, di mana orang gila itu?" ulang pak kepala desa lagi.

Randi tak bergeming. Ia cuma duduk bersimpuh dalam keadaan gemetar. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya gemeretak.

"Hey, kamu kenapa nak?" seorang warga menepuk bahu bocah itu hingga akhirnya sang bocah tiba-tiba berteriak histeris. Warga yang tengah mengitari rumah ibadah sontak berkerumun mengelilingi sang bocah.

Mereka lalu manyasarnya dengan berbagai pertanyaan. Termasuk kemana perginya orang asing itu. Tapi bocah itu kebingungan. Bagaimana mungkin ia akan menceritakan apa yang dialaminya kepada orang-orang di situ. Apalagi ketika ia menyadari bahwa ternyata ia tak pernah membuka bajunya untuk diberikan pada orang asing itu sebagai penambal luka di kepala.

"Anak ini harus dibawa ke dokter. Jangan-jangan orang asing itu sudah mengerjainya" usul salah seorang warga. Kepala desa setuju.

Di jalan, ketika di boyong warga kampung pulang ke rumah, bocah ini berbisik dalam hatinya. Sepertinya doa;

"Semoga Om benar-benar berada di sorga sekarang,"

Minggu, 15 Februari 2015

Anda Memang Layak!!! Tanggapan Atas Protes



Beberapa jam setelah tulisan berjudul “Orang-orang Yang Terbunuh danYang Membunuh di Hari Palentain”  disebar melalui pesan broadcast BBM, tanggapan datang dari 5 orang Jamaah Bebekiyah (pengguna BBM/(BlackBerry Messenger) di daftar kontak, yang tidak perlu saya sebutkan satu-satu namanya disini, sebab memang diminta. Tapi saya hendak menjelaskan ke salah satu yang paling serius.

Tanggapan itu bersifat protes atas kalimat di poin e, kategori Penderita Min+. Saya kutip :  (e. Tidak punya pasangan (jomblo) lalu disasar seseorang memakai sebalok coklat dan kado berwarna pink, sehingga klepek-klepek dan momocik-mocik, sampai lupa daratan dan hilaf ada sesuatu yang paling berharga hilang karena sebalok coklat).

Maka bersama ini saya menyampaikan bahwa, setiap pembaca Leput Institut sebenarnya diberi kebebasan dan kemerdekaan seluas-luasnya untuk menafsirkan setiap tulisan di Leput. Bahkan menafsirkannya secara semena-mena pun terserah. Pembaca bisa serius, bisa pula sekedar main-main.

Teman di BBM (terima kasih telah menjadi pembaca) rupanya ada yang menanggapinya dengan serius. Terutama terkait Palentain. Ini sebenarnya tidak masalah bagi saya. Namun karena teman (yang baik) ini, menanggapinya serius, maka saya juga merasa perlu serius menanggapi balik, yang saya wujudkan lewat tulisan yang saya buat ini, sebagai penjelasan atau jawaban atas tanggapan yang disampaikan dengan sopan dan penuh kerendahan hati.

Teman di BBM ini sebenarnya juga curhat. Ia mengatakan bahwa justru dirinya (mungkin pula ia mewakili orang-orang yang senasib dengan dia), adalah korban persepsi (yang disebutnya sesat dan dangkal) dari masyarakat atau orang yang menuduh dia (atau mewakili mereka yang bernasib sama) sebagai orang-orang yang mengincar sesuatu (sesuatu disini konteksnya adalah seks) dengan modus sebalok coklat atau dalam bentuk bingkisan berwarna merah jambu.

Teman ini juga memprotes kalimat yang saya tulis;  ada yang hilaf dan lupa daratan sehingga barang paling berharga hilang karena sebalok coklat. Olehnya dengan nekat (namun sopan) ia bahkan ‘menuduh’ saya sebagai bagian dari orang yang berpersepsi buruk dan penuh prasangka dengan fenomena sebalok coklat dan kado berwarna merah jambu yang marak diberikan tiap hari Palentain tiba.

Teman BBM yang baik, seperti yang saya sampaikan di atas bahwa, setiap pembaca diberi kebebasan dan kemerdekaan menafsirkan atau mengapresiasi setiap kalimat atau tulisan yang ada di Leput. Termasuk kalimat yang disoal:  “.....ada yang hilaf dan lupa daratan sehingga barang paling berharga hilang karena sebalok coklat”.

Jika teman berpikir ngeres, maka yang keluar pasti tak jauh di seputar selangkangan. Sama halnya jika kita berpikir secara sampah, maka yang keluar di seputar itu kalau bukan limbah ya gas beracun. Ini bukan pembelaan, meski teman juga bebas menyimpulkan bahwa ini adalah pembelaan.

Tapi saya juga sebenarnya menyadari dan malah iba dengan apa yang teman sampaikan bahwa, teman hanyalah korban dari kepicikan otak orang-orang dengan ruang lingkup pemikiran yang hanya sebatas bukubuku (kata orang di sini) atau selevel dengkul.

Dan kepada 4 teman BBM lainya, semoga penjelasan ini sudah dapat mewakili (merangkum) apa yang di protes. Sebelumnya terima kasih sebab paket internet Anda tidak sekedar dimubasirkan. Sekali lagi terima kasih dan bebas merdekalah nongkrong di Leput.

Anda memang layak! ;) (y) ({})

Orang-orang yang “terbunuh” dan yang “membunuh” di Hari Palentain

history.com
Kalau diantara kita—baik yang sudah move on maupun yang belum—masih mau mengingat masa-masa manis era 80-90an, kita tahu bahwa itu adalah masa kejayaan dimana hari Palentain (Valentine Day’s) jauh panggang dari debat dan polemik, mulai dari soal kapan penetapan tanggal dan bulannya, atau haram halalnya kita merayakan hari kasih sayang itu.

Tidak di era EDGE, 3G, 4G, Iphone, Android, dan IOS, macam sekarang ini, hari Palentain justru menjadi ajang debat dan polemik yang meruyak di halaman media massa, dan menjadi bahan gunjing di medsos yang tak hanya dimamah-biak kaum agamawan, tapi politisi pun ikut-ikutan genit mempolemikan, seolah Palentain adalah sebuah gejala dan gerakan penistaan agama, sebagaimana yang dituduhkan pada kaum Syiah dan jamaah Ahmadiyah di negeri yang ber-bhineka tunggal ika dan berpancasila ini.

Kita mungkin bisa meniru celoteh Joker dalam Batman; Why So Serious?? Tapi tengoklah berita, ada 5 Walikota di Indonesia yang melarang warganya merayakan Hari Palentain. Itu yang sebatas kita pergoki di www.liputan6.com. Seolah Hari Palentaian—yang tetap tidak berubah dirayakan tiap tanggal 14 bulan Februari setiap tahun—adalah bahaya laten yang merongrong kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Padahal kalau ditengok dari segi kealayan dan kelebayan—terutama di kalangan remaja yang sok tahu tentang cinta—Palentain hanyalah seonggok retorika kasih sayang berbuntut kepentingan pe-de-ka-te yang tingkat kejablayannya memang seperti menggeleparkan kartu truf di atas meja judi. Siapa sih gadis yang hatinya tidak klepek-klepek dan momocik-mocik (kata ABG di Passi) tatkala menerima sebalok coklat dibalut kertas berwarna pink yang di-permoy dengan lukisan buah hati dari seorang pemuda alay? Belum lagi jika dibumbui dengan sederet kalimat mujarab: I Love You dan di-paripurnakan dengan secarik surat cinta. Ambooi.....dunia serasa berbunga-bunga.

Media memang selalu memberi kontribusi besar terhadap peradaban dan gerak kebudayaan. Di era 80-90an, kita mungkin mengenal Hari Palentain di majalah-majalah remaja macam HAI, Aneka Yess, Gadis, Anita Cemerlang (banyak Cerpen Palentain), dan majalah-majalah seperjadulanya. Entah kalau di majalah Sahabat Pena ada sebab saya lebih terfokus membuka majalah itu di halaman yang khusus memuat foto (tentu saya memilih foto gadis cakep) lengkap dengan alamat penggemar majalah itu se-seantero nusantara yang terpilih. (Hahaha.. ayo ngaku bagi yang eksis di era 80-90an). Oleh sebab itu pulalah kita yakin bahwa lagu ngetop berjudul Laura Dakosta, terinspirasi dari situ.

Jadi bagaimana hari Palentain Anda kemarin, (dalam konteks relasi asmara dan percintaan?) “terbunuh” atau “membunuh?”

Pembaca, terbunuh yang saya maksudkan disini adalah, Anda menjadi korban atau objek Palentain. Saya tidak membahas korban dalam konteks putus cinta dan kembarannya di hari Palentain.

Objek atau korban Palentain yang hendak dibahas disini adalah yang dibagi dalam 2 kelompok kategori, yakni pertama objek selaku penderita A+, dan kedua objek selaku penderita Min+.

Penderita A+ artinya, Anda adalah si objek penderita Palentain (jomblo maupun bukan jomblo) yang disasar pasangan memakai sebalok coklat yang dibungkus kertas atau apapun itu berwarna pink, hingga membuat klepek-klepek dan momocik-mocik. Pendek kata adalah yang “terbunuh” di hari Palentain .

Sedangkan penderita Min+ artinya, Anda adalah si objek penderita Min+ yang :

a. Punya pasangan (tidak jomblo) tapi tak disasar pasangan dengan sebalok coklat yang dibungkus kertas atau apapun itu berwarna pink, hingga tidak membuatmu klepek-klepek dan momocik-mocik.

b.Tidak memiliki pasangan (alias jomblo) tapi tak disasar siapapun itu dengan sebalok coklat yang dibungkus kertas atau apapun itu berwarna pink, hingga membuatmu tidak klepek-klepek dan momocik-mocik sehingga hari Palentainmu berlalu dengan biasa-biasa saja.

c. Punya pasangan (tidak jomblo) tapi bukannya disasar dengan sebalok coklat dibungkus kertas atau apapun itu berwarna pink, tapi disasar SMS, BBM, Update Status di Medsos selamat hari Palentain.

d.Punya pasangan (tidak jomblo) tapi bukannya disasar dengan sebalok coklat dibungkus kertas atau apapun itu berwarna pink, namun disasar SMS, BBM, Update Status di Medsos akan tetapi berisi teori konspirasi dan retorika terkait sejarah Palentain yang pada pokoknya memberi asupan doktrin kepada Anda untuk menjadi pasangan kekasih yang berada di barisan Anti Palentain.

e. Tidak punya pasangan (jomblo) lalu disasar seseorang memakai sebalok coklat dan kado berwarna pink, sehingga klepek-klepek dan momocik-mocik sampai lupa daratan dan hilaf ada sesuatu yang paling berharga hilang karena sebalok coklat.

Selanjutnya, yang saya maksudkan sebagai yang “membunuh” dalam konteks relasi asmara dan percintaan di hari Palentain adalah, Anda berdiri di posisi selaku subjek atau si pelaku dalam konteks perayaan hari Palentain.

Subjek atau pelaku disini pun dibagi dalam 4 kelompok kategori, yakni pertama subjek sebagai si Pelaku A+ Tingkat Atas, kedua si Pelaku A+ Tingkat Menengah, ketiga si Pelaku A+ Tingkat Bawah, dan keempat subjek atau si Pelaku Min+.

Pelaku A+ Tingkat Atas artinya, Anda adalah si subjek atau pelaku Palentain (jomblo) yang mengimani Palentain sebagaimana Anda mengimani hari-hari besar keagamaan, lalu melakukan pedekate atau menyasar calon pasangan memakai sebalok coklat atau apapun itu berwarna pink, dengan harapan akan membuat sasaran klepek-klepek dan momocik-mocik, dan misi itu berhasil sehingga Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan bahkan yang paling secret sekalipun. (Pendek kata Anda adalah seseorang yang masuk kategori “membunuh” di hari perayaan Palentain).

Sedangkan Pelaku A+ Tingkat Menengah adalah, Anda adalah subjek atau pelaku Palentain (tidak jomblo) yang tidak mengimani hari Palentain sebagaimana Anda tidak mengimani kisah-kisah yang ditayangkan dalam acara Masih di Dunia Lain TRANS 7, namun memanfaatkan hari perayaan Palentain untuk kepentinganmu sendiri sehingga sebalok coklat atau apapun berwarna pink yang dibikin sebagai kado itu (kado kepentingan) berhasil membuatmu mendapat pasangan baru yang klepek-klepek dan momocik-mocik oleh semua kejutan itu. Disini selain disebut sebagai Pelaku A+ Tingkat Atas, Anda juga disebut sebagai Oportunisme Palentain. Tapi tetap masuk kategori sebagai yang “membunuh” di hari Palentain.

Selanjutnya, Pelaku A+ Tingkat Bawah artinya, Anda adalah si subjek atau pelaku Palentain (tidak jomblo) yang mengimani Palentain sebagaimana Anda mengimani hari-hari besar keagamaan, lalu menyasar pasangan memakai sebalok coklat atau apapun itu berwarna pink, sebagai bentuk perayaan hari kasih sayang, dengan harapan akan membuat pasanganmu klepek-klepek dan momocik-mocik, dan misi itu memang berhasil bahkan mendapatkan lebih dari apa yang Anda harapkan. (Pendek kata Anda adalah seseorang yang masuk kategori “membunuh” di hari perayaan Palentain).

Sedangkan si Pelaku Min+, adalah Anda yang dikategorikan sebagai :

a. Punya pasangan (tidak jomblo) tapi tidak menyasar pasangan dengan sebalok coklat yang dibungkus kertas atau apapun itu berwarna pink, hingga tidak membuat pasangan Anda (sebenarnya akan) klepek-klepek dan momocik-mocik dengan itu, tetapi Anda malah mengirimkan ubi goreng, martabak keju coklat, atau onde-onde ke pasangan, sebagai pengganti sebalok coklat dan hal-hal berwarna pink, lalu mendapatkan apa yang diharapkan.

b.Tidak memiliki pasangan (alias jomblo) kemudian melakukan pedekate atau menyasar target dengan sebalok coklat yang dibungkus kertas atau apapun itu berwarna pink, dengan harapan akan membuat mereka klepek-klepek dan momocik-mocik sehingga hari Palentain Anda dilalui dengan indah dan luar biasa.

c. Punya pasangan (tidak jomblo) tapi tidak memberi pasangan sebalok coklat dan kado apapun itu berwarna pink, sebagai bentuk perayaan Palentain, tapi cukup dengan mengiriminya SMS, BBM, Update Status di Medsos sebagai ucapan selamat hari Palentain.

d.Punya pasangan (tidak jomblo) tapi tidak memberi sebalok coklat dibungkus kertas atau apapun itu berwarna pink, sebagai bentuk perayaan, tapi malah mengirimi SMS, BBM, Update Status di Medsos berisi caci-maki, teori konspirasi, dan retorika terkait sejarah Palentain yang pada pokoknya memberi asupan doktrin kepada pasangan untuk menjadi pasangan kekasih yang berada di barisan Anti Palentain.

Jadi bagaimana Hari Palentain Anda kemarin? Terbunuh atau Membunuh?