Kamis, 12 Maret 2015

Dokter Wirno dan Hujan Malam Itu



Leput Institut mendapat kiriman Cerpen. Penulisnya adalah pembaca Leput. Sepertinya bisa kita nikmati.

Dokter Wirno dan Hujan Malam Itu

KOTA kecil itu sedang diguyur hujan. Terkadang diselingi angin kencang. Di ruang instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit di kota kecil itu, nampak Dokter Wirno ditemani tiga orang perawat. Mereka bertugas jaga malam. 

Dokter Wirno belum lama bertugas di rumah sakit milik pemerintah kota. Istrinya baru saja pulang sesudah mengantarkan 4 bungkus bubur ayam dan gorengan untuk makan malam suaminya dan 3 orang perawat yang ikut berjaga. Itu memang sering dilakukan istrinya setiap jadwal jaga malam suaminya tiba.

Saat itu belum ada pasien masuk. Jadi mereka lebih banyak duduk berbincang. Nanti pada pukul sepuluh malam, seorang pria dewasa masuk membawa pasien seumuran anak SMA. Erang kesakitan terdengar memecah ruangan.

Dokter Wirno dan tiga perawat lansung bertindak. Pasien diketahui bernama Budi, berumur 18 tahun. Ia mengalami luka sobek di kaki dan wajahnya. Pasien mengaku baru saja mengalami kecelakaan.

Luka itu sepertinya perlu dijahit. Tatkala dokter Wirno hendak melakukan penanganan medis, handphone di saku kemeja putihnya berdering. Mulanya ia tak mempedulikan. Tapi setelah berkali-kali berdering, ia permisi sebentar lalu berjalan ke sudut ruangan hendak menerima panggilan telefon itu. Tiga perawat meneruskan tugas sang dokter.

Sejurus kemudian masuk sekelompok orang yang mengaku keluarga si pasien. Saat mereka datang, Dokter Wirno masih terlibat percakapan di telefon. Wajahnya nampak tegang.

Keluarga pasien yang baru tiba ini membentak tiga orang perawat di situ. Dokter Wirno pun tak luput dari cercaan. Wajahnya kini nampak pucat. Keluarga pasien cepat naik pitam tatkala mendapati dokter Wirno sedang bercakap-cakap di telefon padahal ada pasien yang sedan mengerang kesakitan dan butuh penanganan.

Tangan Dokter Wirno lalu gemetar memasukkan kembali handphone ke saku seragam putih-putihnya. Ia lalu buru-buru mendekati pasien.

Merasa bersalah, ia kembali bertugas melakukan penanganan medis. Tak ayal, ketika sedang menjahit luka pasien, bentak dan caci terus menggema ke telinganya. Namun dengan sabar Dokter Wirno terus bekerja menjalankan tugasnya meski dibawah tekanan keluarga pasien. Dia baru tahu kalau pasien yang tengah mendapat pelayanan medis ini adalah keluarga pejabat yang sedang berkuasa di kota itu. Mereka terus mengumbar-umbar hal itu ke telinga Dokter Wirno dan perawat yang ada di situ, seolah rumah sakit itu adalah milik keluarga si pasien.

Dengan sabar, Dokter Wirno terus menjalankan tugasnya. Matanya nampak berkaca-kaca. Ia lantas tak bisa menahan air matanya yang tiba-tiba menetes. Tangannya gemetar. Perawat merasa heran sekaligus kasihan.

Sejurus kemudian, 3 orang petugas kepolisian masuk. Ketika itu Dokter Wirno sedang menjahit luka dibagian wajah pasien.

“Pasien dari mana ini?” Tanya seorang polisi. “Apakah pasien ini bernama Budi?” timpal petugas yang lainnya.

Terjadi ketegangan antara pihak kepolisian dengan keluarga pasien hingga berbuntut keributan. Perawat kebingungan sedangkan Dokter Wirno meminta agar keributan itu dihentikan supaya ia bisa menyelesaikan tugasnya dalam melakukan penanganan medis kepada si pasien.

Usai pasien dijahit, petugas kepolisian meminta agar si pasien dibawa ke kantor polisi karena akan menjalani pemeriksaan. Hal ini membuat keluarga pasien protes.

“Di mana nurani kalian? Tidakkah kalian lihat apa yang sedang dialami pasien ini?” kata keluarga pasien.

“Ada apa ini sebenarnya? Ada apa? Kenapa dia mau dibawa ke kantor polisi? Kasihan dia masih anak-anak” timpal anggota keluarga yang lain.

Polisi beralasan, luka si pasien tak sebegitu parah. Ia bisa dimintai keterangan di kantor polisi. Tapi keluarga pasien terus-terusan protes. Polisi lantas menjelaskan, kalau pasien adalah pelaku tabrak lari yang berbuntut tewasnya seorang perempuan. Dikatakan kalau pasien mengendarai mobilnya secara ugal-ugalan.

Saling bantah terus terjadi. Perawat bingung. Dokter Wirno melangkah ke sudut ruangan. Di tepi jendela tangisnya meledak. Perawat yang kebingungan mendekat. Tapi mereka cemas menanyakan ada apa gerangan.

Ruang instalasi gawat darurat semakin gaduh. Bunyi sirene sebuah kendaraan polisi terdengar memasuki halaman rumah sakit. Tangis Dokter Wirno kian meledak. Perawat masih kebingungan apa yang terjadi. Di kisi-kisi jendela instalasi gawat darurat rumah sakit itu, hujan terasa seperti jutaan jarum yang jatuh melukai tubuh Dokter Wirno.

“Dok, kenapa Dok,” perawat menghampiri dokter Wirno yang tak bisa meredam tangisnya di tepi jendela.

“Dok, kenapa Dok,” Tanya perawat lagi.

Tak ada jawaban. Isak tangis yang menggelepar di tepi jendela itu adalah kesunyian purba yang membenamkan seluruh kisah.

“Dok, ada apa Dok?”

Mereka baru tahu, yang menelefon Dokter Wirno ketika ia hendak melakukan penanganan medis pada pasien tadi, adalah tetangga barunya. Memberitahukan bahwa istrinya tertabrak seorang pemuda yang ugal-ugalan mengendarai mobil.

TAMAT