Jumat, 06 Maret 2015

Lara Shinta Prisilia, 1998


Tahun 2000...

Butiran – butiran embun yang bermesra dengan helai-helai daun, baru mulai terusik oleh sapa mentari. Jalanan masih lengang. Belum seberapa sibuk. Hanya ada beberapa orang nampak sedang lari pagi.

Seorang perempuan kira-kira berumur 25 tahun, melangkah gontai memasuki halaman sebuah rumah sakit. Matanya nanar mengitari sekitar. Ada tanda awas di situ. Seperti mata anak kucing mengawasi anjing brengsek.

Ia memberanikan diri untuk masuk. Di koridor dengan ubin yang sarat bau obat, ia menyapa seorang pegawai saat kebetulan berpapasan. Tapi pegawai itu tak menggubrisnya sama sekali. Padahal hari masih pagi, masih segar.

Ia meneruskan langkahnya menyusuri koridor. Di salah-satu bilik, matanya terpaku pada seorang suster berseragam putih-putih. Ia mencoba mendekat. Sepertinya hendak menyampaikan sesuatu.

Tapi ia ragu. Bibirnya terkunci. Tak tahu bagaimana ia harus memintarkan diri untuk bisa menyusun kata demi kata menjadi sederet kalimat dan perbincangan yang baik.

Belum lama di situ, perasaan murung sontak menyergapnya. Ia lalu diam. Seperti porselin di etalase yang tak bertuan.

Setelah menimbang dan sekonyong-konyong menemukan penggal demi penggal kata yang berusaha disambung seperti untaian sejarah yang terpotong-potong, ia hendak bicara. Tetapi usahanya nihil.

Suster yang hadir pagi itu bersikap acuh tak acuh. Tanpa mau risau dengan orang yang ada di dekatnya, suster cantik berseragam putih-putih ini, justru sibuk mengais buku piket di meja kerjannya. Nampak buru-buru menyibukkan diri mengisi laporan hasil jaga semalam.

Ia menyambung kata lagi. Tapi lagi-lagi nihil. Kata demi kata yang betapa susah payah dirangkainya hingga menjadi untaian pertanyaan, hanya dibalas sang suster dengan kerutan dahi dan bibir yang dibikin manyun.

Ia kecewa. Tapi apa hendak dikata, ia tak bisa memaksakan kehendak. Di-eja-nya bahasa badut yang disampaikan suster tadi sebagai : "Tidak tahu", atau mungkin; "Mana aku tahu", atau bisa pula "Tak tahulah", dan yang terparah adalah; "Aku tak peduli denganmu!"

Ia memutar badan lalu melangkah ke ruangan sebelah lagi. Di situ ia melongo ke dalam seolah menyelidik. Nampak olehnya; botol infus yang menggantung; seprei putih dan bercak- darah; kotak P3K; tabung oksigen; segala perkakas medis; erang kesakitan yang meronta; isak tangis yang tiba-tiba meraung; dan raga-raga lemas terkulai tak berdaya; sekarat dan mengerikan.

Semua yang dilihatnya itu seolah merupakan tayangan ulang suatu masa yang payah terekam oleh kepala dan bola matanya yang kian nanar.

Ia menghindari pemandangan itu. Raut mukanya sontak pucat dan nafasnya terpenggal-penggal seperti nafas petani tertindas di lahan sendiri.

Setelah berhasil mengumpulkan tenaga, ia memutuskan untuk keluar dari tempat itu. Saat di koridor, langkahnya liar tak seimbang. Ia pergi bersama bisik-bisik orang yang lewat.

***

Pada hari dimana pesawat televisi di sudut ruangan rumah sakit sedang menyiarkan berita pagi, ia datang lagi. Kali ini rambutnya nampak lebih acak. Sedangkan baju yang dikenakannya, masih sama seperti yang ia pakai waktu itu.

Ia masuk ke ruangan yang pernah didatanginya. Satu senyum manis tersungging menyambut kehadiran dirinya di meja registrasi Unit Gawat Darurat (UGD).

Ia merasa kalau hari itu sedang beruntung. Suster yang bertugas di ruangan kala itu, bukan suster yang bertugas tempo hari ketika ia datang. Suster kali ini memang kalah cantik dengan suster sebelumnya. Tapi jauh lebih ramah dan bersahabat.

“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu nona manis?”

Disapa begitu, dadanya seolah luruh runtuh oleh sekelumit perasaan yang ia sendiri sudah tidak mengerti; gelora apa yang sontak menjalari setiap persendiannya.

Ia diam. Seperti sedang meresapi kalimat dari sang suster yang cepat mengulang;

“Hello manis, ada yang bisa saya bantu?” katanya.
“Eh... mmmmm...”
Ia belum bisa membuka suara. Bibirnya terkunci.
“Kenapa nona manis? Ada yang bisa saya bantu,?”
“Emm...eh,... Mmmmm..”“Kamu....kenapa..??”
“Eh, terima kasih suster,”
“Terima kasih???” tanya suster,heran.
“Iya, terima kasih”
“Maksudmu?”
“Tidak apa-apa?”
“Lalu?”

Detik demi detik yang mengalir bak arus liar itu, membuat ia terus berupaya sedemikian pesat untuk bisa cepat merangkai kata. Dan sepertinya berhasil

“Mmm...aku mencari seseorang,”
“Nah, begitu dong nona manis,” suster tersenyum. “Siapa namanya,?” tanya dia.

Tiba-tiba bibirnya terkatup lagi. Mungkin ragu untuk sekedar berucap. Atau justru tidak tahu lagi harus menjelaskan dengan cara bagaimana.

Potongan-potongan kisah membayang lagi di kepala. Berjujutan dengan penggalan-penggalan peristiwa yang telah menjadi bencana. Semua seperti sedang mengunci tak hanya ingatan-ingatan segar, melainkan soal bagaimana mengatur kalimat yang semestinya. Ia sudah pernah gagal. Bahkan
berkali-kali. Ia dungu untuk sekedar memikirkan; bagaimana semestinya bahasa menjadi baik dan berarti.

“Siapa namanya nona manis?” ulang suster, bertanya.
“Emmm....??” belum sempurna kalimat yang hendak ia ucapkan, suster
memotong agar urusan itu cepat selesai.
“Apa dia saudara nona? Sahabat? Atau... oh ya..mungkin pacar?”
“Ya, begitu,". Kalimat sebagai jawaban yang tiba-tiba terlontar begitu, membuat ia tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri.
“Lho? maksud nona?”
“Mmm... tak tahulah”

Ia sedih. Suster dihadapanya bingung dan mulai tak nyaman. Meski demikian, perasaan sabar dan ingatan mengenai ragam teori yang pernah dilahap semasa di bangku kuliah dulu, membuat suster yang baru bertugas beberapa minggu di rumah sakit itu, mencoba bertahan.

“Yah,taruhlah begitu. Jadi siapa namanya nona?” katanya dengan nada sabar.

Ia merasa nafasnya tertekan diantara kerongkongan. Bibirnya mulai gemetar. Ada perasaan kosong yang meledak kemudian menjadi bongkah-bongkah sunyi di dada.

Sejurus kemudian, dibarengi perasaan was-was dan rasa kaku yang mendalam, sebuah nama terlontar seperti anak panah yang menancap dada seokor rusa betina.

“Lara Shinta Prisilia....!!”.

Suara itu terlontar kuat setelah begitu lama tertahan dari balik kerongkongan. Sebuah pelepasan yang kuat dan akurat. Membuat orang di sekitar terhenyak lalu pandangan mereka sontak terpaku ke-empunya suara.

“Oh, sungguh nama yang indah, nona,” puji sang suster sembari merasa yakin kalau dirinya berhasil menyembunyikan perasaan kaget secara sempurna.

Ia diam meski ada raut riang mewujud sebagai harapan yang memancar dari air mukannya. Suster lalu mengecek nama yang baru disebutkan itu di buku registrasi. Halaman demi halaman dibukannya usai membasahi telunjuk dan jari tengahnya memakai ludah.

Tapi nihil.

“Maaf nona, nama itu tidak tercatat di sini” kata suster.
"Betulkah?"
"Ya. Apa nona yakin dengan nama yang disebutkan tadi? Kapan ia masuk?”

Ia terdiam. Matanya kosong. Tapi mukanya tak ia pindahkan ke arah suster yang sibuk dengan daftar nama pasien dalam buku registrasi di UGD.

“Tak ada nama itu disini, nona”
“Tapi........???”
“Iya, tak ada nona, maaf”
“Jangan...”
“Jangan apa?”
“Tapi ada...”
“Ok, baiklah. Lalu kapan ia masuk? Apa pasien itu saudara nona, atau pacar?” tanya
suster jujut-menjujut sembari bersabar.

Kali ini ia benar-benar tidak tahu jawaban apa yang terbaik. Rentetan peristiwa, sepotong demi sepotong kembali membayang dalam ingatanya yang coba dikuatkan lagi; sebuah torehan yang sudah cukup menghadiahkan kecemasan, kebisuan, sakit, kosong, sunyi, dan hal-hal yang membuatnya tak tahu lagi di mana dan bagaimana harus mengawali sebuah pertanyaan dan jawaban, dari alur-alur yang tercecer.

Ia yang merasakan bagaimana sebuah tatanan melibas menghadiahkan kisah-kisah busuk, mencoba melawan. Ia berkoar. Menjerit. Menggelegar dan menggelepar di jalanan. Sia-sia tak berdaya. Selanjutnya hanyalah kesunyian dengan hitam yang berabad-abad.

Ia seperti hilang dalam ingatan dan dalam jaman yang lihai memainkan peran. Sepertinya ia lupa atau terlupakan akan sebuah kata tentang; siapa.

“Nona...?”
Ia tidak menjawab. Lamunannya terlampau hitam.
“Nona...”
Masih belum menjawab.
"Helloooo...,"
“Eh, yaa..suster”
“Kau baik-baik saja?”
“Ya, aku rasa”
“Kapan pasien itu masuk?”
“Maaf suster.......”
“Maaf, kenapa..??”

Ia tak bisa memaafkan dirinya dengan kalimat yang tiba-tiba keluar bodoh begitu. Apalagi itu terjadi telah kesekian kali. Kini ia cemas akibat ulahnya itu. Kalimat yang entah kenapa terlalu sulit untuk diperbaiki.

Rasa kehilangan mulai merayapi setiap jengkal tubuhnya. Ia khawatir jika suster yang ada dihadapannya pergi menghilang (sebagaimana yang lain), hingga membuat harapannya sirna kembali dibawa angin dan gelap yang menyeringai seperti hari-hari kemarin.

Ia terus cemas dan tak berhenti mengutuk diri. Perasaan akan kehilangan ini semakin kuat menggumpal dari kelopak matanya yang kian nanar.

Ia melihat gambaran yang ditunjukkan suster dihadapanya adalah sederet kalimat yang mengatakan; "kau banyak membuang-buang waktu percuma".

Persangkaannya benar. Suster dihadapannya mulai merasa seperti sedang dipermainkan, atau datang sebuah kesadaran yang mengatakan; "Ada yang tidak beres". Tapi dalam batin suster ini juga menimbang kata; "Mungkin terkadang begini. Ada pengunjung suka usil,".

Tapi ini hanya sementara sebab cepat berganti anggapan yang lebih berbentuk sebagai sebuah persangkaan yang menyatakan bahwa; "Ada sesuatu yang jahat sedang menimpanya".

“Eh, maaf nona. Boleh saya lihat kartu pengenal Anda?” nada suara suster mulai tegas.

Saat belum berhenti mengutuk dirinya sendiri, dengan cekatan ia merogoh isi tas kumal berwarna merah maron yang diselempangkan melewati bahu kirinya. Dan dengan gerakan tergesa-gesa penuh harap, ia kais isi tas lalu gembira mendapatkan apa yang diminta.

“Ini suster” Ia menyodorkan kartu identitas kepada suster. Hatinya girang seperti anak rusa yang tengah melompat-lompat di samping induknya.

Suster memeriksa kartu identitas yang disodorkan. Di situ tertera masa berlaku yang jatuh pada tahun 2000.

Alangkah terkejutnya suster ini. Sebuah keterkejutan yang membuat kesabarannya hilang lalu berubah menjadi kedongkolan yang padat, hingga menguatkan pendapat bahwa orang dihadapanya ini benar-benar sakit.

“Maaf, saya banyak kerjaan nona” suster mengembalikan kartu identitas itu lalu berlagak seperti hendak beranjak pergi.
“Suster..!!”
“Maaf”
“Tolong suster”

Suster tak bergeming. Dadanya kini berisi kedongkolan ketika menyadari ada seseorang yang datang mencari seseorang yang orang itu adalah dirinya sendiri.

***
Matanya yang nanar sontak liar ketika dilihatnya empat orang laki-laki berseragam putih-putih sedang terburu-buru menyusuri koridor hendak menghampirinya. Seperti yang pernah terjadi, ia tahu bahwa itu adalah panggilan pulang yang menyakitkan untuknya.

Ia adalah satu dari sekian banyak orang yang dulu pernah dirawat di rumah sakit itu.